Disclaimer: Masashi Kishimoto

Chapter 1

Tokyo, dua belas tahun yang lalu.

Seorang anak perempuan berumur lima tahun menoleh kebelakang, melihat jejak-jejak sepatunya diatas salju. Salju turun semakin deras, hingga akhirnya jejak itu menghilang.

Jemarinya terasa beku. Harusnya ia mengenakan sarung tangan. Sekarang, kemana ia harus melangkah pergi? Ia sudah memutar taman ini dan sama sekali tidak menemukan babysitternya yang tadi mengantarnya kesini.

Ia kesal. Apa ia ditinggal? Lagipula, untuk apa?

Anak perempuan itu duduk begitu saja, menghempaskan dirinya diatas salju. Udara dingin memasuki pori-pori terkecil sweaternya, membuatnya menggigil, giginya bergemelutuk.

"Hei, kamu tidak apa-apa?"

Seorang anak laki-laki bersweater tak kalah tebal dengannya menundukkan kepala, melihatnya yang hampir saja menangis. Anak laki-laki itu tersenyum, mengulurkan kedua tangan yang dilapisi sarung tangan berwarna biru kepadanya.

Anak perempuan itu tersenyum dan menyambut uluran tangan itu. tiba-tiba, ia mendengar suara menyerupai bisikkan ditelinganya. "Kamu manis..." Lagi-lagi seperti ini.

"Kamu kenapa disini?" sekarang mereka berdiri berhadapan, dan anak laki-laki itu bertanya. "Udara sedang dingin-dinginnya."

"Aku kehilangan Kion-chan. Dia babysitter di rumah, membantuku, tapi dia entah kemana."

Tiba-tiba, anak perempuan itu melihat sebuah truk melintas melewati jalan diluar taman. Truk itu melaju lambat, sehingga anak perempuan itu bisa melihat ayahnya.

"Ayaahh!" anak perempuan itu berlari untuk mengejar truk itu.

Anak laki-laki itu ikut anak perempuan itu berlari. Setelah menyusulnya, dia melihat anak perempuan itu menangis.

"Kamu tau harus pulang kemana?" tanya anak laki-laki itu.

Anak perempuan itu mengangguk, berjalan melewati jalan-jalan yang mulai bersalju bersama anak laki-laki itu. Melewati gang-gang sempit, akhirnya sampai ke rumah tua yang sudah usang.

"Ini rumahku..."

"Tetapi kenapa sepi?" tanya anak laki-laki itu heran.

Anak laki-laki itu masuk kedalam rumah, diikuti anak perempuan itu. Rumah telah kosong. Anak perempuan itu menangis semakin menjadi-jadi.

"Aku..." anak perempuan itu terisak sambil terus berkata, "Mereka... orangtuaku meninggalkan aku."

"Bagaimana mungkin mereka ninggalin kamu?" tanya anak laki-laki itu semakin heran.

Anak laki-laki itu menyentuh kedua bahu anak perempuan itu, lalu turun menggenggam tangannya. Lagi-lagi, anak perempuan itu mendengar suara seperti bisikkan lagi. "Kamu jangan menangis. Tolong, jangan... apa dia ikut denganku saja?"

"Ikut kemana?"

Anak laki-laki itu terperangah. "Kamu... tahu apa yang kupikir?"

Anak perempuan itu terdiam. Perlahan mengangguk. "Ku... kurasa aku... dtinggal karena itu..."

Anak laki-laki itu berdeham. "Kamu mau ikut denganku?"

"Kemana?"

"Tempat tinggalku. Panti asuhan."

Anak perempuan itu terdiam cukup lama, sampai akhirnya ia mengangguk.

-X-

"Sai! Ayo cepat berangkat!"

Anak laki-laki yang telah bertumbuh dewasa itu melangkah tergesa-gesa, mengancingkan kancing kemeja paling atas miliknya, kemudian memakai sepatunya asal-asalan.

"Hinata, tidak bisa kah kau sabar menunggu?" tanya Sai kesal.

"Bisa saja. tapi ini sudah siang dan aku tidak ingin terlambat." jawab Hinata ketus. "Kau sudah merencanakan ini sejak awal, kan?"

"Maksudmu?"

"Dari semalam kau berpikir mau bangun siang hari ini, agar kau tidak ikut ujian kimia pagi ini."

"Hh. Aku lupa kalau kau bisa membaca pikiranku dengan menyentuhku." gumam Sai.

"Karenanya, jangan pernah berpikir didekatku." ujar Hinata, kali ini ia tertawa. "Baiklah, ayo kita membolos hari ini, Sai."

Sai melongo. "Kau... yang benar saja?"

Hinata tertawa lagi. "Ayolah, sudah lama aku tidak makan es krim."

"Es krim? Di cuaca sebeku ini?"

Hinata mendengus kali ini. "Apa kau mau mengikuti ujian kimia?"

"Tentu saja tidak!"

Sudah dua belas tahun berlalu semenjak kejadian itu. Sejak setahun yang lalu, Hinata dan Sai menyewa sebuah apartemen berkamar dua dan tinggal bersama, semata-mata untuk keluar dari panti asuhan yang mengasuh mereka sejak kecil.

Mereka membuat rules tersendiri dalam tinggal disana. Tidak boleh ada alkohol sedikitpun di apartemen, dan bagi siapapun yang masuk tidak boleh habis minum alkohol. Kemudian, mereka nggak boleh segan-segan bercerita tentang rahasia mereka. Orang yang baru mereka kenali terutama. Jadwal makan diatur bergantian. Hinata dipagi hari, Sai di malam hari. Untuk siang hari, biasanya mereka makan diluar apartemen. Entah itu di kedai, kafe, bahkan resto.

Dan yang terpenting, maksimal pulang pukul delapan malam.

Walau sering bersama-sama, Sai lebih memiliki banyak kegiatan diluar. Dia sering bermain bola bersama kawan-kawannya. Tiap kali ia mengajak Hinata, Hinata selalu enggan.

Karena ia takut bersentuhan dengan orang lain. Bahkan hanya berjabat tangan dengan orang saja, ia takut. Syukurlah Jepang bukanlah negara yang harus bersalaman saat memperkenalkan diri.

Entah mengapa, dan tak tahu bagaimana, kemampuannya menyentuh dan mengetahui pikiran orang lain terkadang membuatnya takut. Takut tahu pikiran jahat orang lain, takut orang lain takut padanya seperti yang sering terjadi, takut orang meninggalkannya karena kemampuan itu. Selama ini, Hinata benar-benar merasa bersyukur ada Sai yang mau menerima kemampuan yang tidak tahu apa harus disebutnya anugerah.

Sai sering berkata, ia harus mencari kekasih. Sai berkata, ia mungkin tidak akan selamanya berada disisi Hinata. Tapi dalam hati kecilnya, ia ingin Sai selalu dekat dengannya.

-X-

Mulanya, niat membuat cerita fanfict seperti ini sangat tak ada.

Mulanya, aku membuat kisah tentang klub yang dapat mengontroli jiwa manusia, namun karena membutuhkan tokoh yang banyak dan sedikit membuatku pusing saat membuatnya, aku pun menyederhanakan menjadi kisah seperti ini

Semoga kalian menikmati kisah ini! Terus membaca chapter selanjutnya, ya. Arigatou!