Hanyang, September 1716

Malam itu, dengan langkah cekatan dan hati-hati sekali, dua orang pemuda berjalan di bawah sinar bulan hari ke-15 yang terang. Salah seorang dari mereka membawa sebilah pedang yang terbungkus dalam selongsong yang terbuat dari bahan kulit ikan, berwarna merah, dan berhiaskan ornamen perak. Ia berada satu langkah di belakang pemuda satunya, mengikuti dengan langkah yang tak kalah gesit, dan matanya yang setajam mata elang mengedarkan pandangan ke setiap sudut desa yang dilewatinya.

"Jongin-ah, tidakkah kau lelah mengikutiku dengan perasaan seperti itu?"

Pemuda yang berada di depan, Chanyeol, bertanya kepada Jongin dengan setengah bercanda. Jongin terkesiap, ia tahu maksud perkataan Chanyeol sehingga membuatnya sedikit canggung.

"Animnida, Jeonha*."

"Kita cuma jalan-jalan sebentar dan itu tidak akan menimbulkan kehebohan melebihi kepanikan Sang-seon*. Wajahmu jangan tegang begitu. Hahaha…"

Jongin menghela nafas berat, bagaimanapun juga ialah yang paling bertanggung jawab atas keselamatan Chanyeol dalam jalan-jalan sebentar-nya yang sangat beresiko ini. Akhir-akhir ini Chanyeol memang hobi sekali keluar istana, terutama ketika malam hari dimana tak banyak orang yang dapat melihat dan mengenalinya, tetapi menyimpan bahaya yang lebih besar dibandingkan dengan berjalan di siang hari. Sebagai ungeom* yang senantiasa mengikuti Chanyeol kesana-kemari, bahkan di dalam istana sekalipun, Jongin tentu sangat mengetahui resiko itu dan mau tak mau ia harus selalu bersikap serius.

"Apakah anda bersedia memberitahu tujuan anda, Jeonha?"

"Ah, itu… yah, kau tahu, seperti biasa aku ingin mencari udara segar, tapi sejujurnya aku bingung juga... jadi yah, aku mengajakmu berputar-putar."

"Jeonha,"

Jongin tahu bahwa Chanyeol berbohong. Pria itu tak pernah mengatakan secara jelas ke mana tujuan mereka saat keluar istana, tapi yang pasti ia tak pernah melewatkan dua tempat yang sangat kontras. Dua tempat yang menjadi titik awal dan akhir kehidupan seseorang.

"Baiklah, kalau begitu kita pulang sekarang. Aku merasa kasihan pada Sang-seon, mari kita pulang supaya ia bisa beristirahat dengan tenang."

Chanyeol berbalik arah dan melenggang menuju istana. Dalam sinar bulan yang remang-remang, kabut tipis perlahan turun dan mengambang di atas rerumputan.

"Jeonha, akan lebih baik jika kita tiba lebih awal di istana sebelum kabut yang lebih tebal turun. Bersediakah anda untuk mempercepat langkah?" Jongin agak sungkan mengatakannya, namun ia lebih khawatir kalau-kalau mereka tak akan bisa kembali malam ini.

"Tidak perlu," jawab Chanyeol seraya menerawang jauh di balik kabut. "tidak perlu tergesa-gesa. Lama sekali aku tak melihat pemandangan indah ini, sampai-sampai aku terlalu merindukannya."

Jongin menunduk begitu matanya bertemu dengan manik Chanyeol yang mulai berair, tetapi tatapannya menajam ketika ia tak sengaja melihat sekelebat bayangan hitam yang bergerak cepat di ujung tikungan di belakang mereka. Cengekeramannya pada byeolungeom* semakin menguat.

"Jeonha, sepertinya kita sedang diikuti," bisik Jongin pelan, nyaris tak terdengar.

Chanyeol tertawa kecil. "Mereka benar-benar suka mengajakku bermain rupanya."

"Bisakah kita kembali sekarang, Jeonha?"

"Bagaimana kalau kita ajak dia bermain sebentar?"

Jongin terperanjat. "Jeonha!"

Dan Chanyeol langsung berlari tanpa aba-aba.

Jongin refleks mengikuti Chanyeol dan ia tahu orang dalam pakaian serbahitam tadi mengejar mereka dengan langkah tak kalah gesit. Mereka berdua berlari menembus kabut yang semakin tebal; menyusuri desa, melompati pagar, melintasi gang-gang sempit di pasar, semakin jauh hingga memasuki hutan. Chanyeol ingin membuat orang itu kehilangan jejak mereka, tetapi ketika mereka mencapai bagian hutan yang semakin dalam, beberapa orang dengan pakaian hitam serupa mengepung dari segala penjuru dengan pedang yang sudah terhunus ke arah mereka.

Kedua pemuda itu berdiri saling memunggungi. Jongin menghunuskan byeolungeom-nya yang mengkilat terkena cahaya bulan, sementara Chanyeol menarik pedang berornamen emas dari selongsong yang tergantung di pinggangnya. Jongin menatap satu per satu orang-orang berbaju hitam itu; mereka berjumlah tujuh orang dan ia tak mengenali seorangpun diantara mereka. Ia menduga komplotan itu adalah orang-orang utusan yang direkrut dan dilatih secara diam-diam oleh petinggi pihak oposisi.

"Mau pemanasan sebentar?" bisik Chanyeol sambil menyeringai. Jongin mengangguk tegas.

Pedang mulai berayun, saling beradu, menembus kain-kain hitam itu dan menyayat kulit yang terbungkus di dalamnya. Beberapa kali pedang byeolungeom menusuk ulu hati mereka.

"Chanyeol-gun*!"

Crash!

Jongin menyabet leher orang yang berani meneriakkan nama penguasa negeri itu di hadapannya, sementara Chanyeol merasakan darahnya berdesir akibat teriakan orang itu.

Chanyeol-gun...

Dengan peluh yang bercucuran dan cipratan darah yang menodai pakaian, kedua pemuda itu berhasil menghabisi mereka. Jongin yang mengamati gaya bermain pedang mereka menilai bahwa teknik orang-orang itu berada di level yang tinggi—hal itu menegaskan bahwa mereka memang dilatih oleh orang yang sangat menguasai ilmu pedang, bukan pemain amatiran seperti yang ia jumpai pada anggota organisasi bawah tanah yang berasal dari masyarakat kelas bawah.

"Huh, aku tidak menyangka mereka begitu tangguh." ujar Chanyeol sambil mengusap peluh yang meluncur di wajah halusnya, kemudian menatap pedangnya yang berlumuran darah. Ia sedikit menyesali hari-hari latihannya yang terbuang—akibat kegemarannya berkeliaran di luar istana dan membaca buku-buku erotis secara diam-diam—setelah melihat level bermain pedang ungeom-nya yang berada jauh di atasnya bagaikan langit dan bumi. Jongin benar-benar tak memiliki tandingan.

"Kurasa aku harus belajar banyak padamu."

Jongin hanya menunduk dalam diam. Ia masih sibuk menerka-nerka siapa pengirim komplotan itu dan bagaimana mungkin mereka mengetahui bahwa raja dan ungeom-nya sedang berada di jalanan ketika malam sudah selarut ini.

"Sebaiknya kita segera pergi dari sini. Saya rasa fajar akan tiba beberapa jam lagi."

Chanyeol menatap bulan pucat yang telah condong ke arah barat, sinarnya mulai redup seiring dengan kabut yang semakin tebal. Dalam situasi seperti itu, sudah tak mungkin lagi bagi mereka untuk kembali ke istana dengan mudah.

"Oh, bagus sekali," pemuda jangkung itu menghela nafas kesal. "kita tak membawa lentera dan aku bahkan menggiringmu ke tempat yang sama sekali tidak kukenal."

"Saya pun sejujurnya juga tidak tahu tempat macam apa ini, Jeonha." ujar Jongin pelan seraya mengamati kabut yang turun dengan cepat. "Beberapa tempat di hutan ini memiliki kontur yang mirip, sehingga di siang hari pun terkadang kita merasa berada di daerah yang sama berkali-kali."

Chanyeol mendengus, menyesal karena tak mendengarkan ucapan Jongin yang berulangkali memintanya untuk segera kembali ke istana. "Bodohnya aku... apakah aku dilahirkan hanya untuk menyusahkan orang lain seperti ini?"

"Jeonha, mohon jangan bicara seperti itu. Mungkin ada baiknya jika kita mencari tempat persinggahan untuk menginap hingga esok pagi."

"Ada tempat—gubuk, paling tidak—di tengah hutan seperti ini?"

"Saya pernah mendengar ada Hwalinseo* yang didirikan di pinggir perkampungan dekat hutan ini."

"Kau tahu jalan menuju ke sana?"

"Itu masalahnya. Meski sedang purnama, malam ini cukup gelap dan kabut juga sudah turun, ditambah kontur setiap daerah yang hampir mirip, saya tidak yakin kita dapat menemukannya dalam waktu singkat."

Chanyeol memasukkan pedangnya ke selongsong, kemudian berjalan sekenannya. "Baiklah, mari kita berjalan entah ke mana. Siapa tahu keberuntungan berpihak pada kita, dengan begitu kita akan segera menemukan balai pengobatan itu."

.

.

.

MOONBEAM

~Prologue~

.

Main Cast

Park Chanyeol

Byun Baekhyun (GS)

Oh Sehun

Kim Yejin (OC)

Extended Cast

Members of EXO

OCs

Genre

Fiction historical/period, romance, drama

Rating

T+ (amannya)

Warning!

GS! ChanBaek, slight HunBaek/Kaisoo

Please enjoy and give some building critics ^^

.

.

Derap langkah kaki terdengar sepanjang lorong Huijeongdang*; pendek-pendek, cepat, diiringi bisikan panik dari para kasim dan jimil nain* yang terus melontarkan pertanyaan yang sama sejak matahari terbenam.

"Bagaimana? Beliau sudah terlihat?" tanya Yoo Sang-seon, kepala kasim di Huijeondang, dengan panik.

"Saya sama sekali tidak mendapatkan informasi mengenai keberadaan mereka."

"Aish, kenapa selalu jadi seperti ini?"

"Beberapa pasukan sudah dikerahkan secara diam-diam untuk mencari beliau berdua, tetapi salah seorang diantara mereka kembali dan mengatakan bahwa tak ada petunjuk apapun."

"Apakah Daebi-mama* memiliki rencana kunjungan esok hari?"

"Ya. Pihak istana Onyang mengabarkan bahwa beliau akan berkunjung sekitar satu jam setelah jadwal kunjungan pagi di kediaman Jeonha, sebelum waktu membaca tiba."

"Matilah kita."

.

.

Chanyeol tahu mereka berjalan ke arah timur ketika ia melihat semburat jingga yang mulai muncul. Sudah beberapa jam mereka berjalan dan sama sekali tak membuahkan hasil. Jongin berulangkali meminta Chanyeol untuk beristirahat tetapi pemuda itu sama sekali tak menggubrisnya dan justru mempercepat jalannya, walaupun Jongin beberapa kali melihat Chanyeol terhuyung akibat kantuk yang menyerangnya.

"Apa itu?"

Pandangan Jongin mengarah pada sesuatu yang ditunjuk Chanyeol—sebuah bangunan sederhana yang cukup besar dengan latar belakang permukiman orang-orang sangmin*.

"Tunggu apalagi? Kajja, Jongin-ah!"

Mereka berdua berjalan menuju bangunan berwarna cokelat tua itu. Terlihat kepulan asap dari samping bangunan. Tampaknya asap itu bersumber dari tungku seorang gadis yang tengah memanasi semangkuk cairan berwarna cokelat kehitaman.

"Apakah itu obat?" tanya Chanyeol kepada gadis berpakaian seragam uinyeo* dengan gaya rambut saeng meori* dan mengenakan garima* hitam yang sedang mengipasi tungku. Gadis itu terkejut mendengar suara berat Chanyeol sehingga ia berjengit dan menatap kedua pria itu dengan matanya yang lebar.

"A-anda berdua—"

"Kami hanya ingin beristirahat sebentar di sini—kami tersesat." tukas Jongin sambil memperhatikan gadis itu lekat-lekat, terutama pada matanya yang terbuka lebar. "Bisakah kami menemui kepala uinyeo?"

Gadis itu beranjak dengan canggung. "M-mohon tunggu di sini sebentar. A-ah, tolong, bisakah kau menggantikanku sebentar?"

Terdengar jawaban dari halaman belakang. "Aku datang Kyungsoo-ya—"

Mata Chanyeol bertumbukan dengan manik gadis yang dipanggil itu. Ia berpenampilan sama seperti uinyeo bernama Kyungsoo tadi, tetapi ia mengenakan cadar berwarna putih sehingga hanya matanya yang terlihat. Gadis itu terperanjat ketika beradu pandang dengan Chanyeol, dan keterkejutannya belum berakhir ketika ia melihat pedang yang dibawa pemuda berkulit tan yang berdiri di samping lelaki itu.

Seakan tersengat petir, Chanyeol terdiam di tempat. Matanya menyelami iris cokelat gadis itu. Sebuah perasaan aneh menyelimuti hatinya; perasaan hangat yang familiar, perlahan menjalari rongga dadanya.

'Jeoha*, bagaimana kabar anda hari ini?'

'Jeoha, maukah anda bertukar puisi? Saya menemukan sebuah puisi yang indah dari Dinasti Ming.'

'Saya baik-baik saja, sungguh. Ini bukan sesuatu yang patut dicemaskan. Anda tak perlu mengkhawatirkan apapun.'

'Maafkan saya, Jeoha. Semoga anda selalu sehat.'

Ingatan-ingatan itu tiba-tiba berputar di kepala Chanyeol ketika ia melakukan kontak mata dengan gadis itu, ditambah bau obat panas yang menguar...

"Jeonha,"

Iris Chanyeol melebar ketika ia mendengar suara lirih gadis yang kini memberi hormat padanya itu.

"B-bagaimana kau tahu—"

"Bisakah kau kembali pada tugasmu?"

Seorang wanita berusia sekitar awal tiga puluhan tiba-tiba muncul dan dengan lirikan matanya yang tajam, ia mendorong si gadis untuk segera meninggalkan tempat itu.

"Jwiseonghamnida, Daegam*. Mohon maaf atas sikap kami yang kurang pantas," ujar wanita dengan chima* merah marun dan dangui* putih itu sambil memberi hormat.

"A-ah, itu sama sekali bukan masalah. Apa kau kepala uinyeo?" tanya Chanyeol sambil mengumpulkan kesadarannya.

"Ye, Daegam. Saya bertugas mengawasi para uinyeo yang bekerja di sini." ujarnya. "Apa yang membuat anda berkenan datang ke tempat kumuh seperti ini?"

"Kami tersesat semalam. Masih adakah tempat yang tersisa untuk kami beristirahat?"

"Saya dengan senang hati akan menunjukkan kamar untuk anda berdua, tetapi kamar tersebut jauh sekali dari layak—"

"Tidak masalah. Kami hanya perlu beristirahat."

Wanita itu kemudian berjalan untuk menunjukkan kamar bagi mereka berdua. Setelah memerintahkan kepada Kyungsoo untuk menyajikan sedikit jamuan dan arak panas, ia bergegas menuju biliknya, mengambil selembar kertas dan menuliskan sebuah surat. Kemudian wanita itu mengutus seorang uinyeo untuk mengantarkan surat itu, dan ketika pandangannya bertemu dengan gadis tadi, ia menghela nafas dalam-dalam.

.

.

"Mama-nim*, surat untuk anda sudah tiba."

"Dari kepala uinyeo Jang?"

"Ye."

"Kau tentu tahu apa yang terjadi berikutnya."

"Sebulan lagi, perayaan tahun ketiga pemerintahan Sanggam-mama*."

"Itu artinya?"

"Kita akan kembali."

"Dan yang terpenting adalah Sang Bulan akan terbit, sekali lagi."

.

.

TBC

.

.

Notes:

* Jusang-jeonha: Panggilan hormat kepada raja yang sedang menduduki takhta atau sedang memegang kendali pemerintahan. Dalam memanggil raja secara langsung, biasanya hanya digunakan formalitas Jeonha atau yang mulia.

*Sang-seon: Jabatan tertinggi kasim dalam istana.

*Ungeom: Pengawal pribadi raja yang setia mengikuti raja. Ungeom merupakan gelar kebangsawanan yang diberikan kepada pria pengawal pribadi raja yang diberi kepercayaan penuh sebagai pemegang pedang dengan tingkatan tertinggi.

*Byeolungeom: Pedang dengan 'kasta tertinggi' di Joseon. Pedang tersebut terbungkus dalam selongsong yang terbuat dari bahan kulit ikan, berwarna merah, dan berhiaskan ornamen perak; tidak ada orang yang lebih berhak memegang pedang itu selain ungeom, sehingga apabila seorang pria (dalam konteks cerita ini, Jongin) melintas dan membawa pedang tersebut, masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang pedang akan langsung mengenalinya sebagai pengawal pribadi raja.

*-gun: Sebutan untuk anak laki-laki raja yang lahir dari seorang selir.

*Hwalinseo: Balai pengobatan yang didirikan di pinggiran Hanyang, biasanya untuk mengobati pasien yang berasal dari dalam kota, yang mayoritas merupakan pasien dari kelas menengah ke bawah.

*Huijeondang: Kompleks kediaman raja di dalam Istana Changdeok.

*Jimil nain: Nain atau pelayan wanita yang bertugas melayani raja dan ratu, biasanya mereka telah dilatih sejak umur sekurang-kurangnya 4 tahun.

*Daebi-mama: Panggilan resmi kepada ibu suri.

*Sangmin: Merupakan definisi kasar dari 'rakyat biasa', kasta ini memiliki anggota terbanyak; mayoritas bekerja sebagai petani, peternak, pandai besi, pengrajin, dan pedagang. Kasta ini sebenarnya merupakan tulang punggung ekonomi Joseon karena mereka merupakan pembayar pajak terbesar dan berperan sebagai pekerja kasar dalam pembangunan negara.

*Uinyeo: Wanita yang bertugas sebagai tenaga kesehatan masyarakat, yang diseleksi melalui sebuah ujian dengan beberapa tahap dan harus menguasai berbagai literatur di samping memiliki kemampuan medis yang memadai. Biasanya, uinyeo merupakan wanita yang berasal dari kelas menengah ke bawah.

*Saeng meori: Gaya rambut yang dipakai oleh nain atau uinyeo muda, berupa beberapa kepangan panjang yang dilipat ke atas, kemudian diikat dengan selembar pita atau daenggi polos. Jumlah kepangan menyesuaikan dengan departemen di mana wanita itu bekerja.

*Garima: Semacam penutup kepala yang kaku seperti papan, terbuat dari sutera hitam dan berbentuk persegi panjang, biasa digunakan oleh uinyeo muda.

*Jeoha: Panggilan formal kepada putra raja yang telah ditetapkan sebagai putra mahkota. Panggilan lengkapnya berupa Seja-jeoha; biasanya orang tua atau orang-orang yang berada pada pangkat lebih tinggi hanya memanggilnya dengan sebutan Seja tanpa formalitas, sementara orang yang berada di bawahnya memanggilnya hanya dengan formalitas Jeoha—dengan catatan saat memanggil langsung.

*Daegam: Panggilan formal untuk pria dengan pangkat Senior 1 hingga Senior 2 dalam pemerintahan, serta kepada para pangeran yang telah dewasa.

*Chima: Bawahan berupa rok.

*Dangui: Pakaian atasan wanita yang dicirikan dengan bagian depan-belakang yang panjang hingga menutup perut, sementara bagian bawah berbentuk setengah lingkaran dengan ujung runcing. Biasa digunakan oleh para wanita istana yang memiliki posisi tinggi serta merupakan pakaian resmi yang dikenakan wanita bangsawan saat berkunjung ke istana.

*Mama-nim: Sebutan untuk seorang wanita yang dianggap memiliki posisi senior atau kepada seorang wanita yang sudah menikah. Arti harfiahnya, 'Nyonya'.

.

.

Astaga notes-nya /fliptable/

Halo! Ini adalah debut saya untuk fict EXO, khususnya ChanBaek. Fict ini draft lama sebenernya, udah hampir setahun sejak pertama kali ditulis. Jadi, mohon dimaafkan apabila cerita ini sangat pasaran dan tidak satisfying.

Mind to review?