Sakit.

Rasanya sakit bagai dihujam beribu pedang. Ulu hati, jantung dan kepalanya berdenyut hebat. Tangan kakinya seakan mati rasa. Dicobanya untuk menggerakkan tangan, hanya getaran hebat yang terasa.

Pemuda itu menghela napas. Menyeka peluh di dahi kemudian menyamankan diri di sofa.

Namanya Satria Wilaga. Pemuda berambut hitam legam dan berkulit sawo matang. Matanya belok, pupil cokelat tua. Ciri khas pemuda Indonesia.

Tentu, ia warga Indonesia.

Tak akan ada yang merubah fakta tersebut hingga sekarang. Terkecuali sosok pria bule pirang yang menghantuinya tiap malam.

"Den, ayo dicicipi bubur kacang hijaunya. Masih suam. Ini Mbok yang masak loh."

Suara merdu menyambang telinga. Satria menatap letih sosok ibu paruh baya yang berjongkok sopan. Di tangan keriputnya terdapat mangkuk berisikan bubur kacang hijau yang siap disantap. Mengangguk, Satria pun mendudukkan dirinya. Mengambil mangkuk, dan menyendok pelan.

"Enak, Mbok. Makasih." Satria tersenyum. Gurih dan manis terasa pas dicecap.

Mbok tersenyum kalem. Ia pun membetulkan kain lap yang tersampir di pundak. Posisinya masih berjongkok, seakan menunggu hingga habis lahap. Satria meneguk ludah. Maka dipercepatnya acara menyendok, berserdawa kecil saat perutnya terasa hangat. Rasa meriang seakan hilang ketika bubur hangat itu menyapa.

"Duh, jadi merepotkan Mbok, ya. Maaf Mbok semoga saya besok sudah sehatan ya," ujar Satria sambil menyodorkan mangkuk.

Mbok menggeleng. Ia menaruh mangkuk di meja panjang, kemudian menangkup tangan Satria yang bergemetar.

"Sakit ya, Den?" tanyanya pelan. Bibirnya menekuk ke bawah, alis setengahnya mengerut. Kerut muka terlihat lebih banyak dari biasanya.

Satria hanya diam. Sakit? Tentu sakit. Bohong kalau dia menyangkal.

Pemuda itu pun mengangguk. "Iya sakit, Mbok. Apalagi sedari kemarin."

Raut muka Mbok bertambah kalut. "Pascakasus kemarin ya? Tapi kan sudah dipenjara, Den. Masih sakit juga?"

Satria bingung menjawab. "Yang bersedih dan marah kan bukan seorang saja, Mbok. Banyak yang sedih. Banyak yang bertikai. Kadang membela, kadang menuntut. Belum separah yang dulu sih. Dulu sakitnya sampai ke tulang. Kalau ini sakitnya hanya di organ. Tapi nyut-nyutnya terasa."

"Apalagi di sini," Satria meraih dada kiri, "Sakitnya tuh di sini, Mbok."

Kain lap terlempar ke wajah tampan pemuda.

"Ih! Den bagus mah kalau diajak ngobrol, malah bercanda! Saya serius, Den!" tukas Mbok sambil menggebuk pundak Satria. Satria tergelak. Tapi lama-lama gebukan Mbok mantap juga.

"Aduh sakit Mbok! Udah!"

Mbok berkacak pinggang. Menyambar mangkuk, dan bergegas pergi ke dapur. Satria terkekeh. Ia pun setengah berteriak ke arah dapur, "Mbok! Aku mau sayur asem ya! Yang hangat biar mesra!"

Mbok menjerit kesal. Satria semakin tertawa lebar. Menggoda Mbok adalah tugasnya di kala ia terbaring sakit di rumah.

Tawanya mereda seiring tatapan matanya ke arah jendela. Terik siang menerpa ilalang di luar rumah. Suara anak kecil bermain petak umpat terdengar samar. Ibu rumahan berbelanja sayur di tukang sayur keliling, kasak kusuk berbincang gosip. Bunyi derum kendaraan hilir mudik.

Satria menatap kosong.

Segalanya terasa biasa. Tak ada yang terjadi. Tak ada kejadian yang patut dicemaskan. Tapi gemuruh di dada membuatnya sadar.

Bahwasanya di dalam tubuhnya terdapat pusaran masalah yang entah kapan akan bertandang. Mungkin tidak sekarang, esok ataupun berbulan setelahnya. Tak ada yang pasti. Hanya saja ia tahu bahwa keadaannya sekarang hanya menunggu badai datang.

Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Semoga pak Joko bisa bertindak sebelum pemilihan selanjutnya.

Ia pun mendesah lelah.

Mau tidak mau ia harus merasakan hal ganjil ini semua. Segala kesakitannya tak bisa disembuhkan dengan dokter atau obat belaka. Ia sakit bukan karena penyakit. Tubuhnya bergantung pada suatu keadaan.

Sebab ia bukanlah manusia. Ia bukanlah Satria Wilaga yang suka menggoda Mbok. Ia bukanlah warga Indonesia yang hidup di perumahan.

Ia adalah Indonesia.

.

Lieve Indië

Ikut ipennya PseuCom (Psodomi /bukan) di #IpenLaknatAgustus
saya ngetag kepala suku Harimau Alay jealoucy /sembah sujud
Mohon maaf kanjeng ratu baru aplot /nangos

Disclaimer: Axis Power Hetalia by Hidekaz Himaruya ; OC Indonesia by me ; Nama OC Belanda by me (Tapi wujud belandanya ngikut mas Hidekaz /yha)

Netherland (Belanda) x Indonesia
Romance + Sejarah (Proklamasi Indonesia)
Male x Male

Semua karakter tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan masing-masing negara ataupun karakter Hidekaz. Saya hanya meminjam. Tidak untuk dikomersilkan. Hanya dibuat untuk kesenangan dan untuk ikut ipen laknat.

.

Ia ada sejak zaman prasejarah. Diawali dengan Era Prakolonial, zaman kerajaan; Era Kolonial, zaman penjajahan; Era Kemerdekaan Awal, paska Proklamasi Kemerdekaan, jatuhnya Soekarno, Era Orde Baru, Era Reformasi, hingga sekarang.

Menilik lamanya, harusnya ia berumur jutaan tahun. Entah kutukan atau anugerah, ia tetaplah berbadan seorang pemuda. Walau saat zaman prakolonial, ia tumbuh dari bayi merangkak hingga remaja.

Saat ia ditakdirkan bertemu dengan Alfonso de Albuquerque, pelaut dari Portugis, seluruh kebebasannya terenggut paksa. Diingatnya sosok pemuda kulit cokelat rambut ikal bersedekap, Portugis, berdiri di belakang Alfonso. Ia memandang keji, bak mangsa mengincar buruan. Adiknya, Spanyol pun turut hadir dengan wajah beringas.

Rasanya seperti mimpi buruk yang berulang-ulang. Ketika terbangun, siksaan dijalani, kemudian tertidur kembali. Pagi hingga malam, siang hingga petang, tubuhnya terluka parah.

Tidak, ia tidaklah disiksa secara langsung oleh Portugis dan Spanyol yang menyekapnya di bawah tanah. Dengan sendirinya tubuhnya terkena sabetan dan dentuman. Kulit mengelopak, daging berceceran, juga darah menggenang. Setelahnya ia pun pingsan, namun saat terbangun, tubuhnya kembali pulih secara perlahan.

Sorak sorai peperangan terdengar di telinganya. Ia tahu, ia sangat tahu keadaan di luar sana. Ketika anak-anaknya mencoba mengambil alih, nyawa datang dan pergi, jeritan juga permohonan melengking. Tentu ia ingin membantu, tapi tubuhnya tak mampu.

Penderitaannya terus berulang hingga akhirnya dia datang.

Lelaki posesif, berengsek, pedofil, kutil—oke, yang itu bohong— dan lain sebagainya. Lelaki tak tahu diri. Lelaki biadab.

Si Kompeni.

Ya, Koninkrijk der Nederlanden. Netherland. Nether. Belanda. Ah, apapun itulah. Mengatakan namanya saja membuat muak dan mual. Hei, bukannya dia hamil ya. Dia memang memiliki anak, tapi bukan anak lahir dari perutnya!

"Den, ada telepon."

Mata cokelat tua mengerjap.

Bunyi deringan telepon di nakas dekat sofa, memekakkan telinga. Mbok yang menggenggam centong, menatap Satria dengan pandangan bingung. Ah. Benar juga.

"Halo?"

"Lama sekali, Mas Satria."

Satria menipiskan bibirnya. "Eh, Bapak..., Maaf tadi saya ke belakang."

Terdengar dengusan kentara. "Ndak usah bohong. Paling kamu melamun lagi, 'kan?"

"Hehe, ah Bapak tahu saja. Ada apa Pak menelepon? Bukannya mau berangkat ke Jerman? Bertemu sama si muka oranye 'kan? Titip salam ya, Pak. Maaf saya tidak bisa ikut serta. Titip salam juga sama kang Alfred. Saya kangen burger buatannya. Tapi saya lebih kangen fish and chips-nya mas Arthur sih. Tidak buat obesitas soalnya," ujar Satria panjang lebar. Di seberang telepon Bapak tertawa terkekeh.

"Kamu itu ya. Ada-ada saja. Enggak, saya mau tahu saja keadaanmu. Mbok bilang, kamu masih demam sama sakit satu badan ya?" ujar Bapak pelan. Satria melirik ke arah Mbok yang mencoba bersembunyi di balik tembok dapur. Sanggulnya menyembul, gagal total persembunyiannya.

"Iya, Pak. Sudah baikan kok. Ini buktinya saya bisa melawak 'kan?"

"Ya beda, toh," suaranya agak ditekan, aksen jawa medok terdengar. "Kamu juga. Bapak suruh pindah ke sini, malah ngeyel. Mintanya di perumahan terpencil dekat sungai. Kamu mau saya dimarahi petinggi gara-gara membiarkan kamu sakit?"

"Lah bukannya Bapak yang petinggi?" kekeh Satria.

"Ndaklah. Wong kamu toh. Kamu kan lebih dituakan dari saya. Wajahmu saja yang muda, kayak seumuran anak saya."

Satria tertawa sambil meluruskan kaki. Dia meringis kecil. Telepon di seberang berhenti berbicara.

"Sakit ya?"

Ah, ini lagi. Pertanyaan yang sama dengan Mbok.

Belum Satria menjawab, Bapak kembali berbicara, "Beban berat kamu tanggung. Padahal kamu terlihat rapuh. Bapak minta maaf ya. Tidak semuanya bisa Bapak kendalikan secara langsung. Butuh proses."

"Ah tidak apa-apa. Sudah biasa. Dulu lebih berat, rasanya badan tinggal tulang. Justru Bapak kan yang lebih rapuh? Cungkring begitu," jawab Satria kalem.

"Woo, deket Bapak ta' geplak kamu ya," jawa medok kembali terdengar, Satria tergelak, "Tapi ya tinggal tulang pun, asal mau bersatu padu, semua bisa teratasi. Kayak dulu, tujuannya satu, merdekalah kita."

Satria tersenyum kecil. Bapak yang satu ini memang pintar mengademkan hati. Terdengar kasak kusuk di seberang, suara orang lain terdengar. Gumaman setuju pun disuarakan Bapak.

"Saya harus pergi. Tadi saya titipkan surat untuk kamu ke ajudan saya. Balas suratnya ya. Dia menunggu, itu pesannya."

Alis hitam Satria mengerut bingung. Dia?

"Hati-hati Pak. Jangan lupa salam saya ya! Oh buat mas Feli dan Ludi juga, semoga langgeng."

Bapak tergelak, lalu menutup telepon. Tak lama bunyi ketuk pintu terdengar. Satria tergopoh-gopoh berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Pria tegap berdiri tegak di hadapannya.

Ajudan berjas hitam memberi hormat dan menyodorkan surat. Surat yang diberitahu Bapak. Satria pun mengangguk dan berterima kasih. Ajudan itu memberi hormat lagi, kemudian pergi menaiki motor.

Surat itu beramplop putih, tak bertulis atau bercap. Satria membolak-balikkan surat dengan pandangan aneh. Namun satu pemikiran membuatnya sadar.

Ah, sebentar lagi ya?

Dirobeknya amplop putih itu, dan dikeluarkannya surat di dalamnya dengan pelan. Tulisan rapi—Satria bahkan mengira tulisan itu ketikan— dengan tinta hitam ditorehkan di atas kertas bergaris tipis.

Tak ada nama pengirim surat, namun inisial di bawah surat membuatnya tersenyum. Ia tahu pasti siapa pengirimnya. Dulu ia jengah, bahkan sempat membuang surat berkali-kali.

Tapi Si Pengirim tidaklah putus asa. Surat itu tetap datang tiap tahun, mau tidak mau, suka tidak suka. Satria begitu mengutuk sikap pemaksanya, namun juga memujinya.

Surat itu selalu datang dengan kertas dan tinta yang sama. Dengan kata pengantar di bagian atas bertuliskan,

Lieve Indië

bersambung

.

.

A/N :

Lieve itu Dear untuk pengawal surat.

Hetalia adalah anime gag berisikan personifikasi negara-negara saat perang dunia. Yesh, Indonesia dan Belanda juga dipersonifikasikan ala saya. Alfred, Arthur, Feli dan Ludi juga personifikasi negara (Nama mereka official btw)

Alfred = Amerika

Arthur = Inggris

Feliciano = Italia

Ludwig (Ludi kalau Satria panggil) = Jerman

Sebisa mungkin saya juga menggunakan berbagai karakter asli di sejarah (kecuali Mbok)... saya bertumpu padamu, mbah gugel dan wikipedia /yha