Tale of Swan
.
.
.
Prolog
Lido Beach, Nassau, New York. Pukul 3 sore.
Tepat setelah benda metal beroda empat yang ia tumpangi tiba di depan sebuah gerbang besar nan tinggi—dan setelah dua lembar uang kertas terulur ke arah sang supir lalu diterima, ia lalu membuka pintu mobil taksi tersebut dan melangkah keluar.
Dengan baik hati, supir paruh baya tersebut membantunya mengeluarkan sebuah tas koper berwarna hitam yang selama satu jam perjalanan diletakkan di dalam bagasi. Ia mengangguk sekilas sebagai ucapan terimakasih—walau dengan wajah tanpa roman.
Kembali ia alihkan perhatiannya—kini tertuju pada sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tembok. Dari balik gerbang jeruji besi pagar tersebut, ia dapat melihat sebuah halaman yang cukup luas. Bangunan besar tersebut berasitektur modern dengan dindingnya yang didominasi dinding kaca. Bentuk dari setiap ruangan-ruangan yang menonjol didominasi oleh bentuk-bentuk persegi. Bangunan itu juga memiliki tiga buah lantai—membuatnya cukup terkesima.
Bangunan besar—yang adalah sebuah rumah, yang tengah ia tatap nyatanya berukuran nyaris sama besar dengan sebuah mansion dan sesuai perkataan pria pirang yang membuatnya berakhir di sini, bahwa terdapat lebih dari satu orang pernghuni yang berdiam di rumah tersebut.
Tiga orang? Lima orang? Entahlah, ia sendiri tak bisa memastikan dan setelah kembali memeriksa alamat yang tertera pada pilar gerbang—272 Blackheath Rd, ia lalu mendorong gerbang besi tersebut dan melangkah masuk sambil menyeret tas koper hitamnya, sedang tangannya yang lain masih menggenggam kartu nama milik pria pirang yang ia temui beberapa jam lalu di pusat kota.
Pria pirang dengan sebuah bekas luka di dahi dan mengenakan sebuah syal bermotif strip biru-putih yang baginya terlihat konyol sekali.
Ia hanya bisa mengatup kedua kelopak mata dengan kedua alisnya yang refleks menyatu—mengingat insiden yang terjadi siang tadi hanya membuat suasana hatinya memburuk karena jelas saja, bukan ini tujuannya jauh-jauh datang dari kota kelahiran ke Kota New York.
Namun di sinilah ia—Natalya Arlovskaya, yang baru saja tiba di New York, Amerika Serikat dari Kota Babruysk, Belarusia, di sebuah rumah besar di dekat Pantai Lido yang bahkan belum pernah ia kunjungi sebelumnya.
Ralat. Natalya tidak pernah melihat pantai sekalipun, bahkan hingga usianya yang baru saja menginjak kepala dua di bulan Agustus lalu. Nyatanya, Negara Belarus sendiri adalah sebuah landlock yang dikelilingi oleh wilayah negara-negara lainnya.
Setelah berjalan menaiki beberapa anak tangga menuju teras bangunan, ia lalu menekan bel. Wajah tak beroman miliknya memang masih nampak tenang—setenang-tenangnya air danau tak beriak—acuh tak acuh, namun ada kecemasan yang samar yang mulai terbit di dalam hatinya.
Menerka-nerka ia di dalam hati akan siapa yang menyambutnya di balik pintu kayu bercat hitam tersebut—dan tak lama, terdengar suara kunci pintu dibuka. Benda di hadapannya lalu perlahan bergerak memunculkan sosok pemuda berambut keperakan yang berpotongan pendek.
Roman pada wajah pemuda itu sulit dibaca, awalnya—dengan sepasang iris mata sewarna rubi, pemuda itu menatap Natalya dengan tatapan menilai. Kedua iris kemerahan itu bergulir dari wajah Natalya, bergerak turun hingga ujung kaki, lalu kembali menatap Natalya tepat di mata.
Kedua alis Natalya kembali menyatu mendapat tatapan penuh selidik semacam itu—ada yang ia tak suka dari tatapan itu, hingga sang pemuda berambut keperakan tersebut menyunggingkan seulas senyum miring.
Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringai tipis dengan kedua iris kemerahannya yang berkilat jahil—pula jenaka, suara pemuda itu yang cukup tinggi dan nyaring menyusul kemudian.
"Kau pasti gadis yang dimaksud oleh Willem, benar begitu?" tanyanya dengan penuh percaya diri. Kedua telapak tangannya lalu ditumpukan ke sisi pinggang. Wajahnya berubah roman—kini terlihat sedikit angkuh, "Siapa namamu tadi? Natalya Arlovskaya?"
Dan Natalya bersumpah bahwa ia akan pastikan dirinya sendiri untuk menjaga jarak dari pemuda ini—sungguh, sikap pemuda itu tampak begitu menyebalkan baginya.
Natalya tidak bersuara, sebuah anggukan singkat lalu ia berikan sebagai jawaban—dan pemuda berambut keperakan itu lantas tertawa nyaring.
"Kesesesesesese! Selamat datang!" ucapnya lalu mengulurkan satu tangan ke arah Natalya—Natalya hanya meliriknya tanpa benar-benar ingin untuk menjabat tangan pemuda itu, "Namaku Gilbert Beilschmidt, penghuni paling awesome di rumah ini."
Mendengar kalimat itu, benar dugaan Natalya bahwa penghuni rumah ini jelas lebih dari satu—namun tetap saja, ia tak bisa mengestimasi. Natalya lalu meraih tangan tersebut dan menjabatnya singkat.
"Natalya Arlovskaya," ucapnya pendek—lalu teringat oleh perkataan Willem lainnya. Ia lalu kembali bersuara—suara feminimnya yang bernada datar itu, "Dimana aku akan tinggal?"
"Huh?" Kedua mata Gilbert tampak melebar sekilas—seolah kaget oleh pertanyaan itu, yang lalu hanya terkekeh pelan, "Nah, soal itu. Tidak ada lagi kamar yang tersisa untukmu, kau akan tidur di dapur," tukasnya—membuat dahi Natalya seketika mengerut.
"Dapur?"
Gilbert mengangguk kemudian. Seringai pada wajahnya terlihat semakin lebar dengan tatapan berkilat jenaka, "Yep. Dapur." Wajahnya tampak disetel dengan roman menyesal yang dibuat-buat.
Natalya mengatup kedua belah bibirnya rapat-rapat—masih menatap ke arah pemuda bernama Gilbert tersebut. Willem memang sama sekali tak mengatakan perihal jumlah kamar atau apapun. Pria pirang bertubuh tinggi itu hanya mengatakan bahwa ia harus tinggal di rumah ini—dan Natalya sama sekali tidak menduga bahwa ia hanya kebagian spasi di area dapur.
"Aku yakin kau bisa melakukan hal yang lebih produktif lagi selain mengigaukan lelucon bodoh yang sama sekali tidak lucu itu, Gilbert."
Tiba-tiba sebuah suara terdengar—datang dari balik punggung Gilbert.
Baik Gilbert maupun Natalya, keduanya sama-sama dikagetkan oleh suara itu—yang diucapkan dengan nada angkuh dan tidak sabar.
Gilbert memutar tubuhnya sedikit—diikuti Natalya yang juga ikut melirik ke dalam rumah itu.
Di sana berdiri seorang pemuda lainnya—pemuda itu tampil cukup elegan, dengan langkah tenang menghampiri keduanya yang masih betah bercokol di depan pintu rumah.
Tatapan Natalya lalu bertemu dengan separang iris keunguan di balik lensa kacamata milik pemuda yang tak ia ketahui itu. Wajah pemuda itu nampak minim ekspresi namun terkesan dewasa dengan dibingkai sebuah kacamata. Natalya juga melihat setitik tahi lalat pada dagu kirinya.
Kontras dengan rambut keperakan milik Gilbert, pemuda itu berambut coklat gelap dan cukup panjang namun berpotongan rapi. Pakaian yang dikenakan pemuda itu juga berkebalikan dengan setelan kasual milik Gilbert—sang pemuda mengenakan sebuah kemeja dengan celana panjang. Cravat yang tersemat di area kerah kemeja pria itu juga sedikit memberikan kesan klasik.
Satu hal yang dapat Natalya simpulkan dalam keterdiamannya—pemuda berkacamata itu sepertinya seorang lelaki tipe konservatif.
"Namaku Roderich Edelstein. Aku juga salah satu penghuni di rumah ini," ucap sang pemuda berkacamata lalu melirik Gilbert di sisinya, "yang kurang beruntung karena harus bermukim satu atap dengan kera albino ini—"
"Hey! Apa yang kau katakan barusan, aristokrat bodoh?!" sela Gilbert yang tak menerima dikatakan begitu namun Roderich tampak tak peduli—Roderich lalu kembali menatap Natalya.
"Silakan masuk. Banyak hal yang perlu didiskusikan," ujar Roderich lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan masuk ke dalam ruangan, sedang Gilbert—kembali dengan seringai jenakanya, juga mengisyaratkan Natalya untuk segera masuk.
"Ayo," ajak Gilbert.
Natalya yang sedari tadi diam memperhatikan bahkan tidak sempat mengekspresikan rasa sebalnya—tercenung menatap pemuda-pemuda asing yang begitu kontras kepribadiannya itu.
Entah, apakah ia bisa selamat setelah ini.
.
.
.
To be continued.
