Dan akhirnya saya post juga fict ini...
Just... please enjoy. :D
SUMMARY:
Sekarang, hanya bocah dalam pelukannya itulah satu-satunya jangkar John ke kehidupan. Jika tidak karena bocah itu, dia pasti sudah menembakkan Browning-nya ke kepala empat tahun lalu.
DISCLAIMER:
Sherlock BBC Series dan semua karakter di dalamnya dimiliki oleh Steven Moffat, Mark Gattis, dan BBC One. I hereby vow that I don't get nothing but fun and pleasure to screw the characters' life a bit. :3 #dihajar
WARNING :
OC (basically ide kelahiran dia ini yang jadi headcanon saya =.=), OOC (obviously), angsty (my specialty), over-cute-kid (salahkan fict-fict family fluff yang saya baca di AO3! QAQ), slash SherlockJohn. Don't like don't read.
.
.
Keep your eyes fixed on me...
Darah. Darah menggenang di depan matanya, mengalir hingga menyentuh ujung sepatunya. Ia ingin berteriak. Tapi otot di tenggorokannya tak sedikitpun bergetar. Ia mencoba lari—menghampiri, bukannya pergi, ia ingin memeluknya sekali lagi, meski darah di tubuh itu sudah membeku dan tak mengalir lagi, meski tubuh itu sudah mati dan jiwa pemiliknya sudah pergi—tapi seluruh saraf tubuhnya mengkhianati.
Please, would you do that for me?
Tubuhnya serasa membatu. Jika tak bisa menghampiri, maka biarkanlah ia lari, pergi. Ia mohon. Ia tak sanggup jika harus menyaksikannya lagi. Lagi. Dan lagi. Ia tahu ini mimpi. Karenanya, ia mohon agar ia bisa pergi. Bangun. Tak harus melihatnya lagi.
Good bye, John...
.
.
Pria paruh baya itu terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat membanjiri tubuhnya. Jemarinya mencengkeram seprai erat—gemetar—sebelum melempar selimutnya yang tak lagi berada di tempatnya, terlempar ke mana-mana karena gerakan tak sadarnya selama tidur tadi, dan berlari ke lantai atas. Ke bekas kamarnya dulu, yang kini sudah berubah fungsi menjadi nursery—kamar anak-anak.
Tanpa menyalakan lampu, ia masuk dan meraup bocah berumur empat setengah tahun yang tertidur lelap di ranjang ke dalam pelukannya. Detak jantung dan kehangatan tubuh si mungil itu menenangkannya.
Bocah berambut ikal coklat kemerahan itu beringsut dalam tidurnya dan tak sampai sedetik kemudian, kelopak mata mungil itu membuka, menampakkan sepasang mata kelabu-biru-hijau yang mengantuk dan familiar—begitu familiar hingga terasa menyakitkan.
"Da?" si bocah bertanya dengan nada mengantuk.
John tersenyum tipis—merasa bersalah karena sudah membangunkan si kecil hanya agar bisa menenangkan dirinya, "Tidurlah lagi, Hamish."
"Ada apa?"
John hanya tersenyum, dengan kesedihan membayangi matanya. Dan terkutuklah si bocah jika tak bisa menyadari itu. Karena betapapun ia anak ayahnya yang mengklaim diri sebagai sosiopat, hampir seumur hidupnya ia dibesarkan oleh John, sosok yang diklaim si sosiopat sebagai hatinya—meski ia takkan mengatakan itu terang-terangan. Takkan bisa lagi. Karena ia sudah mati—dengan bodohnya bunuh diri dengan melompat dari atap St. Bart's.
"Da mimpi buruk?" Da—kependekan dari Dad—kata pertama yang diucapkan Hamish dan kini terus menjadi panggilan kesayangannya.
John yakin ayah si bocah akan sangat bangga jika tahu anaknya itu sudah bisa mendeduksi di umur sebegini muda—meski John sendiri tidak yakin apa benar yang dilakukan Hamish itu adalah deduksi, atau sekadar empati.
"Maaf, Da sudah membangunkanmu, Hamish. Tapi... Da kesepian. Kau mau menemani Da tidur?"
"Da... kangen Pa?" celotehnya dengan lidah yang masih cadel.
John tak bisa menggerakkan lehernya untuk sekadar menggeleng atau mengangguk—ia sudah keburu menenggelamkan kepala ke helai lembut ikal Hamish. Meski Hamish masih sangat kecil—tapi seperti yang tadi dibilang, bagaimanapun ia anak ayahnya—ia mengerti bahwa Da-nya merindukan Pa-nya. Pa, yang tak pernah ia kenal, yang katanya takkan pernah pulang lagi. Selamanya pergi. Dan Hamish membenci Pa-nya karena sudah membuat Da-nya seperti ini.
"Kita bobo di kamar Da, yuk?"
.
.
A Sherlock BBC Series Fanfiction
.
Sherlock BBC Series' character within ©Steven Moffat and Mark Gatiss
Sherlock Original Work ©Sir Arthur Conan Doyle
Hamish Irial Holmes ©sherry-me
.
NO REASON
First Chapter: A Kid With Two Fathers
.
.
"Hamish, hari ini kau ikut Da ke rumah sakit, ya?"
Hamish mengangkat kepalanya dari sekumpulan kertas gambar yang dicoretinya dengan krayon—masih baru, terlihat dari batangan krayonnya yang terlihat masih cukup utuh daripada yang dilihatnya dua hari lalu. Baru dibelikan Mycroft, jelas. Siapa lagi?
Mycroft Holmes, di luar dugaan semua orang, sangat memanjakan keponakannya. Ia praktis memberikan apapun yang Hamish perlukan dan inginkan: dari tabungan pendidikan, asuransi kesehatan, sampai lego dan tablet PC, tak peduli meski John tak terima. Bagaimanapun, Hamish adalah pewaris sah kekayaan keluarga Holmes setelah Mycroft. John memang wali bocah itu, tapi secara hukum Hamish berhak dimanja Mycroft dan dia tak bisa membantah hal itu.
Bocah bermata kaleidoskopik—persis ayah biologisnya, iris mata Hamish bisa terlihat kelabu, hijau bahkan biru tergantung dari cahaya di sekitarnya—itu menelengkan kepalanya manis.
"Granny Hudson sedang sakit, love. Jadi, tidak apa-apa kan, kalau kau ikut Da ke rumah sakit?"
Hamish merengut—berpikir, mempertimbangkan mana yang lebih membosankan: menemani Granny di rumah, ikut Da-nya ke rumah sakit dan terpaksa harus mendekam di Day Care atau meminta Da memanggil Uncle Mycwoft (sebenarnya Hamish sudah bisa mengucapkan huruf 'r' dengan benar, tapi dia hanya mau memanggil pamannya seperti itu, bukannya Mycroft protes, sih).
Pilihan satu langsung dicoretnya: way too boring! Pilihan tiga, coret juga: kemarin Uncle Mycwoft bilang akan pergi ke Asia hari ini dan itu jauh sekali, dia hanya akan berakhir di tangan nanny harian yang disewa pamannya dan itu akan lebih buruk daripada hasil akhir pilihan satu. Jadi...
"Okay. Aku ikut Da."
Hamish beranjak berdiri agak sempoyongan, keseimbangannya terganggu karena sebelah tangannya memegangi kertas gambarnya dan salah satu krayon tak sengaja terinjaknya. John bergegas menangkap putranya itu sebelum ia terjatuh.
Meski Hamish sangat pandai—jenius lebih mungkin sepertinya, John belum mengecek level IQ Hamish—bocah itu jelas tak suka kegiatan yang terlalu menguras tenaga. Mungkin karena dia tidak terlalu suka kegiatan di luar ruangan. Bocah itu lebih suka diam dalam ruangan: menggambar, membaca dan memainkan biola kecilnya dengan asal. Biola itu hadiah Mycroft di ulang tahun keempat Hamish yang membuat John meneteskan air mata saat melihat Hamish menggeseknya dengan riang. Postur bocah itu sembilan puluh persen mirip dengan postur ayah yang tak pernah dilihatnya saat memainkan biola jam dua dini hari).
"Good lad," John mengacak-ngacak rambut ikal Hamish, tersenyum, "Da akan mengambil tasmu. Apa saja yang mau kau bawa hari ini?"
"Buku gambar, krayon, dan..." oh, John, merasakan firasat buruk, "Da, Steve boleh dibawa?"
Oke, bukan salah John jika Hamish memiliki kelebihan yang satu ini: membuat orang-orang memenuhi semua permintaannya dengan tatapan mata kaleidoskopiknya dan suara manis-memelas-nya. Itu ada dalam darahnya. Dan, well, seorang bocah bergen silangan Sherlock Holmes dan Irene Adler takkan mungkin tidak memiliki kemampuan itu secara alamiah.
John berlutut, berusaha menyamakan tinggi—setidaknya merendahkan dirinya agar segaris tatap—dengan Hamish.
"Hamish Irial Holmes, kita—bukan, kau sudah berjanji pada Da dan Granny. Steve takkan keluar dari flat ini," John melirik ke arah Steve—tengkorak kesayangan Sherlock yang sekarang juga jadi kesayangan Hamish (omong-omong, Steve itu nama yang Hamish berikan) karena kelalaian John menceritakan betapa sayang-nya Sherlock pada benda tak bergerak itu, "Granny sudah memberimu toleransi untuk menaruhnya di kamarmu. Tapi tidak, Da yakin seratus persen dia takkan setuju kau membawa Steve keluar."
John masih ingat bagaimana Hamish menangis dalam diam, tanpa suara—tapi itu yang mengerikan karena Hamish hanya menangis tanpa suara jika ia benar-benar sedih—saat Steve hilang dari kamarnya, Hamish tak bisa menemukannya. John tidak tahu di mana sang landlady menyembunyikannya dan pura-pura tak tahu ke mana Steve 'pergi'. Tangis Hamish tak kunjung berhenti walau sudah dua jam berlalu, John sudah hampir putus asa menenangkan Hamish saat ia mendapat pesan singkat dari Mycroft di handphone-nya ("Sampaikan pada Hamish: jika tak mau memberikan Hamish tengkoraknya, aku berjanji akan membawakan tiga tengkorak untuknya di kunjunganku lusa.—MH"). Untungnya, memilih untuk muncul membawa Steve saat itu. Ia bilang ada kucing nakal yang membawa Steve pergi dan ia menemukan Steve di koridor bawah gedung 221 Baker Street—yang sama sekali tidak dipercayai Hamish karena Hamish yakin TIDAK ADA jejak ataupun bulu kucing di kamarnya dan dia sudah mencari di koridor bawah dan tidak menemukannya (deduksi di umur empat tahun, John sangat bangga dan DI Lestrade memutar bola matanya saat membacanya di blog John). Hamish berteriak senang saat tengkorak itu kembali ke tangannya. Sejak saat itu mereka bertiga membuat perjanjian: Steve akan tetap ada di kamar Hamish, selama Hamish tidak nekat membawa Steve ke manapun ia pergi (Oh, well, selimut kesayangan itu hal yang manis untuk dimiliki balita, tapi tengkorak kesayangan? Hell, no!)
"Kau tahu arti kata toleransi kan, Hamish?"
"Artinya Granny sudah memikirkan kemauanku, dan walau itu membuatnya sebal, Granny melakukannya karena Granny menyayangiku."
John tersenyum. Hamish terkadang memang terlalu pintar untuk kebaikannya sendiri.
"Touché, young man," John mengacak-acak rambut Hamish, "Sekarang, ayo kita ganti baju. Da harus sampai di rumah sakit dalam 90 menit dan itu berarti kita harus siap dalam 30 menit."
Hamish diam. John memutar matanya—bocah kesayangannya itu merajuk.
"Fine, Hamish. Kita buat kesepakatan baru," John meraup Hamish dalam gendongannya, " Kau memang takkan bisa membawa Steve, tapi, well... kau bisa membawa Beebee dan biolamu, are we good?"
Beebee, boneka lebah seukuran lengan bawah orang dewasa yang menjadi teman tidur Hamish.
Hamish menggeleng, "Bit not good, Da. Aku mau membaca Encharta."
John tersenyum dan mendesah—sudah amat sangat terbiasa dengan fakta bahwa tidak mudah berkompromi dengan seorang Holmes—sebelum mengangguk, "Baiklah. Kau boleh membawa tablet hadiah pamanmu Natal lalu. Deal?"
Hamish nyengir—and he is goddamn-similar-to-his-father like that—dan mengecup pipi Da-nya, "Deal."
Kenyataannya, membutuhkan tepat empat puluh delapan menit untuk mereka berganti pakaian, mengepak keperluan Hamish—perlu usaha ekstra untuk menarik keluar Beebee dari bawah tempat tidur Hamish, memakaikan Hamishh mantel—sekarang musim dingin, by the way—dan mengunci pintu flat sekaligus gedung. Dan akibatnya, meski John sudah berlari ke tube stop terdekat—Hamish aman dalam gendongannya—mereka terlambat naik tube ke arah rumah sakit, padahal tube berikutnya baru datang 15 menit lagi. John mendesah, memutuskan untuk naik taksi saja—Hamish tampak muram, sadar bahwa Da-nya akan terlambat berangkat kerja karena dia—dan berjalan keluar dari tube stop tepat saat sebuah limosin hitam berhenti di depan mereka.
Wajah Hamish praktis berbinar saat pintu mobil hitam itu terbuka. John mengernyitkan dahinya.
"Uncle Mycwoft!"
"Dr. Watson. Hamish. Kebetulan yang menyenangkan," Mycroft bahkan tak keluar dari limusinnya untuk menyapa mereka, "Kusimpulkan kalian butuh tumpangan?"
John melirik jam tangannya—kurang 30 menit lagi—dan melirik Hamish yang tampak senang bertemu pamannya. Oh, well, oke.
"We are. Selama kau tidak menarik biaya tumpangan."
John masuk ke limosin setelah membiarkan Hamish turun dari gendongannya dan duduk manis di sebelah pamannya.
"John, adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk memperlakukan para veteran dan anak-anak dengan baik," Mycroft mengutarakan fakta—meski terdengar seperti sekadar beralasan di telinga John.
"Uncle tidak jadi ke Asia?" tanya Hamish, penasaran—siapa tahu dia masih bisa kabur dari Day Care.
"Pesawatnya berangkat sejam lagi, Hamish. Aku masih punya waktu."
Mycroft tidak tersenyum—The Iceman, ingat?—tapi nada suaranya yang jauh lebih lembut daripada biasanya mengindikasikan ada senyum tak nampak di sana.
"Jadi karena itu kau melacak kami dan memutuskan untuk memberikan kami tumpangan? Lovely," John tersenyum, dan sepertinya Mycroft mendengar itu sebagai sindiran.
Alis pegawai minor—katanya—pemerintah Inggris itu naik sebelah, "Kau tidak percaya meski aku sudah bilang ini kebetulan?"
"Kebetulan tidak berlaku untuk kalian, The Holmeses. Aku tahu benar hal itu, Mycroft."
Sorot mata John lembut, teduh, hangat sekaligus menyembunyikan setitik kepedihan dan Mycroft tahu jelas kenapa.
"Mengingkari kepercayaanmu, John. Aku tidak selalu tahu segalanya."
John menatap Mycroft lurus lantas sedikit menelengkan kepala, gestur yang berarti 'benarkah?'. Mycroft menarik bibirnya, bukan tersenyum, berarti 'bisa kita membicarakan hal lain?'.
"Uncle pergi lama?" tanya Hamish lagi, tak peduli dengan tensi aneh antara Uncle dan Da-nya.
"Hanya empat hari, Hamish. Masalah di perbatasan Korea terlalu pelik untuk diselesaikan dalam sehari-dua hari," jawab Mycroft kasual.
John sama sekali tidak mau tahu dengan apa yang mungkin terjadi di Korea sampai Mycroft harus datang ke sana. Tidak, dia tidak penasaran.
Kehidupan mengajarkannya bahwa terkadang ketidaktahuan itu adalah berkah. Lebih baik tidak tahu dan hidup tenteram daripada tahu dan terlibat dalam hal yang tidak dinginkannya. Oh, well, dia memang seorang danger-seeker dan adrenaline-addict tapi dengan keberadaan Hamish kini? Dia tak mau membuat Hamish menjadi yatim piatu lagi.
Melihat Hamish terlibat percakapan dengan Mycroft, John mengalihkan pandangan ke interior kendaraan yang ditumpanginya. Seperti biasa, di atas kulkas mungil berisi sampanye tampak sepiring biskuit dan sepoci teh beserta cangkirnya. Sementara di sebelah tempat duduk Mycroft bertumpuk beberapa koran.
Headline koran yang ada di tumpukan paling atas itu menarik perhatiannya. "Pengakuan Gembong Senjata Api Sisilia: Kami Anak Buah Jim 'Richard Brooke' Moriarty". Di bawah headline dan berita utama, tampak beberapa artikel pendukung. Salah satunya "Sherlock Holmes: Tak Bersalah?".
John memejamkan matanya. Sherlock...
Akhir-akhir ini makin banyak artikel kontroversial tentang detektif konsultan yang satu itu. Bukan artikel yang menuduhnya penipu seperti empat tahun silam melainkan artikel-artikel yang mendukungnya, yang percaya bahwa ia tak bersalah. Di internet pun gerakan 'I Believe Sherlock Holmes' makin banyak pendukungnya meski John sama sekali tak ikut campur. Bukannya ia tak bersyukur dan tak senang dengan segala reaksi positif itu. Ia masih sakit hati dengan perlakuan media massa pada pria itu empat tahun silam.
Hamish, yang melihat arah pandangan Da-nya, mengikuti arah tatapan John. Merengut, ia bisa membaca dan tahu jelas yang tertulis di koran itu adalah nama Pa-nya, turun dari pangkuan Mycroft dan beralih ke John. Ia memanjat kaki John, minta dipangku. John terkekeh dan mengangkat bocah itu ke pangkuannya. Hamish mendongakkan kepala dan menepuk-nepuk jaket John. John, mengerti bahwa Hamish berusaha menghiburnya, menguburkan hidungnya ke helai ikal gelap Hamish.
Mycroft hanya diam melihat itu semua. Meski meremehkan sentimen, ia bisa mengerti pentingnya gestur di antara John dan Hamish itu. Dia sudah paham untuk diam saja saat ayah dan anak angkat itu saling menghibur diri.
Tepat saat limusin berhenti di depan A&E, ponsel pribadi Mycroft—yang ada di saku celana, dan bukan yang ditaruhnya di atas koper di sebelah tumpukan koran—bergetar. Mycroft berusaha tak mengacuhkannya.
"Here we are," John mengangkat kepalanya lantas tersenyum pada bocah di pelukannya, "Ucapkan sampai jumpa pada Uncle-mu, Hamish."
Hamish turun dari pangkuan John dan kembali ke Mycroft, memeluk pamannya, lantas bergumam, "See you, Uncle."
Mycrofy menepuk puncak kepala Hamish, "Sampai jumpa, Hamish."
"Hati-hati di jalan, Mycroft," ucap John setelah ia keluar dari limusin, Hamish di gendongannya melambaikan tangan pada Mycroft.
"Kau juga," Mycroft mengangguk kecil lantas menutup pintu dan memerintahkan supir untuk segera ke Heathrow.
Begitu pintu tertutup, John dan Hamish lenyap dari jarak pandangnya dan limusin kembali ke jalan raya, Mycroft menarik keluar ponsel dari sakunya celananya.
I will arrive in London in two hours. SH
Tak terkejut dengan pesan yang diterimanya, Mycroft mengetikkan pesan balasan.
Don't wander around. Stay in my town house. Or in a hotel. Wherever but Baker Street. MH
Tak sampai semenit, balasan kembali datang.
I'm not stupid, Mycroft. I will not come home without any preparation. Just piss off. SH
You have proven yourself that sometimes you could be stupid, my little brother. MH
Mycroft menghela napas. Ia berharap adiknya yang tidak mati itu bisa menahan diri untuk tidak buru-buru menampakkan diri di hadapan blogger-nya. Ia tak bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan John bila ia tahu bahwa selama ini bekas teman seflatnya itu masih hidup dan Mycroft tahu tapi tidak memberitahunya. Mengingat reaksinya sebulan setelah pemakaman dulu—salah satunya mengusap-usap pelatuk Browning-nya—Mycroft hanya bisa yakin bahwa dokter tentara itu akan bereaksi sama kuatnya atas resurjensi adiknya.
Don't do anythng stupid now, Sherlock...
.
.
Bersambung...
Review, please? :D
Luv,
sherry
