Oke, ini Fic DenNor pertama saya yang akhirnya bisa direalisasikan, karena jelas berawal dari ide mengawang waktu tanpa sengaja terdampar di Y*ut*be dan sampai di salah satu fanvid DenNor yang masih saya suka sampai sekarang…

Jadi maafkan saja kalau ada beberapa typo dan referensi yang kurang memadai, karena ini nyari referensinya juga cukup mendadak dan hanya bersumber dari Internet jadi silahkan perbaiki saja jika para pembaca sekalian memiliki bukti yang pasti… Terima kasih sebelumnya… *bows*

Sebelum saya berbuih lebih panjang lagi kita mulai saja ceritanya, oke? Kayanya ga ada warn karena baru kali ini ga kepikiran buat angst atau tragedy, tapi tema itu tetep bakal nyelip kok… so enjoy it and please don't forget to review my story~

-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-


Musim dingin yang kembali terlambat datang di Eropa. Seorang pemuda bersurai emas duduk menunggu di bangku taman, tangan bertumpu pada tungkai sembari maniknya yang sewarna laut selatan mengamati gerakan jarum jam di seberang taman. Sesekali desahan lamat nan berat terdengar dari bibirnya yang bergetar dan pucat akibat suhu udara yang diawali tanda minus didepannya. Uap air yang dihangatkan oleh suhu dalam rongga mulutnya segera bertabrakan dengan udara dingin di luar ruangan setiap ia berdesah, seketika membuat hembusan embun putih dari sudut bibirnya. Sesekali sang pemuda saling menggosok kedua telapak lengannya, berusaha membuat buku-buku jarinya tidak membeku dan mengembalikan aliran darah yang mungkin tersumbat ke arah kapiler lengannya.

Sudah cukup lama ia duduk termangu di tengah taman yang mulai temaram. Bukan karena hari sudah petang, namun langit siang ini berwarna kelabu akibat awan yang bergumul menghalangi cahaya Sang Surya yang sedikitnya bisa membantu menaikkan suhu beberapa derajat Kelvin. Apa yang sang pemuda tunggu nampaknya belum terlihat. Ataukah ia memang tidak sedang menunggu, melainkan duduk disana sembari menghabiskan waktu panjang tak produktif di bulan-bulan musim dinginnya? Batin pemuda itu tak bisa menjawabnya, yang bisa ia lakukan hanyalah kembali mengamati lengan waktu sembari sesekali menggeser posisi lengannya yang mulai kaku akibat dingin yang menusuk.


"Hei, Norge!"

Seruan yang datang dari seorang Mathias Køhler segera bergaung di tengah hutan yang terselimut salju di kaki pegunungan tempat tiga pemuda tengah membangun tenda untuk bermalam. Remaja lelaki yang namanya disapa hanya memalingkan wajah dingin ke arah sumber suara, mengenali sosok yang memanggilnya, dan kembali mengarahkan perhatiannya pada pancang tenda yang tengah dipakunya ke tanah bersalju, sama sekali tidak menjawab maupun memperhatikan sang penyapa. Sang penyapa, Matt, hanya bisa terkekeh pelan menyadari sapaannya dibalas dingin. Inginnya ia menambahkan lambaian penuh semangat pada sapaannya tadi, namun tumpukan kayu bakar kering yang sudah susah payah dicarinya di tengah hutan bisa jatuh ke atas salju dan membuat usahanya tadi sia-sia. Sembari memeluk potongan ranting pohon ek yang sudah berhasil ia kumpulkan Matt berlari kecil ke arah dua pemuda lain, menyimpan tumpukan ranting di dalam tendanya yang sudah berdiri tegak lalu duduk di atas potongan akar pohon cemara yang baru ditebangnya beberapa jam yang lalu agar tidak mengganggu tenda mereka. Pemuda ketiga yang kini duduk berjongkok dihadapannya hanya mengangkat wajah untuk mengenali siapa yang datang, dan kembali fokus menjaga api unggun yang menari lembut hasil kerja kerasnya beberapa menit yang lalu.

"Kau sudah dapat kayu bakarnya?" tanya sang pemuda ketiga dengan aksen yang terdengar aneh di telinga Matt. Terdengar seperti orang yang berbicara dengan bahasa slang[1], pikirnya.

"Sudah. Cukup sulit mencari ranting yang tidak tertutup salju, tapi setidaknya aku masih dapat yang cukup kering untuk api unggun." Jawabnya dengan seringai khas yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Sang pemuda bermanik safir dihadapannya hanya mengangguk dan kembali mengamati lidah rubi yang sesekali memercikan bunga api dihadapannya.

"Tenda ketiga sudah selesai. Sebentar lagi aku akan memasak makan siang untuk kalian."

Suara pemuda kedua yang baru saja selesai mengokohkan pancang tenda terakhir terdengar dari balik punggung Matt. Refleks Matt menggeser duduknya, memberi tempat bagi sang pemuda untuk duduk dan beristirahat.

"Tak[2], Nor. Aku juga sudah selesai mengurus rusa betina yang tadi Sve tangkap dan menyimpannya di dalam tendamu. Omong-omong apa kita akan bermalam disini?"

Pemuda kedua bersurai brunette yang akhirnya memilih duduk di samping Matt alih-alih berjongkok di atas salju hanya menengok dingin ke arah lawan bicaranya dan mengedikkan bahu, jawaban singkat yang berarti ia belum memastikan jawabannya.

"Berhenti memanggilku Norge, Bror[3]. Kita hanya bertiga disini."

Akhirnya sang pemuda kedua angkat bicara, membuat Matt terkekeh pelan.

"Tapi aku sudah terbiasa memanggilmu dan Sve—Berwald seperti itu. Kau juga selalu memanggilku Bror. Kalau begitu panggil aku Matt agar kita impas—"

"—Bror."

"Ugh, aku menyerah…— "

Senyum samar yang terukir di bibir Berwald Oxenstierna, sang personifikasi dari Negara Swedia, atau dalam bahasa Nordic disebut Sverige, mewarnai perseturuan dua sosok personifikasi dari Negara Denmark dan Norwegia dihadapannya. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya sang personifikasi Denmark mengalah dan memilih membantu menambah kayu bakar agar satu-satunya sumber kehangatan mereka di tengah hutan yang hampir membeku tidak padam.

Setelah melihat lawan adu bibirnya menyerah, Lukas Bondevik, sang personifikasi Norwegia pun meninggalkan kedua pemuda lain di depan api unggun untuk mulai meracik bumbu makan siang mereka. Ia berjalan santai sembari sesekali mengajak makhluk astralnya berbincang. Makhluk astral itu, yang dipanggil Lukas sebagai Nisse[4], memiliki penampilan serba tembus pandang dengan aura hijau menyesakkan yang selalu berhasil membuat Matt pucat pasi, sesak napas dan menjaga jarak tidak kurang dari sepuluh meter dari Lukas.

Senjata andalan yang sering dikeluarkan sang Norway jika ia dalam posisi terdesak saat beradu mulut dengan sang Raja Scandinavian[5].

Di hadapan api unggun, tidak terdengar maupun terlihat oleh Lukas karena sosok yang disebut sedang memunggungi tenda, Berwald membuka percakapannya bersama Matt. Percakapan yang selalu terkesan satu pihak karena Berwald jarang berbicara lebih dari tujuh kata, kalau Matt tidak salah hitung.

"Apa keputusan Ratumu sudah bulat?"

Topik yang sama sejak sebulan terakhir. Matt hanya bisa mendesah pasrah dan mengangguk hampir tak kentara.

"Ya… aku tidak bisa menyanggah… keinginan beliau. Ini semua berawal dari pernikahannya dengan atasanmu[6]…"

Berwald tidak membalas perkataan Matt yang terdengar seperti menyalahkan dirinya. Ia tahu sebenarnya Matt sangat senang akan pernikahan Ratunya dan Raja Haakon VI yang merupakan atasan dari Sverige. Namun keputusan tiba-tiba yang datang dari sang ratu cukup membuat trio Viking[7] itu mengangkat sebelah alis yang mengekspresikan keterkejutan mereka.

"…jangan bilang kau… tidak setuju dengan keputusan beliau?"

Kini pernyataan berubah menjadi pertanyaan. Matt mengartikan diamnya Berwald sebagai rasa tidak sukanya akan titah bagindanya. Jangan salahkan dirinya, karena pemuda di hadapannya memang cukup sulit ditebak akibat ekspresi wajahnya yang sedatar cermin, dan terkadang hanya bisa memantulkan ekspresi insan yang menjadi lawan bicaranya atau situasi di sekelilingnya saja.

"Tidak, bukan begitu. Aku setuju saja. Itu lebih baik untuk kita bertiga."

Jemari Matt yang terkepal melurus satu-persatu, menghitung setiap kata yang keluar dari bibir lawan bicaranya. Dua belas kata. Cukup memecahkan rekor.

"Hm? Begitu menurutmu? Aku tidak bisa memaksa, kalau kau tidak setuju katakan saja. "

"Aku setuju karena aku tahu ini yang terbaik."

Delapan kata. Kemajuan bagi sang Sverige. Inginnya Matt mengajaknya berbincang lebih lama, namun nampaknya Noru sudah selesai meracik daging calon sup dan rusa panggang untuk makan siang mereka. Insan kedua yang memiliki kamus ekspresi yang kurang memadai, pikir Matt saat ia melihat Lukas yang menyimpan panci besar berisi air diatas api unggun. Kayu bakar baru berderak saat mulai menghangus dilalap api, sementara Lukas memilih kembali duduk di samping Matt, dengan wajah yang sama datarnya seperti sebelumnya. Mengapa ia harus dikelilingi sosok yang untuk berbicara atau berekspresi saja membutuhkan usaha yang seimbang dengan berburu rusa jantan?

"Apa yang kalian bicarakan?"

Pertanyaan yang terlontar tiba-tiba dari pemuda brunette. Sang Danmark hanya bisa memandang sekilas Berwald, mendesah berat dan memainkan tongkat dari kayu ek yang dipakainya untuk membenarkan letak kayu bakar baru. Menyadari menyembunyikan percakapan mereka dari sang negara yang terkenal bisa membaca hati dan menghantuimu dengan berbagai macam mitos mengerikan se-Skandinavia bukanlah pilihan yang tepat akhirnya Matt angkat bicara.

"Kalmar Union[8]… Itu yang kami bicarakan tadi."


Kedua lengan waktu yang ada di seberang taman sama-sama menunjuk angka satu. Matt mendesah berat untuk yang kesekian kalinya. Lengannya merogoh ponsel yang ia simpan di saku jas hitam panjangnya. Pukul 13.13, karena ponselnya memakai sistem 24 jam. Angka yang cantik, pikirnya. Maka ia tidak menyia-siakan kesempatan emas dua puluh empat kali sehari ini dengan segera memanjatkan doa pendeknya.

Semoga apa yang diinginkannya detik ini dikabulkan oleh Sang Penguasa.

Doa yang sederhana, namun sangat tepat bagi sang pemuda saat ini. Karena bahkan ia tidak tahu apa yang diinginkannya saat ini. Hati dan pikirannya benar-benar kosong, hampa. Seakan ada sesuatu yang hilang diambil dari ruang hatinya yang semula penuh. Secuil kepingan berharga yang sulit ia lupakan.

Jingle yang terasa tak asing di telinganya seketika bergema, menjadi latar suara di taman tempatnya merenung. Jingle Bells. Mars yang selalu berkumandang tatkala waktu Natal menjelang. Kekehan kecil terlontar dari bibir pemuda pirang, menyadari kebodohannya. Kembali ia melihat layar ponselnya, namun kini matanya sedikit menerawang ke bawah, mencari letak penanda tanggal. 24 Desember, 2012. Hei, ini Christmas Eve. Pantas taman yang semula sepi kini mulai ramai didatangi keluarga ataupun pasangan yang menghabiskan waktu Natal bersama dengan orang terkasihnya. Beberapa jam lagi lampu hias mulai menyala, dan pasti saat itu ia mulai bisa merasakan suasana Natal yang mengental di kota tercintanya, Copenhagen. Air wajahnya menunjukkan kepasrahan dan kekecewaan yang semakin menumpuk.

"Nampaknya kau sedang tidak sehat, Køhler."

Sapaan yang mendadak sampai di telinganya membuat Matt hampir menjatuhkan poselnya ke tanah. Dengan raut wajah yang merupakan hasil campuran terkejut, sedikit kesal dan bingung Matt mengangkat wajahnya dan menemukan sosok yang tak asing berdiri di hadapannya dengan segelas bir kalengan dan wajah yang cukup bersemu merah akibar bir dan suhu yang semakin mendingin.

"Ludwig! Sedang apa kau disini? Berlibur?"

Alis Matt berkeriut sementara sang personifikasi Jerman tersebut duduk di sebelahnya, kembali menyesap bir favoritnya sebelum angkat bicara.

"Mengawasi jalannya pembangunan jembatan yang selalu kau tanyakan setiap bertemu denganku[9]. Daripada langsung pulang ada baiknya aku mengunjungimu, dan tebakanku tidak salah kalau kau memang ada disini, di Copenhagen."

"Dan kau juga menebak aku ada di taman ini? Hebat…"

"Tidak juga, awalnya aku berniat berkunjung ke rumahmu tapi— "

"Luuudwiiiiiiig~"

Sapaan yang tidak diarahkan padanya kembali membuatnya kaget. Siapa lagi kali ini? Cukup banyak juga yang mengunjungi "dirinya" malam ini.

"Feliciano! Sudah berapa kali kubilang agar kau berhenti berteriak memanggilku di depan umum?"

Intensitas semu merah di wajah pemuda pirang di sebelahnya semakin bertambah. Matt sudah cukup menduga bahwa Ludwig tidak sendiri di kotanya. Tapi sosok personifikasi Negara Pasta itu yang cukup diluar dugaan Matt. Sebenarnya ia sudah tahu hubungan kedua sosok personifikasi itu, namun ia tidak menyangka bahwa Ludwig akan mengajak Vargas, maksudnya Feliciano jauh-jauh ke kotanya. Well, walau jaman sekarang sudah ada pesawat terbang sekalipun jarak dari Italia ke Denmark cukup jauh bukan?

"Bersama Pasta Lover, eh? Hej, Feliciano. Bagaimana kabarmu?"

"Baik, vee~ Eh, apa Mathias sendirian disini? Dimana, umm… anggota Nordik yang lain?" Tanya sang pemuda brunette polos sembari melambaikan lengannya penuh semangat membalas sapaan Matt. Matt hanya tersenyum kecut.

"Di rumah masing-masing, tentu saja. Aku sendirian disini."

Menyadari suasana yang entah mengapa mendadak menjadi tidak enak akhirnya Ludwig ikut angkat bicara.

"Ah, uhm… sepertinya aku harus menjelaskan mengapa Feliciano ada disini. Sebenarnya tadi pagi saat aku melihat pembangunan jembatan aku ditelepon olehnya, menanyakan aku ada dimana dan apakah aku kosong. Saat aku jawab aku ada di sini dan memang sedang kosong selain mengecek pembangunan jembatan tiba-tiba ia memutuskan untuk segera kemari."

Feliciano mengangguk senang. Ia menunjukkan waffle hangat yang baru dibelinya dari toko kue di sebelah taman.

"Aku memutuskan untuk menghabiskan liburan bersama Ludwig, tapi ia masih di rumahmu, jadi kupikir lebih baik aku menyusulnya, rupanya saat aku datang ia baru bilang bahwa urusannya hanya sebentar, vee~ Jadi aku membeli waffle ini sebelum kembali pulang, dan ternyata Ludwig mengenali sosokmu saat kita melintasi taman. Sayang sekali aku tidak bisa menghabiskan malam Natal bersama denganmu, tapi fratello bisa marah kalau aku tidak pulang, vee~"

Ludwig yang mendadak melempar pandangan yang berarti, 'Siapa yang bilang aku akan menginap di rumahnya Matt?' pada Feliciano membuat Matt menahan tawanya. Memang unik kedua pasangan di hadapannya ini. Walau begitu mereka saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga hubungan mereka semakin erat seiring berjalannya waktu.

Mengingatkan dirinya pada sesosok pemuda yang ditunggunya.

"Memang lebih baik kau pulang, Feliciano, Ludwig. Jika malam ini White Christmas aku bisa memastikan suhu disini bisa membekukan buku-buku jarimu sebelum kau sempat menyalakan pemanas. Mungkin esok lusa aku akan bermain ke rumah Ludwig untuk merayakan Natal bersama, bagaimana?"

"Uhm~ ide yang bagus! Aku akan mengundang Spain-niichan, fratello serta yang lain. Bagaimana kalau kita mengadakan pesta Natal? Walau terlambat tapi kita bisa merayakannya bersama~"

Ludwig hanya bisa mendesah pasrah, bukan karena ide Matt, melainkan ide Feliciano yang tiba-tiba. Tapi Matt hanya bisa terkekeh pelan dan mengangguk penuh semangat disertai seringai khasnya.

"Kau benar. Yang penting kita bersama… ya? Jadi kalau rencananya tidak batal hubungi aku saja, oke? Aku akan membantumu menyiapkan pestanya sehingga menjadi lebih meriah!"

Feliciano mengangguk penuh semangat, sedang Ludwig hanya bisa tersenyum samar walau dalam hati ia bingung bagaimana mengumumkan pesta dadakan itu pada negara-negara lainnya, terutama yang paling dekat seperti Austria dan Swiss. Terutama Swiss, karena ia tidak senang jika salah satu tetangganya membuat keramaian tanpa seizinnya. Merepotkan, tapi ia tidak merasa keberatan karena ia pun sebenarnya menikmatinya.

"Ajak juga yang lain, maksudku keempat anggota Nordik yang lain, oke?"

Matt hanya bisa mengangguk kecil sembari tersenyum mengiyakan. Setelah berbincang cukup lama dan menyadari hari semakin gelap akhirnya kedua personifikasi itu undur diri dan pamit untuk kembali ke rumah Ludwig karena lebih dekat. Dengan lambaian tangan dan senyum lebar Mathias mengantar kepulangan tetangga dan kawannya tersebut sebelum akhirnya ia kembali tenggelam dalam lamunannya. Pukul 15.16. Ia melewatkan dua keajaiban yang ditawarkan Tuhan padanya. Mungkin dua kesempatan emas itu telah dibayar oleh pertemuannya dengan dua sosok yang dianggapnya sebagai kawan dekatnya, terutama Ludwig karena baik dirinya maupun sang pemuda sering mengunjungi rumah masing-masing. Namun itu berarti ia mengurangi kesempatannya untuk mendapat keajaiban sebelum pukul 00.00 tepat nanti.


Sedikit penjelasan yang mungkin bisa membantu :

[1] : Bahasa informal. Biasanya dalam bentuk disingkat atau tidak menggunakan kata baku. Di sini maksudnya perkataan Sve terdengar seperti orang yang menyingkat kata-kata yang dia ucapkan, mirip seperti di Anime-nya.

[2]: Thanks dalam bahasa Danmark.

[3]: Brother dalam bahasa Danmark.

[4]: Salah satu makhluk halus dalam mitos Skandinavia. Sering dideskripsikan terlihat mengawang di balik punggung Norge.

[5]: self proclaimed dari Danmark mengenai negaranya sendiri. Sebenarnya tidak terlalu salah karena dulu Danmark sempat menaklukan Sverige dan melakukan unifikasi dengan Norge, dan memiliki wilayah yang mencakup Greenlad, Iceland, dan Kepulauan Faroe.

[6]: Setelah pernikahan Queen Margaret I of Denmark dengan Haakon VI of Norway and Sweden pada umurnya yang kesepuluh, ratu Denmark tersebut berakhir memiliki ide untuk mempersatukan ketiga negara yaitu Danmark, Sverige dan Norge menjadi satu negara unifikasi yang masih memiliki kedaulatannya masing-masing, namun tampuk pemerintahan masih dipegang oleh salah satu monarki (yang nantinya banyak dipegang oleh Denmark dan Holstein).

[7]: Merupakan istilah untuk penjelajah, ksatria, pedagang, maupun perompak yang menaklukan, melakukan hubungan dagang serta mengeksplorasi area-area di benua Eropa, Asia dan Atlantik Utara di akhir abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-11. Bangsa Norse sendiri merupakan bangsa "dari Utara" atau bangsa yang menggunakan bahasa Norse kuno milik Jerman Utara. Bangsa ini terdiri dari penduduk-penduduk Norwegia, Iceland, Kepulauan Faroe, Swedia serta Denmark.

[8]: Merupakan istilah untuk menyebut unifikasi personal yang menyatukan ketiga kerajaan, yaitu Denmark, Norwegia (yang nantinya meliputi Iceland, Greenland dan Kepulauan Faroe) serta Swedia (yang nantinya meliputi Finlandia) dalam sebuah monarki.

[9]: Jembatan yang dimaksud yaitu Fehmarn Belt Fixed Link, yang direncanakan rampung pada tahun 2021. Rencananya jembatan ini akan menghubungkan tepi pantai pulau Fehman di Jerman dengan pulau Lolland di Denmark. Dalam salah satu edisi Birz dijelaskan bahwa Denmark selalu menanyakan perkembangan pembangunan jembatan ini setiap ia bertemu Jerman.