"Tidak mungkin…" Sakura Haruno menutup mulutnya, matanya membelalak sempurna. "INOOOO!"

Ino Yamanaka hampir saja menjahit tangannya sendiri ketika mendengar teriakan Sakura dari kamar mandi. Perempuan itu meninggalkan jahitannya begitu saja, lalu segera mendorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dikunci oleh temannya itu.

"Apa?"

Sakura mengangkat test pack yang digunakkannya. Dua garis merah membuat mata Ino sama besarnya dengan Sakura sekarang.

"Kau gila, ya?! Kau tidur dengan siapa?!"

"Aku tidak tahu! Aku lupa!" Sakura meremas rambutnya sendiri, membanting test pack tersebut ke tempat sampah begitu saja dan keluar dari kamar mandi dengan pikiran kalut. "Bagaimana ini Ino? Kapan aku melakukannya? Kenapa tiba-tiba aku hamil?"

Ino masih berdiri tidak bergerak di depan kamar mandi, hanya otaknya yang kini berlari kesana kemari, ikut terkejut melihat temannya ini. Kasihan sekali Sakura. Apa yang akan ia lakukan dengan kuliahnya?

"Aku putus dengan Sasuke 6 bulan yang lalu, Ino! Aku sudah tidak pernah berhu––"

Sakura yang tiba-tiba mematung sukses merebut perhatian Ino. "Apa?"

"Oh, sial…" gumam Sakura kesal, menghempaskan dirinya di sofa cokelat mereka. "Ulang tahun Naruto!"

Mata Ino semakin lebar oleh perkataan Sakura. "Astaga… apa kau ingat siapa dia?"

"Tidak!"

Sekarang hidung dan mata Sakura sudah memerah. "Bagaimana ini Ino… apa yang harus aku lakukan?"

Sakura menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sial sekali. Ia pasti terlalu mabuk sampai lupa untuk meminta lawannya menggunakan pengaman. Bagaimana dengan kuliahnya? Apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia katakan kepada kedua orangtuanya? Bisa-bisa Sakura diboyong kembali ke Kyoto dan dipaksa untuk tinggal disana selamanya bersama mereka!

"Tenang dulu, Sakura…" Ino mendekat, mengusap bahu Sakura yang sekarang bergetar hebat. "Kita ingat-ingat dulu, siapa yang berada bersamamu malam itu, ya. Semuanya pasti ada jalan keluarnya."

.

.

"Sakura… Sakura!"

Sakura tersentak kaget, mendapati Hinata yang duduk disebelahnya menatapnya dengan tatapan khawatir. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya lembut.

Sakura mengangguk, memaksakan sebuah senyuman. "Ya." Jawabnya singkat. "Hanya kurang tidur."

"Kau pucat sekali, Sakura. Hari ini tidak dandan?" tanya Hinata, mengeluarkan pouch make up-nya dan menyodorkannya ke arah Sakura. "Setidaknya poles bibirmu dengan lipstick. Kau benar-benar terlihat menyedihkan. Apa perlu aku bantu?"

"Tidak usah, terimakasih." Sakura meraih lipstick dari pouch tersebut dan memakainya. Wajahnya memang terlihat pucat. Sakura sama sekali tidak tidur semalam. Ia sibuk mengingat-ingat sambil merutuki nasibnya. Kenapa ia harus hamil disaat kuliahnya hampir selesai? Apa yang harus ia lakukan dengan tugas akhirnya?

"Apa ada yang sedang kau pikirkan?"

Sakura menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Bukan masalah penting."

"Tapi kau terlihat sangat tidak fokus." Ujar Hinata lembut. "Kau ingin teh hangat?"

"Terimakasih, tapi tidak." Sakura menghela nafasnya, menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan. "Hanya masalah kecil. Untuk sekarang. Kedepannya ia akan bertambah besar––masalah itu. Aku hanya sedang bingung apa yang menyebabkannya terjadi, kenapa aku membiarkannya––aku benar-benar bingung."

Hinata mengusap kedua pundak Sakura dengan lembut. "Sakura, aku tahu mungkin aku tidak seperti Ino yang bisa langsung membuatmu mengatakan apa yang sedang terjadi sebenarnya… tapi jangan seperti ini, ya. Aku tidak mau kau sakit."

Sakura yang sedang menunduk merasakan kedua matanya berair. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk pada perkataan Hinata tanpa berani mengangkat wajahnya.

"Hinata!"

Hinata menoleh ke arah suara dan melambaikan tangannya. Sebuah senyuman lebar terpatri di wajah gadis itu sembari sang pacar menghampirinya di kelas.

"Sudah selesai?" tanya Naruto, mengusap kepalanya dengan sayang. "Hei, ada apa dengan Sakura?"

Hinata mengangkat kedua bahunya dan mengisyaratkan Naruto untuk diam.

Mendengar suara Naruto, Sakura cepat-cepat mengangkat kepalanya.

"Naruto!" desisnya tertahan. "Apa kau ingat siapa saja yang datang ke pesta ulang tahunmu?"

Naruto mengerutkan keningnya. Tangannya terangkat dan ia dengan bingung menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Sedikit samar, Sakura. Banyak sekali orang yang datang. Ada beberapa orang yang tidak kuundang juga ikut datang."

Sakura menghela nafasnya. "Begitu ya…"

"Hei, ada apa?" Naruto berpindah duduk ke depan Sakura, menyentuh tangan Sakura. "Sakura, kau sakit? Tanganmu dingin sekali."

Ketika akhirnya bendungan air mata Sakura pecah, barulah Hinata dan Naruto benar-benar yakin kalau ada sebuah beban besar yang sedang disembunyikan gadis itu. Mereka berdua menunggu Sakura sampai ia benar-benar tenang, setelah kurang lebih sepuluh menit menangis terisak-isak tanpa berbicara apapun, dan gadis itu pada akhirnya berhasil menghentikan air matanya.

"Aku hamil." Ujar Sakura sambil sesenggukan, disambut oleh ekspresi melongo Naruto dan terkejut dari Hinata. "Dan kabar buruknya, aku tidak tahu siapa ayahnya."

"SAKURA! BAGAIMANA BISA?!"

Teriakan Naruto benar-benar membuat gadis itu mengkerut. Ia tahu Naruto sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri––mereka berdua besar di komplek perumahan bersama. Mereka pernah mandi bersama, hampir setiap hari semasa kecil mereka tidur berpindah-pindah antara rumah satu dengan lainnya––dan sudah pasti ia marah mengetahui Sakura yang mengandung tiba-tiba. Orang-orang bahkan sering menjodoh-jodohkan mereka sebelum akhirnya Naruto berpacaran dengan Hinata dan Sakura dengan Sasuke.

Sakura tahu, Naruto pasti juga akan terpukul mendengar kabar ini.

"Sasuke?" Naruto berusaha mengingat-ingat dengan keras. "Tidak mungkin, kalian berpisah enam bulan yang lalu."

"Aku rasa ini terjadi saat pesta ulangtahunmu, Naruto."

"PESTA ULANGTAHUNKU?! SAKURA, KAU BENAR-BENAR––"

Naruto hampir saja memukul meja kalau Hinata tidak menahannya. Laki-laki itu pada akhirnya bangkit setelah kehabisan kata-kata. Ia meninggalkan kelas begitu saja, berisikan Sakura yang terisak-isak tidak karuan dan Hinata yang bingung harus berbuat apa.

"Ino?" ujar Hinata pelan di telepon, setelah nada sambungnya berakhir. "Bisa ke kelas? Ada Sakura disini."

"Naruto?"

"Dia baru saja pergi.' Gumam Hinata, suaranya makin dilirihkan. "Dan sangat marah."

"Aku akan segera kesana. Tapi aku akan mencari Naruto terlebih dahulu. Anak itu, benar-benar sumbu pendek!"

Hinata meletakkan ponselnya dan memeluk Sakura. "Sudah, berhenti menangis, Sakura. Sekarang sudah tidak ada gunanya. Jangan membuat dirimu sendiri lelah…"

Sakura masih sesenggukan. Tubuhnya bergetar oleh tangisan. Seakan tidak cukup akan kenyataan kalau sekarang dirinya hamil, reaksi Naruto juga benar-benar menamparnya. Ia tidak tahu apakah laki-laki itu akan melapor pada kedua orangtuanya. Dan yang lebih parahnya lagi, ia tidak bisa membayangkan kalau Naruto terlalu kecewa pada dirinya sendiri.

Ino datang beberapa saat kemudian dengan Naruto di belakangnya. Kedua tangan mereka bertaut––sudah bisa dipastikan kalau Naruto ditarik paksa ikut dengannya di kelas. Sakura dapat melihat ekspresi Naruto yang terlihat malas. Kepalanya kembali menunduk, berusaha untuk menghindari tatapan Naruto.

"Aku sudah tahu kau akan memarahinya!"

"Kau sudah tahu tentang ini dan kau tidak memberitahu kami?" tanya Naruto kesal. "Apa maksudmu?"

"Aku baru tahu kemarin sore, dan kami berdua benar-benar bingung!" balas Ino tidak mau kalah. "Tidak bisakah kau dewasa sedikit dan berhenti memarahi Sakura seperti Sakura adalah seorang anak SMP bodoh? Pikirkan perasaannya juga, Naruto!"

"Oh, begitu? Setidaknya dia memang benar-benar bodoh sampai-sampai bisa hamil seperti itu!"

Ino menggeram, memukul meja dengan kedua tangannya. "Naruto!"

Hinata merasakan genggaman tangannya pada Sakura menguat. Gadis itu terisak lebih kencang lagi. Perkataan Naruto pasti benar-benar menusuk hatinya.

"Aku benar-benar tidak bisa melihatmu sekarang, Sakura, maaf. Aku tahu ini berlebihan. Aku tahu banyak orang diluar sana yang juga sepertimu. Tapi aku benar-benar kecewa––aku bahkan tidak bisa melihatmu."

Naruto kembali keluar kelas setelahnya. Ino merengut, duduk di salah satu kursi dan mendecih pelan.

"Pacarmu, Hinata. Benar-benar kasar sewaktu-waktu! Ingin kugosok mulutnya dengan batu apung." Umpat Ino, memandang Sakura yang belum berhenti menangis. "Sudah Sakura, tidak usah memikirkan perkataan Naruto. Ia hanya benar-benar kaget saat ini."

"Kalau Sakura bilang kejadian ini terjadi saat pesta ulangtahun Naruto, berarti… berapa? Tiga bulan yang lalu?"

Ino mengangguk pelan. "Ya. Sekitar tiga bulan yang lalu."

"Aku benar-benar sudah lupa… yang pasti ada sekitar lima belas anak dari jurusan kita yang diundang. Selebihnya adalah teman-teman Naruto di luar kampus." Ujar Hinata, mencoba mengingat-ingat. "Sai, Shikamaru, Choji, Temari, Tenten…"

"Shino, Gaara…" gumam Ino. "Lee, Akari, Azure… dan sisanya adalah teman-teman Karin, bukan? Perempuan semuanya." Lanjut Ino. "Apakah kau merasa pergi bersama salah satu dari mereka, Sakura? Sai, Shikamaru, Shino, Gaara, Lee…?"

Sakura menggelengkan kepalanya. "Aku benar-benar tidak ingat, Ino…"

"Astaga! Aku kesal sekali! Dan Naruto, si cecunguk itu, malah pergi meninggalkan kita disaat dia adalah satu-satunya orang yang mengundang orang-orang itu datang ke pesta!" Ino menjerit kesal.

.

.

Sakura duduk di sofa dengan semangkuk bubur instan hangat di pangkuannya. Matanya memandang ke arah jendela dengan tatapan kosong. Ia belum mandi sedari pagi, sementara jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Kedua tangannya tidak pernah lepas dari perutnya yang masih sama seperti dulu, belum membesar sama sekali. Hatinya terasa sangat hampa.

Sakura menghela nafas dan menata bantal-bantal yang ada di dekatnya. Ia merebahkan tubuh, memejamkan matanya secara perlahan. Rasa lelah benar-benar menghantuinya selama beberapa hari terakhir ini. Kenyataan bahwa dirinya hamil, respon Naruto, dan ketidaktahuannya akan siapa yang menghamilinya benar-benar membuat Sakura kalut.

Seseorang menekan pin dan masuk ke dalam apartment.

"Ino?" panggil Sakura.

"Bukan."

Sakura menoleh––gadis itu kemudian menghela nafasnya. "Hai."

Naruto tidak menjawabnya. Laki-laki itu berjalan mendekat, duduk di atas karpet menghadap Sakura. Ia mengamati Sakura yang rebah diatas sofa dengan wajah pucat. Naruto mengulurkan tangannya, menyentuh kening Sakura dan mengerutkan keningnya sendiri.

"Kenapa kau panas sekali?"

"Aku tidak tahu. Mungkin aku kurang minum." Jawab Sakura lesu. "Sedari tadi aku sudah enam kali keluar masuk kamar mandi.

"Kalau begitu kenapa tidak minum?"

Belum sempat Sakura menjawab, Naruto sudah bangkit berdiri dan berjalan ke arah dapur. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu kembali dengan segelas air di tangannya.

"Terimakasih."

Naruto tidak menjawab. Ia menyandarkan punggung lebarnya ke kaki sofa tempat Sakura berbaring. Sakura dapat melihat rambut pirang laki-laki itu dengan jelas. Sakura memejamkan matanya, sudah bersiap untuk tertidur, ketika Naruto tiba-tiba kembali angkat suara.

"Apa kau akan menikah?"

Sakura mengerutkan keningnya. "Apa?"

Naruto membalikkan tubuhnya. Kini mereka kembali berhadap-hadapan. "Menikah. Kau tidak berpikir untuk membesarkannya sendirian, 'kan?"

"Aku…" Sakura berhenti berbicara, lalu memutuskan untuk duduk. "Aku tidak tahu apakah aku menginginkan bayi ini, Naruto."

"Apa maksudmu?"

Sakura menggigit bibirnya. Ia belum terlalu memikirkan ini, tapi tetap saja berbicara dengan Naruto membuatnya takut.

"Aku rasa aku akan menggugu––"

"Hei. Kau sudah gila?"

Sakura berhenti berbicara ketika kalimat tersebut keluar dari bibir Sakura. Gadis itu kembali merasakan pipinya basah. Pandangannya mengabur, dan hidungnya tersumbat. Beberapa saat kemudian, ia sudah kembali menangis di hadapan Naruto.

"Aku tidak tahu, Naruto… membesarkan seorang anak sendirian, tanpa suami, dan aku masih sangat muda! Umurku baru 21 tahun, dan aku sudah menjadi seorang ibu?" tanya Sakura sedih. "Aku tidak bisa, Naruto. Aku punya mimpi. Aku tidak akan membiarkan satu hal-pun menghalangi aku dan mimpiku."

Naruto menggelengkan kepalanya, memandang Sakura dengan tidak percaya. "Aku sangat terkejut mendengar bagaimana santainya kau berbicara seperti itu."

Sakura terdiam. Kekecewaan dengan jelas terdengar dari nada bicara Naruto.

"Apa kau sadar apa yang sedang kita bicarakan?" tanya Naruto, menatap kedua mata Sakura dengan lekat. "Kita membicarakan nyawa seorang manusia, Sakura. Bukan sebuah benda. Dan parahnya, kau berencana untuk membunuhnya bahkan sebelum ia melihatmu, Ibunya." Jelas Naruto. "Kau bukan orang seperti ini, Sakura. Aku terlalu mengenalmu sampai-sampai aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal bodoh seperti ini."

"Tapi, Naruto, aku takut…"

"Semua orang tentu punya ketakutannya sendiri. Dan kau tahu, sesuatu yang besoknya hanya sekecil ini, tidak mungkin sesuatu yang menakutkan, 'kan?"

Naruto mengilustrasikan seorang bayi kecil dengan kedua telapak tangannya. Meskipun cukup sulit, sebuah senyuman menguar dari wajah gadis itu yang telah memerah sempurna.

"Ya." Jawab Sakura akhirnya.

"Bagus. Aku tahu kau pasti bisa." Ujar Naruto, tersenyum dan mengusap kepala Sakura dengan sayang. "Sekarang, aku tahu kau pasti sudah jauh lebih tenang. Bisakah kau ingat-ingat kembali, siapa ayah dari bayi ini?"

Sakura mengatur nafasnya sedemikian rupa. Ia memandang Naruto dengan kedua matanya yang masih basah, lalu menggeleng pasrah. "Tidak."

"Benarkah? Pasti ada sesuatu yang bisa menarik memorimu kembali." Naruto meremas tangan Sakura lembut. "Posturnya, pakaiannya hari itu, gaya rambutnya…"

Sakura berpikir sangat keras. Ia mencoba untuk mengingat kembali rupa dari orang yang tidur bersamanya saat itu.

"Ugh, maaf, Naruto… aku benar-benar tidak bisa ingat…"

Naruto mengangguk-angguk. Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya dan membuka riwayat pesannya dengan orang-orang yang dulu diundangnya ke pesta ulang tahunnya.

"Mungkin saja bertubuh gemuk? Atletis?" tanya Naruto, disambut dengan gelengan tidak tahu Sakura. "Berkulit putih atau cokelat… berambut hitam?"

"Oh, aku ingat sesuatu."

Sakura menatap Naruto dengan harap-harap cemas. "Aku ingat kalau ia memakai kacamata dan… berambut abu-abu."

"Apa?"

"Naruto… orang itu pasti sudah sangat tua, bukan?"

Naruto tidak menjawab. Ia tersenyum, mengusap kepala Sakura dan bangkit berdiri.

"Aku akan menelepon Ino untuk segera pulang. Kau, banyak-banyaklah minum."

Naruto berjalan cukup tergesa-gesa dan menutup pintu apartment di belakangnya dengan pelan. Berbeda dengan setiap tindakannya yang terlihat tenang, laki-laki itu sebenarnya sedang merasakan amarah yang begitu besar. Ia berjalan, masuk ke eskalator, dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

Ditekannya sebuah nomor dan setelah tiga nada dering berlalu, barulah seseorang bersuara berat diseberang sana mengangkat teleponnya.

"Halo?"

Naruto menahan geram mendengar suara itu. Ingin rasanya ia cepat-cepat berada di depan pria itu dan memukulnya sampai babak belur.

"Dimana kau sekarang?"

.

.

.

.

.

.

.

.

OMAIGATTT RESOLUSI 2019 Q ADALAH MENEPATI JANJI.

Okey, jadi gue balik lagi dengan brand new story, which is The Baby Journal. Sebenernya gue nggak terlalu ngerti buat rating dari cerita ini. R sebenernya oke-oke aja, tapi menurut gue dari judulnya aja udah rada eksplisit y. Ya apgred dikit lah ya jadi M, w juga tambah tua jadi ceritanya gak teenlit dulu. Jadi buat temen-temen yang masih dibawah umur dan merasa memang belum pantes ngebaca cerita rada vulgar tentang dede bayi, jangan dibaca yaaaa.

Makasih buat temen-temen yang setia nungguin. Semoga TBJ ngena ya buat kalian!