Apakah hanya sampai sini saja?
Setelah aku sudah mulai membosankan untukmu, dan tak dapat memberikan apa yang paling kauinginkan di dunia ini, aku tak lagi menjadi sumber kebahagiaanmu. Begitu?
Aku bisa melepasmu dengan mudah.
Tapi pertanyaan itu muncul kembali.
Apakah benar-benar hanya sampai sini saja?
.
.
.
.
OVER
Gintama And all the character belong to ©Hideaki Sorachi
This Fanfiction belong to me
WARNING
Typo, OOC, M-rated (for safe),little bit fluff.
RnR ~
Aku bisa melihatmu dari kejauhan dengan sangat jelas. Raut wajah yang sudah lama tidak kau tunjukkan padakku itu, dan seorang wanita yang aku tidak kuketahui siapa. Dengan manjanya kau rangkul ia dan ia balik melingkarkan kedua tangannya di seputar tengkukmu.
Jelas sekali,kau tersenyum sangat bahagia dan Matamu berbinar. Aku yakin sekali kalau dulu akulah yang diposisi itu, yang membuat matamu berbinar seperti itu.
Dan dari kejauhan aku hanya bisa memandangimu tanpa ada keberanian untuk menghampirimu. Entah itu keberanian, ataukah amarah.
Jangankan menghampirimu untuk marah dan memaki, untuk menangis saja rasanya aku tak bisa.
Hanya mataku yang melihat dan yang tersakiti. Pemikiranku telah buta.
Ini sudah ketiga kalinya aku mendapati orang yang kucintai lebih dari apapun itu bersama dengan wanita lain.
Aku tak lagi mengenal sesuatu yang disebut rasionalitas. Aku hanya Ingin menghampirimu, menamparmu sekeras-kerasnya, melemparkan shuriken padamu, meninju wajahmu, menendang selangkanganmu. Lalu setelahnya dengan lantang berkata,
"CERAIKAN AKU."
.
.
Aku yang sekarang sangat membencimu Gintoki.
Aku ini sebenarnya apa dimatamu itu?
Apa yang sudah kau dapatkan kini kau buang begitu saja.
Lalu Bedanya apa dengan sampah? Yang kau pakai kemudian dibuang kalau sudah tak berarti lagi.
Mana perasaanmu yang dulu memperjuangkanku? Apakah perjuanganmu hanya diawal saja? Ataukah karena aku tak dapat memberikan apa yang kau inginkan, kau jadi kesal terhadapku dan kau menyesal karena dulu kau jatuh cinta padaku?
Semudah itukah, kau mencari penggantiku?
Semudah itukah kau melupakan semua yang sudah kita berdua lalui ?
.
Cukup.
.
Bukankah percuma saja aku mempertanyakan semuanya. Sia-sia aku mengenang masa lalu yang menjadi sumber kesedihanku pada saat ini. Bak mengorek kembali luka yang sudah diobati dan lalu menyiramnya dengan air garam.
Karena kau tak pernah merasakannya Gintoki. Dengan mudahnya kau mencari penggantiku dengan tampang yang tak mungkin wanita tolak saat kau menggoda mereka sedikit saja.
Kau tak akan mengerti.
Aku tidak mengerti.
Rasa cintaku ini, kalah oleh ketidaksempurnaanku.
Lalu Aku berlari menjauh dari situ. Menahan gejolak di dadaku yang bagaikan membunuhku bila dibiarkan. Kali ini, keputusanku telah bulat.
.
.
.
.
.
.
.
"Maafkan saya tuan Sakata. Saya sudah memeriksa istri anda, dan saya hanya bisa menyampaikan hasil ini pada anda."
"Sudahlah, jelaskan saja padaku dengan cepat, sensei (doktor) saya tidak mengerti tulisan yang ada di laporan ini."
"Istri anda tidak bisa memberikan keturunan."
"..."
"Maafkan saya tuan Sakata"
"Untuk apa anda minta maaf sensei, anda tidak bersalah. Yang anda lakukan hanya melakukan tugas."
"Saya minta maaf karena saya tidak bisa menemukan alternatif pengobatan yang lebih baik."
"..."
"..."
"Tak apa sensei, istriku itu akan mengerti"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Tsukki Sayang, aku pulang"
Suara baritone yang aku kenal itu, terdengar setelah bunyi pintu geser yang tertutup.
Aku, – yang sedang melipat baju -, tak menghiraukannya. Setelah apa yang kulihat hari ini, aku telah menetapkan hatiku untuk mengatakan keputusanku padanya. Keputusan finalku, yang sudah tak perlu aku pikirkan lagi untuk kedua kalinya.
Karena jujur saja, percuma saja terus mempertahankan hubungan ini kalau terasa hambar.
Aku sudah tak berarti lagi baginya. Begitu sebaliknya.
Apalagi diriku ini tak bisa memberinya keturunan. Padahal sudah hampir 2 tahun usia pernikahan kami.
"Tsukki?"
Aku terperanjat ketika pemilik suara baritone itu tiba-tiba muncul di sampingku.
"Gi- Gintoki."
Gintoki, suamiku itu hanya menunjukkan senyumnya.
"Mau kubantu? Kau tidak bisa menyelesaikan pekerjaan yang banyak ini dengan cepat jadi..."
Tiba-tiba sebuah kilat menyambarku dari omongannya itu. Entah mengapa membuatku kesal.
"Ya, kau benar." Aku menginterupsi.
"Bahkan untuk melipat baju saja aku tidak bisa mengerjakannya dengan cepat. Aku sangat buruk apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di luar sana, bukan begitu? "
Gintoki hanya memandangiku dengan heran.
"Kenapa kau bicara begitu? Maksudku itu, kau tidak boleh mengerjakan ini sampai larut malam, itu bisa merusak kesehatanmu"
"Memangnya kenapa?" Aku bertanya kembali dengan cepat. Kali ini dengan nada yang sedikit tinggi.
"Walau aku menjaga kesehatanku, aku tetap saja tidak berguna sebagai seorang wanita bukan? Tetap saja aku tidak bisa memberikan-"
Belum selesai kalimat yang aku katakan, Gintoki membekap mulutku dengan tangannya. Tapi ia melakukan itu dengan lembut.
"Jangan bicara begitu Tsukki, kau tak boleh memikirkan hal seperti itu."
Dengan cepat aku menyingkirkan tangannya dan berteriak di depan wajahnya.
"BUKANKAH ITU KENYATAANNYA! KALAU TIDAK, KAU TAK MUNGKIN PERGI DENGAN WANITA LAIN SEPERTI TADI ! DAN ASAL KAU TAHU, ITU SUDAH KETIGA KALINYA, MUNGKIN LEBIH !"
Aku dapat melihat ekspresi terkejut dari wajah Gintoki. Dan ia sama sekali tak menyangkal perkataanku.
Itu membuatku semakin naik pitam.
"AKU MEMBENCIMU, GINTOKI !" Aku melemparkan baju yang sudah kulipat sehingga kembali berantakkan.
Suamiku itu tak melakukan apa-apa, hanya terdiam sebentar kemudian dengan perlahan memelukku. Membenamkan wajahku ke dadanya yang bidang.
Entahlah, aku hanya bisa menangis.
.
.
Inilah kenapa aku benci menjadi seorang wanita. Wanita memiliki hati yang lemah. Lalu yang terpenting adalah, wanita selalu disakiti.
.
.
"Aku membencimu Gintoki..." Suaraku sudah kacau vibrasinya. Dan saat aku mengatakan kebencianku itu untuk kedua kalinya, aku merasakan dekapan suamiku itu yang semakin erat.
Pelukkan yang biasanya menenangkanku itu, entah mengapa sekarang membuatku semakin kesal.
.
.
Berhentilah pura-pura Gintoki, saat aku sudah mengetahui semuannya, kau tidak bisa apa-apa bukan?
.
.
Aku mendorong tubuh Gintoki dengan tanganku agar terlepas dari pelukkannya. Tapi ia balik mendorong bahuku sehingga aku jatuh terlentang.
Saat aku ingin bangkit, dengan cepat ia menggenggam tanganku. Sehingga aku terkunci dan tak dapat bergerak.
"Lepaskan aku Gintoki !"
Ia tetap tak mengatakan apa-apa. Hanya memandangiku dengan pandangan yang dingin dan menerawang.
.
Mata itu. Mata ikan mati itu membuat darahku berdesir.
.
Ia mendekatkan wajahnya lalu melumat bibirku. Walau aku menolaknya.
Belum lama, aku merasakan lidahnya menginvasi mulutku dengan membabi-buta. Dengan paksaan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
.
.
Sial.
Kumohon hentikan. Aku tidak ingin seperti ini.
.
.
.
Belum merasa puas, ia mulai menginvasi daerah leherku. Walau aku tak dapat melihatnya, aku tahu ciuman kasarnya itu meninggalkan bekas.
Aroma tubuhnya, kecupannya, permainan tangannya, Sensasi ini mulai melahapku. Sensasi yang harusnya tidak aku rasakan kalau aku benar-benar membencinya.
.
.
Kenapa?
Kenapa aku malah menikmatinya?
.
.
Gintoki melepaskan genggamannya, tanpa sadar aku melingkarkan tanganku di sekitar lehernya.
Ia melonggarkan kerah yukata yang ia kenakan, hingga aku dapat melihat dada bidangnya.
Lalu kemudian ia mulai menurunkan kerah kimonoku hingga setengah terbuka, dan ia melanjutkan invasinya.
Invasi itu diwarnai desahanku dan nafas berat dari Gintoki. Nafas beratnya itu bagai ekstasi. Dan aku tak ingin dia berhenti.
.
.
Namun saat kami baru akan memulai hal yang sebenarnya, aku teringat akan apa yang kulihat tadi.
Dan saat itulah aku tersadar.
Rasionalitasku kembali berjalan setelah sempat terhenti.
Dengan keras aku menamparnya.
Ia berhenti, aku bangkit dari posisiku.
Nafas kami berdua berburu.
.
.
.
.
.
"Aku tak mau lagi menjadi pelarianmu Gintoki." Aku melanjutkan.
"Aku rela kalau kau bersama wanita lain, tapi aku tak mau kau mempermainkan aku."
Suamiku itu hanya memegangi pipinya yang memerah akibat tamparanku.
"Kalau kau ingin bersama wanita lain, berlakulah adil dan..."
Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengambil ancang-ancang untuk mengatakan keputusanku yang paling klimaks.
.
"Ceraikan aku Gintoki."
.
Mata suamiku itu melebar. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.
"Aku tak lagi mencintaimu, Gintoki. Mari kita akhiri saja."
Aku mengatakan itu bulat-bulat di depan lelaki yang kucintai, namun hati ini tetap memberontak.
.
.
.
' Apa... Hanya sampai sini saja?'
Karena...
Karena aku masih mencintainya.
.
.
.
Hening mendadak menyeruak.
Gintoki hanya terdiam sambil memandangiku, dan aku sibuk menata kembali kerah kimonoku dan merapikannya.
"Ini sudah keputusan finalku Gintoki." Kataku.
Gintoki menundukkan kepalanya, menarik nafas panjang dan memperbaiki posisi duduknya.
.
.
"Begitu...sudah kuduga kau pasti akan mengatakan ini." Katanya.
"Jadi kau memang ingin aku untuk bercerai darimu?"
Gintoki terdiam lagi lalu menyeringai.
.
"Kalau kau memang ingin berpisah dariku, aku tidak keberatan" Katanya.
.
"Justru aku memang menunggumu mengatakan hal itu."
.
.
.
.
Dan saat itu juga, rasanya hati dan ragaku terbenam ke lembah gelap gulita.
.
.
.
.
.
.
.
-Bersambung-
(A/N : Belum juga FF okikagu yang keinginan selesai, udah mulai lagi yang baru haha :') mood saya lagi menuju ke Gintsu nih haha #MaafkanSaya.
Maaf kalau di sini Tsukky sama mas Gin rasanya OOC banget ya :")
BTW, ini pertama kalinya saya menulis FF yang ada unsur *ehem* Fluff, lemon, atau apalah itu haha :')..
Maafkan kalau masih dirasa kaku yaa..
#Saya juga gak tau kenapa saya bkin rated M wkwkwkwk#
Terima Kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca FF iniii...
Mind to Read and Revieww? ~ #PuppyEyes)
