The Descendants Destiny
Chapter 1
.
.
Hermione POV
Musim panas. Musim favoritku selama aku tinggal di Inggris.
Aku mengencangkan tali sepatu sportku untuk memastikan ia tidak longgar selama aku jogging nanti. Aku menguncir rambut coklatku yang keriting bergelombang dengan ketat, melakukan sedikit warming up tangan dan kakiku, dilanjutkan dengan memasang earpod dan playlist olahraga favoritku, kemudian mematut melihat diriku sendiri depan kaca dinding full body yang tergantung manis di samping pintu rumah kami.
Hai, namaku Hermione Granger Potter, lebih familiar dengan Hermione Potter. Beberapa bulan lagi aku berumur 18 tahun, duduk di kelas 3 SMA Hogwarts High School. Namaku tidak seperti orang Inggris pada umumnya? Well, kau bukan orang pertama yang merasa begitu.
Nama ini adalah satu-satunya peninggalan dari orang tuaku yang tak pernah kukenal selain selimut bayiku yang kuduga dirajut oleh ibuku sendiri. Di ujung selimut itu terjahit dengan kecil namun indah, tulisan 'Hermione' dengan huruf tegak bersambung.
Aku diadopsi oleh keluarga Potter yang terkenal di London karena merupakan garis keturunan konglomerat langsung. Setelah mendapat anak lelakinya Harry Potter (abang angkatku), mereka tak kunjung diberkahi anak lagi.
Ibu dan ayah angkatku, Lily dan James Potter, mengadopsiku ketika aku berumur 8 bulan dari panti asuhan tempat aku dibesarkan, Maria Orphanage, lima tahun setelah Harry lahir. Tentu tidak ada yang tau aku anak adopsi. Semua kenalan keluarga Potter mengira aku anak kandung mereka, mengingat mereka mengadopsiku saat mereka tinggal di Rusia.
Kau bertanya tentang penampilanku? Secara fisik aku biasa saja. Mataku berwarna coklat, begitu pula dengan rambutku yang ikal bergelombang. Mom sering bilang aku mirip dengannya. Aku merasa dia cuma ingin menghiburku saja.
Kulitku putih seperti orang Eropa pada umumnya, hidungku mancung, alisku tebal rapi dan bulu mataku lentik. Bibirku tipis namun terlihat penuh berona merah muda. Semua dipertegas dengan garis rahangku yang lancip. Badanku termasuk kurus namun pas, mengingat aku sering jogging dan berenang.
Sudah 6 tahun kami pindah ke Inggris karena rumah keluarga Potter kosong setelah Grandma Potter meninggal, tak lama setelah Grandpa Potter. Grandpa mewariskan rumah ini beserta perusahaannya ke Dad, sehingga mau tak mau Mom, Harry, dan aku harus ikut pindah ke Inggris.
"Fluffy, come here boy!" Kupanggil Fluffy, anjing pitbull berwarna hitam menggemaskan yang sudah ikut dengan keluarga kami selama 10 tahun sambil mengayunkan tali jalannya. Sekilas dia terlihat bersemangat, menaikkan telinganya, namun kemudian menundukkan kepalanya dan menutup matanya.
Aku menghela napas sejenak sambil berjalan menuju tempat Fluffy sedang berusaha bermalas-malasan di kasur bulat khusus dirinya yang dibordir tulisan 'Fluffy the bull', lengkap dengan lambang tapak kaki anjing sebagai pemanis.
"Oh ayolah Fluffy, kau tau kan kau sudah berumur, kau harus banyak olahraga, lihat lemak perutmu ini, ayo." Ujarku sambil berusaha membujuk Fluffy menemaniku jogging, menggaruk perutnya yang empuk berlipat-lipat karena lemak. Fluffy sangat suka digaruk di perutnya, dengan sekejap ia berbaring telentang sambil menjulurkan lidahnya bahagia.
Aku berhenti menggaruknya, ingin memancingnya untuk bangun. Dan benar saja, ia berdiri meregangkan badannya sebentar, kemudian berjalan menuju pintu depan dan melihatku seolah-olah berkata 'Ayo, kan kau yang mengajakku tadi'.
Cuaca yang hangat berawan menyambut kulitku ketika aku keluar sambil menarik Fluffy. Kami berjalan santai pada awalnya, kemudian menaikkan kecepatan perlahan seiring berjalan. Aku tidak mau Fluffy minta pulang karena kelelahan, cuaca ini terlalu bagus untuk dilewatkan dalam rumah.
Aku dan Fluffy mengitari jalan perumahan kami yang cukup besar. Masing-masing rumah terpisah satu sama lain, dengan taman yang cukup besar diantaranya. Sepi, itu kata yang cocok untuk mendeskripsikan perumahan ini. Tentu saja sepi, perumahan ini adalah satu-satunya perumahan tempat tinggal garis keturunan konglomerat selama bergenerasi, namun sebagian besar penghuninya tidak terhubung langsung dengan keturunan royal di Inggris. Yang terhubung langsung bisa dihitung jari, bahkan aku hanya tahu tiga keluarga besar saja.
Pertama, keluarga Potter, yaitu keluargaku. Meskipun terhubung langsung dengan keturunan royal, kami tidak mengeksploitasi kekayaan turun temurun kami.
Sebagian besar ditabung di Gringotts, bank teraman dalam skala Britania Raya. Great-Grandpa Potter hanya mengambil sedikit warisannya untuk membuka usahanya sendiri, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, keluarga Black. Keluarga Black kabarnya berhubungan langsung dengan Ratu Elizabeth I, namun aku tidak pernah bertanya dengan pasti. Bersama Dad, Uncle Sirius ikut berinvestasi dalam perusahaan penelitian dan teknologi di Jepang. Ia juga memiliki beberapa pusat wisata dan resort yang tersebar di seluruh Eropa dan Australia.
Ketiga, keluarga Malfoy. Keluarga ini kabarnya sangat high-class. Bertolak belakang dengan keluargaku dan Black yang terbuka dengan siapa saja, keluarga Malfoy hanya bergaul dengan orang kelas atas yang mereka nilai pantas bergaul dengan mereka.
Keluarga Malfoy memiliki perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor barang, elektronik, dan perkembangan software, meskipun tidak sedikit kabar burung yang mengabarkan mereka juga melaksanakan bisnis gelap.
Setelah berkeliling selama 30 menit, aku memutuskan untuk berjalan pulang. Cuaca yang tadinya cerah mendadak mendung dengan guntur sesekali terdengar. Aku berjalan sambil melantunkan lagu Lucky oleh Jason Mraz. Sesekali Fluffy berhenti, mengendus-endus, kemudian kembali berjalan di depanku.
Mataku berhenti di rumah seberang kediaman keluarga Potter. Bayangkan betapa beruntungnya aku, tinggal berseberangan dengan keluarga Malfoy? Kuamati halaman kediaman Malfoy yang terlihat kosong.
Tinggal bertetangga selama bertahun-tahun, membuatku hapal dengan kebiasaan anak tunggal Malfoy, Draco Lucius Malfoy. Jam segini dia memang pasti tidak akan ada di rumah.
Dugaanku didukung dengan tidak adanya mobil lamborghini kesayangan Draco terparkir di depan rumah.
'Ah, apa peduliku' batinku pada diriku sendiri. Toh aku hanya sedikit naksir dengan Draco. Sedikit.
Aku berjalan melintasi halaman rumah kami, masuk ke dalam kemudian melepas tali jalan Fluffy yang langsung lari ke tempat minumnya di dekat tempat tidurnya. Dia kehausan. Mungkin seharusnya lain kali aku tidak mengajaknya lari terlalu lama.
"Kau sudah kembali, dear?" Aku mendengar Mom dari arah dapur. Tidak menjawab, aku berjalan menuju dapur kami yang tak jauh terpisah dari ruang tamu.
Ruang tamu kami akan langsung menyambutmu ketika masuk dari pintu, dilengkapi sofa-sofa berwarna merah marun menghadap ke perapian dengan meja diposisikan di tengah. Ada vas bunga yang selalu terisi dengan bunga segar dari rumah kaca milik Mom, dengan kue-kue kecil untuk menjamu tamu terletak di bawah meja. Rak pajangan piala dan foto terletak manis di samping kiri-kanan perapian.
Di atas perapian, kau bisa melihat foto keluarga Potter yang diambil saat aku baru masuk SMA.
Tak jauh dari sofa, terletak piano klasik besar berwarna putih berhiaskan ukiran motif. Aku dan Harry sering memainkannya di waktu senggang kami.
Di samping piano itu, ada pintu yang mengarah menuju ruang theater tempat aku dan Mom sering menonton film favorit kami atau sekedar karaoke bersama Dad dan Harry juga untuk melepas penat dan stress.
Melangkah sedikit dari belakang piano maka kau akan menjumpai taman belakang kami yang dibatasi pintu kaca besar dengan kolam renang besar yang cukup untuk menampung 30 orang, jacuzzi, mini golf, tempat piknik dan barbeque, lapangan basket mini tempat Dad dan Harry sering berolahraga, dan gazebo tempat aku dan Mom sering minum teh bersama, dikelilingi kolam ikan di bawah kami.
Kalau kau penasaran dan berjalan ke taman samping rumah, disitulah terletak rumah kaca milik Mom. Di dalamnya banyak sekali tumbuhan dan bunga yang selalu Mom rawat dengan rutin. Mulai dari bunga mawar, lili, anggrek, hingga tumbuhan tropis yang sulit tumbuh di Inggris seperti buah musiman.
Seketika aku mencium wangi peanut chocolate cookies kesukaanku dan Harry sejak kami kecil ketika masuk ke dapur. Aku mencium pipi Mom sekilas, berjalan menuju kulkas, mengambil sebotol air putih dingin kemudian meminum langsung dari mulutnya.
"Hermione, Mom sudah berkali-kali mengingatkanmu, minum pakai gelas. Dan jangan langsung minum air dingin setelah berolahraga, tidak bagus untuk metabolisme tubuhmu." Aku masih menegak air itu sampai habis dari botolnya, tak memperdulikan tenggorokanku yang sakit karena mendadak kontak dengan air dingin.
Aku terkekeh dengan wajah tak bersalah, "Sorry Mom, tapi minum dingin habis jogging itu segar sekali." Mom hanya menggeleng melihat tingkahku sambil tersenyum kecil.
Aku memperhatikan Mom yang sesekali mengecek cookies yang sedang dia panggang di oven sambil memotong buah semangka dan pepaya, kemudian menatanya di piring.
"Dimana Harry, Mom?" tanyaku setelah menyadari betapa sepinya rumah. "Oh as usual, mengurung diri di perpustakaan sambil menyelesaikan tesis akhirnya. Kau tahu sendiri betapa stress nya dia belakangan ini." jawab Mom.
Mom berdecak sedikit sambil mengomel "… sudah kubilang jangan kuliah sambil kerja… masih muda tapi di depan komputer terus…", yang pada intinya kurang setuju dengan keputusan Harry untuk bekerja sambil kuliah.
Tentu Harry jenius, namun semua jadwal kuliah ditambah pekerjaan yang dia emban di Potter Group sebagai Kepala Divisi Quality Control menguras waktu dan tenaganya.
Tanpa berniat meladeni omelan Mom, aku mencium lagi pipinya singkat sambil membawa potongan buahku ke lantai tiga. Sekilas aku mendengar Mom berkata sesuatu, tapi aku tidak terlalu fokus karena masih ada earpod menempel di telingaku. Probably not important.
Tidak ada yang spesial di lantai dua, hanya kamar-kamar saja. Yang akan membuatmu tercengang adalah lantai tiga rumah kami yang merupakan perpustakaan dan laboratorium science kecil tempat Dad dan Harry bertukar pikiran.
Semua dindingnya ditutupi rak buku dari kayu yang menempel langsung dengan tembok, di tengah-tengah ruangan juga masih berbaris belasan rak buku besar yang penuh terisi buku. Surga bagi keluarga Potter yang gemar membaca.
Di ujung ruangan perpustakaan ini, disediakan tempat bersantai. Dengan sofa-sofa berbentuk kacang bulat yang sangat empuk, meja tempat lesehan, dan dua meja komputer lengkap dengan peralatan kerja dan rak buku kecil di samping mejanya. Aku bisa melihat rambut Harry yang mencuat sana sini dengan buku tebal terbuka di kiri kanannya.
"Harry, aku membawakan buah untukmu" ujarku pelan takut mengejutkannya yang terlihat tenggelam dengan dunianya. Benar saja, dia terlonjak kaget tidak mendengar langkah kakiku menghampirinya.
"Oh, Mione, thank you." Dia membalas panggilanku dengan nada tidak fokus. Terlihat sekali dia kelelahan, dengan kantung mata yang tebal dan mata yang sebentar lagi akan menutup.
Aku mengintip sekilas buku yang terbuka di sisi kirinya. "Hmm, 'Teknologi Transfigurasi Pada Benda Mati'? Karangan Isolt Sayer? Tesis jenis apa yang sedang kau tulis Harry?"
Dia melepas kacamatanya lalu mengurut matanya pelan. "Aku berusaha menemukan teori lanjutan dari transfigurasi benda mati yang dikemukakan Isolt Sayer setelah melanjutkan teori dasar dari Aberforth Dumbledore, tapi aku belum menemukannya, kurasa aku terlalu lelah."
Aku mengambil buku yang super tebal itu lalu membukanya persis di halaman 2024. Aku menunjuk bagian dimana Isolt memaparkan dasar dari teori lanjutannya. Harry tercengang, mulutnya terbuka.
Dia menatapku, lalu ke buku itu, lalu menatapku lagi, "Bagaimana kau tahu bagian ini ada di–" Aku memotong sebelum Harry selesai berbicara, "Aku sudah pernah membaca buku ini. Ingat kan brother, aku punya daya ingat fotografis." jelasku sambil menunjuk kepalaku sendiri.
"Right, you and your photograpic memory always makes me jealous" timpal Harry sambil mengacak rambutku yang masih dikuncir.
Aku menggerutu sambil berbalik menuju tangga. Aku bisa mendengar Harry meneriakkan thank you! sekali lagi yang kubalas dengan melambaikan tanganku tanpa balik melihatnya. Harry tertawa, tahu bahwa aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.
Aku masuk ke suiteku yang kental dengan warna merah marun bercampur coklat keemasan. Aku membuka ikat rambutku, menggeleng-gelengkan sedikit kepalaku agak rambutku kembali normal, kemudian masuk dalam kamar mandiku.
Aku melepas jaket jogging yang dari tadi masih kupakai, berikut sport bra, sport leggings ketatku, kemudian dalamanku. Kebiasaanku, aku selalu mendengar musik sambil mandi. Aku membuka laci konter riasku, menyalakan musik dengan remote, kemudian menyalakan air di bath tub dengan settingan hangat.
Tanpa menunggu air penuh, aku masuk ke dalam bath tub, menikmati sensasi air hangat yang menyentuh kulitku. Aku memejamkan mataku, berusaha rileks. Memiliki daya ingat fotografis memang memiliki pro dan kontranya sendiri. Kontranya, aku selalu ingat hal-hal yang sangat ingin aku lupakan.
.
Suara mereka tertawa mencemoohku, tangisanku memohon mereka untuk berhenti menyakitiku. Udara yang lembab dan pengap khas basement.
Bau ini, bau keringat dan kotoran binatang bercampur menjadi satu. Tangan dan kakiku tak leluasa bergerak, diikat terentang.
Mataku diikat dengan kain lap hitam yang bau air bekas cucian, mencegahku merekam wajah penculikku dengan otakku. Badanku perih setelah dicambuk dengan yang kutebak sejenis ikat pinggang kulit. Pipiku bengkak setelah ditampar berkali-kali, mencoba berteriak minta tolong.
Aku lapar sekali, sudah berapa lama aku tidak makan? Selama ini aku cuma diberi minum air yang bau amis.
"Darah Merlin… Darah Merlin akan memberi Tuanku kekuatan penuh… Ia akan menjadi lebih kuat, lebih berjaya, Darah Merlin…"
Samar aku dengar racauan orang itu. Tak lama kemudian aku merasakan dinginnya bilah pisau menusuk lenganku. No… please…
.
"NO!" Aku terlonjak bangun dari bathtub. Rupanya aku ketiduran. Air meluap keluar dari bathtub akibat reaksi tubuhku saat terkejut barusan.
'Sudah jam berapa ini?' batinku mengingatkanku untuk menggosok tubuhku dengan benar sebelum keluar. Aku melihat jari tanganku yang sudah keriput. Berarti aku sudah cukup lama berendam.
Aku membalut tubuhku dengan handuk tanpa mengeringkan rambutku dan membiarkan air menetes darinya. Aku suka sensasi dingin di tubuhku sebelum kukeringkan, meskipun itu penyebab aku sering terkena flu.
Terdengar bunyi guntur yang kuat dari luar, meskipun aku masih dalam kamar mandi. Ternyata sudah hujan lebat daritadi. Pantas dingin.
Setengah menggigil, aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar mandi menuju walk-in closet sambil dengan sia-sia berusaha menghapus mimpi buruk yang sudah menghantuiku dua minggu belakangan.
Kakiku membeku ketika melihat seseorang berambut pirang yang kadang kupikirkan sebelum tidur, ada di kamarku.
Draco Malfoy, berdiri di sana, dengan mulut ternganga, menatap tubuhku yang hanya tertutup handuk dari pertengahan payudaraku hingga pertengahan pahaku. Sukses menampilkan sebagian besar kulitku.
Seketika aku ingat apa yang Mom katakan sebelum aku naik ke perpustakaan. "Jangan lupa, malam ini kita makan malam bersama keluarga Malfoy, dear!"
Otakku memerintahkanku untuk lari ke walk-in closetku, tapi kakiku membeku. Dear Merlin, kenapa aku lupa untuk mengunci pintu kamarku.
Seakan waktu terhenti, aku dan Draco saling berpandangan. Hazel melawan abu-abu. Aku bisa merasakan wajahku memanas malu.
Oh great, dia buang muka. Hebat sekali Hermione Granger Potter, marvelous.
Dalam remangnya kamarku, aku bisa melihat wajahnya yang merah hingga telinganya.
"Uhmm, Aunt Lily memintaku memanggilmu di kamar karena dia kira kau tidur Potter, pintu tidak tidak dikunci, kukira – anggap aku tidak melihat apa-apa. Erh, ya, aku tak melihat apa-apa. Uhm, tubuhmu indah, ah bukan bermaksud aneh-aneh, tapi memang – sudahlah kau ditunggu di bawah." Draco meracau sambil melesat keluar dari kamarku kemudian menutup pintu dengan kencang.
Seakan autopilot, aku berjalan menuju walk-in closet dan terduduk. Astaga. Apa yang baru saja terjadi?
Aku menepuk dahiku berkali-kali, menyesal lupa mengunci pintu. Dengan cepat aku mengambil dress pink pucat favoritku dan memakainya.
Dressku polos sederhana, berbahan atasan katun yang tidak gerah dipakai dan bawahan silk yang mekar. Bermodel lengan sabrina, dress ini sukses memamerkan bahuku tanpa membuatku merasa terlalu 'terbuka'.
Aku mengeringkan rambutku dengan hairdryer tiupan maksimal sambil mengobrak-abrik laci makeupku. Aku memulas wajahku dengan liptint dan maskara dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku sibuk mengeringkan rambutku. Aku sangat jago multitasking, if you ask for my opinion.
Aku menyanggul rambutku ke atas ala messy bun, membiarkan anak rambut yang tersisa terurai membingkai wajahku. Setelah memastikan dandananku oke, aku melesat turun ke ruang makan di bawah.
Aku bisa melihat Dad dan Mr. Malfoy sedang berdiri mengobrol dengan raut wajah santai. Banyak yang bilang Mr. Malfoy orangnya kaku dan angkuh, tapi aku tidak menangkap kesan itu malam ini. Dad sadar aku sudah turun dari kamar, menyunggingkan senyumnya padaku.
"Hey there my princess! What took you so long up there?" Dad bertanya kemudian mencium kepalaku. Aku hanya tersenyum lebar tanpa menjawab pertanyaannya.
"Selamat malam Mr. Malfoy, maaf aku terlambat turun, tadi ketiduran saat berendam." Ucapku menyapa kepala keluarga Malfoy, Mr. Lucius Malfoy. "No worries Ms. Potter, you can call me Lucius." balasnya tersenyum kecil.
"You can call me Hermione then, Mr. Lucius" jawabku tanpa mengurangi rasa hormat kepadanya. Dad terlihat puas dengan jawabanku. Aku kemudian melihat kiri-kanan mencari Mom. Oh itu dia, di dapur dengan Mrs. Malfoy.
"Permisi Dad, Mr. Lucius, aku mau membantu Mom menyiapkan makan malam kita" ucapku sambil membungkuk sopan, tidak mau mengganggu pembicaraan mereka. Aku tau mereka mau membicarakan tentang bisnis, itulah tujuan makan malam kali ini.
Aku membantu Mom menyiapkan meja makan, meletakkan piring dan berbagai macam sendok, garpu, dan pisau makan. Aku tersadar bahwa aku belum melihat Draco dan Harry.
Aku menoleh ke taman belakang rumah kami ketika mendengar suara pantulan bola basket dari arah taman belakang. Penasaran, aku berjalan ke sana dengan niat memanggil mereka masuk.
OOO
Draco POV
I NEED A DISTRACTION. Otakku berputar kemana-mana sejak turun dari kamar Hermione. Gelapnya suite tidak bisa menyembunyikan kulitnya yang putih mulus, air yang menetes dari rambutnya, menuju leher, kemudian mengalir hilang ke belahan dadanya yang – Oh my God stop this Draco.
"Kenapa melamun Malfoy?" Aku terlonjak kaget saat ada yang menepuk bahuku dari belakang. Sudah berapa lama aku melamun?
Aku menoleh dengan sangat cepat, aku bersumpah aku mendengar suara krek dari leherku. Ternyata yang mengagetkanku adalah Harry James Potter.
"Oh Harry, tak apa-apa, aku hanya sedang… berkhayal" mengkhayal tanganku di tubuh adikmu, batinku. "Mukamu merah Malfoy" komen Harry.
Iya, karena adikmu, batinku. "Harry, masih main basket? Ayo kita main sebentar, aku bosan." Aku melonjak berdiri tanpa menunggu jawaban Harry yang masih berdiri dengan dahi mengkerut heran melihatku.
Aku berjalan menuju lapangan basket kecil milik keluarga Potter. Bau rumput khas hujan menyambut hidungku. Biasanya aku tak seperti ini. Biasanya aku bisa menjaga image Draco yang dingin, yang tidak kagetan, tidak meracau aneh-aneh.
Urgh, Hermione. Aku tak pernah tertarik dengannya, aku hanya menganggapnya teman satu sekolah. Kenapa malam ini otakku terus menerus membayangkan wajahnya?
Aku melepas jas hitam yang kupakai malam ini kemudian melipat lengan kemejaku yang berwarna hitam juga. Harry yang sadar aku ternyata serius mengajaknya main ikut melepas jas dan menggulung lengan kemejanya.
Harry mengeringkan bola dengan men-dribble kuat, sementara aku baru saja akan melakukan pemanasan ketika aku mendengar suara pintu belakang terbuka dan heels yang berbunyi menyentuh lantai.
"Kalian gila Harry, hujan baru sebentar berhenti, sebentar lagi dinner dimulai, dan kalian malah main basket?" Aku mengenal suara itu. Harry terkekeh sambil menunjukku dengan telunjuknya. Aku menoleh saat merasa ada yang menatapku.
Merlin, Hermione cantik sekali malam ini.
Meskipun tanpa dandanan berat seperti Pansy Parkinson, malah terkesan polos tanpa makeup, dia terlihat bercahaya malam ini. Dress yang dia pakai melekat pas di tubuhnya.
Seketika aku teringat kejadian yang baru saja terjadi berapa waktu lalu. Aku merasa wajahku mulai memanas lagi.
Seperti mengerti apa yang baru saja aku ingat, wajah Hermione ikut memerah. Hermione memalingkan mukanya dariku kemudian berceloteh pada Harry. Aku cuma bisa menangkap "Dinner sebentar lagi dimulai…" dari mulutnya.
Ayolah Draco Lucius Malfoy, bukan sekali dua kali kau melihat tubuh wanita. Malu sekali kau yang dijuluki Prince of Slytherin.
Aku memakai jasku tanpa menggulung kembali lengan kemejaku ketika melihat Harry melakukan hal yang sama. Kami berdua berjalan masuk mengekori Hermione. Di meja makan sudah ada Father, Mother, Mr. dan Mrs. Potter bersiap untuk makan.
Aku mengambil posisi duduk di samping Mother. Hermione duduk di seberangku, disamping Mrs. Potter, kemudian Harry, dan Mr. Potter di kepala meja selaku tuan rumah.
Makan malam berlangsung menyenangkan, kurasa. Hanya aku dan Hermione yang makan dengan diam sambil sesekali tersenyum dan menjawab singkat apabila dipanggil.
Sesekali aku mengintip Hermione yang masih menikmati steak nya dengan lahap. Sejak kapan aku merasa Hermione menarik sekali.
Aku mengintip sekali lagi dan tatapan kami bertemu. Aku menyunggingkan senyum termanis yang bisa kusunggingkan, dan melihat pipinya memerah. Tidak ada yang bisa melawan pesona Malfoy. Dia balas tersenyum malu sambil menyingkirkan kentang gorengnya ke pinggir piring. How cute.
OOO
"Terima kasih untuk makan malamnya yang enak Lily, seperti biasa masakanmu selalu top" aku mendengar Mother memuji Mrs. Potter saat kami berpamitan depan pintu rumah Potter. Tiba-tiba ada yang mencolek lenganku pelan. Aku menoleh dan melihat Father sedikit melotot, mengharapkan etika setelah makanku.
"Terima kasih untuk makan malamnya Mr. dan Mrs. Potter, saya sangat menikmatinya" ucapku sambil sedikit membungkuk pada Mr. dan Mrs. Potter yang balas tersenyum ramah.
"Rumah kami terbuka untuk kalian semua, sering-seringlah mampir ke sini Draco." Aku menyunggingkan senyum pada Mrs. Potter yang memancarkan sifat keibuan. Aku, Father, dan Mother kemudian kembali ke rumah setelah mengucapkan sampai jumpa.
Setibanya di rumah, aku mengucap good night pada Mother dan Father kemudian naik ke suiteku. Udara dingin setelah hujan memang menggigit. Aku mengeluarkan tongkatku, merapalkan mantra penghangat di sekeliling balkon kemudian duduk menikmati malam.
Mataku tertuju pada balkon seberang rumahku. Aku baru sadar, ternyata suiteku berseberangan dengan suite Hermione. Aku melihat dia keluar menarik napas sejenak, menikmati dinginnya udara, kemudian duduk sambil membaca buku.
Ah, aku baru ingat dia seorang Squib. Aku tahu pasti keluarga Potter merupakan keturunan penyihir, baik James, Lily, maupun Harry, semuanya penyihir. Tapi kenapa Hermione tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia penyihir ya? Bahkan aku tidak pernah membahas sihir di depannya karena dilarang Mother dan Father.
Apakah dia tahu dunia sihir itu ada? Heck, kenapa aku tidak pernah sadar kalau Hermione itu Squib?
Tapi tidak pernah ada keturunan Potter yang Squib.
Besok akan kutanyakan pada Mother.
Malam itu berlanjut dengan aku yang merapalkan ward invisible dan memperhatikan Hermione yang serius membaca buku hingga dia masuk ke suitenya.
OOO
Hermione POV
Tak terasa, musim panas sudah selesai. Yang berarti aku harus masuk sekolah lagi.
Urgh, why.
Sebenarnya aku tak keberatan sekolah, aku hanya tak suka orang-orangnya saja.
Lihat kan, aku baru saja duduk di kursiku, sudah terdengar suara cemooh Lavender Brown yang duduk di belakangku.
"Oh, look everyone, Viktor Krum's sweet girlfriend has come back to school. How's your summer holiday, Potter?"
Sudah begini sejak aku berpacaran dengan Viktor Krum, salah satu atlet lulusan Hogwarts yang terkenal. Popularitasnya didukung dengan wajahnya yang tampan khas Bulgaria dan tubuhnya yang terbentuk bagus. Aku jadi bulan-bulanan fans Viktor sejak media mempublikasikan hubungan kami.
Oh, dan tentu Brown lebih sadis padaku, karena dia mantannya Viktor. Lebih tepatnya dia dicampakkan Viktor setelah pacaran 2 minggu karena Viktor tak tahan dengan tingkahnya yang awkward dan berlebihan.
Aku diam tidak meladeni Brown yang masih berceloteh dan mengetawaiku bersama teman-temannya. Hanya memasang earpod kesayanganku di telinga untuk menutup suara cempreng Brown.
Bel berbunyi dan semua orang sibuk duduk manis di tempatnya karena pelajaran pertama hari ini Fisika, diajar oleh Professor Umbridge, wanita tua serba pink yang wajahnya mengingatkanku pada kodok.
Sudah lama aku tau Professor Umbridge tidak suka padaku sejak aku mematahkan argumennya mengenai teori Dinamika Fluida. Dia selalu berusaha mempermalukanku di kelas.
"Selamat pagi murid-muridku yang tercinta." Hoek, aku mau muntah. "Untuk menyegarkan kembali ingatan kalian mengenai pelajaran terakhir kita sebelum libur, saya ingin kalian membuka buku kalian halaman 124 mengenai Hukum Newton. Silahkan."
Keheningan kelas dipecahkan dengan suara lembar buku yang sedang dibuka. Aku merogoh tasku dan mematung. Kemana buku fisikaku? Aku yakin sekali aku memasukkannya ke tas tadi pagi. Dan ingatanku tidak pernah salah karena aku punya daya ingat fotografis.
"Miss Potter, kemana bukumu?" aku kembali mematung mendengar suara Prof. Umbridge di samping mejaku. "Erh, sepertinya aku lupa membawanya Prof."
"Lupa? Bukan alasan yang baik bagi seseorang yang punya daya ingat luar biasa seperti dirimu kan?" jawabnya dengan senyum lebar yang membuatnya makin terlihat seperti kodok. Aku yakin 100% senyum itu palsu.
"Apakah kau berusaha meremehkan pelajaran saya, Miss Potter?" aku membelalakkan mataku mendengar tuduhannya. Gila, belum 3 jam aku di sekolah dan emosiku sudah mulai terpancing.
"Tidak Prof."
"Lantas kenapa kau tidak membawa buku untuk pelajaran saya? Apa kau sudah cukup pintar sehingga tidak lagi membutuhkan bukumu?"
Aku merasakan tatapan seluruh murid di kelas tertuju padaku. Wajahku merah padam. Aku menunduk, tak tahu harus bagaimana. Samar aku merasakan kursiku bergetar.
"Atau kau tidak lagi membutuhkan pelajaran saya?"
Aku terdiam. Terdengar suara Brown dan kawan-kawannya terkikik pelan. Pasti mereka yang mengambil bukuku.
"Jawab saya Miss Potter, apakah kau masih membutuhkan pelajaran saya untuk lulus dari sekolah ini?"
For Merlin's sake, it's just a stupid book. "Saya masih butuh Prof." aku menjawab sambil menatap kodok jelmaan manusia di sampingku. Aku tak akan menunjukkan kelemahan depan mereka.
"Well, saya senang sekali Miss Potter dengan berani menyatakan masih butuh pelajaran saya. Tugas untuk semua, tulis essay mengenai hukum-hukum yang dikemukakan Newton selama masanya, 20 halaman tulis tangan, teori, contoh, bukti dan penerapan teorinya, dikumpul minggu depan."
I can hear my classmates groan. Mereka mengeluh kemudian menatapku tajam menyalahkanku. Aku menghela napas, tak tahu harus berbuat apa. Ini masih mata pelajaran pertama dan aku sudah sial.
.
Pelajaran selanjutnya berlangsung buruk. Aku tak bisa fokus karena cekikikan Brown.
Istirahatpun aku tak tenang mendengar Brown yang jelas-jelas menggosipkan aku yang tidak-tidak. Seperti melihatku di klub malam, mabuk, pelukan dengan pria lain. Kemudian menggosipkan bahwa aku hanya anak pungut yang dikasihani oleh keluarga Potter, aku mempermainkan nama Potter. Hell.
Tak ada yang mau bicara denganku selain Neville Longbottom yang duduk di sampingku. Bukan aku tidak menghargai sifatnya yang bersahabat, tapi dia terus menerus bercerita mengenai neneknya.
Sungguh, aku berusaha terlihat tertarik, tapi Longbottom berkhayal. Mana mungkin neneknya bisa menyihir orang pingsan dan aksi-aksi heroik yang diceritakan Longbottom. There's no such thing as magic, aku ingin menjawab Longbottom dengan kalimat ini, tapi tidak tega.
Aku membiarkan Neville dan imajinasinya mengenai neneknya seorang penyihir dan dunia sihir, ketika aku melihat rambut pirang lewat depan kelasku.
Draco Malfoy. Teman satu sekolahku. Tetanggaku. My guilty crush. Dia sedang menertawakan apapun yang diceritakan oleh Blaise Zabini, sahabatnya. Aku tau aku sudah punya Viktor, tak seharusnya aku naksir sama pria lain.
Bel berbunyi dan Neville mengucapkan sesuatu yang kutangkap sebagai harus ganti seragam karena setelah ini kami olahraga. Aku bergegas menuju lokerku, mengambil baju olahraga yang tergantung di sana, dan berjalan menuju gym.
Madam Rolanda Hooch, guru olahraga kami, menjadwalkan kami untuk bermain dodgeball karena ia harus menghadiri rapat dewan guru sekolah.
Kami satu kelas dengan Slytherin di pelajaran ini. Aku melirik Draco yang sedang melakukan pemanasan di tepi lapangan dan ikut melakukan hal yang sama.
Mungkin sadar dilirik, dia melihatku kemudian menyunggingkan senyum manisnya. Aku balas tersenyum sambil sedikit mengangguk menyapa.
Peluit berbunyi dan kami berkumpul. Laki-laki versus laki-laki, perempuan versus perempuan. Dodgeball kali ini lumayan seru, aku bisa melampiaskan emosiku karena seharian dicemooh dan dibully Lavender Brown dan kroconya.
Sasaranku tentu saja Brown. Dia terlihat kaget aku melempar bola padanya dan memekik centil. Aku tersenyum puas dan makin mengganas, melempar bola ke arah Brown dan Patil bersaudara. Mereka balas melempar namun tidak satupun bola mengenaiku. Nice.
Aku duduk di tepi lapangan sambil minum setelah puas melampiaskan emosiku. Aku membalikkan badan dengan tujuan ingin melihat Draco, namun malah menemukan Lavender Brown dengan aura gelap menghentakkan kakinya menghampiriku.
Uh oh. Here comes trouble.
"APA YANG KAU BERUSAHA LAKUKAN POTTER!? MENGHAJARKU!?" Aku tersentak mendengar dia berteriak seolah-olah dia keturunan Banshee. Kau tau kan, monster mitos yang katanya pekikannya bisa menulikan telinga?
"Apa maksudmu Brown? It was just a game." Jawabku dengan tenang.
"KAU DENGAN SENGAJA MENARGETKANKU DAN SAHABAT-SAHABATKU! JANGAN KAU KIRA AKU TAK TAHU! DASAR PREMAN, APA VIKTOR TAU SIKAPMU YANG BARBAR SEPERTI INI!?" lagi, aku melongo.
Apa hubungannya dengan Viktor? Lagian, dia tak merasa pantas kugitukan setelah menyebar gosip tak benar tentangku di hari pertama sekolah?
Orang-orang mulai berkumpul penasaran melihat kami.
"AKU TAU KAU MEMBENCIKU POTTER, AKU MANTAN PACAR VIKTOR, AKU BERUSAHA BERTEMAN DENGANMU TAPI KAU TAK PERNAH MEMBALAS KEBAIKANKU!" aku terkejut kemudian menggelengkan kepala melihat drama queen satu ini mulai menitikkan air mata, seolah yang kulakukan selama dodgeball tadi benar-benar keterlaluan.
"Lavender Brown, kau sudah keterlaluan. Kita tadi main dodgeball dan kau kebetulan ada di depanku. Sewajarnya kan aku melempar bola padamu? Lagian kau harusnya menghindari, bukan memekik tak karuan di situ." Beberapa orang tertawa mendengar jawabanku. Aku merasa didukung.
Lavender membulatkan matanya dan makin menangis histeris. "AKU TAK TAHAN DENGANMU POTTER! KAU SUDAH MEREBUT VIKTOR, POPULARITAS DI SEKOLAH, KESAYANGAN GURU-GURU, APALAGI YANG KAU MAU!?"
Oke. Anak ini sudah tidak nyambung. Aku mengulurkan tangan berusaha menenangkannya, "Lavender –"
"NO! NO! NO! NO!" aku menatap horror ketika aku benar-benar melihat mata Lavender berubah hitam. Bukan hanya area matanya, bahkan hingga ke area sekitar kelopak matanya. Dia berteriak histeris.
Sekujur tubuhku kaku. Aku mendengar teman-teman sekelasku juga berteriak dan menjauh dari kami. Lavender menatapku benci. Aura hitam keluar dari tubuhnya.
Dia terlihat menahan amarah yang siap meledak kuat kapan saja. Dia menarik napas dalam –
"POTTER TUTUP TELINGAMU DAN LARI!" spontan aku menutup telinga dengan tanganku, menuruti Draco dan sahabatnya, Blaise dan Theodore yang berlari ke arahku sambil mengacungkan tongkat kayu ke Lavender.
"Stupe – " Apapun yang akan diucapkannya terputus oleh teriakan Lavender yang mementalkan Draco, Blaise, Theodore, memecahkan lantai kayu sekelilingnya, anehnya aku tidak kenapa-napa.
"MALFOY!" Aku berteriak memanggilnya yang terkulai lemas di lantai gym, kepalanya terlihat mengeluarkan darah.
Aku sudah siap-siap berlari ke arah Draco ketika Lavender menjambak rambutku. Sakit, apa yang terjadi? Segala macam teori muncul di kepalaku namun tidak ada satupun yang dapat menjelaskan situasi ini.
Lavender mengangkatku kasar dengan mencekikku. I gasp for air. Reflek aku mencengkeram tangan Lavender yang mencekikku dengan kekuatan yang tak normal bagi seorang Lavender Brown. Namun yang terjadi selanjutnya lebih mengejutkanku.
Tangan Lavender seakan berubah menjadi debu setelah makin lama kusentuh. Lavender melotot, menjerit histeris melihat tangannya. "APA YANG KAU LAKUKAN POTTER!?" Suaranya bukan lagi cempreng, melainkan seperti orang kesurupan.
Entah apa yang kulakukan, aku menyentuh tangannya yang satu lagi dan tangan itu berubah menjadi debu juga. "ARGHHH!"
Aku terlepas dari cekikan Lavender yang masih histeris, sambil terbatuk. Dengan rakus aku menarik napas, dan menatap horror saat Lavender kembali berusaha menggapaiku dengan tangannya yang akan hilang apabila ditiup angin.
"Reducto!" Aku mendengar suara Draco dan melihat kilatan cahaya keluar dari tongkatnya. Lavender terpelanting ke belakang, namun kemudian menggeram. Aku kembali menatap horror saat melihat tangan Lavender tumbuh, namun bukan menjadi tangan, tapi menjadi sayap.
Draco menarikku berdiri untuk lari sambil mengacungkan tongkatnya ke Lavender, "LARI POTTER! DIA MENGINCARMU!"
"DARAH MERLIN! AKAN KUBERIKAN PADA TUANKU!" jeritan Lavender membuat kakiku membeku. Darah Merlin? Aku pernah mendengar ini di mimpiku.
"Potter sadarlah! Kau harus lari!" ucap Draco kemudian menoleh pada Blaise dan Theo. "Tahan mutan ini! Aku akan membawa Potter lari dari sini!"
Blaise dan Theo mengangguk dan berlari menghadang mutan-Lavender sementara Draco menarikku keluar dari gym.
"Draco kita mau kemana?" akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku setelah tertahan lama. Banyak yang ingin kutanya, tapi tak bisa keluar dari mulutku.
Draco tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya mengusap pipiku lembut berusaha menenangkanku, kemudian menggumamkan "Expecto Patronum". Seketika aku melihat sesuatu berwarna silver keperakan keluar dari tongkat yang dia bawa sedari tadi, membentuk seekor anjing husky, dan berlari entah kemana.
"Darah Merlin.. Draco, aku mendengar kalimat itu di mimpiku selama dua minggu terakhir, apa itu? Apa yang terjadi pada Lavender? Aku –" Draco meletakkan jarinya di mulutku, isyarat diam, dan akupun diam.
Jeritan Lavender tidak terdengar lagi. Aku heran, kemana semua guru di sekolah ini, saat ada keributan begini mereka tidak muncul. Tak lama aku melihat Blaise dan Theo berlari menghampiri kami. "Kita harus membawa Potter keluar dari sini Draco, dia tidak aman di sini."
Aku melongo menatap Blaise, kemudian Draco yang terlihat setuju dengan Blaise, kemudian Theo. "Hei, apa yang kalian maksud?! Aku perlu penjelasan, apa yang baru saja terjadi!?" Aku mengacak rambutku frustasi karena dicuekin ketiga laki-laki ini.
"Aku bisa saja menjelaskannya padamu Potter, tapi pertama-tama telingamu harus diobati dan kau harus menenangkan dirimu dulu." Jawab Draco datar.
"Aku akan menghubungi Dumbledore untuk ceritakan apa yang terjadi di sini." Ucap Blaise.
"Aku akan menghubungi Auror dan Kementerian Sihir mengenai Lavender." Ucap Theo.
"Dan aku akan membawa Potter pulang ke rumahnya. Aku perlu menjelaskan kejadian ini pada keluarga Potter." Ucap Draco.
Ketiganya mengangguk, kemudian Blaise dan Theo menghilang begitu saja diikuti suara pop saat mereka menghilang.
"Ayo kita ke mobilku, kita pulang." Aku hanya mendengar perkataan Draco samar.
Kemudian semuanya menjadi gelap.
TBC.
