Carrier

.

Shikamaru dan Temari tak pernah menyangka liburan anak semata wayang mereka ke Hokkaido harus dibayar mahal seperti ini.

.

.

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU. Dark themes. Contains some medical terms.

.

.

Chapter I

Matahari pagi bersinar cerah di Tokyo hari ini. Musim panas sedang menyambangi negeri matahari terbit, membuat semua insan yang berada di dalamnya turut merasakan euforia musim yang paling dinanti-nanti. Udara yang tak begitu dingin seakan menjadi anugerah setelah musim semi yang sering memberi hujan dan udara menusuk. Siang memanjang dan malam memendek, membuat langit Tokyo sudah tampak sangat cerah walaupun hari baru menunjukkan pukul enam pagi.

Temari yang sebenarnya sudah terbangun sejak beberapa menit lalu kini meregangkan badan dan mengucek matanya pelan. Pandangannya beralih ke arah jam waker di meja yang berada di samping ranjangnya. Bola mata hijau itu lalu berpaling ke seorang pria berambut panjang yang sedang tertidur pulas di sampingnya.

Temari sedikit menggeser badannya mendekati pria yang tak lain adalah suaminya tersebut. Tangannya ia lingkarkan di pinggang pria itu dengan erat. Bibirnya ia daratkan ke pipi suaminya sebelum membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Bangun, tuan pemalas," ucapnya. Sang suami tak merespon. Hanya terdengar dengkuran halus yang volumenya sama sekali tak berubah bahkan setelah mendapat perlakuan dari sang isteri.

Temari tersenyum melihat tingkah suaminya. Ia mengurai pelukannya dari pinggang pria tersebut dan mengambil gerakan cepat untuk duduk di atas perut bidang suami tukang tidurnya. Badannya ia rendahkan sehingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Perlakuan tiba-tiba itu akirnya mendapat respon dari yang ditindih.

"Ouch, woman! You're going to kill me!" ucap pria itu parau sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang Temari.

"Makanya bangun, Shikamaru!" balas Temari tanpa mengubah jarak wajah mereka.

"Uh," keluh pria yang bernama Shikamaru itu. "Apa untungnya bangun pagi-pagi di musim panas? Hari Minggu pula," lanjutnya. Dengan tenaganya yang masih belum terkumpul sempurna ia membalikkan badan Temari sehingga wanita itu akhirnya kembali dalam posisi tiduran menghadapnya di atas kasur. Shikamaru kembali melingkarkan tangannya di pinggang isteri cantiknya tersebut, mengisyaratkan pada wanita itu untuk mendekat.

"Ada kabar hari ini dari bocah merepotkan?" tanya Shikamaru lagi. Temari hanya menggeleng.

"Yang jelas, besok Shikadai pulang," ucap Temari sambil menatap wajah suaminya.

"Which means?" tanya Shikamaru dengan nada menggoda. Salah satu tangannya mulai ia sisipkan ke dalam baju tidur Temari yang longgar, sementara yang satunya lagi mengelus rambut pirang sang isteri.

"Liburan kita selesai," jawab Temari singkat.

"Liburan?" tanya suaminya lagi dengan nada yang dibuat-dibuat. Tangannya makin aktif merayap di balik pakaian Temari.

"Hmm, oke. Bulan madu," konfirmasi Temari. Shikamaru terkekeh tanpa sedikitpun menghentikan kegiatannya.

"Jadi menurutmu apa yang harus kita lakukan, Nyonya Nara?" kali ini nada menantang terdengar dari kalimat Shikamaru.

"Everything that makes you happy," jawab Temari dengan nada tak kalah menggoda sambil kembali duduk di atas badan Shikamaru, namun kali ini dengan lembut. Bibirnya kini juga turut menciumi setiap inci wajah suaminya tanpa ampun.

"You are really going to kill me, woman."

.

.

.

"Ah, aku lapar sekali," ucap Shikamaru sambil menunggu sarapan yang disiapkan isterinya terhidang di meja makan. Rambut hitam sebahunya kini sudah diikat.

"Salahmu sendiri, siapa yang memulai begitu," jawab Temari tetap memunggungi Shikamaru. Ia sedang sibuk membuat omelet untuk sarapannya dan sang suami yang sebenarnya sudah terlampau telat untuk disebut sarapan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Shikamaru menghela nafasnya tak sabar. Perutnya benar-benar keroncongan.

"Ini," akhirnya Temari selesai dengan hidangannya. Ia menghidangkan omelet masing-masing satu untuk dia dan suaminya. Temari menuangkan segelas susu di hadapan Shikamaru sebelum dirinya beranjak duduk di kursi makan yang berhadapan dengan pria jangkung tersebut.

"Thanks," balas Shikamaru singkat. Ia segera dengan lahap menyantap sarapannya.

"Aku benar-benar merindukan Shikadai," ucap Temari memecah kesunyian.

"Aku juga. Tapi lebih bagus kalau dia memperpanjang liburannya di Hokkaido," ucap Shikamaru santai.

"Kau bercanda!" balas Temari sengit sampil melemparkan sehelai tissue yang digulung ke arah suaminya. Shikamaru hampir tersedak karena melihat tingkah wanita pirang tersebut.

"Iya iya, wanita merepotkan. Tentu saja aku bercanda," ucapnya sambil terus terkekeh.

Temari hanya memberi muka masam sambil terus menyantap sarapannya.

Meja makan sudah dua minggu ini terasa sepi tanpa kehadiran bocah laki-laki bermata hijau di tengah keluarga kecil tersebut. Shikadai yang terlalu menyayangi paman-pamannya dengan cepat mengiyakan ajakan mereka untuk berlibur di Hokkaido bahkan sejak awal musim panas. Prefektur tersebut adalah negeri asal Temari. Namun, semenjak pernikahannya dengan seorang dokter ternama di Tokyo, Shikamaru Nara, ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan membangun kehidupan bersama pewaris tunggal Nara di ibukota Jepang tersebut. Kini tinggalah kedua adiknya, Gaara dan Kankuro yang menghuni rumah mereka di Hokkaido berhubung ayah dan ibu mereka sudah lama meninggal.

Shikamaru adalah seorang dokter. Liburan musim panas dengan hari-hari biasa hampir tak ada bedanya. Ia tetap harus mengabdi di rumah sakit pusat dari hari Senin sampai Jumat. Jadi wajar saja kalau bulan madu singkatnya dengan Temari ini bahkan terasa terlalu singkat.

Sepasang suami isteri tersebut terus melanjutkan obrolan mereka di meja makan sampai suara telefon mengagetkan mereka.

"Biar aku saja," ujar Shikamaru sigap sambil berlalu ke ruang tengah tempat dimana telefon itu berada.

"Halo," suara baritonnya membuka percakapan tersebut.

"Apa!?" ujarnya dengan nada terkejut yang tak dibuat-buat beberapa detik setelahnya. Suara itu cukup keras untuk bisa didengar oleh Temari dari ruang makan.

"Baiklah, terima kasih, Sakura," tutupnya memutus pembicaraan sebelum meletakkan kembali gagang telefon tersebut di tempatnya.

"Ada apa?" tanya Temari dengan ekspresi cemas. Firasat buruk mulai menyelimuti hatinya.

"Sebuah penyakit aneh diketahui menyerang beberapa warga tadi malam," jawab Shikamaru sambil berlalu menuju sofa di depan TV. Ia menghdiupkan benda elektronik tersebut dengan terburu-buru.

"Warga mana?" tanya Temari lagi.

"Pemerintah bersama Dinas Kesehatan telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa pada prefektur Hokkaido sehubungan dengan didapatinya beberapa warga yang diduga terjangkit sebuah penyakit yang masih dalam proses identifikasi. Apakah penyakit ini merupakan sebuah new emerging disease(*) atau bukan belum dapat dipastikan. Pemerintah mengambil kebijakan untuk mengisolasi sementara seluruh wilayah prefektur. Demikian Breaking News..."

"Hokkaido?" tanya Temari dengan wajah memucat ke arah Shikamaru yang terpaku duduk di sofa. Pertanyaan itu lebih tepatnya adalah jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya.

"Apa ini, Shikamaru?" kini Temari bertanya sambil mengguncang bahu suaminya yang dari tadi diam. Shikamaru lagi-lagi mengacuhkan tanya Temari dan kembali beranjak menuju telefon, menekan beberapa nomor dan mendekatkan gagang telefon tersebut ke telinganya.

Tak sampai tiga puluh detik sampai gagang telefon itu ia jauhkan dari telinganya.

"Temari, berapa nomor ponsel Gaara atau Kankuro? Telefon rumahnya tidak tersambung," ucap Shikamaru tetap berusaha tenang. Temari menyebutkan nomor ponsel salah satu adiknya itu yang sudah ia hafal di luar kepala. Dirinya kini sudah berada persis di belakang Shikamaru.

Shikamaru menunggu dengan sabar sampai panggilan itu diangkat oleh seseorang di seberang sana. Temari dengan wajah harap-harap cemas memegangi pergelangan tangan suaminya.

"Ah, halo? Ah, syukurlah kau angkat!" kata Shikamaru tiba-tiba membuat pegangan Temari di tangannya terurai.

"Bagaimana keadaan di sana? Bagaimana Shikadai?" tanya Shikamaru tak sabar.

"Kami baik-baik saja. Mereka yang diduga terjangkit penyakit ini berada jauh dari kediaman kami," samar-samar Temari mendengar suara Gaara dari seberang sana.

"Thank God," ucap Shikamaru di hembusan nafasnya. "Aku mohon jaga Shikadai. Kalau bisa jangan ada di antara kalian yang keluar rumah sampai status karantina wilayah dicabut. Kalau penyakit ini disebabkan oleh virus, bisa sangat mudah penularannya," perintah Shikamaru tanpa jeda pada adik iparnya.

"Bisa aku bicara dengan Shikadai?" rengek Temari dengan sedikit mengiba. Shikamaru yang mendengarnya langsung memerintahkan Gaara untuk memberikan ponselnya ke anak semata wayang keluarga Nara tersebut.

"Halo?" suara khas bocah yang belum menginjak umur sepuluh tahun tersebut terdengar dari seberang.

"Halo, Nak? Oh, Shikadai, ibu sangat mengkhawatirkanmu," ucap Temari tergesa-gesa. Shikadai pastilah mengucapkan sesuatu yang menenangkan hati ibunya karena wajah tegang Temari kini perlahan berubah lunak.

"Jaga dirimu, ya, Shikadai. Jangan keluar rumah dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi tetangga terdekat atau ayah dan ibu. Mengerti?" wejang Temari pada putera semata wayangnya.

Setelah benar-benar merasa yakin dengan keadaan Shikadai, Temari akhirnya memberikan telefon itu ke suaminya.

"Halo, Shikadai," ucap Shikamaru membuka percakapan.

"Dengar kata ibumu tadi, ya. Ikuti semua perintah paman Gaara dan paman Kankuro. Kalau Hokkaido sudah boleh dikunjungi, biar ayah saja yang nanti menjemputmu ke sana," lanjut Shikamaru tanpa basa-basi.

"Bilang ke pamanmu, jangan jauh-jauh dari ponsel. Nanti ayah atau ibu akan telfon lagi," ucap Shikamaru sebelum akhirnya menutup percakapan telefon tersebut.

Shikamaru dan Temari sama-sama menghela nafas setelah gagang telefon itu kembali ke posisinya. Mereka berdua berjalan ke arah sofa dan mendudukkan diri mereka di busa empuk tersebut.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Shikamaru?"

"Entahlah. Sakura tadi menelfonku dan memberi tahu bahwa ada penyakit aneh yang berjangkit di Hokkaido. Karena aku pernah cerita bahwa Shikadai sedang berlibur di Hokkaido makanya ia menelfonku. Informasi sementara penyakit tersebut bersifat akut(*) dan menyerang sistem saraf," jelas Shikamaru. Hidup bertahun-tahun dengan seorang dokter membuat Temari yang pekerjaannya adalah pegawai swasta sedikit banyak mengetahui terminologi-terminologi kedokteran.

"Lalu apa gejalanya?"

"Masih simpang siur. Ada yang mengatakan cuma seperti demam biasa disertai disorientasi(*). Ada lagi yang mengatakan penderita sampai kejang dan kehilangan kesadaran. Hanya itu info yang Sakura dapatkan saat ini."

"Sounds bad," balas Temari dengan raut wajah khawatir. "Aku semakin mengkhawatirkan Shikadai," lanjutnya. Shikamaru hanya menghela nafas. Ia juga tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya sekalipun baru saja Shikadai memberi tahu bahwa ia dan paman-pamannya tak apa-apa.

"Sebentar, Temari," Shikamaru berkata sambil beranjak dari sofa tersebut menuju kamarnya, mengambil sesuatu.

Ia kembali dengan sebuah laptop di tangan.

Dibukanya laptop tersebut setelah badannya kembali ia dudukkan di sofa tepat di samping Temari. Temari mendekatkan badannya ke arah Shikamaru agar ia dapat melihat dengan jelas apa yang akan dikerjakan suaminya dengan barang itu.

"Wabah Hokkaido," eja Shikamaru sambil mengetik kata yang diucapkannya di mesin pencari. Temari semakin memajukan kepalanya penasaran.

Tak sampai satu detik, puluhan berita mengenai wabah Hokkaido yang diketahui sejak tadi malam muncul di layar laptop Shikamaru. Ia mengklik berita paling atas.

"Diduga menyerang prefektur sejak Sabtu siang," Shikamaru membaca keras beberapa kalimat yang dianggapnya penting. Temari turut membaca dengan seksama.

"Tujuh orang suspek kini diisolasi di rumah sakit Hokkaido..."

"Pemerintah memberlakukan aturan karantina sesuai ketentuan WHO..."

"Suspek mula-mula menunjukkan gejala demam, kelelahan, dan gejala-gejala pencernaan seperti mual dan muntah serta nyeri tulang. Beberapa jam setelahnya muncul kelainan kulit berupa bintik-bintik merah yang cepat menonjol dan bernanah berdiameter kurang lebih dua sentimeter. Dua dari ketujuh orang suspek menunjukkan gejala sistem saraf pusat seperti nyeri kepala hebat, kejang sampai penurunan kesadaran..."

"Namun, yang khas dan positif dari semua suspek adalah rasa haus tak tertahankan disertai fotofobia(*), peningkatan sekresi air liur dan disorientasi. Hampir mirip gejala rabies..."

"Sampai saat ini riwayat gigitan hewan penular rabies masih disangkal. Rabies juga sudah berhasil dieliminasi dari prefektur ini sejak sepuluh tahun yang lalu..."

"Jenis agen patogen dan jalur transmisinya sampai sekarang belum bisa dipastikan. Namun, ada dua dugaan yang paling kuat mengenai penularan, yakni lewat cairan tubuh atau lewat udara, sehubungan dengan fakta bahwa empat dari tujuh orang suspek tersebut adalah bagian dari sebuah keluarga..."

"Ada baiknya Anda tetap berada di dalam rumah sampai pemerintah mengumumkan tindak lanjut dari wabah ini," Shikamaru mengakhiri kalimatnya.

Kedua insan yang duduk di sofa itu kini sama-sama tercekat.

"Shit," umpat Shikamaru di helaan nafasnya.

"Do you have any idea of what is this?" tanya Temari dengan mata berkaca-kaca. Perasaan khawatirnya terhadap sang anak dan kedua adiknya semakin menjadi-jadi.

"Looks like rabies," jawab Shikamaru dengan pandangan menerawang. "Tapi rabies memang sudah lama dieliminasi dari sana. Dan lagipula, masa inkubasi(*)nya terlalu cepat dan rabies tak menimbulkan bintik-bintik bernanah seperti itu..." Shikamaru menggantung kalimatnya di udara.

"Atau..." Shikamaru kini menatap isterinya. "Atau...variola. Ya! Ini mirip variola! Cuma bedanya tak ada rasa haus yang berlebihan, dan hipersalivasi(*)," Shikamaru terlihat berpikir keras.

"Variola?" tanya Temari bingung. Rasanya ia pernah mendengar sekali atau dua kali tentang penyakit ini, tapi entah kapan, ia tak ingat persis. Sepertinya ini adalah penyakit langka.

"Ya, variola. Sejenis cacar, namun lebih ganas. Dan juga , inkubasinya tak secepat itu. Tapi..."

"Tapi apa?"

"WHO sudah menyatakan dunia bebas dari penyakit ini sejak tahun 1984," dahi Shikamaru dan Temari sama-sama mengernyit. Oh, jadi ini alasan mengapa Temari merasa jarang sekali mendengar nama penyakitnya.

"Apa itu berarti penyakit ini musnah untuk selamanya?" tanya Temari.

"Tentu saja tidak," jawab Shikamaru cepat. "Variola disebabkan oleh virus. Virus memiliki sifat yang mudah berubah dan gampang bermutasi. Penyakit-penyakit seperti itu unpredictable."

Temari menghela nafas frustasi.

"Menurut data sementara dan analisaku, hanya ada dua kemungkinan terkuat. Pertama, ini adalah penyakit yang benar-benar disebabkan patogen baru. Kedua, ini adalah bentuk mutasi dari virus rabies atau variola. Tak ada lagi penyakit lain dengan hipersalivasi dan fotofobia selain rabies. Tak ada juga penyakit akut dengan gejala kulit seperti itu selain variola," ujar Shikamaru panjang lebar.

"Lalu kenapa butuh waktu lama sekali untuk mengidentifikasi patogennya?" tanya Temari dengan nada meninggi.

"Tidak semudah itu mengidentifikasi penyebab sebuah penyakit, Temari. Apalagi yang belum pernah diketahui selama ini," Shikamaru menjawab sambil mengurut pelipisnya.

"Tapi sebenarnya bukan itu yang paling menjadi masalah..." ucap Shikamaru dengan suara teramat pelan.

"Maksudmu?"

"Penularannya. Kalau memang ini menular lewat udara..."

"Semua orang bisa tertular dalam waktu singkat?" Temari memotong kalimat Shikamaru.

Shikamaru mengangguk pelan. Temari ingin menangis.

Shikamaru menyesal telah menyampaikan hal barusan karena dilihatnya wajah Temari yang semakin memucat disertai peluh dingin yang mulai mengucur dari pelipisnya.

Ia mengulurkan lengannya untuk merengkuh bahu sang isteri.

"Tenanglah, Temari. Semuanya belum pasti. Kita berdoa saja," ucap Shikamaru sambil mengelus pundak si wanita pirang. "Aku akan terus memantau perkembangan penyakit ini lewat Sakura. Ia dulu sempat bekerja sebagai dokter di Dinas Kesehatan."

"Shikadai..." hanya itu respon yang diberikan Temari. Ia seperti kehabisan kata-kata. Wajar saja ia begitu sebagai seorang ibu, dari anak semata wayang pula.

Tak ada satupun dari Shikamaru dan Temari yang menyangka bahwa hari Minggu yang awalnya indah bagi keluarga Nara itu kini seketika berubah menjadi mencekam.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

(*) Carrier: orang yang punya agen penyakit dalam tubuhnya, bisa menularkan ke orang lain, tapi dirinya sendiri tidak menampakkan gejala.

(*) New emerging disease: penyakit yang belum pernah diketahui sebelumnya.

(*) Akut: munculan gejala penyakit yang bersifat cepat, parah dan tak bertahan lama.

(*) Disorientasi: kebingungan (tidak bisa mengidentifikasi waktu, ruang dan orang).

(*) Inkubasi: masa mulai dari masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh sampai muncul gejala pertama.

(*) Fotofobia: ketakutan terhadap cahaya (terutama cahaya matahari).

(*) Hipersalivasi: peningkatan produksi air liur secara berlebihan.

.

.

.

AN: Halo, semua! Saya hadir dengan fic AU bertemakan zombie apocalypse. Maaf ya kalau teman-teman sakit mata melihat istilah-istilahnya. Tapi ini sengaja saya tampilkan untuk menambah kesan real. Karena emang di novel-novel zombie ya bahasanya seperti itu, lol.

Silahkan direview jika berkenan :)

- DesertLily7