Yahoo minna-san! Boku wa Mayura desu! Ini pertama kalinya boku mendatangi fandom ini dan menumpahkan imajinasi liar seorang Mayura Sonozaki sebagai bentuk kecintaannya pada sosok Ea. Oke, minna-san! Happy reading and please review! ^-^
Kal selalu berpikir, apakah salah jika dirinya tidak mempercayai orang lain? Apakah salah jika dirinya tenggelam dalam kesendirian, setelah dirinya dikhianati saat dia masih hidup, oleh keluarga teman dekatnya? Dan salahkah ketika dia bersikap apatis terhadap sekelilingnya, saat tahu dirinya bangkit kembali sebagai salah satu dari Seven Ghost—Ea—yang bertugas untuk me-record semua nomor roh yang ada di dunia serta menentukan tempat yang tepat bagi mereka setelah kematian menjemput.
Kal tidak pernah ingin menjadi seorang Pencabut Nyawa. Kal juga tidak perlu percaya pada orang-orang di sekitarnya, karena ia pasti akan dikhianati lagi. Kal juga tidak butuh sesuatu yang disebut 'teman' atau 'sahabat', karena menurutnya itu bukanlah hal yang diperlukannya sebagai Ghost. Tapi seperti sudah ditakdirkan oleh Tuhan, Kal dipertemukan dengan 'orang itu'. Anak muda bernama Landkarte. Ghost yang bertugas untuk mengantarkan seseorang atau dirinya sendiri ke tempat yang seharusnya. Kal jadi berpikir ulang, apakah Tuhan sengaja mempermainkannya dengan takdir yang dia jalani saat ini bersama Landkarte?
#
#
Trick of Fate
[Ketika takdir mempermainkanmu]
Disclaimer : 07-Ghost © Amemiya Yuki & Ichihara Yukino
Rated : T
Genre : Friendship/Angst
Main Characters : Ea-Landkarte
Note : Canon (based on Kapitel 68: Land of Seele-Kapitel 88: Landkarte), typo(s), maybe OOC, Ea's Centric. Not Shounen-ai!
Summary : Kenapa jadi begini? Bukankah kau yang pertama kali mengajarkan padaku, bahwa seharusnya aku menikmati hidupku yang sekarang? Kau juga orang pertama yang mengajarkanku arti "Sahabat". Tapi, kenapa kau berubah, Landkarte?
Bagian Satu
#
#
Kubuka mataku perlahan dan mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Ini di mana? Bukankah seharusnya aku sudah mati? Aku tahu bagaimana rasanya saat tubuhku meregang nyawa, tapi… Tapi, kenapa aku masih hidup, bernapas, berpikir, dan merasakan layaknya manusia hidup?
Aku mengedarkan bola mataku ke sekelilingku dan mengernyit. Gereja Order Balsburg? Kenapa aku bisa berada di sini? Aku tambah tidak mengerti tatkala aku melihat sekelompok orang berkerumun di depanku dan membicarakan sesuatu yang tidak kumengerti.
Ada beberapa hal yang masih kuingat beberapa saat yang lalu. Pertama, aku masih mengingat wajah mengerikan orang yang membunuhku. Kedua, yang kutahu orang yang membunuhku itu sangat mengharapkan anaknya—yang merupakan saudara sepupuku—terpilih menjadi pewaris tahta kekaisaran. Ketiga, saat aku melihat simbol aneh yang tercetak di punggung tangan kananku—yang berbentuk seperti sabit yang memiliki bulatan di dalamnya, dan di atas bentuk bulan sabit tersebut ada bulan sabit lain yang berlawanan arah dengan bulan sabit pertama—aku segera sadar kalau aku yang sekarang bukan lagi aku yang dulu.
Aku yang sekarang bukan lagi roh manusia yang meninggalkan dunia fana sebelum waktunya. Aku bukan lagi Kal, salah satu kandidat pewaris tahta kekisaran Balsburg. Bukan lagi Kal yang dibunuh oleh seseorang yang merupakan kerabatnya.
Aku adalah Ea, sang Roh Pembangkit. Salah satu dari Seven Ghost yang bertugas untuk melindungi dunia ini dari ancaman kehancuran. Sesuatu yang menurut sebagian orang hanyalah cerita dongeng pengantar tidur semasa aku masih hidup sebagai manusia dulu.
"Oh, kau sudah bangun, ya?" sebuah suara lembut menyentakkanku dari lamunan. Mata amethyst-ku menangkap sesosok pria lembut berambut kuning pucat berjalan menghampiriku, mengulurkan tangannya padaku, dan berkata, "Namaku Fiatlark, senang berkenalan denganmu!" Senyum manisnya terpampang di bibir tipisnya dan aku menyambut uluran tangannya dengan perasaan hambar.
Aku menatap orang-orang di sekeliling pria bernama Fiatlark itu dan membuang napas cepat. Yah, sekali pandang aku langsung tahu kalau mereka ini bukan manusia. Mereka sama seperti aku. Seorang Ghost.
"Fu fu fu, anak yang manis dan juga bersemangat, ya? Kenalkan, namaku Profe!" seru Ghost ke dua—seorang wanita cantik berambut lavender, bergaun putih, dan beriris ungu yang berada di sebelahnya Fiatlark—padaku dibarengi dengan senyum ramahnya yang khas. Anak manis? Maksudmu aku? Memangnya "Ea yang dulu" nggak manis? Dan tolong catat, aku ini sama sekali nggak manis, Nona! Aku ini cukup tua untuk dipanggil dengan sebutan kekanak-kanakkan seperti itu dan tanpa sadar... wajahku merengut.
"Wah, wah, tak baik jika wajahmu merengut seperti itu, Nak!" tegur seorang pria yang ada di sebelah Profe, aku menoleh ke arahnya. Seorang pria berambut pirang dengan gaya rambut bob tengah mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki dan kembali berkomentar, "Namaku Relikt. Kau terlihat masih sangat muda, apakah tidak masalah jika kau mengelola Kitab Hades?"
Kitab Hades? Oh, ya. Aku lupa. Sebagai Ea, aku memang diharuskan mengelola kitab yang berisikan roh-roh manusia yang namanya diambil dari nama dewa Yunani itu. Tugas yang cukup berat dan tidak boleh dianggap enteng. Relikt sepertinya memang benar, apa bocah sepertiku bisa mengelola dan mempergunakan Kitab Hades dengan semestinya?
Sorang pria berambut dan bermata gelap dengan tampang preman yang berdiri di samping Relikt sepertinya memahami kebingunganku. Dia menyeringai menyebalkan dan berujar padaku, "Anak-anak itu energik. Sudah pasti dia akan baik-baik saja! Aku yakin dia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik!"
Urat mulai mencuat di dahiku. Pria yang mengaku namanya Zehel ini benar-benar cari ribut denganku, ya? ! Apa dia bodoh? Apanya yang 'akan baik-baik saja'? Memangnya dia tahu seperti apa 'tugas'-ku? Dia kembali menyeringai dan mengembuskan asap rokok yang dihisapnya ke wajahku, membuatku terbatuk-batuk karenanya. Dia ini menjengkelkan sekali, sih? Apa mentang-mentang aku ini—dengan berat hati kukatakan—anak kecil?
Salah seorang di antara mereka—seorang pria berambut kemerahan, berkacamata dengan wajah ramah dan kehangatan yang sama dengan Fiatlark—mendekatiku dan memperkenalkan dirinya sebagai Fest. Sang Roh Penyambung Jiwa. Fest menceritakan padaku bahwa penyebab kematiannya adalah diracun.
Tch, itu mengingatkanku kembali pada malam di mana aku merasakan napasku tercekat saat racun yang dimasukkan ke dalam minumanku menyumbat pembuluh-pembuluh darahku, menghambat kerja organ-organ dalam tubuhku, dan membuat rasa sakit menjalari seluruh tubuhku.
Aku sendiri juga masih dapat mengingat bagaimana rasanya kesadaranku perlahan memudar, tubuhku yang mulai mati rasa—disertai gemetar akibat reaksi racun tersebut pada tubuhku, pikiranku yang mulai kosong, serta kegelapan yang mulai merasukiku saat itu bersamaan dengan melambatnya detak jantungku gara-gara racun sialan itu. Aku mengerang pelan. Kenapa Fest mengingatkanku akan hal menyebalkan itu, sih?
Profe sepertinya mafhum dengan suasana hatiku yang sedang tidak baik, maka wanita jelita itu memperkenalkan seorang lelaki yang sepertinya seumuran denganku. Ghost yang tubuhnya lebih pendek darinya dan berbadan ramping, memiliki rambut berwarna terang yang dikuncir dan mengenakan tudung jubahnya.
"Landkarte, kau kan seumuran dengannya! Aku rasa kau lebih mudah berinteraksi dengannya," kata Profe pada bocah itu seolah dia menunjuknya sebagai 'tutor'-ku. Bocah berkuncir itu mendengarkan Profe dengan seksama, dan wanita jelita itu pun melanjutkan ucapannya. "Tolong ajari Ea tentang hal-hal yang harus dia ketahui, ya?"
Bocah yang seumuran denganku itu menganggukkan kepalanya dengan semangat dan menghadap ke arahku, dan berujar dengan riangnya, "Saya Landkarte!" Dia mengulurkan tangan kanannya dengan penuh semangat sebagai awal perkenalanku dengannya. Lalu dia mulai mengoceh mengenai dirinya sendiri lebih bersemangat daripada Ghost sebelumnya seolah dirinya selalu hidup penuh kegembiraan, tidak diragukan lagi.
"Hobi saya mencoba semua makanan di berbagai tempat! Kata favorit saya... Meikyoshisui. Penyebab kematian saya adalah karena tenggelam. Senang bertemu denganmu~" lanjutnya masih dengan nada menggebu-gebu tanpa memperhatikan ekspresi tak suka yang tergambar di wajahku.
Satu hal yang aku herankan, kok dia bisa sih mengucapkan penyebab kematiannya dengan lugas dan lancar seolah itu adalah hal yang biasa? Orang ini, apa jangan-jangan otaknya sudah miring, ya?
"... Ea," jawabku santai, mengulurkan tanganku untuk menjabat tangannya, dan menggenggam tangannya sejenak. Aku sempat berpikir jika mereka ini manusia, apakah mereka akan saling menceritakan mengenai diri mereka masing-masing di pertemuan pertama mereka dengan orang lain? Aku ragu akan hal tersebut, apalagi jika sampai membicarakan hal tabu macam 'penyebab kematian'. Aku menggerutu pelan dan menyambung ucapanku dengan getir, "Penyebab kematianku, seperti yang sudah kau ketahui sebelumnya, karena diracun oleh seseorang..."
Kesan pertamaku tentang dia adalah—orang seperti dia yang menjalani hidupnya dengan riang gembira merupakan tipe orang tidak cocok denganku.
Kemudian aku mulai menjalani hidup baruku di gereja ini dan memulai tugasku untuk mengurus Kitab Hades. Namun Fiatlark menyuruhku untuk mempelajarinya secara perlahan-lahan dan diselingi dengan istirahat, mengingat aku baru saja bangkit sebagai Ghost dari kehidupanku sebelumnya sebagai manusia. Selain itu, aku juga harus tahu bahwa para Ghost—mereka menjaga sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan dunia selama bertahun-tahun. Yah, walaupun untuk saat ini aku belum mampu untuk menjaga 'sesuatu' itu untuk saat ini, aku akan berusaha untuk melakukan semua itu di kehidupan baruku saat ini sebagai 'Ea'.
Aku berusaha untuk mengeksplorasi lingkungan gereja dan mempelajari ulang hal-hal di sekitarku. Melelahkan memang, tapi mau bagaimana lagi? Fiatlark dengan sabar mengajariku hal-hal yang harus kuketahui dan kulakukan sebagai Ghost. Dari semua Ghost yang ada, aku memang paling mengagumi dan menghormati Fiatlark. Bukan berarti aku tidak berbicara dengan Ghost yang lainnya, tapi aku merasa sedikit nyaman saat bercakap-cakap ataupun berdekatan dengan pria berambut kuning pucat yang sangat lembut itu. Karena aku banyak berutang budi padanya sejak pertama kali aku datang ke gereja ini.
Saat aku sedang sendiri di perpustakaan gereja, berkutat dengan buku seperti biasanya—hal yang biasa aku lakukan dan kusukai saat aku masih hidup sebagai manusia.
"Nampaknya kau sedang sendiri ya, Ea? Aku boleh duduk di sini?" sebuah suara lembut yang cukup familiar di telingaku menyapaku.
Aku menoleh ke si pemilik suara dan sedikit terkejut saat bertemu muka dengan Fiatlark di perpustakaan ini. Lebih kaget lagi saat aku melihatnya tengah membawa buku-buku yang begitu tebal.
Fiatlark nampak memahami kekagetanku dan berujar pelan, "Bacaan ringan untuk mengisi waktu senggangku." Aku tak bisa berkata apa-apa saat dia mengambil tempat duduk di sampingku dan mulai membaca buku-buku tebal yang dia sebut sebagai 'bacaan ringan'.
Aku masih meneruskan bacaanku saat Fiatlark tersenyum penuh arti padaku dan menyodorkan sebuah buku yang cukup tebal padaku. Aku terkesiap saat melihatnya tersenyum padaku dan berkata. "Kurasa buku ini cocok untukmu, Ea. Ini bisa jadi pengisi waktu luang yang bagus untukmu, kan?"
Aku menerimanya dengan hati heran, dan bertanya padanya, "Fiatlark, kenapa kau begitu perhatian padaku? Bukankah kau juga banyak urusan di luar sana?"
Tak kuduga Fiatlark tertawa dan berujar padaku, "Ahaha, tak perlu khawatir, Ea! Tugasku sudah selesai, kok! Tenang saja." Aku mengerutkan alis tak mengerti, namun dia nampaknya tak begitu mempedulikannya dan meneruskan perkataannya. "Oh ya, di perpustakaan ini banyak buku-buku yang mungkin bisa jadi pilihan untuk mengisi waktu senggangmu. Sering-sering saja mampir ke sini, ya?"
Aku menurutinya dan mengambil beberapa buku yang direkomendasikannya. Aku banyak meluangkan waktuku untuk membaca. Sesekali aku juga 'bermain' di tamannya Profe dan mengurus tanaman-tanaman yang ia rawat di sana. Kadang aku heran, kok dia bisa sih merawat tanaman yang aneh-aneh di sini? Dan bukanlah hal yang wajar ketika kau menemukan tanaman yang bisa memangsamu di taman ini setiap saat.
Kalau Zehel... yah, tak perlu kau katakan pun aku jarang berinteraksi dengan si pembuat masalah satu itu. Karena ujung-ujungnya dia pasti merecoki aku dengan gurauan-konyol-tak lucunya. Saat aku tengah sendiri dan kadang merenungi masa laluku, Fiatlark menasihatiku dengan lembut bahwa sebaiknya aku melupakan dendam masa laluku serta belajar untuk memaafkan. Hal yang sangat sulit aku lakukan, mengingat rasa sakit itu masih membekas jauh di lubuk hatiku.
Karena itu aku mengujinya dan berpendapat bahwa dengan hal tersebut dia mengerti akan apa yang kurasakan dan tahu bahwa apa yang diyakininya itu salah. Namun Fiatlark tetap teguh pada pendiriannya, menandakan bahwa dia adalah seorang yang bijak dan berbudi luhur. Hal itu membuatku merasa semakin aneh.
Aku merasakan diriku, namun di saat yang sama aku juga merasa bahwa 'aku' bukanlah aku.
Sifat-sifat manusia menjadi inti dalam jiwa baru yang dimiliki oleh Ghost—begitu yang dikatakan oleh Fiatlark. Tapi, aku merasa tidak begitu nyaman dengan semua ini. Aku tak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini—Aku ini manusia. Namaku Kal. Namun di saat yang sama, aku juga merupakan salah satu dari Seven Ghost—Ea—orang mati yang berwujud manusia hidup. Dengan kata lain, aku adalah Kal dan Ea di saat yang sama.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, sesuatu yang tak pernah kudapatkan jawabannya sampai saat ini. Kenapa orang sepertiku bisa terpilih menjadi Ghost? Kenapa aku bisa diberikan tanggung jawab yang begitu berat? Apakah karena aku melakukan sesuatu yang salah di masa lalu? Apakah aku pernah melakukan sesuatu yang tak termaafkan di sejarah kehidupanku sebelumnya?
Ghost yang lainnya memberitahuku bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi Ghost, karena itu adalah tugas mulia. Bahkan si pembuat onar Zehel mengatakan padaku bahwa tugas yang diemban Seven Ghost adalah menjaga agar segel Verloren tidak terlepas dan membawa malapetaka di dunia ini.
Fest dan Relikt memperlihatkanku akan dimensi lain dari Kitab Hades—Dunia yang seharusnya aku kuasai—dan telah menungguku agar Kitab itu bisa kuurus dengan baik. Karena menurut cerita Fest dan Relikt, buku itu sudah lama tidak dipergunakan dan harus di-refresh lagi sebelum kukelola ulang. Itu artinya, aku harus cepat menguasai cara untuk mempergunakan Kitab Hades. Walau tak mudah, aku kan berusaha dengan sebaik mungkin.
Akhirnya aku bisa mengelola Kitab Hades dan aku harus berterima kasih kepada para 'guru'-ku yang telah meluangkan banyak waktunya untuk mengajari bocah yang lumayan keras kepala macam aku. Aku pun berusaha sedikit demi sedikit menyukai lingkunganku, walau tetap berkeras untuk tidak berhubungan dekat dengan siapa pun atau bahkan berteman dengan siapa pun.
Kecuali untuk satu orang dan dia benar-benar menjadi orang yang berada di urutan teratas yang paling tidak ingin kuladeni.
"Ea! Ea!" aku mendengar bocah itu memanggil namaku dengan riangnya. Yah, nama yang kugunakan saat ini sebagai salah seorang dari Seven Ghost tentunya. Saat aku sadar, dia tiba-tiba saja muncul di hadapanku dan duduk manis di atas meja tempatku membaca buku yang direkomendasikan oleh Fiatlark. "Tolong perlihatkan padaku Kitab Hades, dooong~!"
Urat kembali mencuat di dahiku. Orang ini... dengan seenak jidatnya saja dia memerintahkanku seperti itu! Aku menutup bukuku dan menatap tajam ke arah iris hijau terangnya. Menunjukkan padanya bahwa aku sangat terganggu dengan ulahnya saat ini dan membuatnya angkat kaki dari hadapanku. Tapi aku lupa kalau Landkarte sangat susah diatur, sama halnya seperti diriku.
"Keluar kau, Pengganggu! Segera enyahkan kakimu dan jangan duduk di atas mejaku!" usirku seraya menudingkan jariku ke luar. Aku tak mau acara membacaku terganggu dengan ulahnya yang menyuruhku memperlihatkan Kitab Hades. Aku ingin sendirian, suasana hening tanpa suara berisiknya, dan kembali melanjutkan membaca buku yang diberikan oleh Fiatlark beberapa hari yang lalu. Sebelum dia bereaksi dan membalas kata-kataku, aku kembali menambahkan, "Mood-ku sedang tidak bagus hari ini, Bocah!"
Landkarte sialan itu masih tidak beranjak dari mejaku, dan dengan kesal aku membanting bukuku di meja. Aku pun bergegas meninggalkannya, tak peduli dengan buku yang masih tergeletak di atas meja tempatku membaca beberapa saat yang lalu. Mood-ku benar-benar rusak dan aku tak bisa melanjutkan membaca jika perasaanku kacau seperti ini. Dan sialnya si bocah itu mengikutiku pergi, aku pun habis sabar dan membentaknya.
"JANGAN IKUTI AKU, SIALAN!"
"EEEHHH? Kalau kau tidak mau memperlihatkan Kitab Hades, nanti kesialan akan mengikutimu terus, Lho!" tukas Landkarte di belakangku dan dia menyodorkanku dengan berbagai makanan manis. "Aku juga sekalian ingin memberikan hadiah untukmu!"
"Nggak butuh!" sergahku tak peduli.
"Kemampuanku adalah teleportasi dan tugas utamaku adalah mengunjungi roh-roh yang hampir ternoda untuk membimbingnya menjadi roh yang suci. Tapi, aku hanya bisa melakukan teleportasi pada roh yang nomornya aku tahu, jadi aku hanya bisa mengandalkanmu!" kata Landkarte seolah memberi penjelasan padaku. Aku pura-pura tidak mendengarkannya karena aku malas meladeninya. Dia mengemut permennya dan kembali berseru dengan riangnya seraya menarik-narik syal yang kukenakan. "Itulah kenapa aku memintamu untuk menunjukkan Kitab Hades, Ea!"
Kali ini aku benar-benar marah pada Landkarte, si bocah sialan yang selalu saja bisa melakukan segalanya seenak udelnya tanpa adanya rasa khawatir atau apapun. Cih, aku jadi ingin berteriak pada Profe untuk mengatakan keluh-kesahku tentang Landkarte. 'Profe, kok kamu bisa tahan sih sama bocah tengik macam dia?!' rutukku dalam hati jengkel.
Sial! Aku terpaksa membuka gerbang teritoriku untuk menunjukkan dimensi yang menjadi wilayah kekuasaanku—Kitab Hades—tempat di mana terdapat nomor roh dan nasib seseorang di dalamnya. Aku mewanti-wanti Landkarte agar tidak sembarangan melangkah di dalam teritoriku ini, atau semuanya menjadi kacau.
Aku menggenggam erat sabit besarku, yang pada ujungnya terdapat simbol yang sama dengan yang tercetak di punggung tangan kananku—untuk memberikan waktu pada Landkarte, agar dia bisa mengetahui nomor roh yang dia perlukan untuk tugasnya. Dia melangkah dalam dimensi yang kubuat dan batas antara nomor jiwa manusia satu dengan yang lain yang sebelumnya kutuliskan.
"Oi, aku hanya menulis sampai batas itu! Jangan dilewati, Bego!" teriakku memperingatkan Landkarte saat melihatnya berjalan dengan sembarangan melewati batas yang telah kubuat sebelumnya.
"EEEHH? Roh yang ini akan menghilang!" anak muda berambut terang berkuncir itu berseru, bola mata hijau terangnya membola seperti anak-anak yang baru pertama kali melihat trik sulap dalam hidupnya.
"Dasar bodoh! Roh itu akan merasakan bahwa dirinya diinjak-injak, dan itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan!" tukasku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kecewa dan kesal sekali pada bocah sialan ini. Kenapa sih, dia tidak menghargai usahaku yang susah payah mengelola Kitab Hades ini? Aku butuh waktu berhari-hari untuk bisa mengaturnya, dan sekarang dia telah mengacaukan pekerjaanku!
"Ah, maaf ya, Ea! Lain kali aku akan berhati-hati!" ucap Landkarte santai seolah tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Aku menghela napas dan aku menatap hampa ke arah nomor roh yang baru saja diinjak oleh Landkarte. Mataku langsung menyalang marah penuh kebencian. Kenapa? Karena itu adalah nomor roh orang yang telah membunuhku dengan racun!
Aku kembali merasakan sesak di dada. Bayangan mengerikan akan peristiwa itu kembali berkelebat di benakku! Brengsek! Kenapa aku teringat lagi akan hal itu? Lelaki biadab yang mengacung-acungkan penawar di depan mataku yang tengah mengejang kesakitan. Aku merasakan lagi bagaimana sulitnya aku bernapas. Merasakan kembali bagaimana rasa panas yang menghantam ulu hatiku dan berusaha untuk mempertahankan hidup. Tapi semua itu sia-sia saat tubuhku menjadi kaku dan aku meninggal di depannya dengan posisi bola mata amethyst-ku terbuka lebar serta menatap hampa ke arahnya.
Pria itu dengan cengiran bodohnya menertawakan penderitaanku dan berseru, "Ha ha ha, sudah terlambat sekarang! Dengan ini, anakku akan segera mendapatkan promosi dengan mudahnya!"
Napasku mendadak tercekat, jantungku berdetak dua kli lebih cepat dari biasanya. Aku mengerang pelan, merasa benci dengan pria yang telah merenggut hidupku itu. Padahal aku sudah mati, dan penderitaan yang kualami saat menjelang kematianku pun sudah kulalui. Tapi kenapa rasanya menyesakkan sekali? Aku mencengkeram dadaku kuat-kuat. Berusaha untuk menenangkan diri, karena di sini aku tidak sedang sendirian. Ada Landkarte di sini, dan aku tak mau dia melihat wajahku yang dipenuhi dendam. Aku merasa itu akan terlihat konyol di hadapannya!
Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan manusia durjana itu. Aku sekarang ini adalah Ea, sang Roh Pembangkit. Aku bukan lagi Kal, yang saat ini dikabarkan menghilang dari kehidupan manusia setelah mengalami kematian. Tapi, aku juga tak bisa membiarkan pembunuhku berkeliaran dengan bebas.
Aku mencoba mengambil 'napas'—tarik napas, buang napas—begitu terus berulang-ulang agar aku bisa menenangkan diri. Aku harus berterima kasih pada Profe karena dia telah mengajarkanku untuk bisa menenangkan diri di saat rasa dendam mulai menjalari hatiku. Aku bersyukur akhirnya aku bisa meredam rasa benci dan pikiranku kini kembali jernih seperti sedia kala.
Setelah Landkarte mendapatkan nomor jiwa yang ia perlukan, aku menutup kembali Kitab Hades dan beristirahat sejenak. Sementara itu, si Roh yang suka Teleport itu sedang menyeduh teh herbal campur. Dia bilang sih itu hasil racikannya Profe agar bisa menenangkan syaraf dan juga pikiran sehabis bekerja keras. Kuakui aroma tehnya sangat enak dan membuatku tergoda untuk mencicipinya. Aku pun menyesap tehku perlahan, mencoba menghilangkan penat dan stressku setelah melihat roh orang yang kubenci beberapa saat yang lalu.
"Ea," aku mendengarnya memanggilku setelah keheningan panjang menyeruak di antara kami. "Baru kali ini, aku melihat matamu seperti ingin membunuh seseorang. Apakah orang yang meracunimu ada di sini?" tanyanya tanpa basa-basi.
Aku langsung tersedak dan menyemburkan teh yang sudah kuminum. Beberapa saat aku masih terbatuk-batuk karena teh itu masuk ke rongga hidungku.
"Ahaha, ternyata dugaanku tepat, ya?" Landkarte tersenyum penuh kemenangan, seolah dia bisa tahu semuanya hanya dengan melihat semuanya dari mataku. Oh, mata sialan! Kenapa kau tidak bisa menyembunyikan kebenaran yang ada di dalammu, sih? Kenapa juga bocah si—Landkarte membeberkan hal sepeka itu di depanku?
'Seandainya saja lirikan mata bisa membunuh,' keluhku dalam hati. Dan sialnya, lirikan mata selamanya tak akan bisa membunuh seseorang. Benar-benar sial!
"Itu bukan urusanmu!" tukasku dingin. Aku menyeka sisa teh yang membasahi wajahku dan mencoba mengalihkan pandanganku darinya agar dia tak bisa membaca segalanya dari mataku lagi. "Sudahlah, lagipula... bagiku yang sudah pernah meninggal sekali, itu sama sekali bukan urusanku!" lanjutku seraya meletakkan cangkir tehku di meja, tak berminat melanjutkan acara mium teh bersamanya.
Landkarte terlihat tidak percaya dengan apa-apa yang kuucapkan. "Benarkah?" tanyanya setengah tak percaya.
Cih. Aku segera berdiri dari kursiku dan bergegas meninggalkannya. Aku tak mau berbincang-bincang empat mata lagi dengannya.
Itu bukan urusannya, kan? Ngapain juga dia mesti repot-repot ngurusin aku? Aku masih bisa mengurusinya sendiri, kok! Tenang saja! Lagi pula, apakah salah jika aku masih terbawa emosi masa lalu di diriku sekarang ini, meskipun aku mencoba untuk meredamnya saat aku bertugas sebagai 'Ea'? Sebenarnya teringat masa lalu menyebalkan dan tak bisa menghilangkan perasaan marah dan sesal itu sangat merepotkan. Andai saja dia tahu akan hal itu.
"Untuk seorang Dewa Kematian sepertiku, terhanyut akan kehidupan masa lalu hanya akan mengganggu pekerjaanku," aku mencoba mengungkap kenyataan. Fakta bahwa aku mencoba untuk melupakan masa lalu, dan mencoba mengabaikan sisi manusiaku sebagai 'Kal'.
Landkarte segera menggenggam tanganku erat dan berujar lembut, "Tak masalah jika kau terhanyut dengan perasaan manusiamu." Dia berhenti sejenak dan melanjutkan ucapannya, "Sebenarnya semua makhluk—termasuk para Dewa Kematian, masing-masing dari mereka memiliki kesedihan dan kepedihannya, tapi semua perasaan itu akan segera dimurnikan..."
Aku tak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Landkarte. Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja kami sudah berada di atas menara tinggi yang di atasnya terdapat langit malam bertaburan bintang.
"Apa sih yang kau lakukan?" hardikku marah, tak mengerti dengan apa yang dia inginkan dariku.
"Ea, aku berpikir jika kau terus menumpuk kebencian di dasar hatimu, hal itu tak akan pernah bisa disembuhkan, dan kebencian itu akan tetap tinggal di sudut terdalam hatimu. Mungkin lebih baik kalau..." Landkarte menatap kedua mataku dengan penuh arti dan melanjutkan wejangannya, "...kau membuka hati pada orang lain, dan mengeluarkan uneg-unegmu sampai kau puas."
Hah? Apa sih yang dia bicarakan? Membuka hati? Sampai puas? Untuk mengubur kebencian? Hoi, ngomong yang jelas sedikit, kek!
"KALAU SAJA AKU BISA LAKUKAN ITU!" teriakku marah seraya memegangi dadaku. Napasku kembali tercekat, sungguh konyol! Aku akan baik-baik saja kalau—Si idiot Landkarte ini tidak menggeretku ke mercusuar Balsburg ini ditemani dengan bintang berkelap-kelip di langit malam plus dengan udara dingin yang menusuk kulit. Ck, sejujurnya aku tak peduli apakah penjaga mercusuarnya terlelap ataukan terjaga, yang penting aku ingin cepat-cepat sampai ke Order dan mencari tempat yang lebih nyaman daripada di sini. Oh, mungkin lebih bagus jika si penjaganya terbangun. Jadi dia bisa mengusir kami secepatnya dari tempat menyebalkan ini!
"Ea, relaksasi itu penting, Lho!" si idiot Landkarte lagi-lagi menceramahiku.
Aku membuang napas cepat, dan memperhatikan simbol 'Ea' yang terdapat di punggung tangan kananku. Kenapa? Kenapa selalu harus aku yang lebih dulu? Kenapa bukan orang lain di keluargaku saja yang lebih baik dariku? Aku bukan siapa-siapa, aku tak punya apa-apa selain namaku, terutama setelah aku menjadi 'Ea'. Tapi, kenapa aku? Banyak orang yang lebih pantas menjadi aku, salah satu dari Ghost yang selalu mereka agung-agungkan. Sementara itu, aku sama sekali tidak berharap menjadi seperti ini...
"Aku ingin tahu kenapa aku bisa menjadi seorang Pencabut Nyawa," gumamku perlahan, setelah cukup lama berpikir keras. Berharap akan ada seseorang, biarpun itu orang idiot macam Landkarte, bisa menjawab pertanyaan yang sudah lama mengganjal pikiranku itu. "Secara alami, aku pasti akan mewarisi kemampuan dan pengetahuan sebagai Ghost pada saat aku bereinkarnasi. Tapi, acuanku sebagai manusia sama sekali tidak berubah. Aku selalu melihat drama mencintai dan membenci dari sudut pandangku sewaktu aku masih tinggal dalam benteng. Saat itu sewaktu aku masih hidup sebagai manusia, aku hanya bisa merasakan keputusasaan yang sangat besar di dalam sana. Di duniaku yang sempit itu."
Angin dingin kembali berhembus. Menerpa tudung yang dikenakan Landkarte, menerpa rambut hitamku yang sedikit berantakan. Aku merentangkan kedua tanganku, membiarkan angin tersebut membelai lembut tubuhku dan merasuk ke sela-sela tubuhku. Dan mata gelapku sekali lagi tertuju pada simbol yang tercetak di punggung tanganku. Aku menatap sendu simbol tersebut dan membelainya perlahan.
"Kau tidak memenuhi kualifikasi sebagai Dewa Kematian dengan kebencian yang amat sangat seperti itu, Ea," ucap Landkarte, mencoba membenarkan pendapatku. Untuk hal ini saja aku sedikit membenarkan ucapan landkarte mengenai emosi negatif yang dipendam terlalu lama pada diri seorang Ghost bisa berdampak begitu buruk. Aku pernah mendengar dari Fiatlark, bahwa emosi negatif seperti kebencian, kemarahan, dendam, dan sejenisnya bisa menyeret seorang Ghost ke jalan yang sama seperti pendahulu kami, Verloren.
"Tapi, mungkin karena kau yang paling peka dengan penderitaan manusia dibandingkan orang lain... maka kaulah yang dipilih untuk menjadi Pelayan Tuhan, untuk mengurusi tujuan para manusia itu sebagai seorang Pencabut Nyawa yang membimbing manusia," bocah berkuncir itu melanjutkan "wejangan"-nya. Aku terbelalak kaget mendengarnya, di saat yang sama angin malam bertiup ke arah kami dengan kencangnya.
Landkarte menadahkan tangannya dan kembali berujar padaku yang masih menanti kata-kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut bocah berambut terang itu, "Di bawah cahaya ini..." Landkarte berhenti sejenak dan membuang napas cepat sebelum melanjutkan ucapannya. "Manusia kadang terlalu terikat pada sesuatu dan mati-matian mempertahankan hidup mereka, percaya bahwa mereka lebih superior dibandingkan dengan yang lain. Namun saat mereka meninggal, mereka menyesal dan kadang berpikir 'Ah, kalau tahu begini seharusnya aku memiliki seseorang yang sangat berharga untukku'."
Kurasakan nada suara Landkarte menurun—begitu yang kutangkap dengan telingaku—dan aku merasakan adanya perasaan kecewa dan perasaan seseorang yang terbuang dalam nada suaranya. Kesunyian panjang kembali menyeruak di antara kami, dan aku pun tahu kalau Landkarte masih menahan rasa sesak yang menggumpal dalam dadanya itu. Aku pun baru pertama kali ini melihat ekspresinya yang kesepian, sendu, dan selalu merasa teracuhkan, namun aku tak pandai menghibur seseorang. Jadi, akhirnya kubiarkan Landkarte mengungkapkan ekspresinya di tengah malam yang luar biasa dinginnya ini.
"Meskipun... sebenarnya semua itu sudah terlalu terlambat untuk menyadari hal tersebut, saat mereka mati," ucap Landkarte sendu.
"Manusia Idiot," celaku dengan nada sarkasme. Aku selama ini menonton bagaimana keseharian para manusia itu di kehidupanku saat ini sebagai Ghost, sejak aku mulai bekerja—dalam kesendirian—untuk mengelola Kitab Hades dan menentukan nasib mereka di dalamnya. "Telingaku jadi sakit. Aku selalu mendengar alasan semacam itu sebelumnya, tentang penyesalan yang berulang dan berulang, seolah-olah aku yang memintanya."
"Aku menyebut penyebab yang membuat manusia menjadi bodoh, 'Unsur Kotor'," sambung Landkarte lembut, sementara mataku menerawang ke arah menara Balsburg yang diwarnai gelapnya malam dengan cahaya lampu yang menyorot dari dalamnya. Membuatnya berkilau dan bercahaya terang di bawah langit hening dan berbintang. "Kasih sayang, kesombongan, dendam... semua emosi selain benci dan cinta."
Aku masih duduk dalam diam di sisi Landkarte yang berdiri di sampingku, aku menoleh ke arahnya dan kembali menantikan kata-kata yang akan keluar dari bibir orange Landkarte, "Aku membujuk para manusia itu agar bisa membuang perasaan macam itu, seperti dendam dan juga kebencian. Tak peduli seberapa banyak 'Unsur Kotor' yang ada di dunia ini, aku tak akan menyerah untuk membuat dunia ini damai tanpa adanya kebencian. Seperti halnya yang kau inginkan, Ea..."
Seingatku, sejak aku menjadi seorang Pencabut Nyawa seperti sekarang... Rasanya keteguhan hatiku semakin menguat, tidak seperti sebelumnya. Aku menggedikkan bahu, mengerutkan alis untuk mencerna ungkapan idiot si Landkarte. Aku menghela napas. Oke, Landkarte memang Idiot... tapi kata-kata (sok) bijaknya telah membuatku merasa terpojok dan juga membuatku berpikir bahwa ternyata aku ini lebih tolol dibandingkan dengan Landkarte. Aku mengalihkan pandanganku ke arah kota di bawah mercusuar tempat kami bersantai. (Oke, yang satu ini tak perlu kau tiru karena sangat berbahaya.)
"Kau sangat optimis sekali ya, Landkarte," pujiku tulus.
Landkarte memunculkan sabit panjangnya, dan tertawa kecil seraya maju selangkah dari tempatnya berdiri. Dia berujar padaku masih dengan senyum manis tersungging di bibirnya, "Aku tak berdaya jika sendirian, karena itu aku butuh bantuanmu, Ea..."
Dan malam itu, aku mengenal sesuatu yang disebut "Sahabat".
#$%To Be Continued%$#
A/N : (speechless) Err, kayaknya gaje banget, ya? Kok rasa-rasanya Ea di sini OOC sangat? (pundung di pojokkan) Gomennasai, minna! Rencananya fic ini akan saya tamatkan menjadi 2 chapter.
Oke minna-san! Terima kasih sudah membaca fic ini, bolehkan saya meminta sepucuk review? Please review if don't mind karena review dari minna sangat penting bagi saya...
