My Love
.
.
.
(Cerita ini akan diisi oleh Third POV. Sakura akan mengisi posisi itu.)
.
.
.
Aku terbangun dari mimpiku, mimpi yang sama yang selalu aku alami setiap malam. Juga mungkin menjadi mimpi bagi kami, teman-temannya. Terlebih untuk teman baikku, Uzumaki Naruto.
Tiga tahun sudah berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Awal dimana airmataku sekarang sudah bosan untuk keluar lagi. Sudah benci meluncur dari iris emerald-ku.
Kematian Uchiha Sasuke yang membawa duka teramat dalam bagi kehidupan kami. Kehidupanku, kehidupan keluarganya. Juga kehidupan matahari kami, Naruto.
Aku berdiri dari tempat tidurku, memandangi sebuah foto yang tertata rapih di dalam frame pink yang aku beli lima tahun lalu. Di foto itu, terdapat tiga orang dengan rambut, kepribadian, dan sifat yang berbeda-beda, namun menjadi satu dalam ikatan pertemanan.
Sasuke, diriku, dan Naruto.
Foto itu diambil lima tahun lalu, saat pernikahan Uchiha Sasuke dan Uzumaki Naruto. Saat langit siang dan malam dipersatukan, saat matahari dan bulan resmi bersama.
Hatiku sakit, saat melihat senyum yang kami bertiga paparkan dalam bidang datar penuh memori itu. Aku terisak hebat, walaupun tidak ada airmata yang jatuh. Seperti yang aku katakan, mataku sudah bosan untuk mengeluarkan airmata lagi.
Dunia tengah bermain permainan yang menyakitkan kepada kami. Mengapa? Karena kematian telah menjadi hal yang lumrah bagi kehidupan kami bertiga.
Kedua orang-tuaku meninggal dalam kebakaran yang terjadi di rumah lama kami. Mereka meninggal akibat kecerobohan diriku saat itu. Mereka mati, terbakar di depan mataku saat itu. Untungnya aku berusia lima-belas tahun. Aku sudah bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Namun luka itu tidak akan mungkin hilang dari hatiku. Irisan rasa bersalah yang begitu memilukan.
Sedangkan Sasuke, kedua orang-tuanya di bantai tepat di hadapannya saat ia hanya berumur 7 tahun. Terlebih lagi, mereka dibantai pamannya, Obito, orang yang begitu dia idolakan sejak kecil. Tidak layak untuk dilihat anak sekecil itu, hatiku saja sakit saat mendengar kisahnya.
Dan yang terakhir, Naruto. Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan adiknya. Adik kembarnya, Naruko. Ayahnya, yang stress akibat sepeninggalan istrinya tercinta. Minato-san selalu menyiksa Naruto, dan melimpahkan seluruh kesalahan kepada Naruto. Naruto tidak ingin sang adik yang terlahir dengan kondisi lemah itu untuk menderita. Hingga pada saat usianya dan sang adik mencapai sepuluh tahun, sang adik sakit berat. Dan akhirnya meninggal di tangannya. Juga, ayahnya resmi bunuh diri.
Aku menarik nafas yang dalam. Mengusir kesedihan hati yang tidak terkira. Ya, memang benar. Kematian itu adalah hal yang biasa dalam kehidupan kami. Kematian orang-orang di desa kami, akibat kurangnya perhatian dari orang luar. Hal biasa, bukan berarti kami juga sudah bosan merasakan kepedihan. Sama sekali tidak. Kami semua depresi.
Berteriak kepada siapa, sudah pasti tidak ada yang mendengar. Jeritan pilu seakan menjadi bagian hidup kami. Air mata adalah salah satu sungai di sini. Tidak akan ada yang heran jika hampir tiap minggu, ada saudara kami meninggal.
Aku menyimpan rasa suka pada Sasuke. Namun aku harus mengubur itu dalam-dalam, karena Sasuke menyimpan hatinya hanya untuk Naruto seorang. Sejak saat itu, rasa sukaku berubah menjadi rasa cinta untuk seorang kakak. Sasuke adalah sosok kakak yang sudah sejak lama aku impikan. Dan dia menjadi cinta yang selama ini Naruto berhak untuk mendapatkannya.
Aku meraih foto itu, dan mengamatinya dengan seksama.
Naruto dan Sasuke memelukku, yang berada di tengah mereka. Naruto mengenakan jas putih, sedangkan Sasuke mengenakan jas hitam. Dan aku mengenakan dress merah-muda, yang cocok dengan warna rambutku. Sasuke tersenyum kecil, Naruto tersenyum selebar mungkin. Keduanya menunjukkan ke kamera, cincin yang beristirahat rapih di jari mereka.
Kematian yang seolah menjadi kutukan desa kami menghilang saat itu, juga menggambrkan betapa bahagianya kami, terlepas dari segala airmata.
Dan kami pikir itu akan bertahan selamanya.
Aku menaruh bingkai foto itu ke tempatnya semula, sebelum menatapnya sejenak, dan beranjak dari tempat tidurku. Aku berjalan menuju jendela kamarku, bertujuan untuk menyapa dunia.
Namun setiap langkahku semakin berat dan berat. Namun aku tahu, inilah yang harus aku hadapi.
Aku menarik nafas panjang. Inilah yang setiap pagi harus aku jalani.
'Sasuke-kun… Aku tak bisa…'
Tubuhku bergetar hebat. Akhirnya, aku bisa merasakan cairan hangat mengalir di pipiku. Bahkan mataku saja tidak tahan dengan kesedihan yang bergejolak hebat di hatiku.
Perlahan tapi pasti, aku membuka jendela kamarku. Aku langsung disambut angin musim dingin. Namun tidak sedingin kekejaman dunia bagi kami…
"Naruto…" Bisikku pelan.
.
.
.
Hatiku tak berhenti berdenyut sakit saat kematian Sasuke minggu lalu. Mataku selalu sembab, penampilanku lebih buruk daripada biasanya. Dan juga sepertinya, cuaca mempunyai rasa yang sama. Angin sedingin es berhembus, matahari tidak dapat menghangatkan kami, akibat tertutup awan abu-abu yang tebal.
Aku melangkahkan kedua kakiku menuju taman desa, tempat dimana aku, Sasuke, dan Naruto selalu menghabiskan waktu kami bersama. Susah, Senang. Duka, dan Sukacita. Semua selalu kami habiskan di sini.
Taman ini juga menjadi tempatku menemui Naruto. Membujuknya untuk kembali.
"Naruto…" Suaraku masih terdengar begitu serak. Aku menghampiri pria berambut blonde yang duduk di bangku taman, persis di mana ia selalu duduk.
Naruto terdiam sejenak, wajahnya datar. Namun, aku tahu Naruto lebih dari itu. Jika kau perhatikan kedua matanya, kau akan tahu, Naruto menyimpan begitu banyak rasa sakit. Melihatnya, aku kembali meneteskan air mataku.
"Naruto… Pulanglah…" Aku berbisik tepat di telinganya. Aku meletakkan tanganku di punggungnya, mengelus jaket biru yang Sasuke belikan untuknya.
Naruto kian menunduk, kedua tangannya mengelus sebuah batu onyx indah, dengan begitu hati-hati. Seakan itu terbuat dari es tipis, yang siap pecah kapan saja.
Mewakili hati kami berdua sekarang. Gelap, dingin, dan rapuh. Siap hancur kapan saja. Tidak ada Sasuke lagi yang bisa terus menjaga kami berdua.
"Gomenne, Sakura-chan…" Ujarnya pelan. Aku menggeleng lembut.
"Ini bukan salahmu, Naruto… Lagipula, ayo pulang, Naruto. Hujan akan segera turun," Pintaku. Namun, Naruto hanya menggeleng.
"Ini jelas salahku, Sakura-chan…" Suaranya pelan dan begitu menyakitkan. Aku menggigit bibir bawahku sejenak.
"Dia tidak akan kembali, Naruto."
Naruto tertawa kecil, "Dia sudah berjanji, Sakura-chan…" Ujarnya, sambil tersenyum kecil. Aku memeluknya, dan menangis.
"Kita memakamkannya, Naruto. Apa kau lupa? Kumohon jangan lakukan ini. Jangan lukai aku, kumohon…"
"Ne, Sakura-chan… Tempat ini… Adalah tempat di mana aku melihatya untuk yang terakhir kalinya…" Suara Naruto benar-benar membuatku begitu terpukul.
"Kalian… Bisakah kalian berhenti membuat aku sakit hati?"
Naruto merangkul diriku dalam pelukkannya. Kehangatannya… Aku memeluknya balik, mengangis di pundakknya.
"Peganglah janji Sasuke, Sakura-chan. Bahwa aku, kau, dan semuanya… Akan berhenti menangisi penderitaan ini…"
Aku tersentak. Mataku membulat sempurna. Naruto tertawa kecil, dan menepuk pundakku.
"Aku percaya kepadamu, Sakura-chan. Juga pada Sasuke. Sasuke tidak pernah berbohong…" Ucapnya dengan suara yang pelan, namun sanggup membuat hatiku yang dingin, menghangat.
"Baka… Tapi berjanjilah… Apa yang kau katakan benar."
.
.
.
(End of Sakura's POV)
"Sasuke-kun… Dia masih setia menunggumu…" Tetes demi tetes air mata jatuh dari emerald Sakura Haruno, saat ia melihat pria blonde masih setia duduk di bangku taman itu, dan mengelus-elus batu onyx peninggalan Sasuke.
Wanita berusia 27 tahun itu jatuh terduduk, menangis dalam diam. Mencurahkan kesedihannya yang tak kunjung meredah.
Apalagi, hari-demi hari, kematian yang dulu sempat terhenti, kembali terulang. Membuat populasi desa Konoha berkurang drastis, hanya berjumlah tidak lebih dari 100 orang.
Tidak ada yang bisa dilakukan, semua orang tersisa hanya bisa putus harapan. Menjerit, tak akan ada yang mendengar, kan?
Namun di sana, Naruto duduk diam. Terus berharap.
"Sasuke-teme…"
.
.
.
Jalan sibuk di Jepang pada pagi hari senin. Orang-orang berlalu-lalang, pergi ke tujuan masing-masing. Layar-layar berita di jalanan sibuk Tokyo, menayangkan hiburan-hiburan, tiba-tiba saja terganti menjadi siaran berita.
Seorang reporter, perempun dengan rambut merah, dan kacamata, mengenakan kemeja putih, dan rok coklat. Di layar, terpampang nama sang reporter, yang berada di sebuah desa, yang sebagian besar, bahkan mungkin, tidak ada orang yang mengetahuinya.
"Selamat pagi, kini saya, Karin, akan melaporkan kejadian yang baru saja terjadi malam ini. Saya kini berada di sebuah desa, bernama desa Konoha, yang saya yakin, banyak yang tidak mengetahui keberadaan desa ini. Desa ini, kini resmi menjadi desa mati. Semalam, tepatnya pukul delapan malam, pihak kepolisian jepan menerima telpon dari orang yang tidak dikenal, dan mengatakan bahwa kematian massal sering terjadi di desa ini sejak tiga puluh tahun yang lalu, dan puncaknya terjadi tadi malam. Desa ini masih diselidiki para polisi dan ilmuwan, untuk mengetahui penyebab pasti kematian mereka. Pihak polisi menemukan sekitar seratus orang mati tanpa luka apapun, dalam rumah mereka masing-masing. Juga, ada sebuah lapangan pemakaman sangat luas di desa ini. Sekian, saya Karin, inilah laporan kami untuk anda. Akan kami usahakan untuk selalu memberikan anda laporan terkini, yang kami dapatkan. Terima-kasih."
Seorang pria berambut hitam legam, tertawa kuat, saat ia mendengar laporan dari tv kecil yang berada di ruangan gelap, tempatnya berada kini. Ia menatap orang lain yang juga berada dalam ruangan itu, dan menyeringai kejam.
"KAU!" Pria yang ternyata dalam kondisi terikat dengan rantai di tengah ruangan itu, merontak, mencoba melepaskan diri, dan memukul pria berambut hitam itu, dan lari dari tempat mereka berada.
Namun, sang pemuda tetaplah memberikan seringai terbaiknya, dan mendekat kearah pria yang sedang terikat itu.
"Tidakkah kau sadar, bahwa semua ini bukanlah kutukan desa Konoha?"
Pria yang terikat itu, menatap pria di depannya, penuh amarah. Namun pria lainnnya hanya bisa kembali memberikan seringaiannya, jelas-jelas mengejek pemuda yang kini terikat.
"Itu adalah kutukan yang terus mengikuti keluargamu, saat kalian merasakan 'cinta'. Yang berarti, kaulah penyebab kematian beruntun desa itu, Sasuke…" Pria itu menjelaskan dengan begitu kejam.
"Kini… Kau tidak akan bertemu dengan cintamu lagi, Sasuke-kun"
Dengan itu, teriakan pilu mengiris hati, bergema di setiap inci ruangan itu. Tidak ada gunanya, karena tidak ada seorangpun dari luar tempat itu bisa mendengar teriakannya…
Teriakan Sasuke.
.
.
.
A/N : Yey, Hoshi balik lagi sodara-sodara! Dengan ONESHOT yang gajelas -.- pengennya sih buat yang bikin nangis gitu, tapi gbisa -.- eh, malahan arusnya melenceng daripada yang saya bayangkan :3 yaudah, jangan lupa Review yeh, berikan pikiran anda :v ini bisa lanjut, bisa juga berhenti disini :3 dadaaah :*
