Summary : Menjadi seorang pembela kebenaran, menjadi sebuah dilema, kau tidak bisa membiarkan kejahatan terjadi di depanmu. Tapi bagaimana jika kau bertidak. Dendam, dendam, dan dendam! Nagato memiliki seorang Guru yang sangat menyayanginya, hingga suatu hari sang guru, murka karena tahu kalau murid kesayangannya di bunuh oleh oranglain. Maka Sakuralah yang menjadi sasaran agar Sasuke juga merasakan apa yang ia rasakan, yakni kehilangan orang yang di sayangi. Apakah Sasuke sanggup melindungi Sakura yang tengah hamil?/AU/Sequel Ninja Pengembara 2 /Kehidupan SasuSaku pasca memutuskan menetap di Konoha.

.

.

© Masashi Kisimoto ©

.

.

.

Alunan Kematian

.

.

.

Alunan denting terdengar dengan irama tidak tetap. Terkadang petikan kecapi itu mengalun lembut laksana hembusan angin gunung yang sejuk dan membawa kedamaian. Namun di lain saat, berubah garang bagai amukan badai di lautan yang siap menelan korban.

Beberapa petani yang saat itu tengah mengerjakan lahan pertanian, berhenti sejenak sambil mengerutkan kening. Mereka merayapi daerah sekitarnya, seolah-olah ingin mencari asal nyanyian dan petikan kecapi itu.

"Nyanyian yang aneh. Petikan kecapinya pun terdengar aneh dan lain dari biasanya. Dan yang lebih aneh lagi, suara itu seolah-olah berasal dari segala penjuru. Mungkinkah yang membawakannya adalah manusia?" gumam salah seorang petani yang berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya yang kehitaman karena selalu terpanggang sinar matahari itu tampak menegang, karena mencium sesuatu yang tidak wajar dari nyanyian itu.

"Kau jangan berpikir yang bukan-bukan. Tentu saja yang memainkannya pasti manusia. Lagi pula, mana ada setan yang dapat memainkan kecapi? Apa lagi siang hari seperti ini. Sudahlah! Lebih baik kita selesaikan pekerjaan ini, agar bisa pulang cepat," timpal petani lain yang bertubuh kurus bagaikan tulang terbungkus kulit.

Dari nada suara dan wajahnya yang agak memucat, jelas sekali kalau dia mulai terpengaruh ucapan kawannya. Hanya saja hal itu berusaha disembunyikannya agar tidak membuat panik yang lain.

"Hei? Mengapa kalian tampaknya begitu ketakutan? Dengarlah. Suara petikan kecapi itu begitu merdu dan terasa menyegarkan!" seru petani yang lainnya lantang.

Memang, saat itu irama alunan kecapi itu demikian merdu dan melenakan. Sehingga para petani yang semula merasa lelah, terbangkit semangatnya. Dan kini mereka pun bekerja semakin giat.

"Wah! Hebat sekali kepandaian orang itu. Rasa-rasanya pemain-pemain kecapi di desa kita tidak ada
yang bisa menyamainya. Kalau saja kepala desa kita mendengar, mungkin orang itu akan dijadikan pembantunya agar senantiasa memainkan musik kecapi itu untuknya," ujar petani yang pertama kali membuka pembicaraan. Dan kini rasa takutnya mulai hilang ketika mendengar petikan kecapi yang bersuara merdu dan menyegarkan itu.

"Hm... Kurasa ia belum tentu mau. Karena, kalau mendengarkan cara permainannya, paling tidak ia biasa bermain di istana," timpal kawannya yang rupanya lebih mengerti tentang kecapi.

Para petani itu pun menghentikan pembicaraannya ketika beberapa orang wanita mendatangi mereka. Kalau dilihat dari bawaan para wanita itu, pastilah mereka adalah anak-anak atau istri petani yang datang membawakan makanan. Dan kini para petani itu terlihat bergegas naik dan mencuci tangannya yang penuh lumpur. Para petani itu pun tidak menyadari kalau saat itu suara kecapi yang mereka nikmati tadi telah lenyap. Dan suasana pun kembali hening dan sepi.

SSS

Sekelompok orang yang sedang mengiringi pengantin. Nampak sekali wajah-wajah para pengiring itu turut berbbahagia karena turut merasakan apa yang di rasakan oleh dua orang yang akan mengikat janji suci itu.

Kebahagiaan itu sedikit terganggu karena mendengar suara seseorang yang tengah memainkan kecapai.

Suara yang seperti datang dari berbagai arah itu, membuat para rombongan itu makin kebingungan sekaligus nampak terlena.

Kebingungan karena suara kecapi itu terdengar seperti menggaung dari berbagai arah. Terlena karena suara itu dimainkan begitu halus dan merdu.

"Hah, itu dia" suara salah seorang di antara mereka langsung menunjuk kebawah pohon yang ternyata tidak jauh dari tempat mereka.

Seperti di komandoi, semua orang serentak menatap ke arah tempat yang di tunjuk oleh pria tadi. Di bawah pohon yang rindang, tampaklah seorang pria bertubuh besar dan terlihat kekar berotot. Rambutnya kuning pucat sedikit meriap dan memanjang.

Di balik wajahnya yang menunjukkan sifat tegas dan mungkin kasar. Nampak kalau pria itu terlihat tenang dan sama sekali tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya.

Semua yang menatapnya itu di tandai dengan kekaguman. Sehebat apa pria itu dalam memainkan kecapinya sehingga bisa-bisanya terdengar seperti dari berbagai arah, padahal yang memainkannya ternyata satu orang.

"Bagaimana kalau kita mengajak dia ikut serta" si pengantin pria nampak pertama kali bebas dari keterpanaannya. Namunpun demikian ia sangat tertarik.

"Paman, tolong mintalah pada pria itu agar mau menemani kita. Sekaligus menghibur kita nanti, katakan juga padanya kalau aku akan membayar mahal" pinta pengantin pria tadi.

Si pria tua yang di mintai tolong lansung saja menurut.

"Tuan" panggilnya sopan, sementara pemain kecapi yang di ajak berbicara itu masih tidak peduli dengan orang yang mengajaknya bicara barusan.

"Tuan" panggilnya lagi tanpa mengurangi sikap sopannya, "anak kami itu, sangat tertarik dengan permainan tuan. Ia minta sekiranya tuan berkenan untuk menghibur anak kami itu. Tenang saja tuan, kami janji akan membayar mahal untuk itu"

Pemain kecapi itu, untuk kali pertama mengangkat kepalanya, namun jari jemarinya tetap lembut memetik dawai kecapinya.

"Aku mencari seorang pria yang bernama Sasuke" nampak kalau pria itu sama sekali tidak tertarik dengan tawaran menggiurkan dari orang-orang itu.

Sementara pria yang tadi mengajak, malah saling tatap. Mereka heran, suara dingin dari pria ini sangat menyimpan maksud tertentu.

"Apa di antara kalian mengenal pria bernama Sasuke?" tanya nya lagi, sambil tetap pokus pada petikan dawai kecapinya,

"Maaf Tuan, kami sama sekali tidak mengenal pria yang bernama Sasuke. Kalau tuan tidak keberatan, sudilah kiranya memberitahukan seperti apa ciri-ciri pria tersebut"

Pria yang memainkan kecapi itu lantas menghentikan permainannya. Ia mengangkat kepalanya yang dari tadi di tundukan. Ia menatap pria yang bertanya di depannya.

"Kenapa?" tanya pemain kecapi itu masih tetap memainkan dawai kecapinya, meski hanya di petik satu-satu.

"Tidak ada Tuan. Hanya sekedar ingin tahu" jawab pria tua.

Si Pemain Kecapi itu nampak kalau si pria itu menyimpan maksud tertentu di balik pertanyaannya, bukan hanya sekedar ingin tahu.

Meski begitu, Si Pemain Kecapi tetap memberitahukan ciri-ciri Sasuke.

"Atau begini Tuan, bagaimana kalau tuan ikut kami, sambil membantu mencari pria yang bernama Sasuke" ujar si pria tua tadi.

Si pemain Kecapi menunjukkan seringai meremehkan, tepat seperti yang ia duga. Pasti pria itu akan memanfaatkannya agar ia ikut dengan rombongan itu.

Si pemain kecapi tidak menjawab. Ia malah memainkan kecapinya dengan nada yang terasa sendu.

Karena kesal tidak mendapat tanggapan, orang tua yang meminta tadi malah menggerutu, "Dasar tidak tahu diri, kita dengan segala kerendahan meminta baik-baik… sombong!"

Si Pemain kecapi itu mengangkat kepala dengan raut wajah kesal. Tatapannya nalar menatap pada orang yang menggerutu tadi.

"Pemain kecapi murahan dan congkak sepertimu pantasnya mampus saja" sepertinya orang itu, belum puas hanya dengan sekali menggerutu.

Si Pemain kecapi makin menajamkan tatapannya, wajah kerasnya semakin jelas sekali kalau ia sangat marah dengan umpatan kata mampus yang di ucapkan oleh pria itu.

Tingk!

Crekk!

"Ukh" orang tua yang mengumpat itu hanya mengeluh. Tiba-tiba saja dari tenggorokannya mengeluarkan dara laksana air mancur dari lubang wadah yang bocor.

Orang-orang yang menyertai terpana sesaat. Mereka benar-benar dikagetkan dengan keanehan yang menimpa orang tua tadi.

"Kyaaaa…"

Para wanitalah yang pertama kali tersadar. Dan yang terdengar hanyalah jeritan rasa kaget, panik dan ketakutan atas kengerian yang tampak di depan mereka.

Seperti ada yang mengomandoi, para pria sontak menoleh pada Si Pemain Kecapi. Sadar atau tidak, tapi mereka seperti sepakat kalau penyebab keanehan ini di sebabkan oleh si pemain Kecapi. Mereka yakin demikian, karena, kejadian aneh itu di awali dengan bunyi petikan kecapi.

"Jahannam!" Murka seorang pemuda di antaranya.

"Sihir gila" timpal yang lain pula.

"Habisi keparat itu"

Sraaat! Srat!

Masing-masing orang yang mengawal mulai mencabut senjata masing-masing.

"Heeeaaathh.. hiyaa…"

Ting! Jreeeng!

"Aaaaarghhh!"

Serangan sambil menggertak lalu di sambut dengan petikan kecapi dan di akhiri dengan jerit kematian membahana dari mulut para pengawal.

SSS

Seorang pria yang masih kelihatan muda, tengah sibuk dengan pekerjaannya. Dari tadi ia terus menerus mengolah lahan. Tak peduli dengan peluh yang telah membasahi pakaiannya. Sesekali ia menyeka peluh yang mengalir di pelipisnya dengan tangan. Meski demikian, ia masih kelihatan semangat mengolah lahan pertanian yang kemungkinan akan ia tanami.

"Sasuke"suara lembut khas suara wanita menyapa pemuda yang tengah sibuk itu.

Si pemuda yang ternyata adalah Sasuke menoleh. Matanya seperti melotot saat tahu siapa yang menyapanya tadi.

"Ck! Sakura. Apa yang kau lakukan?" raut wajah Sasuke berubah seketika ketika melihat Sakura yang kini menjadi isterinya dan juga tengah hamil, justeru datang menenteng bekal.

"Membawakanmu makanan" jawaban enteng dari Sakura, tidak peduli dengan pelototan Sasuke yang kini sudah menjadi suaminya.

"Dasar! Sudah kubilang kau harus banyak istirahat! Perhatikan bayimu"

"Lalu siapa yang membawakanmu makanan. Kita hanya berdua" giliran Sakura yang tidak mau kalah.

"Aku akan pulang. Kau tidak perlu melakukan…"

"Lalu kenapa tidak segera pulang" raut wajah Sakura seakan ingin menangis karena sejak kedatangannya, seakan-akan Sasuke menyalahkan dirinya. Dan bukankah memang tidak ada salahnya jika ia hanya datang sekedar untuk mengantarkan bekal makan siang untuk suami. Sasuke, suaminya itu memang sedikit bisa di katakan keterlaluan.

Sasuke menghela nafas, "Maaf!" sekarang Sasuke menyesal telah meninggikan suaranya pada isterinya. Ia merasa bersalah, bukan karena tidak segera pulang untuk istirahat, melainkan karena nadanya yang tadi meninggi. Ia tahu, Sakura, sejak kehamilannya, menjadi sangat sensitif, mungkin akibat pengaruh kehamilan. Sebagai Suami, Sasuke sangatlah mengerti. Apa lagi hal seperti ini memang sudah di wanti-wanti oleh Hidan, kenalannya.

Sasuke segera melangkah meninggalkan pekerjaannya dan berjalan menuju Sakura. Ia pun menarik lalu merangkul Sakura. Ia mengajak Sakura ke dangau, tempat ia biasa melepas lelah ketika istirahat.

"Maaf Sakura" ia dengan hati-hati mendudukan Sakura di sampingnya, "Terima kasih karena kau mau repot membawa bekal makan siangku" imbuhnya sambil mengecup dahi Sakura. Lalu dengan hangat Sasuke mengalihkan kecupannya di bibir Sakura.

Sakura mengangguk sambil tersenyum. Seperti apapun kesalnya, jika di perlakukan hangat oleh Sasuke, pasti Sakura kembali tenang.

Dan inilah yang membuat Sasuke senang dengan istrinya itu. Terkadang Sakura, seperti gampang terbawa emosi, namun sangat mudah pula di tenangkan.

Sakura kembali tersenyum lalu ia mengambil bungkusan yang berisi bekal untuk makan siang suaminya.

Di saat Sakura mulai mengambil bekal untuknya, Sasuke malah meneliti hampir sekujur tubuh Sakura. Ia tersenyum sambil memperhatikan bagian telinga sakura yang sudah menggantung anting-anting. Kali ini salah satu cita-citanya sudah terwujud, kini Sakura sudah memiliki perhiasan, hasil kerja kerasnya. Meski tidak bisa di katakan perhiasan mahal, namun Sasuke cukup senang, mengingat keadaan mereka sekarang, bahkan mereka bertempat tinggal di rumah yang bisa di katakan sederhana, namun pasangan itu masih bersyukur karena keadaan mereka sama sekali tidak mengurangi kebahagiaan mereka. Rumah sederhana yang selalu membuatnya hangat dengan keluarga kecil miliknya ini seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan.

Berikut, Sasuke menggulirkan pandangan ke perut Sakura yang membuncit. Kembali Sasuke merasa senang. Karena ia telah membahagiakan Sakura. Sasuke tersenyum hangat memandangi perut itu, bagaimana tidak, mereka harus menunggu untuk menjalani hubungan lebih dari satu tahun untuk memberikan kebahagiaan itu untuk Sakura.

Ingatan Sasuke sedikit melayang di awal pertemuannya dengan Sakura. Si gadis beracun yang tak bisa atau tak boleh di sentuh, jika tak ingin mengalami kematian. Tapi kini telah menjelma menjadi wanita sempurna yang telah menyempurnakan hidup Sasuke pula.

Dan sampai sekarang pun, Sasuke tidak tahu, kenapa penyegel kutukan untuk Sakura bisa bangkit.

Sakura yang merasa di perhatikan suaminya, kembali menghentikan kegiatannya, sehingga bekal untuk suami belum sempat terbuka. Ia malah menatap Sasuke yang ternyata memang menatapnya intens.

"Sasuke" panggilan Sakura membuat Sasuke mengalihkan pandangannya pada wajah cantik itu, "ada apa? Kau melamun?"

"Hn. Tidak ada" usai berkata demikian, Sasuke menarik kepala Sakura memberikan kecupan hangat.

Seperti tidak ingin rugi dengan sekedar kecupan yang di berikan suaminya. Sakura malah menahan kepala Sasuke, seakan meminta lebih. Sasuke pastilah mengerti, maka lumatan dan pagutan kembali di lakukan, tidak hanya itu, lidahnya pun mulai meliuk-liuk di dalam mulut Sakura, guna memenuhi keingina Sakura yang terkadang bersikap agresif jika menyangkut masalah pagutan.

"Ayo pulang"

Sakura merona, ajakan Sasuke menandakan kalau ia mungkin ingin melakukan lebih dari yang barusan mereka lakukan. Berikut Sakura mengangguk perlahan.

Sasuke makin sumringah, ia benar-benar akan melakukan lebih. Tapi percayalah, tidak hanya berdasar pada nafsu semata, tapi juga berlandaskan pada kasih sayang dan simbol perlindungan seorang lelaki pada wanitanya.

sSs

Seorang pria bertubuh besar kekar, berambut kuning pucat, melangkah memasuki sebuah kedai. Dari rupanya di perkirakan ia berusia empat puluh tahunan. Di punggungnya tersampir sesuatu seperti kotak persegi panjang menyilang di punggung dan di bungkus sebuah kain sederhana bahkan kelihatan sudah lusuh.

"Permisi, Tuan. Tuan mau pesan apa?" seorang pelayan menghampiri dengan sopan.

"Aku pesan ikan bakar" jawabnya singkat.

"Baiklah Tuan. Ada lagi?" nampak kalau pelayan itu sudah biasa melayani pelanggan yang irit bicara.

Si pria kekar itu hanya menggeleng perlahan.

"Terima kasih Tuan" si pelayan pun pamit meninggalkan tamunya itu menyiapkan pesanan.

Tak menunggu lama si pelayan sudah datang sambil membawa pesanan itu.

Belum ia makan pesanannya. Tiba-tiba ia mendengar suara obrolan dari sudut ruang lain.

"Heran… ada lagi pembunuh berantai muncul. Apa lagi maunya?"

"Tapi kali ini sasarannya berbeda. Kalau sebelumnya ia membantai para musisi panggilan. Kali ini dia membantai rombongan pengantin apa lagi maksudnya?" sahut yang lain dengan nada kebingungan.

"Entahlah. Padahal hampir satu tahun berlalu, sejak pembantaian musisi jalanan. Kini muncul lagi pembunuh dengan cara yang sama. Ataukah mereka adalah orang yang sama? Tapi kali ini sasarannya beda lagi" sahut pria yang pertama kali bersuara.

"Entahlah" sahut yang lain pula.

Berikutnya tak ada lagi suara karena kembali di sibukkan dengan acara santap makanan pesanan mereka.

Si pria Kekar juga melanjutkan acara makannya.

Tanpa ada yang menyadari, seorang pemuda berambut pirang juga, tengah menikmati makanannya. Namun jika di perhatikan, ia juga tengah memperhatikan obrolan para tamu tadi.

Pemuda itu adalah Naruto, yang sebenarnya adalah kakek-kakek yang memakai jutsu aneh sehingga ia selalu kelihatan sangat muda.

Kelihatan sekali kalau Naruto tengah berpikir.

SSS

Langkah yang tak terarah masih di jalani pria kekar bersurai kuning pucat berwajah kasar. Tatapan matanya tajam meneliti area sekitar. Sadar atau tidak ia malah mendudukkan diri di sebuah batang pohon yang cukup rindang untuk berlindung dari sengatan terik matahari.

Seperti sebuah kebiasaan, ia mengambil sebuah buntalan di belakangnya yang berbentuk segi empat. Setelah di keluarkan ternyata itu adalah sebuah kecapi.

Perlahan ia mulai memainkan kecapinya dengan nada tak beraturan namun masih mengalun lembut. Sembari jemarinya memainkan alat musik. Matanya menerawang. Matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya yang semula memancar garang, kini tampak meredup.

Sesaat kemudian, kepalanya terdongak menatap cakrawala biru. Terdengar tarikan napasnya yang
berat

Flashback

Pria bertubuh kekar besar bersurai kuning pucat dan meriap agak panjang, sebenarnya bernama Jirobo.

Wajahnya yang kasar dan terlihat sangar, kelihatan senang memasuki sebuah bangunan mewah.

"Nagato… apa kabarmu?" gumamnya pada diri sendiri. Halaman rumah yang di masuki itu adalah tempat muridnya, Nagato bekerja. Begitulah yang dikabarkan Nagato padanya

Tapi begitu memasuki pintu gerbang, ia sedikit heran. Rumah mewah seperti ini, ia sama sekali tidak menemukan adanya penjagaan sama sekali. Ia nalar menatap sekeliling. Matanya berhenti pada dua buah gundukan tanah, yang satunya besar dan satunya lagi kecil.

Dengan kebingungan, Jirobo tetap melanjutkan langkahnya mencari sosok murid kurusnya yang bernama Nagato. Yang ia ketahui telah bekerja di rumah ini.

"Permisi" panggilnya pada seorang wanita yang kebetulan lewat dan hendak memasuki rumah mewah itu.

"Maaf, Tuan mencari siapa?"

"Aku mencari muridku, Nagato"

"Nagato?" si wanita terlihat malah sedikit heran. Ia menatap pria di depannya dari atas ke bawah.

"Benar, menurutnya, ini tempatnya bekerja. Oh ya, apakah benar kalau ini adalah rumah Nona Tsunade?"

"Benar tuan… tapi…" wanita itu malah kebingungan menjelaskan.

Pria di depannya itu mengaku gurunya Nagato. Ia bingung, bagaimana menjelaskan mengingat Nagato sudah tewas.

"Ada apa?" suaranya sudah mulai tersirat, kalau ada nada memaksa, bahkan terasa adanya amarah, karena berita yang ia inginkan tak kunjung di ucapkan si wanita.

Merasakan aura itu. Menggigillah tubuh si wanita.

"Ma… maaf Tuan, sebenarnya… Nagato… sudah tewas di bunuh" jawabnya makin ketakutan.

Si wanita, atau lebih tepatnya pelayan Tsunade yang tetap mengurus rumah mewah meski atasannya telah tiada.

Menyinggung murid kesayangannya itu telah tiada, makin mendidih lah darah Jirobo.

"A… ampun tuan, saya hanya pelayan" si pelayan muda itu malah terlihat ketakutan. Ia tahu pria yang mengaku bernama Jirobo itu dalam keadaan marah karena kabar berita muridnya telah terbunuh wajahnya yang kasar semakin terlihat sangar dan menyeramkan.

Jirobo menarik nafas panjang. Menyalahkan atau mungkin membunuh pelayan itu tidak ada gunanya.

Ia malah teringat kalau pelayan itu baru saja mengatakan kalau muridnya tewas terbunuh. Andai saja ia menjatuhkan tangan terlengas karena melampiaskan amarahnya. Ia bisa saja tidak mendapat informasi yang ia butuhkan. Lantas, siapa yang telah membunuh muridnya.

"Maaf" meski sudah terasa melunak. Dalam hati Jirobi masih bergemuruh, ia buru-buru menenangkan perasaannya.

"Boleh kutahu siapa pembunuh Nagato?" tanyanya dengan nada yang berusaha di lembutkan dan setenang mungkin.

Ia butuh informasi tentang pembunuh muridnya. Dan jika ia membuat takut atau malah membunuh wanita gara-gara amarahnya, yang ada malah tak mendapat apa-apa. Makanya ia mmebuat suaranya setenang mungkin.

Nada yang terdengar melunak, membuat si pelayan yang tadi ketakutan setengah mati, mulai mengumpulkan keberaniannya untuk bersuara.

"Namanya Sasuke. Itu yang sempat saya dengar ketika di ceritakan oleh Tuan Hikari dan Nona Tsunade"

Maka mulailah si pelayan itu menceritakan yang ia ketahui. Mulai dari kedatangan Sasuke dan tiga kawannya. Mengacau dan bertarung. Berakhir dengan kematian kedua atasannya, yaitu Tsunade dan Hikari. Termasuk kematian Nagato di tangan Sasuke.

"Bagaimana ciri-ciri pria yang bernama Sasuke itu"

"Dia itu… ah, aku ingat. Tunggulah"

Si pelayan segera pamit dan masuk kembali kedalam rumah mewah itu. Tak menunggu lama, ia kembali sambil menenteng sebuah gulungan di tangannya.

"seperti ini wajah Sasuke, Tuan"

Si pelayan menyerahkan seketsa atau lukisan wajah Sasuke, yang sebenarnya adalah Hino Hikari. Ini bisa di lihat karena lukisan itu terdapat juga lukisan Tsunade.

Jirobo makin menautkan alis. Ia malah menatap gambar itu lamat-lamat.

"Sebenarnya ini adalah atasan kami. Hanya saja mereka berdua sangat mirip. Jika tuan melihat wajah tuan Hikari, maka sama saja dengan melihat Sasuke" terang pelayan tadi yang mengerti maksud kebingungan pria di depannya itu.

"Apakah hanya Sasuke sendirian, Atau ada yang menemaninya saat itu" tanya Jirobo lagi. kali ini dalam hati ia bersumpah akan menghabisi Sasuke dan rekannya yang telah terlibat membunuh muridnya

"seorang gadis cantik dengan surai merah muda. Kelihatan dari cara mereka, sepertinya gadis itu adalah kekasih Sasuke"

Jirobo tidak memberikan reaksi. Ia masih menunggu keterangan tambahan tentang dua lainnya karena menurut keterangan si pelayan, mereka berjumlah empat orang.

"Dua lainya juga sepasang muda mudi yang berambut pirang" imbuh si pelayan tadi.

"Boleh ku bawah lukisan ini?" terasa adanya getaran di balik suara Jirobo.

"Tentu, Tuan"

Jirobo melangkah meninggalkan pekarangan rumah mewah itu. Begitu ia menjauh dari keramaian. Terlihat sekali kalau ia dari tadi menahan sesuatu.

Kini timbul dalam pikiran Jirobo muncul satu ide. Ia akan menyiksa batin Sasuke, dengan menghabisi orang terdekatnya, yaitu kekasihnya. Setelah itu ia akan menghabisi Sasuke secara perlahan. Dua orang lainnya tidak ia pedulikan lagi. karena ia tidak kenal. Ciri-ciri yang di sampaikan oleh pelayan Tsunade kurang jelas baginya. Yang pasti, Sasuke adalah sasaran utamanya, itu sudah cukup baginya. Karena menurut si pelayan, Nagato tewas di tangan Sasuke.

"Sasukeeee….haaaaaa" teriaknya. Gemuruh dalam dadanya yang di iringi dengan dendam dan amarah itu. Akhirnya di luapkan juga.

"Akan ku bunuh kau" geramnya.

TO BE CONTINUE