Badai pasir telah surut menyisakan kota kuno peninggalan zaman dulu.

Menara kota itu mucul dahulu. Menara yang tertutup pasir diikuti bangunan sekitarnya. Semua terangkat ke atas. Sebenarnya bangunan ini terbuat oleh tangan alam. Pasir mengendap membentuk bangunan – paling banyak lima bangunan – rumah kecil kotak. Aku tinggal di salah satunya.

Tapi itu dulu.

Sekarang aku terdampar di negara yang lebih maju dari tempatku. Kampung halaman berwujud bangunan pasir yang dianggap kota paling maju kini bisa dianggap kampungan. Kumaklumi tanggapan mereka yang kurang ajar pada kampung halamanku. Mereka belum pernah hidup didalamnya saat kota itu masih berjaya.

Aku menyusuri seluk beluk kota. Mulai dari pekerjaan, makanan sampai cara mereka berhubungan. Seiring aku berjalan puluhan pasang mata orang memandangku dengan berbagai maca ekspresi yang sangat kentara. Terkejut, jijik dan penasaran. Bahkan aku yakin beberapa dari pikiran orang – orang ini mengatakan bahwa aku monster lewat dan siap menerkam mereka.

"Kakak kenapa?"

Seorang anak kecil, perempuan, menarik ujung jubah yang menyelimutiku. Wajahnya penasaran sekali. Wajar bagiku untuk kesekian kali.

Kukatakan wajar di sini dengan penuh penekanan. Bayangkan saat kau bertemu dengan pemuda berumur dua puluhan dengan perban membebat sekujur tubuh dan hanya menyisakan satu mata kiri untuk melihat, semburat rambut merah yang kusam dan sedikit diselubungi jubah hitam berbordir huruf Frios kuno dengan benang emas. Keadaanku seperti unta abstrak berpunuk tajam karena senjataku. Tambah lagi, aku memakai tongkat kristal.

"Kakak kenapa? Kakak kena kutuk ya? Seperti kata ibu?", ulang anak itu. Ibunya berteriak melengking sambil tergopoh – gopoh. Meraih anak itu sambil marah karena mengajukan pertanyaan itu. Tapi anak itu tetap menapak pada tanah yang dipijak sekalipun sudah diseret. Penasaran anak ini membuatnya tetap menancap pada tanah seperti tulang bison yang terkubur ribuan tahun. Aku membungkuk agar bisa selaras dengan anak itu.

"Ya. Bisa dibilang begitu.", jawabku.

"Tangan kanan kakak mana? Juga kaki kakak tidak ada?", tanyanya lagi.

"Kedua kakiku ada di balik jubah. Begitu pula tangan kananku. Aku memakai tongkat agar aku bisa mudah untuk berjalan.", jawabku.

"Kenapa kakak berpunuk seperti unta?", tanya anak itu lagi.

"Ada senjata rahasia. Aku tak bisa bilang."

"Apakah kakak tidak sakit terkena kutukan?"

Aku terdiam. Beberapa saat setelah itu aku beranjak berdiri.

"Sakit ya?", ulang anak itu.

Aku tersenyum diantara perban yang menutupi mulutku. Ini salah satu keuntungan diperban. Kemudian aku pergi. Aku bisa mendengaar anak itu dimarahi habis – habisan oleh ibunya serta beberapa penduduk.

Aku lupa memberi tahu namaku.

Aku Fied. Aku sedang mencari pihak yang bisa kupercayai. Aku mendengar dua kubu sedang mencari orang kuat.

Heroes, kubu pembela kebenaran yang mencuyrahkan diri mereka pada kebenaran untuk melawan kejahatan.

Villains, kau bisa katakan sebaliknya. Aku tak mau menulis di sini dua kali.

Hari ini aku punya janji dengan dua kubu itu. Aku sengaja menaruh hari yang sama untuk menelitin dan mencari sisi munafik mereka semua. Di salah satu kafe yang ada.

Di sini. Di kafe berwarna kuning dengan terpal untuk pelindung pemesan outdoor. Aku duduk di sana, menunggu. Orang – orang kembali memperhatikanku tapi aku tidak perduli. Jubahku menutupi bagian tubuhku. Kepalku hanya bisa terlihat bagian multunya saja sementarra senjataku tersampir di antara dinding yang ditumpu lapisan granit. Kafe yang bermodal juga – granit murni mahal akhir- akhir ini.

"Fied White?" sahut seseorang.

Dia berdiri di depanku. Memakai seragam hitam dengan jaket hijau melingkupi dadanya yang bidang. Anting berbentuk salib terpasang di kuping kirinya saja. Tangan kirinya memegang helm dengan kaca bentuk bintang segi empat. Tulisan 'SPIRITS' terpampang di dada dan pundak kiri yang terbungkus lengan panjang pakaiannya.

"Memang itu namaku. Kubu mana kau?"

"Heroes."

"Aku mendengarkan."

"Baik. Namaku Rokoz. Aku diutus ke sini untuk bernegosiasi denganmu atas permintaanmu masuk ke kubu kami."

"Halo Rokoz….", sapa seseorang tiba - tiba.

Rokoz terkejut. Tanpa basa – basi ia menerjang orang itu. Rambutnya hijau dengan kemeja yang rapi. Mereka tak peduli akan orang yabng panic dan melihat mereka. Aku tetap diam di kursi dan mejaku bersama sahabat yang bernama kebisuan. Aku memperhatikan sambil bertaruh bahwa orang perambut hijau necis itu berasal dari kubu Villains.

"Green! Mau apa kau?", tanya Rokoz dengan kebencian murni.

"Sama sepertimu, aku menemui orang bernama Fied White yang ingin masuk ke kubu kami, Villains."

"Apa?"

Aku hanya diam. Senyum tersembul dari bibirku yang dibebat. Tubuhku menegang senang tapi dalam hati aku kecewa. Awal kemunafikan mereka sudah terlihat.

Bagaimana berikutnya?