CINNAMON AND FANGS

Disclaimer: I don't own Bleach, it's Kubo Tite. I used it just for fun...

Requested by my lovely reader, Zanpaku-nee. Yupz, vampire Bleach comes to the surface!

WARNING! Fanfic ini berisi adegan dari gay sex a.k.a YAOI. Jadi, bagi kalian yang ga suka, silakan tekan kembali tombol back di atas~ Yang lainnya, saya memberikan penyedap baru yang berbeda dari fanfic-fanfic saya sebelum ini: THREESOME! Yep. Seme x Uke x Seme! Zanpaku-nee sebenernya ngerikues tanpa penyedap itu sih, tapi dipertengahan cerita, saya jadi ingin memasukkan itu =u=" Yang ga kuat pun, silakan segera menyingkir karena itu berarti dalam cerita ini pun terdapat DP (Double Penetration). Err... Tau kan Double Penetration itu apa? In case ada yang ga tau, DP atau Double Penetration itu 2 kelamin lelaki dimasukkan dalam 1 lubang.

. . . . . . gitu *ORZ*

Please enjoy my first Threesome, GrimmIchiShiro...

XOXOXO

"Jaga rumah?"

Kerutan dahi mulai nampak di wajahnya yang masih setengah mengantuk, dan semakin dalam ketika melihat sang ayah mengangguk antusias.

"Yep! Kau masih ingat bibimu, 'kan—Oh, apa yang kukatakan... Anak seumuranmu mana mungkin lupa mengenai dada—" Dan pria berjanggut tipis itu tidak akan pernah bisa menyelesaikan kalimatnya karena Ichigo tidak menunggu waktu lama lagi untuk menyarangkan telapak kakinya ke wajah sang ayah hingga terjerembab di dinding kamar.

Ichigo mengerang.

Ini hari minggu, dan waktu masih menunjukkan pukul 7.30 pagi. Hari libur seperti ini, bagi anak SMA seumurannya, selalu ia habiskan untuk tidur dan malas-malasan. Ia pun berencana untuk bangun siang. Tapi, salahkan si Janggut Kambing a.k.a Kurosaki Isshin yang sudah berteriak-teriak histeris semenjak matahari muncul di ufuk timur, mendobrak pintu kamarnya, dan sebelum ia bisa bersiap, meniban tubuhnya hingga ia sempat berpikiran tulang rusuknya kini sudah menusuk ke dalam paru-paru.

Untungnya tidak sih.

"Ergh... Suruh bibi meminta tolong Renji atau Shuuhei. Aku ngantuk."

Sayangnya, Isshin merupakan pria yang kuat, sehingga belum sempat Ichigo menyimpan kembali kepalanya di atas bantal, ia mengangkat anak remajanya itu dan melemparkannya ke dalam kamar mandi—seolah barusan kepalanya tidak ditendang dan terbentur tembok. "Cepatlah bersiap! Dad akan menunggumu di bawah dan mengantarmu menuju rumah Nel-chan~!" Suara pintu berdebam, dan teriakan, "YUZU~ ANAKKU YANG MANIS~! DAD SUDAH LAPAR~!" Membuat Ichigo mengumpat keras, membanting botol shampoo ke arah pintu di mana Isshin sempat lewat sebelumnya.

XOXOXO

Di samping umpatan demi umpatan yang keluar dari mulutnya, secara diam-diam Ichigo tidak bisa berhenti mengagumi interior rumah sang bibi. Semenjak dulu, Ichigo sangat menyukai keartistikannya. Padahal bibinya itu, Nelliel Tu Odelschwanck, sama sekali tidak memiliki jiwa seni, tapi tetap memiliki sense yang bagus dalam membeli barang. Sebenarnya, Nelliel bukan merupakan bibi yang secara langsung berhubungan dengannya. Nelliel merupakan istri dari adik ibunya, Masaki. Suami sang bibi pun sudah meninggal 2 tahun lalu karena sakit. Nelliel yang tidak dikaruniai seorang anak pun hanya tinggal bersama 2 orang pelayan, Pesche Guatiche dan Dondochakka Birstanne.

Mengikuti langkah sang ayah dan Nelliel menuju salah satu kamar yang akan dia gunakan selama menjaga rumah ini, perhatian Ichigo teralihkan pada lukisan besar yang berada di ruangan tengah. Di dalam lukisan itu terdapat 6 orang pria dan seorang wanita yang mengenakan pakaian serba putih.

Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, ketujuh orang yang ada di dalam lukisan selalu berhasil membuat langkah Ichigo berhenti hanya untuk sekedar memandang. Ia tidak tahu apakah orang-orang yang berada di dalam lukisan itu nyata atau tidak, karena warna rambut beberapa orang di antaranya terlalu tidak wajar untuk dikatakan alami. Tapi, ia bukanlah seseorang yang bisa bicara seperti itu.

Karena rambutnya sendiri berwarna oranye, kawan.

"Kelihatannya kau benar-benar tertarik dengan lukisan itu, Itsygo." Nelliel yang menyadari keponakannya itu tidak lagi mengikuti langkahnya, kini berada tepat di belakang sang remaja 17 tahun itu. "Setiap kali berkunjung ke sini, kau selalu tidak lupa untuk memandang lukisan ini selama beberapa waktu."

Ichigo hanya mengangguk.

Seperti sebelum-sebelumnya juga, Nelliel tidak pernah mempertanyakan ketertarikan dirinya yang agak aneh terhadap lukisan ketujuh orang itu. Seolah ketertarikannya itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Dan yang paling membuatnya terkejut, ia sendiri pun sama sekali tidak pernah memiliki niat untuk bertanya mengenai apa atau siapa yang ada dalam lukisan.

"Ayo, Itsygo, ada baiknya kamu segera menyimpan bawaanmu di kamar. Aku harus segera pergi 30 menit lagi."

Ichigo mengerjap. Pertanyaan yang selalu tertahan di perjalanan menuju kemari, kini terngiang lagi di benaknya, "Oh ya, Nel. Kenapa kau butuh orang lain untuk menjaga rumahmu? Bukankah sudah ada Pesche dan Dondochakka?" Ia melanjutkan kembali langkahnya mengikuti Nelliel yang sudah berjalan di depan. Jarak keduanya tidak begitu jauh, sehingga pertanyaan barusan bisa didengar oleh Nelliel dengan mudah.

"Hmm... Tadinya aku memang berencana untuk meninggalkan satu di antara mereka di sini sih, tapi..." Untuk sesaat wajah Nelliel nampak keras memikirkan sesuatu, tapi segera hilang, dan wanita bersurai hijau panjang itu hanya mengangkat bahu, "Aku membutuhkan keberadaan mereka untuk membawakan barang."

Barang.

Ketika masuk ke dalam rumah tadi, Ichigo memang sempat melihat tumpukan barang berukuran lumayan besar berada di ruang depan. Yang ia dengar dari sang ayah, Nelliel bermaksud mengikuti perlelangan yang diadakan di Tokyo. Dan kelihatannya, wanita itu memang tidak mungkin membawa barang-barang yang akan dilelangkan itu seorang diri.

Tapi, cara bibinya yang satu ini kelihatannya akan ia tiru suatu saat nanti. Melelangkan barang lama untuk kemudian diganti dengan barang yang baru, kelihatannya jauh lebih memiliki nilai. . . dan hemat.

"Yak! Di sini! Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu lho, Itsygo~!" Suara riang Nelliel mengembalikan Ichigo dari lamunannya, "Ku-set kamar ini menjadi berwarna biru sesuai dengan warna yang kamu suka agar kamu betah dan tidak menelponku untuk segera kembali!" Ichigo mendengus. Tahu pasti jika bibinya sampai berkata 'tidak mau ditelepon', itu artinya kepergiannya akan cukup lama. Yah, karena Ichigo menyukai bentuk kamar sementaranya ini, ia tidak akan komplen untuk sekarang.

Ia simpan barang bawaannya di atas kasur, merasa tidak perlu untuk membereskannya karena bukan berarti ia akan tinggal di sini. Ichigo hanya membawa barang-barang yang ia perlukan saja: Pakaian, alat tulis, buku-buku sekolah, novel, iPod, dan beberapa game kecil untuk mengisi waktunya selama di sini.

Nelliel beserta dua pelayannya pergi 15 menit kemudian disusul oleh Isshin 5 menit setelahnya, berpesan 'jangan ini itu' kepada Ichigo. "ICHIGO, MY SON! JANGAN LUPA PAKAI PENGAMAN KALAU—"

BRAKK!

Menendang pintu dengan keras tepat di wajah Isshin, Ichigo berjalan menjauh dari pintu depan setelah memasang rantai pengaman. Bukan. Dirinya sangat yakin kalau pengaman yang dimaksudkan oleh sang ayah bukanlah pengaman pintu, melainkan pengaman yang itu. Menghela nafas, Ichigo berjalan menuju ruang televisi dan langsung merebahkan diri di sofa setelah menyalakan televisinya. Semenjak masa pubernya lewat, Isshin selalu saja memberinya komentar yang berhubungan dengan seksual.

Apa ayahnya itu sudah tidak sabar ingin segera memiliki cucu? Sampai-sampai berpikiran dirinya akan mengundang seorang gadis jika sendirian seperti sekarang ini.

Well, kalau itu masalahnya, sayangnya Ichigo tidak akan pernah bisa mengabulkan. Walau pun cuek, tapi Ichigo sudah tahu bahwa dirinya lebih menyukai Mister P daripada Miss V.

Ya, dia gay.

Ia menyadari hal itu saat dirinya secara tidak sengaja menemukan koleksi komik Yaoi milik Rukia, dan ia ereksi. Saat itu usianya 13 tahun. Dan, yep, dia sudah pernah punya pacar, tapi tidak pernah melangkah lebih jauh dari sekedar kissing. Entah kenapa selama berpacaran, ia tidak pernah memiliki tujuan untuk memberikan dirinya secara keseluruhan kepada pasangannya. Mungkin karena ia masih merasa tidak yakin mereka adalah 'Yang satu' baginya.

Televisi yang menyala mempertontonkan kuis berhadiah milyaran kelihatannya cukup membuat Ichigo bosan dan mengantuk. Kedua kelopak matanya semakin lama semakin terasa berat, dan berikutnya ia pun tertidur.

XOXOXO

BRUK!

"OOW!" Dengan refleks kedua tangannya bergerak meraih dan mengusap-usap tulang keringnya yang baru saja terkantuk sesuatu yang sangat keras. Meringis, dan mengaduh, Ichigo mengerjapkan kedua pasang bola mata cinnamonnya agar bisa melihat ruangan di sekelilingnya dengan lebih jelas lagi. Terbelalak ia mendapati dirinya berada di dalam sebuah ruangan serba putih. Di hadapannya terdapat dua belokan yang tidak ia tahu menuju kemana.

Apa yang

Sejauh otaknya bisa mengingat, ia tadi berada di ruang televisi menonton kuis yang membuatnya teringat akan pelajaran sekolah, lalu kemudian tertidur. Ah, kalau tidak salah, tadi ia sempat mendengar suara telepon berbunyi. Tapi, karena tidurnya sangat nyenyak, ia jadi bangun dalam keadaan setengah tertidur.

Dan kelihatannya ia salah jalan.

Hanya saja, entah kenapa ia tidak bisa mengingat ruangan di mana dirinya tengah berada sekarang. Rasanya seperti yang baru pertama kali melihatnya. Menggelengkan kepala, Ichigo bangkit dari posisi jongkoknya ketika tulang keringnya sudah tidak terasa begitu sakit. Sebaiknya ia segera mengecek siapa yang menelepon ke telepon rumah barusan. Berjalan menuju pintu yang terletak tidak jauh di belakangnya, Ichigo sama sekali tidak menyadari sepasang mata amber yang mengamati gerak-geriknya dari kejauhan.

Ketika melewati pintu, Ichigo mengangkat kedua alisnya, akhirnya menyadari di mana barusan dirinya berada. Di dalam ruangan yang pintunya berada tepat di bawah tangga dan sering kali terkunci setiap kali ia berkunjung ke rumah ini.

Pantas saja ia merasa tidak hafal ruangan itu.

Melihat ke arah jam di tangannya, keningnya langsung berkerut ketika waktu ternyata menunjukkan sudah lebih dari saat matahari terbenam. Ichigo tertidur terlalu lama. Ia yakin saat memejamkan matanya di ruang televisi, waktu masih agak pagi karena ketika sampai di sini, masih jam 10 pagi. Tidak ia sangka sama sekali kalau ia akan tertidur hingga jam 7 malam. Nampaknya aktifitas ekskulnya di sekolah kemarin ini masih membuatnya sangat lelah.

Setelah mengecek telepon rumah dan tidak mendapatkan sedikit pun pesan ditinggalkan untuknya, Ichigo berjalan menuju kamarnya untuk mengambil baju ganti sebelum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Berendam di dalam bak penuh air hangat kelihatannya merupakan pilihan yang sangat bagus saat ini.

Membuka keran dan membiarkan air mengisi penuh bak, dengan perlahan Ichigo melepaskan pakaian yang dikenakannya satu per satu. Anehnya, ketika ia melepaskan celana jeans yang dikenakannya, mendadak bulu kuduk di tengkuknya berdiri dan tubuhnya gemetar, membuatnya secara refleks menepak tengkuknya itu. Mengangkat bahu, ia melanjutkan dengan pakaiannya yang tersisa sehingga kulitnya terlihat keseluruhan tanpa penghalang untuk dunia menyaksikan.

"Mmm..."

Desahan dengan lancar keluar dari sela mulut Ichigo ketika tubuhnya dengan segera terendam air hangat yang terasa nyaman. Rasa lelah dan bagian tubuhnya yang terasa tegang perlahan menghilang. Ichigo membiarkan kelopak matanya menutup, dan seulas senyum simpul tertera di wajahnya saat ia menyandarkan punggungnya pada sisi tembok di belakangnya.

Kriiit...!

Kedua mata tersentak membuka ketika mendengar derikan yang berasal dari pintu kamar mandi. Tubuhnya membeku di tempat, sementara pandangannya tidak juga lepas dari pintu selama beberapa waktu. Ketika tidak ada sesuatu apa pun lagi yang terdengar, Ichigo menghela nafas. Kelihatannya tadi hanya angin, dan pintu yang sudah tua menjadi mudah tergeser.

Merasa sudah cukup dengan mandinya, Ichigo keluar kamar mandi setelah mengeringkan air di dalam bak. Di kamarnya, sambil mengeringkan rambut yang agak basah, ia mengecek ponselnya dan benar saja ada satu pesan tidak terbaca. Berpikir siapa yang mungkin mengirimnya pesan, bisa saja Yuzu atau mungkin ayahnya berpesan agar jangan ini-itu, lagi. Benar-benar, memangnya mereka pikir dirinya ini anak SD yang baru pertama kali ditinggal seorang diri di rumah?

Ichigo,

Aku tadi lupa memberitahumu kalau kamu tidak boleh membuka pintu yang ada tepat di bawah tangga.

Aku kehilangan kunci untuk pintu itu, tapi kuharap kamu mengerti.

Sayangku untukmu,

~Nel.

Kedua alis terangkat, sekarang Ichigo mulai bingung bagaimana bisa Nelliel menulis namanya dengan tepat sedangkan selalu salah ucap ketika berbicara langsung? Bibinya itu memang sering kali kekanakkan.

"..."

Dan sebenarnya tadi ia sudah secara tidak sengaja masuk ke dalam ruangan di bawah tangga itu. Mengangkat bahu, "Yah, bukan berarti Nel tahu aku sudah masuk ke sana." Kalau ia tutup mulut dan menutup kembali pintu itu nanti, tidak akan ada yang tahu dan rahasianya aman. Walau rasa penasaran akan ada apa di dalam ruangan tersebut cukup menggelitik benaknya, Ichigo masih bisa menyingkirkan rasa itu ke belakang. Meregangkan otot, ia kemudian melepaskan handuk yang membalut tubuhnya dan berganti pakaian dengan menggunakan boxer dan wife beater putih, sebelum kemudian merebahkan diri di atas ranjang, memutuskan untuk mengakhiri hari lebih cepat.

XOXOXO

Derak langkah pelan terdengar di udara malam yang sepi sesaat sebelum pintu terbuka sebagian, hingga cukup untuk satu tubuh masuk. Perlahan, sosok itu menutup kembali pintu dengan hanya menimbulkan derikan yang bisa tertutupi suara semilir angin. Langkah demi langkah ia ambil. Langkah di mana setiap kakinya semakin mendekati tepian tempat tidur, semakin tidak terdengar. Suara dengkuran ringan yang berasal dari atas kumpulan kapuk dan beludru sutra membuat seulas seringai kecil nampak di wajahnya yang tidak terlihat oleh kegelapan malam.

"Mmn..."

Remaja itu menggeliat dalam tidurnya, mengubah posisi hingga berhadap-hadapan dengan dirinya.

Sepasang iris yang berkilat diterpa cahaya rembulan, yang menyusup melalui celah tirai, menyelidiki lekuk demi lekuk yang dimiliki oleh tubuh yang terbaring di atas ranjang. Walau tubuh itu kini tertutup lembaran selimut, ia tetap bisa menangkap bentuk pinggang yang ramping, kaki yang jenjang yang seolah tanpa akhir, otot perut yang terbentuk, serta dada yang bidang. Setelah sempat perhatiannya terhenti lama di leher sang pemuda, perhatiannya pun merangkak ke bibir berwarna plum yang sedikit terbuka demi aliran nafas.

Ia menjilati bibirnya sendiri yang mendadak terasa kering.

Bibir yang lezat, pikirnya. Ingin ia ketahui seperti apa respon yang akan ia dapatkan jika ia melumuri bibir itu dengan saliva dari lidahnya. Dengan rasa keingintahuan serta hasrat yang muncul ke permukaan, ia menunduk dan memajukan tubuhnya mendekati wajah sang remaja yang nampaknya menyadari kehadirannya, karena kelopak mata itu kini bergerak, menampakkan sepasang iris cinnamon yang bertubrukan dengan iris azure.

Gerakannya langsung terhenti saat cinnamon itu terbelalak.

.

TBC

.

Mungkin ada yang sadar kalau poll di profile saya menghilang? Yeah, saya udah nyoba mikir, kayaknya ada baiknya juga saya keluarkan semua ide plot yang saya punya, makanya poll itu saya hilangkan. Dan, yep, cerita ini beda dengan tema vampire yang sempet saya tulis di poll karena mendadak saya ingin yang ringan. Anggaplah sebagai bahan penyeimbang plot Forever Someone =))

Ngomong2, cerita ini belum memiliki plot khusus, jadi kalau ada yang mau rikues sesuatu, silakan ^^

Review?