Menjadi lulusan dari fakultas tehnik tidak menjamin hidupmu dikemudian hari. Nyatanya, Arthit Rojnapat, satu dari sedikit orang yang bisa lulus dari jurusan tehnik salah satu universitas negeri di Thailand ini harus membanting tulang untuk menyambung hidupnya dengan menjadi seorang pelayan di sebuah restoran mi.
Puluhan map berisi lamaran pekerjaan yang ia ajukan pada hampir seluruh perusahaan yang ia ketahui sama sekali tidak membuahkan hasil. Hidup seorang sebatang kara sejak dua tahun lalu tidak memberinya banyak pilihan.
Kini, bukannya bekerja di perusahaan manufaktur besar seperti impiannya dahulu, ia harus berlari kesana-kemari untuk mencatat pesanan dan mengantarkan makanan yang dipesan pelanggang, menyapu dan mengepel lantai restoran, dan pekerjaan lain yang menyita banyak tenaganya. Ia pun masih memiliki pekerjaan lain selain di restoran ini : mengantar koran dipagi hari.
Bekerja sebanyak apapun terasa tidak cukup untuk Arthit, selain untuk membayar sewa apartemen kecilnya, ia pun harus menyisihkan uangnya untuk menyicil hutang kedua orang tuanya. Hutang yang membuat kedua orang tuanya mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidup mereka dan membuatnya seperti kecelakaan agar uang suransi jiwa mereka bisa di klaim oleh Arthit -berdasarkan dari surat yang ditinggalkan mereka untuk Arthit. Orang tuanya menyuruh Arthit untuk segera melenyapkan surat bunuh diri mereka agar dia bisa mengklaim uang asuransi mereka -juga permintaan maaf keduanya pada Arthit.
Hal ini membuat Arthit merasa sebagai anak yang paling tidak tahu diri karena tidak pernah mengetahui tentang orang tuanya yang terpaksa berhutang sana-sini demi membiayai kuliahnya dan kehidupannya sehari-hari. Mereka berhasil meyakinkan Arthit bahwa keluarga mereka berkecukupan dan tidak melarang ketika Arthit meminta bersekolah di sekolah paling baik sejak masih di sekolah menengah hingga kuliah.
Meminjam uang pada rentenir adalah salah satu dari kesalahan orang tua Arthit. Meskipun uang suransi jiwa mereka memang senilai dengan hutang mereka namun rentenir selalu memiliki cara agar hutang itu menjadi berkali lipat. Dengan rumah mereka yang disita oleh Bank dan uang suransi yang telah habis demi membayar hutang, kini Arthit harus berusaha sekuat mungkin untuk hidup seorang diri dan melunasi sisa dari hutang orang tuanya.
Berat, tapi Arthit tidak akan kalah dengan hidup.
Ia bukanlah seseorang yang lemah.
Ia akan buktikan bahwa ia kuat dan bisa menjalani hidupnya tanpa harus mengambil jalan pintas seperti orang tuanya. Meski harus bekerja serabutan untuk dapat melakukannya.
"Permisi," seorang kostumer yang duduk di kursi tak jauh dari tempatnya berdiri mengangkat tangannya.
Dengan tergesa Arthit berjalan ke arah kostumer itu dan seketika pandangan sebal ia berikan untuk sang kostumer.
"Khap?" tanyanya berusaha untuk sopan.
"Aku memesan mie telur dengan kuah pedas, bukan bihun dengan kuah bening dan bakso seperti ini." Kata sang kostumer yang jelas sekali tadi memesan bihun dengan kuah bening dan bakso seperti biasanya.
"Tapi anda tadi-"
"Ada apa lagi, Ai'Oon?"
Sial.
Manager Jeed, wanita yang Arthit curigai adalah jelmaan iblis itu tiba-tiba sudah bediri di belakangnya seperti hari-hari kemarin ketika kostumer yang sama selalu mencari masalah dengannya.
Yah, kostumer menyebalkan yang mengambil hati hampir seluruh karyawan restoran ini adalah kostumer tetap sejak empat bulan yang lalu. Kostumer yang tiba-tiba saja menjadi pelanggan di restoran tempatnya bekerja ini dan selalu saja membuat masalah untuk Arthit.
Pertama kali ia memesan es kopi, tapi kemudian setelah pesanannya datang ia berkata ia memesan susu merah muda beku (pink milk) dan menuduh Arthit salah menulis pesanannya. Manajer Jeed memberinya omelan yang cukup panjang hari itu -bahkan mengurangi gajinya bulan itu karena kostumer yang datang 3x seminggu itu selalu saja menuduhnya melakukan kesalahan yang tidak diperbuatnya.
Arthit benci kostumer sok tampan itu.
Tapi sepertinya manajer Jeed dan separuh karyawan wanita disini menyukainya. Tak heran, karena pria brengsek itu memang suka tebar pesona dengan senyuman dan kata-kata manisnya. Kata-kata yang berubah seperti mengandung racun mematikan jika sudah berbicara dengan Arthit.
Wajah manajer Jeed menjadi merah padam ketika pria itu menjelaskan -berbohong lebih tepatnya- tentang pesanannya (untuk kesian kalinya dan manajer bodoh itu selalu mempercayainya. Ingin rasanya menyiramkan kuah bening panas yang ada di mangkuk pria itu pada wajah tampannya yang kini menyeringai puas atas kemarahan manajer Jeed yang tak segan-segan memarahinya di depan kostumer itu.
"Oon, aku mengerti kau ingin tetatp bekerja dan aku membantumu atas kebaikan hatiku agar kau bisa tetap bekerja disini selama ini." wanita jelmaan iblis bersabda, "Tapi bahkan aku yang baik hati ini tak lagi bisa membantumu sekarang. Tidak ketika kau selalu membuat masalah selama empat bulan ini."
Arthit mengerti dengan pasti kemana arah pembicaraan ini akan berakhir.
"Kau tidak usah datang kesini lagi besok. Kau dipecat. Ambillah gaji terakhirmu di kasir, itupun karena aku masih punya hati dan rasa kasian padamu."
"Tidak usah." jawabnya, sudah tidak taham mendengar suara si jelmaan iblis itu, "Aku tidah butuh uangmu dan juga hatimu itu." lanjutnya sambil melemparkan celemek yang tadi dipakainya, lalu berjalan keluar mengindahkan teriakan marah wanita iblis itu.
Sedikit banyak ia tahu akan berakhir seperti ini sejak si pria brengsek itu datang ke restoran ini, dan mungkin ia sudah mempersiapkan diri jika hal ini benar datang. Sedikit membantu karena lihatlah ia sekarang, tidak begitu terkejut dengan pemecatannya. Tidak sama sekali.
Sekarang yang harus ia pikirkan adalah mencari tempat kerja baru, kalau bisa yang memiliki manajer manusia -bukan jelmaan iblis.
"Akhirnya mereka memecatmu juga."
"Kau!"
Amarah Arthit memuncak ketka ia melihat pria yang menjadi sebab pemecatan dirinya berdiri sambil bersandar pada sebuah mobil mewah. Terlihat seperti menunggu seseorang -dalam kasus kali ini ia yakin pria itu menunggu dirinya untuk memperolok nasibnya.
Pria itu bahkan bergeming ketika ia menarik kerah kemejanya yang masih terlihat rapi saat malam hari seperti sekarang. Hanya senyuman lebar yang telihat di wajahnya, bukan senyuman mengejek yang semula Arthit kira namun senyuman lega dan ... senang?
Pria itu tiba-tiba saja melepaskan kedua tangannya yang berada di kerah bajunya, dan menggenggamnya erat.
"Akhirnya kau tidak lagi bekerja di restoran rendahan seperti ini, P'Arthit."
"K-kau, bagaimana kau bisa -"
"Itu hal yang tidak penting," potong pria itu, "Sekarang kau akan bekerja dimana?"
Arthit menghempaskan tangannya lepas dari genggaman pria yang tidak disangkanya mengetahui nama aslinya. Selama bekerja ia memakai nickname yang diberikan keluarganya Ai'Oon namun pria ini memanggilnya Arthit.
"Bukan urusanmu, brengsek." ujarnya, kesal.
"P'Arthit krap."
"JANGAN SEENAKNYA MEMANGGIL NAMAKU!" rasa kesal yang sejak tadi ditahannya menjadi tak tertahankan lagi setelah mendengar pria itu memanggil namanya dengan begitu lembut dan sopan. Seakan ia melupakan bahwa sekarang ia harus berjuang dua kali lebih keras lagi untuk mencari pekerjaan demi mendapatkan uang untuk melunasi hutang orang tuanya.
Pria itu memanggilnya seakan-akan ia memanggil nama orang yang disayanginya -begitu lembut dan hangat suara pria itu terdengar. Membuatnya tidak nyaman.
"Maafkan aku, P'Arthit."
"Kau pikir semua bisa selesai dengan permintaan maaf, huh?" tanyanya tajam.
"Tidak, bukan begitu." Pria itu memegang pundaknya lalu memutar tubuh Arthit hingga kembali berhadapan dengannya, "Bekerjalah untukku."
"Apa?"
"Bekerjalah untukku. Aku akan memberikan gaji seberapa besar pun yang kau minta."
Arthit memperhatikan pria itu dari atas hingga bawah, penampilan pria itu memang terlihat cukup berada. Dari mobilnya saja sudah kelihatan dia anak orang kaya. Pasti lahirnya pake piring perak alias tidak pernah merasakan pahitnya kehidupan seperti dirinya.
Cih.
"Dan mengapa aku harus bekerja padamu, orang asing?" tanya Arthit, menekankan pada pengucapan 'orang asing'. Sekilas Arthit seperti melihat raut wajah sedih pada pria itu, tapi mungkin itu hanya imajinasinya saja.
"Kau butuh uang, bukan?" Arthit bungkam, tidak sudi mengakui hal yang diucapkan pria itu, "Aku akan memberimu 3000 Baht per jam untukmu."
APA? 3000 baht per jam? Pekerjaan seperti apa yang dibayar sebanyak itu untuk per jam-nya?
"Kalau kau menyangka aku akan melacurkan diri padamu, mati saja kau. Dasar mesum."
"Ha? Bu-bukan, khap! Bukan pekerjaan seperti itu yang kumaksud."
Ah, menyenangkan bukan bisa membuat pria sombong dan kurang ajar ini menjadi gelagapan.
"Jika bukan melacur, pekerjaan apa yang dibayar sebesar itu, huh?" tanyanya lagi, berusaha untuk terdengar meremehkan namun dia tetap tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya akan pekerjaan apa yang ditawarkan pria itu.
Pria itu tersenyum menyadari hal itu, "Bukan melacur, khap. Aku tidak serendah itu."
"Untuk orang yang sengaja menguntit selama empat bulan dan sengaja membuatku dipecat, kau cukup rendah dimataku."
"Haha, mungkin benar." Pria itu mendekat, terlalu dekat untuk ukuran Arthit. "Aku ingin kau bekerja untukku, dan aku serius tentang bayarannya."
Secara tidak ia sadari, ia menahan nafasnya sendiri, berusaha untuk tidak terlena pada aroma tubuh maskulin pria kurus didepannya itu, "Pe-pekerjaan a-apa?"
"Jadilah istriku, P'Arthit."
"HAH?"
.
.
tbc
Aneh yah? Aku harap masih bisa dimengerti sampai disini.
Seperti biasa akan ada plot hole (sepertinya) karena aku menulis langsung di wattpad tanpa draft dan kerangka dkk. spontan aja nulisnya haha
Also, maaf untuk TYPO.
