Cagalli memasukkan sampah bungkus makanan dan botol kosong di sela-sela semak-semak ke dalam plastik sampah yang dibawanya. Bibirnya manyun kesal. Serius, umurnya sudah hampir tujuh belas, hampir lulus SMA, tapi kenapa dia masih dihukum seperti anak SD? Membersihkan sampah di sepanjang halaman belakang sekolah hanya karena dia terlambat masuk sekolah tujuh kali itu agak keterlaluan, kan?
"Cags, darimana datangnya sampah-sampah ini? Kenapa hampir semuanya nyangkut di semak-semak?!" rengek seseorang
Oh, ia hampir lupa. Ada Dearka yang juga kena hukuman. Pemuda yang beda kelas darinya itu tertangkap tangan membaca majalah balap ketika sedang pelajaran, membuatnya berujung pada hukuman yang sama dengan dirinya. (Dalam hati kecilnya, ia menanyakan hubungan di antara terlambat, mencontek, dan bersih-bersih. Menulis surat refleksi dan mengerjakan paket soal itu lebih masuk akal menjadi hukuman dibanding bersih-bersih!)
Cagalli hanya mengedikkan bahunya, bête, masih kesal sampai-sampai tidak mood untuk bercakap dengan Dearka yang notabene adalah sohib dekatnya itu.
Dearka mengeluarkan napas panjang, lalu melanjutkan, tidak menyadari keengganan gadis itu. "Kapan kita bisa selesai kalau semua sampah ini letaknya di tempat yang aneh-aneh begini. Aku sampai tergores-gores ranting—"
Cagalli tidak mengacuhkan Dearka. Ia memilih menulikan telinganya, hafal dengan kebiasaan pemuda itu yang suka berceloteh jika merasa lelah atau kesal dengan sesuatu. Entah berapa lama ia mendiamkan Dearka hingga pemuda itu berkata: "Oiya, Cags, aku beberapa hari yang lalu liat Athrun di mal."
Oh.
"Athrun? Kapan? Dia tidak bercerita apa-apa padaku."
Dearka mengedikkan bahunya (seringai kemenangan menghiasi wajahnya mendengar sahutan Cagalli itu). "Rabu, sepulang sekolah. Tapi ketika aku dekati, dia udah enggak ada."
"Rabu? Kau yakin itu Athrun?"
"Yakin. Dia pakai jaket yang kita pesan dulu itu. Kita order jaket modif, jadi nggak mungkin salah."
Cagalli mengernyit. "Tapi dia bilang ada kelas sampai sore hari itu, makanya aku bawa motor sendiri."
"Oooh, aku mencium sesuatu yang mencurigakan, Cags! Mungkin ia selingkuh?" Dearka menengok ke arah Cagalli sambil menaik-naikkan alisnya.
"Selingkuh?"
Dearka menggumam iya.
"Cags, kau tau kan, sejarah Athrun? Meer yang penyanyi café, terus Mia yang anak pemilik butik, atau kakak-beradik Hawke yang konon katanya paling cantik se-kampusnya Athrun. Bukannya aku menghina, tapi Cags, sebagai cowok, aku tau betul, perempuan muda yang cute dan feminin seperti mereka posisinya di atas perempuan yang kuat dan mandiri sepertimu. Well, siapa tahu saja Athrun berubah pikiran, lalu dekat lagi dengan mereka?" Dearka terus berbicara meskipun tiada lagi respon dari Cagalli.
"Atau mungkin ada perempuan lain? Aku dengar dari Ahmed, ada mahasiswi pindahan dari Amrik. Katanya pernah dapat gelar Miss Campus dua tahun berturut-turut karena cantik sekali. Dia pasti cantik banget sampai dapat gelar begitu," ujar Dearka sebelum cepat-cepat menambahkan: "Bukan berarti kau nggak cantik. Kau cantik, tapi mungkin masih sedikit kalah dari Miss Campus seperti dia."
Tiba-tiba saja ada bayang yang menutupi dirinya. Ketika ia menoleh, ia menjerit. "Uwaaah!"
000
[An entry for Affair Week Challenge 2016]
On-Going Observation (Cagalli ft Dearka)
by: nom dp
An unprofitable fanwork of Gundam Seed/Destiny © Bandai, Mitsuo Fukuda, Chiaki Morosawa, and Affiliations.
May GS/D always stay alive in our hearts and imagination.
Ps: I tried writing something funny, but failed funnily. Regardless, do enjoy this drabbles!
000
Cagalli membawa Dearka memasuki kawasan pasar tradisional masih mengenakan seragam sekolah. Gadis itu tidak sungkan memegangi pergelangan tangan pemuda itu, memaksa pemuda itu mengikutinya. "Dearka, cepetan, nanti penjualnya keburu tutup."
Dearka meringis. "Cags, kenapa ke sini, sih? Kita kan bisa pergi ke mal. Lebih dekat dari sekolah, plus nggak panas juga."
"Uang sakuku kritis. Harus hemat sampai dapat uang saku lagi minggu depan."
Dearka memonyongkan bibirnya. Dalam hati menyalahkan bibirnya yang tidak punya rem. Ia hanya bercanda ketika ia bilang tentang kemungkinan Athrun selingkuh. Orang buta pun tahu betapa mahasiswa itu bertekuk lutut pada Cagalli. Ia tidak akan menggubris perempuan lain selama masih ada Cagalli, terlalu sayang dengan Cagalli.
Sayang, Cagalli nampaknya menganggap serius candaannya.
Dan di sinilah dia, membantu Cagalli memilih beberapa pakaian batu. Demi kulit eksotisnya, penjual pakaian yang notabene adalah seorang nenek gemuk itu tak berhenti bermain mata ke arahnya, membuatnya bergidik ngeri. Sedangkan Cagalli yang diajaknya pindah kios sama sekali tidak menggubris, terlanjur memilih-milih di antara deretan pakaian yang digantung.
Cagalli mengambil lima potong pakaian, lalu memberikannya kepada sang penjual. "Ini semuanya seratus empat puluh ribu, ya, Bi?"
Penjual itu mengernyit. "Nggak bisa, Nak. Itu harga per kaosnya tiga puluh ribu, kemeja empat puluh ribu. Totalnya dua ratus ribu."
Cagalli mengeluarkan senjata andalannya (yang bahkan sanggup membuat Yzak mengalah). Dengan wajah berkaca-kaca, ia kembali bertanya: "Dikorting nggak bisa, Bi? Saya beli banyak, lho."
Penjual yang menurut Dearka terlalu tua untuk dipanggil Bibi itu mengambil kalkulator lalu menghitung. "Korting sepuluh persen, jadi seratus delapan puluh ribu. Pas."
Cagalli mengernyitkan keningnya. "Nggak bisa kurang, Bi?"
Penjual itu menggeleng.
Cagalli mengeluarkan dompetnya, menghitung-hitung uang yang tersisa. Sementara itu, nenek penjual masih bermain mata kepada Dearka. "Cags, masih lama?" tanya pemuda itu kemudian, merasa kepanasan.
"Ah! Dearka!"
Cagalli tersenyum manis lalu memeluk lengan Dearka erat.
"Huh? "
"Kau penyelamatku!" serunya lalu bergegas beralih pada nenek penjual. Gadis pirang itu berbisik-bisik sambil menunjuk ke arah Dearka sebelum keduanya berjabat tangan, nampaknya mencapai kesimpulan yang sama. Entah kenapa, Dearka merasa merinding tiba-tiba, instingnya menyuruh agar bergegas pergi. Sirene-nya berbunyi nada peringatan di dalam kepalanya.
Seratus lima puluh ribu rupiah kemudian….
Cagalli menggeret Dearka yang sudah kehilangan setengah jiwanya, menuju tempat parkir. Tiga jejak merah lipstik di pipinya menjadi bukti insiden mengerikan yang telah terjadi: Cagalli dengan teganya menjual pipinya kepada sang nenek, sepuluh ribu untuk satu kecupan.
(Instingnya menyuruhnya meminta maaf atas candaannya, meluruskan semuanya. Sebelum semuanya terlambat. Sayang, kondisi jiwanya membuatnya tidak mengindahkan instingnya.)
000
Nah, kan, failed humor. I told you so :x
Semoga masih masuk dalam persyaratan AffaWeek :") I'm sorry if this ain't on par with your expectation, Cloli-tan ;;w;;
Semoga menghibur. See you next drabble! :)
