Langkah-langkah kaki kecil membuat lorong rumah yang sepi itu menjadi berdecit. Suaranya kian mengeras menuju kamarnya. Pintu kamar Kaizo terbuka sedikit, sebuah kepala menyembul dari baliknya mengintip penghuni ruangan itu.
Kaizo menatapnya lelah, "Abang... Pang minta cerita," Adiknya bersuara dengan lemah.
"Baiklah, cerita yang 'itu' kan?" Ia mengangguk siap menyerahkan sebuah buku bergambar kepada Kaizo.
Kaizo menyuruhnya naik dengan menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, Fang menurut.
Setelah merasa cukup nyaman Kaizo memulai ceritanya, "Alkisah di sebuah tempat yang nan jauh dari bisingnya perkotaan hiduplah seorang anak, ia hidup sebatang kara,"
Kaizo melirik adiknya yang masih menunggu dengan sabar kelanjutan ceritanya walaupun sudah berkali-kali dibacakan dan telah mengetahui bagaimana akhirnya, "Ia tinggal beratapkan jembatan dan ber-alaskan kertas. Walaupun begitu ia tak pernah mengeluh, bahkan saat para orang dewasa menyuruhnya menjauh saat ia mendekat untuk menjajakan bunga yang dijualnya."
Buku itu menunjukkan gambar seorang anak berpakaian lusuh, dan dekil memegang bunga mawar walau begitu pipinya gembil, masih memiliki lemak bayi, wajahnya sayu tapi dengan sebuah senyum kecil. Seolah-olah dia tau jika ia berpikiran positif maka dunia akan menjadi lebih baik, Kaizo berpikir itu adalah bagaimana anak-anak yang masih berpegang teguh pada harapan menjalani hidupnya yang keras.
"Sayang beribu sayang! Suatu hari, ketika ia menjualkan bunganya ia bernasib sial. Sebuah mobil menabraknya, malang tak ada yang berpikiran untuk menolongnya. Orang-orang berpikir jika hal seperti ini sudah terbiasa terjadi. Dia berpikir diantara rasa sakit yang seperti membakar tubuhnya dari dalam dan luar fisiknya; "Apakah ini akhir dari hidupku?" Pikirannya bertanya, nafasnya tersenggal-senggal. Ia tak pernah terlalu berpikir jika ada yang berarti di kehidupannya, ia hanya mencurahkan kehidupannya kepada pikirannya yang tak pernah berhenti memberinya harapan, walaupun bahkan ia sendiri tak tau siapa yang sebenarnya telah ia bohongi. "Bahkan pada saat-saat terakhirku aku masih berpikir tentang hal lain. Jika di beri kesempatan yang lain aku ingin–""
Kaizo menghentikan ceritanya ketika melihat Fang yang ternyata telah tertidur di sampingnya.
Ia mematikan lampu di sampingnya.
.
.
.
"–Jika di beri kesempatan lain aku ingin melakukan hal yang berguna untuk keluargaku walaupun aku sendiri tak pernah tau siapa mereka, aku ingin sekali melindungi mereka. Karena aku tau, aku tau bagaimana rasa sendirian dan tak ada yang menemaniku bahkan saat aku membutuhkannya,"
Cerita di mana pada masa lalu seorang anak memberi harapan terakhirnya untuk di tukar dengan sebuah keinginan [pengharapan].
Bagaimana ia terlempar ke suatu tempat yang baginya tak asing karena sudah berkali-kali ia jalani, mengabaikan semua tanda-tanda yang ada tanpa menyadarinya.
Dan saat anak itu sudah sadar, semua telah terlambat untuk melakukan hal yang telah di janjikannya bersamaan dengan keinginannya. Ia yang telah mengingkari janjinya sendiri harus di hukum atas kesalahannya dengan terus merasakan penderitaan yang sama setiap kali ia menutup mata sepanjang riwayat hidupnya.
Dan... Cut~~~~!
Sengaja saya tulis sampai sini karena memang ini CUMA rencana.
Ini cuma semacam ide, gak tau kapan bakal di lanjutin atau malah gak. cuman mau berbagi lah sebagai sesama shipper klasik antara dua makhluk beda ras tapi satu gender ini.
episode selanjutnya juga gak bakal ngelanjutin jalan cerita ini. Sesuai namanya, ini fic sampah di file saya, yang mau saya bersihkan dulu.
Anggap aja sebagai back up file /derr/
Kalau kapan-kapan saya ngeles alat tulisnya rusak atau filenya hilang~~~~
Semoga para BoiFang shipper jiwanya tenang di alam sana /Ditembak/
Saya sangat berterima kasih jika kalian mau bermurah hati memberi kata-kata yang mendidik, karena saya butuh kritikan mendidik. Bukan kata 'lanjut'!
Kalau mau nge-flame pun sebenarnya gak apa asalkan ada alasan yang mendukung, bukan karena pairingnya, melainkan kemampuan menulis saya!
Mind to review?
