A/N : HELLOOOOOOOOWWWWW AAAAAAGAAAAAIIIIIN! Ini fanfic yang dijanjiin Cirer! Maaf kalo lama publish, butuh waktu buat remake dan bedain plot hahah! Penempatan tempatnya gak jauh beda sama orisinil FFXV, cuman yang membedakan itu hanya plotnya aja. Juga blood relative di sini rada melenceng, itu ada Rainess dari FFXIII di buat sebagai kakak dari Noctis karena kemiripan fisik mereka xD yah lumayan gak jauh beda, bisa di browse aja dulu kalau penasaran sama wajahnya (soalnya di FFN gak kayak AO3 yang bisa nempatin image di dokumen). Oh iya! Aether ini artinya Skyfall LOH :v wokokokok (ketauan dia demen James Bond LOOOOL). Sebelumnya mau minta maaf juga kalau ficnya berkesan garing, tapi baca aja dulu, pendapat setiap reader kan beda-beda hohoho. Juga siap-siap buat adegan tarung, gak jauh beda kayak baca The eden's calling. Enjoy!


AETHER

Cirer Caelo Present

"When angel try to reach the sky but she got no wings to fly again, she just hopping someone from heaven to take her back. But no one came to save her, everyone forget her, and pretend she never existed. When the time came, the judgement day to pay, it's her chance to make the sky fall."

Alternate Universe, slight with OOC due to betrayal.

Characters belong to SQUARE ENIX.

Prince Journal 1 : Dice of Fate

Hujan deras mengguyuri kota metropolis, membuat gedung-gedung yang menjulang tinggi serta aspal yang terbentang di dalam kota itu basah. Jalan-jalan yang berlubang menciptakan banyak genangan air. Malam itu hawanya terasa amat dingin, membuat seorang pemuda yang berdiri di tengah hujan deras itu sampai menggigil.

Pemuda bersurai kelam itu memasukan sebuah koin ke dalam mesin minuman, lalu menekan tombol hijau secara cepat, menanti keluarnya sekaleng minuman hangat dari dalam mesin besi tersebut.

Tatkala ia mengharapkan belas kasih dewi Fortuna, namun keberuntungan masih belum bisa menghampirinya. Berapa pun banyaknya ia menekan tombol yang terpampang pada mesin minuman itu, namun tetap saja ia tak bisa mendapatkan uangnya kembali.

Merasa jengkel dengan kondisi yang tengah menimpanya saat ini, pemuda itu akhirnya memilih untuk menendang mesin itu. Entah ingin memastikan jika minuman yang baru saja ia bayar menyangkut di dalam atau pun melampiaskan kekesalan pada benda mati itu.

Dengan sebuah desahan, akhirnya pemuda itu menyerah dan beranjak dari mesin minuman, meninggalkan kekesalan dalam hatinya.

"Selamat datang di Tenebrae, dimana tidak ada sepucuk harapan bagi orang seperti ku. Berengsek."

Percikan air hujan masih mengguyuri ibu kota negara Niflheim. Sesekali sambaran halilintar menyerang bumi, senada dengan rintik hujan lebat yang enggan berhenti. Suasana kota hanya diisi dengan bisingnya suara kendaraan serta penerangan dari jendela gedung yang berjejer di sepanjang trotoar.

Pemuda yang berkomat-kamit di sepanjang perjalanannya harus kembali menerima musibah. Kendaraan beroda empat melaju kencang, menyipratkan genangan air kotor pada mantel lusuh yang dikenakannya.

"Terkutuk lah kau anak Etro!"

Pekik pemuda bersurai hitam itu. Kedua kupingnya sudah semerah tomat, juga berasap bagai TNT yang kapan saja bisa meledak. Pelaku yang telah mengotori mantelnya tidak berhenti untuk meminta maaf, dan hanya pergi tanpa memikirkan korban yang telah dibuat kesal.

Oh tentu saja, orang mana yang mau keluar dari mobilnya di tengah hujan lebat hanya untuk meminta maaf pada pemuda bermantel lusuh yang sedang komat-kamit mengucap kutukan atas kesialannya di pinggir trotoar?

Hanya manusia abnormal yang mau melakukan hal seperti itu. Dalam era modern seperti ini manusia sudah lupa dengan adab saling menghargai. Kalau dilihat, lingkup pertemanan manusia zaman sekarang itu sangat sempit, hanya mahluk yang hidup dalam lingkar Extravagant lah yang jauh lebih terpandang. Serba-serbinya persoalan materialistis, yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya.

Kalau di sebut kejam, mungkin memang sepadan. Ini lah nyatanya dari perkembangan manusia yang awalnya mahluk dengan akal hebat serta ikatan sosial yang tinggi, lalu berevolusi menjadi mahluk egois yang enggan membantu sesamanya. Rasanya sangat sulit menemukan orang yang masih mau berbagi tanpa mengharapkan imbalan.

Tak terasa hujan lebat akhirnya tergantikan oleh rintik gerimis yang semakin lama semakin surut. Peruntungan buruk tidak selamanya memihak pada pemuda itu, walau hawa dingin tak kian pergi. Namun setidaknya hal ini membuat mantel yang dikenakan pemuda itu kering dimakan waktu.

Bicara soal waktu, kedua iris biru tua dari pemuda itu menatap pada jam besar yang terletak di atas bangunan tinggi.

11 : 46

Hampir larut malam, pantas saja jalanan yang diramaikan oleh kendaraan bermotor sudah kosong melompong. Kini hanya gema dari langkah kakinya lah yang mengisi jalan.

Angin dingin kembali meniupi wajah pucatnya, seluruh jemarinya hampir terasa sedingin es, hujan deras itu berhasil membuat tubuhnya membeku. Ingin rasanya ia cepat bernaung dalam tempat hangat dan membungkus tubuhnya dengan selimut tebal lalu tertidur selama mungkin, bagai beruang yang sedang hibernasi.

Namun di tengah perjalanannya menyusuri gang sempit, pemuda itu menghentikan langkahnya secara mendadak. Ia merasa seseorang tengah mengikutinya. dengan nada yang lantang, ia kerahkan keberaniannya, memanggil penguntit yang ia rasa telah mengikuti seraya memutar tubuh dan menengok ke sana-kemari.

Namun upayanya berhasil nihil, tidak ada sedikit pun tanda-tanda mahluk hidup yang tengah mengikutinya. Beruntung ia berteriak dalam jalan yang sepi, kalau ia sampai disaksikan banyak orang, mau di kemanakan wajahnya untuk membuang malu?

Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda, tidak mempedulikan firasat buruk dan detak jantung yang semakin menguat. Ia hanya bisa berpikir positif dan melangkah lurus menuju tempat yang ia sebut 'rumah'.

Namun sayang, hal buruk yang tidak di duga menghampirinya.

BRUAK!

"He-hei?! Apa apaan ini?!"

Pemuda itu syok dengan sebuah kantung besar yang entah dari mana dan secara spontan menerjangnya. Rasa-rasanya ia tengah dimasukan kedalam kantung besar beraroma daging Chocobo mentah.

Sudah berperasangka buruk, ia yakin kalau mereka salah membedakan rambutnya dengan bokong Chocobo, karena model rambut Spiky miliknya hampir mirip dengan ekor Chocobo.

"Hei! Aku bukan Chocobo! Kalian harus pergi ke dokter mata sana!"

Seru pemuda itu sambil meronta dalam kepanikan. Samar-samar ia mendengar pria yang membuka percakapan singkat dengan lawan bicaranya.

"Target nomor satu tertangkap."

"Kerja bagus Hunter, kembali ke markas."

"Laksanakan."

Dengan kata terakhir dan suara kecil berbunyi "PIIP", pemuda yang dikurung dalam kantung daging Chocobo itu akhirnya tumbang tidak sadarkan diri lewat hantaman keras yang mengenai kepalanya.

~Ω~

"Demi Etro… dimana aku?"

"Cukup nyenyak dengan tidur mu selama perjalanan? Noctis L. Caelum?"

Suara seorang wanita menggugahkan pemuda itu. kedua maniknya terbelalak saat mendengar suara wanita maskulin yang memanggil namanya dalam ruangan gelap. tidak sedikit pun cahaya yang bisa menampakan wajah wanita itu.

"Mungkin kau salah tangkap orang. Sekarang keluarkan aku."

Dustanya, ia berusaha menyelamatkan diri dengan wajah yang ia buat setenang mungkin, bagai mana bisa orang asing macam wanita itu mengetahui nama aslinya? Apa mereka mata-mata?

"AKU bukan orang bodoh. Walau kau sama sekali tidak pernah muncul dalam awak media, namun aku bisa mengenali wajah mu."

'Holy crap!'

Rasa syok seolah menghantam wajahnya kuat-kuat. Pemuda bernama Noctis Lucis Caelum itu mendadak bisu, membungkam mulutnya rapat. Pernyataan wanita misterius itu membuatnya mulai takut.

'Tunggu dulu, dia menangkap ku pasti hanya karna itu…'

Di tengah tegangnya introgasi, sebuah tawa tak terduga keluar dari mulut Noctis, sedikit mengejutkan orang yang sedang berhadapan dengannya.

"Percuma saja kau tangkap aku. jika kau ingin menguras harta keluarga Caelum, sebaiknya kau tangkap kakak ku, aku sudah di coret dalam daftar penerima warisan."

Sekejap suasana di sekitarnya menjadi hening. Wanita yang tengah mengurungnya terdiam sekejap tanpa memberikan sebuah respon. Noctis pikir jawabannya sudah cukup membuat penculik itu menyerah dan dengan alasan ini pun ia menduga bisa keluar dengan selamat.

Suara besi yang terhantam mengalihkan perhatian Noctis. Spontan jeruji besi yang berada di hadapannya terbuka lebar. Noctis mengira ia sudah bisa bebas dari tempat gelap ini. Namun sayangnya, sebuah pedang menerjang ke arah wajahnya, membuat pemuda Caelum itu menghindar dengan sigap.

"Apa-apaan itu?! Astaga!"

Noctis yakin jantungnya hampir copot akibat serangan tadi. Noctis berusaha bangkit dari jatuhnya, namun ia harus kembali dihadapkan oleh serangan mendadak dari pedang milik wanita misterius itu.

Dengan cekatan, ia kembali menghindari sabetan pedang yang hampir menepis lehernya. Wanita yang amat mengerikan!

"Apa itu?!"

Perlahan wanita itu melangkah menghampiri Noctis sambil membuka topeng baja yang menutupi wajahnya. Spontan iris Blue Ocean milik Noctis melekat pada sepasang bola mata Aquos yang berkilau dengan indahnya di tengah kegelapan. Bibir merah muda, hidung kecil dan helaian surai merah muda itu memikat pandangannya. Namun pemuda bersurai hitam itu kembali tersadar dari relungnya saat si wanita menghantam kepala Noctis, membuatnya terjatuh menerima rasa sakit.

"Aduh! Sakit tahu!"

"Kau ini sungguh-sungguh keturunan Caelum? Yang benar saja? Kemampuan mu tak lebih dari seekor anak elang yang baru belajar terbang."

"Eik?! Kalau mau tangkap saja kakak—Hei apa kata mu?! Mirip anak elang yang baru belajar terbang?! Berengsek!"

Wanita itu memang paras rupawan, namun sayang sekali, sifatnya mirip nenek sihir. Kutukan terus tercetus dalam benaknya. Noctis menyesal menganggapnya sebagai wanita cantik, julukan itu kurang cocok untuk mahluk seperti dia.

"Memang benar, buktikan jika kau keturunan ASLI dari keluarga Caelum."

Urat di kepalanya hampir putus. Noctis mulai naik pitam karena jengkel dengan tingkah wanita berkepala gula-gula itu. Kepalan lengannya menghantam tembok yang berada di belakang lawan bicaranya.

Iris biru tua itu melirik pada wanita yang ia takut-takuti, mengharap kalau pemudi itu mengerti dengan kondisi Noctis yang sudah naik darah. Namun apa yang ia hadapi bukan wajah syok, tetapi kebalikannya.

Ekspresi tenang tetap tertempel pada wajah wanita itu. Demi Etro! dia ini manusia atau patung?! Noctis merasa bodoh dengan tingkah yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Ia seharusnya melarikan diri, bukan malah menakut-nakutinya.

"Payah."

Singkat, padat, dan tajam. Satu kata pedas yang terlontar lewat bibir manis itu. Noctis belum pernah menerima sebuah hinaan dari mulut wanita, ini kali pertama baginya. Bagai meminum susu dengan varian rasa cabai.

"Mari kita persingkat waktu. Kau harus membawa kakak mu pada kami."

~Ω~

"Selamat siang, tuan. Bisa kah saya meminta kartu undangan anda?"

Pria dengan setelan Tuxedo hitamnya memasuki rungan di depan gedung, berdiri dihadapan pintu kayu kokoh sambil memberikan selembaran yang dimaksud penjaga gerbang itu.

"Selamat datang, silahkan masuk dan menikmati pestanya."

Kedua pintu kayu besar di buka lebar. Gemerlap lampu hias yang tergantung di dalam ruangan mulai memancarkan cahayanya, melodi klasik yang dimainkan lewat gesekan biola dan dentingan harpa di perdengarkan, karpet merah tergelar panjang, tidak lupa dengan sebuah air mancur indah dengan ukiran patung dewa Lindzei mencuri perhatian setiap pengunjung yang memasuki pesta itu.

Ini lah suasana dalam istana Caelum, di balut dengan pesta meriah yang diadakan oleh anak sulung dari raja Regis, Rainess Lucis Caelum.

Seluruh pengunjung acara mensibukan diri mereka, mencari individu lain untuk menjadi lawan bicara. Kebahagiaan yang terpampang lewat wajah para bangsawan dan petinggi negara membuat suasana di sekitarnya terasa berseri-seri.

Terkecuali dengan pemuda yang berdiri di tengah keramaian. Ia hanya memeganggi gelas Sampanye sambil melirik ke setiap arah, mencari wajah seseorang.

"Benar saja, aku hanya dijadikan umpan. Lalu kemana kau sekarang, Rain?"

Noctis Lucis Caelum. Putra bungsu dari raja Regis Lucis Caelum. Keberadaannya kurang dianggap dalam media masa, bahkan wajahnya pun hanya di ketahui orang-orang di dalam istana. Salah-salah tebak, ia pernah disangka seorang pelayan. Kalau dilihat, Noctis bisa di cap sebagai anak termalang di sepanjang keturunan darah biru Caelum.

Namun apakah tujuannya pergi dari istana dan tidak menampakan wajahnya pada dunia? Itu karena Noctis membenci ketenaran, jawaban yang konyol memang.

Hampir satu setengah jam ia berdiri di tengah ruangan luas itu, hanya untuk mencari keberadaan sang kakak, walau ia sudah menyerah, namun usahanya kali ini tidak membawa hasil nihil. Sebuah panggilan mengalihkan perhatiannya.

Dilihatnya pemuda bersurai hitam dengan tinggi yang sama serta sepasang bola mata yang serupa dengannya, menghampiri Noctis. Jika di rendengkan, mereka terlihat seperti anak kembar, namun wajah Rainess terlihat lebih dewasa dari adiknya tak lupa dengan model rambut, Rainess tidak membuat rambut belakangnya terlihat seperti bokong Chocobo. Ia berpikir kalau itu hal bodoh, bukan julukan untuk 'anak gaul'.

"Kemana saja kau?!"

Tingkah kakak yang super-duper-ultra-Protective mulai ia keluarkan. Dengan kedua lengan kuatnya, ia mengguncang-guncangkan tubuh sang adik. Namun Rainess menyadari kalau tempat yang akan mereka gunakan untuk berbincang itu tidak aman, jadi ia menarik lengan adiknya untuk menghindari keramaian.

Saat mereka mencapai tempat aman untuk berbincang, dengan spontan Rainess memberikan Noctis sebuah pukulan keras tepat pada kepalanya. Sebagai respon, Noctis mengusap bagian kepalanya yang nyeri seraya mengeluhkan kesakitannya.

"Apa-apaan sih itu kak?!"

"Itu hukuman kecil dari ku karena sudah pergi dari istana tanpa meninggalkan kabar."

"Astaga, lagi pula untuk apa aku meninggalkan kabar? Nanti namanya bukan kabur dong!"

"Etro, dosa apa aku ini? Sampai memiliki adik seidiot dia?"

"Eh aku dengar loh!"

Wajah kekanakan Noctis seketika berubah menjadi wajah serius. Pikirannya penat, dipenuhi dengan banyak pernyataan yang harus segera ia beritahukan pada kakak nya. namun ditengah pembuka percakapan serius mereka, pekik seorang penjaga istana mengalihkan perhatian kedua Caelum bersaudara ini.

"Nona Lunafreya Nox Fleuret memasuki ruangan!"

Seru penjaga gerbang istana. Seluruh mata tertuju pada gadis cantik yang tengah berjalan memasuki ruangan. Gaun putih yang dikenakannya menjuntai panjang, menutupi kedua kakinya bagai dewi yang terbang dari kahyangan. Rambut yang ia sanggul tertutupi kain putih panjang yang terkait pada mahkota kecil di kepalanya. Gadis itu berjalan diikuti seorang wanita berpakaian selaras dengan warna rambutnya : hitam.

"Kau tunggu aku di perpustakaan keluarga, aku harus segera menemui Lunafreya."

Perintah Rainess pada adiknya, tanpa mendengar sepatah kata serius dari adiknya, Rainess belalu menuju tamu spesial yang disebut sebagai Lunafreya Nox Fleuret.

"Oh, ya ampun. Aku belum memperingatinya soal nenek sihir itu."

Hal yang bisa Noctis lakukan adalah menuruti ucapan kakaknya, tanpa pikir panjang ia pun melangkahkan kaki menuju perpustakaan pribadi.

"Welcome my lady! Young and mighty Oracle, Lunafreya Nox Fleuret."

Rainess berjalan menghampiri wanita cantik itu, mengecup lengannya secara lembut. Luna membalas sikap Rainess dengan senyuman manis, kedua bola mata Violet menatap pada pangeran sulung dari kerajaan Lucis.

"Senang bertemu dengan anda, pangeran Rainess."

Nada lembut terdengar lewat bibirnya. Ekspresi manis bagai putri yang ia pampang sungguh menawan, tidak heran jika setiap pria mengidolakannya. Rainess tidak mau bersikap lancang dengan membiarkan seorang wanita cantik bediri terusmenerus, jadi ia menuntun Oracle bernama Lunafreya itu menuju tempat duduk VIP yang telah disediakan khususu untuk tamu kebesaran.

Seorang pelayan menuangkan segelas anggur merah dan meletakkannya di atas meja, berbagai macam camilan dan makanan khas negara Lucis pun disuguhkan. Lunafreya amat terkesan dengan perlakuan spesial yang diperuntukan untuknya, ia memberikan senyum hangat pada seorang pelayang yang telah memberikannnya segelas anggur merah.

Luna adalah seorang Oracle, ahli dalam berkomunikasi dengan dewa-dewi. Ia selalu memimpin do'a dalam setiap upacara pemakaman, ia juga seorang Future teller, setiap orang menanyakan masa depan mereka serta langkah-langkah yang patut diambil utuk waktu mendatang. Namun Luna sendiri enggan memberitahukan tentang kematian seseorang, kemampuan dari dewi Etro itu tidak ingin ia sampaikan karena itu bisa menjadi hal buruk bagi orang yang mendengarnya.

Tidak hanya paras rupawan, Lunafreya terkenal dengan tingkahnya yang ramah, tidak heran jika seluruh orang menganggapnya sebagai contoh yang baik.

Jemari lentik meraih lekuk gelas kaca yang terletak diatas meja, Luna meneguk anggur merah yang dipersembahkan untuknya. Rona pada wajahnya menunjukan ekspresi puas pada rasa lezat anggur merah yang mengguyuri lidahnya.

"Aku sangat menghargai semua persembahan ini, Pangeran Rainess. Terimakasih banyak, anggur yang engkau sediakan juga rasanya sangat lezat. Much appreciate it."

Sebuah tawa terdengar lewat bibir pemuda Caelum itu. Bukan berarti menertawakan, namun ia merasa senang dengan kepuasan nona Oracle itu. tamu kehormatan dari berbagai negri tidak pernah kecewa dengan suguhan dan pelayanan dalam pesta yang diadakan Lucis, malah membuat mereka kebali untuk berkunjung dan memeriahkan suasana.

"Tentu saja nona! Jangan sungkan! Semua ini dipersembahkan hanya untuk anda."

~Ω~

Gema langkah kaki memenuhi ruangan sunyi, Noctis berlalu menuju perpustakaan pribadi milik keluarganya untuk menunggu sang kakak di sana.

"Semoga saja nenek sihir itu sudah kepergok oleh tim keamanan."

Noctis berharap agar wanita penculik itu untuk segera tertangkap, kalau dia bisa lolos dari tim keamanan akan menjadi musibah baru. Walau memang ia tidak terlalu peduli dengan berapapun banyaknya harta yang akan mereka rampok, kehilangan berapa pun tak masalah karena tambang minyak dan tambang emas di Lucis masih tersebar di sana-sini.

Namun satu hal yang mengganjal, saat penjahat itu menanyakan soal keberadaan kakaknya. Kini Noctis menyesal telah menyuguhkan kakaknya sebagai santapan empuk para penjahat. Ia masih gundah dengan perkiraan buruk yang ia ciptakan sendiri, kakaknya bisa saja mati di tangan para penjahat itu.

"Tapi… aku yakin kakak tidak akan mudah mati bagai pecundang begitu."

Ucapnya, walau menjadi target berbagai kelas penjahat namun Noctis tidak bisa meragukan kemampuan anak sulung dari keturunan Caelum itu.

Rainess sudah terbiasa dengan kemampuan Phantom Sword warisan ayahnya. Ia cerdas dalam menentukan strategi juga berbakat dalam urusan bertarng, tak salah jika ia akan di nobatkan sebagai raja. Pada jemari tengahnya sudah dikenakan sebuah cincin yang menandakan kalau ia sudah siap menerima penobatan sebagai raja berikutnya.

Hal ini berbeda jauh dengan Noctis sendiri, ia pikir dirinya kurang berguna dalam urusan kerajaan. Pekerjaan sehari-hari hanya menimba ilmu dan disaat senggang ia hanya ada untuk bermain Game Console, bermalas-malasan bagai pecundang.

Dalam kemampuan bertarung pun ia kurang percaya diri, karena Phantom Sword yang diebut-sebut sebagai "Pedang yang diutus hanya untuk melindungi keluarga Caelum secara turun menurun" itu tak bisa ia keluarkan. Banyak anggota istana yang meragukan DNA nya, salah-salah ia dikira sebagai anak angkat.

Oh Etro, mengapa si bungsu ini harus bernasib malang?

Karena tidak banyak membanggakan orang tua, Noctis pun memilih untuk meninggalkan istana, dalihnya yang disebut-sebut sebagai 'Broken Home' , Tentunya tanpa memutus jalan untuk menimba ilmu.

Dengan identitas yang disembunyikan, ia beralih profesi menjadi seorang apoteker. Ia tahu kalau hanya hal ini lah yang bisa ia lakukan. Ia sempat menjadi anggota palang merah remaja sewaktu menginjak umur lima belas tahun, hal ini memudahkannya dalam persoalan pengobatan.

Sharusnya hari ini ia pergi bekerja dan sorenya bergegas untuk pergi ke kampus, namun apa daya, ia di tawan selama dua hari oleh wanita asing yang mirip nenek sihir itu, dan kini di sini lah sang pangeran bungsu menjadi sebuah umpan untuk mangsa empuk para penjahat.

Noctis hanya bisa mendesah pasrah, mengapa dewi Fortuna selalu pilih kasih?

~Ω~

Suasana dalam istana Caelum masih meriah seperti beberapa waktu lalu. Tidak terasa senja telah menyentuh langit biru terang yang kini telah terganti dengan langit berlembayung jingga.

Rainess masih terduduk santai seraya bercakap dengan nona Oracle yang berada di sampingnya. Suasana nyaman membuat Rainess enggan beranjak dari kursi empuk berlapis Sponge lembut itu, camilan dan makanan lain semakin membuatnya terpaku pada posisi nyaman yang ia buat.

Hingga kedatangan seorang pelayan membuat tubuhnya mulai bergerak. Pelayan itu berbisik pada sang pangeran sulung, dari ekspresi yang Rainess buat secara spontan terlihat sebuah kejanggalan.

Akhirnya Rainess pun memutuskan untuk memberi salam pada Lunafreya dan berlenggang meninggalkan pesta meriah.

Lima belas menit sudah ia gunakan untuk menyusuri koridor panjang menuju sayap kanan dari istana Caelum. Pintu kayu besar di buka lebar, sepatu kulit hitam mengkilat menginjakan langkah diatas lantai marmer.

Rainess memanggil salah seorang pemimpin dari Man-at-Arms, Guardian Of Lucis Kingdom. Tanpa membuang banyak waktu, seorang pria gagah berfostur tubuh tinggi menghampiri sang pangeran sulung, memberi hormat ala militer.

"Cor Leonis, aku dengar ada sebuah keributan besar yang tengah melanda taman istana?"

"Saya mohon ampun atas kelancangan saya yang mulia, saya tidak bisa sembarang memberikan komando tanpa persetujuan anda disaat seperti ini."

"Aku mengerti."

Pangeran bersurai hitam itu mencuri perhatian pada jendela istana yang memampangkan pemandangan taman. Rauman seekor binatang buas bisa terdengar lewat balik pintu gerbang yang berada di hadapannya.

Cor Leonis mengangguk saat pangeran Rainess melangkahkan kakinya menuju gerbang taman. Dengan gerik Rainess, pimpinan Battalion tujuh itu segera mempersiapkan pasukannya untuk mengawal sang pangeran.

Gerbang besi terbuka lebar, menampakan cahaya dari matahari sore yang menyilaukan. Pasukan dikerahkan terlebih dahulu, mengecek kondisi sekitar untuk keamanan sang pewaris tahta.

Namun tidak lama dari itu, seekor Bahamut mengepakkan kedua sayapnya, mendarat pada lapangan luas berrumput hijau. Seluruh prajurit telah siap dengan senjata api yang mereka arahkan pada mahluk itu, melupakan kenyataan kalau suara rauman Bahamut itu membuat dengkul mereka bergetar.

"Bersiap! TEMBAK!"

Peritah telah diperdengarkan, peluru tembaga terluncur lewat lubang senjata yang pelatuknya telah ditarik. Percikan api menyentuh kulit monster bersisik itu, membuatnya meraum menahan rasa perih.

"RELOAD!"

Barisan prajurit penembak pertama bergilir dengan barisan yang berada di belakang mereka untuk mengisi peluru. Namun, lewat tembakan beruntun itu, sang Bahamut masih berdiri kokoh dengan kedua kaki besarnya.

Jauh dari perkiraan yang telah di perhitungkan, kulit bersisik itu menyerap peluru kedalam tubuhnya, dan seketika meluncurkannya kembali pada tentara yang telah menembakkannya.

Kedua barisan yang bergilir itu kini tumbang, ada yang kehilangan nyawanya, ada pula yang tekena cidera fatal. Cor Leonis menggeram marah, Rainess menepuk pundak Cor yang terasa tegang, mengalihkan pandangannya pada sang pangeran.

"Jalankan rencana lain, Blok jalan menuju gerbang depan istana. Jangan biarkan pembuat kericuhan ini mengobrak-abrik istana. Keluarkan para kesatria."

Cor mengangguk paham dengan perintah yang telah diberikan pangeran Lucis itu, masih beruntung ia memiliki rencana lain. mau-tidak mau rencana B lah yang harus ia jalankan.

"Prepare for plan B!"

Perintah sang Jendral, mengerahkan kelima tentara elit dengan Phantom Sword sebagai senjata andalan mereka.

Teknik Phantom Sword tidak hanya dimiliki garis besar keturunan Caelum, namun kemampuan itu juga dimiliki oleh ketiga prajurit legendaris yang hidup lima abad lalu. Mereka diutus untuk melindungi keturunan darah Caelum dengan diberkatinya kemampuan tersebut, namun yang membuatnya berbeda adalah senjata yang mereka Summon keluar.

Para keturunan dari ketiga prajurit legendaris itu hanya bisa mengeluarkan pedang, sedangkan keturunan Caelum dapat memunculkan senjata lain seperti tombak dan sebagainya.

"CHARGE!"

Suara lantang tercetus lewat mulut sang jendral, puluhan pedang tertancap pada tubuh bersisik Bahamut. Darah merah mengalir lewat luka segar yang menggores tubuh Bahamut itu, namun dengan disayangkan, monster naga itu masih tetap berdiri tanpa sebuah respon.

Demi menghindari kejadian yang telah menimpa para prajurit beberapa waktu lalu, Cor memberi isyarat bisu pada ke lima kesatrianya. Kelima anggota pasukan elit itu mengerti dengan perintah yang telah diberikan jendralnya, mereka berinisiatif membuat pertahanan Bahamut itu melemah.

Dengan diluncurkannya mantra Deprotect pada monstrer itu, puluhan pedang yang tertancap pada tubuhnya kini menghilang dan kembali pada pemiliknya masing-masing.

Saat Bahamut itu hendak menggepakan sayapnya, dengan spontan kelima prajurit pemilik Phantom Sword kini melemparkan serangan mereka, mencabik kulit Bahamut yang kini telah terlumur mantra Deprotect dengan pedang di kedua lengan mereka.

Mereka menghantam monster naga itu dari berbagai arah tanpa jeda, hingga saat tepisan terakhir, mereka meluncurkan sebuah mantra yang disebut sebagai Curasa membuat tubuh Bahamut itu tumbang bercucuran darah segar.

Cor Leonis menghampiri monster besar yang terlentang dihadapannya. ia mengangkat pedang yang telah ia summon, menebas leher panjang mahluk itu dan meninggalkan organ buntung yang tergeletak diatas rumput bercucur darah.

"Kerja bagus Team."

Setelah memastikan kalau monster itu benar-benar mati, Cor memberikan pujian pada kelima anggota tim elitnya. Memang sudah tidak diragukan dengan kekuatan mereka berlima, Bahamut seganas itu bisa di buat tidak berkutik.

"Luar biasa, untung saja mahluk ini sudah mati di tempat sebelum ia membuat kekacauan lebih jauh lagi. Terimakasih semuanya."

Pangeran dermawan itu menghampiri Cor Leonis sambil menepuk pundaknya, bangga. Namun Cor tidak bisa terdiam lebih lama lagi, Melihat para tim medis membawa para mayat serta para prajurit yang membutuhkan perawatan membuat hatinya sesak.

Merasa kahwatir dengan wajah jendral Leonis yang kini merubah ekspresinya, Rainess berjalan menghadapi sang jendral, hingga kedua bola mata biru tua itu melekat pada Cor.

"Kau bukan satu-satunya yang tidak menginginkan hal seperti ini kembali terjadi, Cor."

Sang Jendral bertubuh gagah itu menggangguk dengan rasa perih yang menggerogoti hatinya, setuju dengan pendapat sang pangeran tentang masalah yang sedang dihadapinya.

"Namun apa boleh buat, peperangan masih harus berlanjut. We have no choise."

~Ω~

Sunyi mengisi ruang perpustakaan kerajaan Caelum, hanya suara kertas yang terkibas lah satu-satunya pertanda keberadaan mahluk hidup dalam ruangan mati itu.

"'Tunggu di perpustakaan' katanya, tapi sekarang sudah jam berapa? Benar-benar pangeran tukang ingkar janji."

Noctis mencibir perkataan kakaknya, jujur saja ia sangat kesal dengan tingkah sang kakak yang pelupa saat membuat janji dan ini hanya terjadi saat Rainess mengikat janji Hanya dengan sang adik.

"Oh Etro, mengesalkan sekali berdiam diri sambil membaca buku lusuh begini."

Saat rasa bosan berhasil mengguyur otaknya, Noctis berlenggang meninggalkan tempatnya terduduk, membuka pintu perpustakaan lebar-lebar dan berniat tuk menghampiri si sulung yang sudah ingkar janji.

Tiba-tiba saja, pekik seorang wanita mengalihkan perhatiannya. Pangeran bungsu bersurai hitam itu kini berlalu menuju sumber suara, berharap agar kakaknya baik-baik saja.

"Sepertinya si nenek sihir sudah tiba, gawat kalau begini!"

Hal yang terjadi melenceng dari harapan Noctis, ia mengintip dibalik pilar besar yang menyangga atap tinggi dalam ruangan pesta istana. Sepasang iris biru tua itu kini menyaksikan asap putih yang memenuhi ruangan.

Noctis terbatuk dibuatnya, kedua matanya merasa perih, ini gas air mata!

Seluruh pengunjung pesta panik dibuatnya. Seorang wanita yang menenggahkan kepalanya kembali menjerit kencang saat sebuah kaca yang terletak di atap pecah, menampakan delapan prajurit berkedok baja yang dilengkapi senjata api turun melalui seutas tali.

Tanpa sepatah kata, kedelapan anggota bersenjata itu menodongkan senapan api mereka pada orang-orang yang berada di sekitarnya.

"Jika kalian tidak ingin mati, serahkan harta kalian!"

'Ini dia…'

Noctis menaruh pandangannya yang berkabut pada seorang wanita bertopeng yang kini menodongkan Magnum nya pada perempuan bersurai pirang. Dengan penuh ketakutan, wanita itu menggigil dengan sebuah senjata yang tertuju pada dagunya.

Noctis tercengang dibuatnya, wanita yang dijadikan tawanan adalan nona Oracle yang agung. Ia bingung harus melakukan apa, disini ia dijadikan umpan dan jika ia melawan, sewaktu-waktu anak buah nenek sihir itu bisa saja menempelkan C4 di punggungnya tanpa di ketahui dan meledakannya. Kini Noctis teringat kalau penjahat wanita itu akan membunuhnya setelah mendapatkan target.

'Astaga! Dimana Rainess disaat dia sedang di butuhkan?!'

Noctis hanya bisa berpanik-ria sambil mengharapkan kedatangan sang kakak. Satu-satunya hal yang bisa ia andalkan adalah kehendak dewa-dewi yang perkasa, hanya sebuah do'a yang bisa ia lantunkan lewat hatinya.

Kini dewi Fortuna mengabulkan do'a si pangeran malang itu. Pintu kayu kokoh menghantam lantai marmer, membuat asap yang berada di ruangan itu terhempas dengan dorongan angin lewat hantaman itu.

Cahaya lampu kini menerangi legamnya warna rambut sang pewaris tahta Caelum, membuatnya terlihat berkilau. Noctis merasa senang dengan apa yang telah ia lihat. Disana, sang pangeran Lucis, pewaris tahta Regis Lucis Caelum, kakak nya sendiri, berdiri tegap terlihat siap dengan segala serangan apa pun.

"Bagus, Kau sudah datang rupanya."

Sebuah suara wanita maskulin mengalihkan pandangan Caelum bersaudara. Wanita bersurai merah muda itu kini berada di hadapan si pangeran sulung tanpa sepengetahuannya.

Seluruh pasukan perompak itu menodongkan senjatanya bersamaan kearah Rainess. Namun si wanita bersurai merah muda itu memberikan isyarat bisu pada rekannya untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Mereka pun akhirnya menurunkan senjata dan mengambil jarak, membuat ruang yang cukup untuk bertarung.

Noctis tertegun menyaksikan hal itu, bukannya si nenek sihir sedang menahan Oracle di singgasana? Gerik penjahat wanita itu seperti hantu, ia bisa menikam lawannya tanpa diketahui.

"Apa yang kau mau?"

"Simple, mencari lawan yang sepadan. Juga, harta yang melimpah."

Apa yang Noctis kira serupa dengan pernyataan wanita misterius itu, ia hanya ingin harta keluarga Caelum. Tapi apa yang ia maksud dengan 'lawan yang sepadan'?

"Bawa lah harta sebanyak yang kau mau."

Sebuah seringai menggema dalam ruang pesta yang berasap itu. Kedua Boots kulit berwarna hitam yang dikenakan wanita bersurai merah muda itu melangkah, membuat percikan kaca yang berceceran menimbulkan suara. Namun sayang, sosok wanita yang berada di hadapan Rainess kini lenyap.

"Aku tidak ingin pergi sebelum menemukan lawan untuk bermain!"

DAR!

Sebuah peluru Silver terlontar lewat senjata api yang di genggam wanita itu. Dengan sigap, Rainess memblokir laju peluru itu dengan putaran senjata yang ia Summon, membentuk sebuah tameng tidak terlihat.

Lengan kiri si rambut merah muda itu meraih sebuah Sub Machine Gun, ia melontarkan sebuah tembakan beruntun kearah sang pangeran sulung. Lagi, dengan cepat Rainess dapat memblokir serangan perempuan itu, hal ini terlalu mudah untuknya.

"Hentikan ini! Jangan bermain-main!"

Pekik pemuda Caelum itu pada lawannya. Namun siapa di sangka, wanita itu merasa tersinggung dengan perkataan Rainess. Kini si kepala merah muda itu melaju menghampiri Rainess seraya menembakkan peluru lewat kedua senjatanya.

'Haha! bodoh! Sudah tahu peluru itu pasti akan di tangkis oleh Rain, masih saja bersikeras menembaknya.'

Noctis memuji-muji kemampuan kakaknya, pikirnya wanita itu cukup bodoh untuk bertarung melawan seorang pangeran dari negri Lucis. Ia yakin kalau sang kakak akan memenangi pertarungan ini dan melemparkan si penjahat dalam jeruji besi.

Namun siapa kira, seorang penjahat keras kepala sepertinya memiliki alternative lain demi mengalahkan lawannya.

Wanita berambut merah muda itu melompat tinggi, sosoknya melebur bersama asap, kini Rainess memperlambat putaran ke sepuluh Phantom Sword nya untuk memastikan keberadaan lawan.

Spontan sepasang kaki menginjak kepalanya kuat, membuat wajah si pangeran mencium marmer keras hingga menciptakan retakan. Noctis panik dibuatnya, bisa-bisanya dia menggunakan hal seperti itu.

"Lengah sekali kau."

Dengan sikap santai si wanita berkepala merah muda itu bersalto untuk menjaga jarak dari lawannya. Tapi sayang, tanpa di ketahui, Rainess yang tiba-tiba muncul di hadapan sang lawan kini telah menekan mata pedang tipis pada leher wanita itu, membuat kulitnya meneteskan darah segar.

Tidak mau kalah, kini si wanita melepaskan tembakan pada perut si pangeran, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sialnnya lengan kiri kecil itu berhasil Rainess singkirkan, membuat tembakan itu melenceng dari target.

"Tch!"

'Cool! Ayo Rainess!'

Namun bukan hanya lengan kiri saja yang menggenggam senapan api, jangan lupa lengan kanan si surai merah muda yang menarik pelatuk dari Magnum-nya. Walau sasaran utama dari pelatuk Magnum itu adalah kepala Rainess, tapi pangeran itu kembali melencengkan tembakan dengan menggerakan lehernya.

Dua buah tembakan berhasil ia hindari, saat wanita itu kembali menarik kedua pelatuk lewat jarinya, namun peluru enggan keluar lewat senjata api miliknya. Ini menjadikan sebuah kesempatan bagi Rainess untuk menyuruhnya segera menyerah.

Ia menghantam wanita itu hingga menemui tembok dan melontarkan lima bilah pedang serta dua buah tombak yang memerangkap tubuhnya, menciptakan goresan luka pada lengan dan kakinya.

"Menyerahlah! Dan kembali ke persembunyian mu!"

"Tch, Sombong sekali kau. Berlagak bagai pahlawan."

Sepasang bola mata biru tua menatap dingin pada wajah bertopeng yang berada di hadapannya. Saat terhempit pun ia masih sanggup untuk mengejek lawannya, wanita yang keras kepala.

"Baik lah jika kau meminta untuk mati di sini."

"Huh, aku tidak masalah jika mati disini."

Mendengar pernyataan dari pemimpin mereka, para rekan perompak itu terlihat canggung. Rainess dapat menebak sebuah ekspresi sedih terukir lewat kedok tebal yang mereka kenakan. Hal ini terasa sangat mengganjal.

Namun Rainess memilih untuk menebaskan sebuah pedang yang ia Summon. Semua senjata api tertuju padanya kembali. Ada seseorang yang meneriakan kata "Lightning", entah sebuah kode atau sebuah panggilan.

Namun Horror yang menghantui perasaan para perompak itu kini terganti dengan sebuah hembusan napas lega. Yang terbelah dua hanya lah topeng yang menempel pada wajah pemimpin wanita itu.

"Mengapa kau tidak membunuh ku?"

Tanya wanita itu dengan nada yang tenang. Rainess tidak menggerakkan jemarinya sedikit pun, topeng yang terbelah itu menampakan wajah wanita cantik yang melekat pada pandangannya.

'Astaga, mulai lagi.'

Noctis menghela napas pasrah dengan apa yang terjadi pada kakaknya. Wajah sang anak sulung dari keturunan Caelum itu mulai merona selaras dengan warna rambut wanita cantik itu.

Wanita bermata hijau yang terperangkap oleh pedang-pedang milik Rainess itu masih sempat memberikannya sebuah senyuman hangat. oh Etro! Entah mengapa Noctis agak kesal dibuatnya.

'Mengapa ia dapat senyuman? Sementara aku dapat sebuah pukulan?!'

Rasa iri menyelimuti hatinya. Kini Noctis tidak segan memanggil dewi Fortuna dengan sebutan 'Kejam'.

Namun di tengah momen, tiba-tiba saja sebuah asap kembali menyelimuti ruangan, membuat orang-orang menjadi ricuh. Rainess cukup lengah dengan perlakuannya pada wanita yang menjadi lawannya. Ia dibuat lupa saat menatap wajah menawan itu.

"Senang bertarung dengan mu, Rainess Lucis Caelum. Walau aku tidak bisa mengalahkan mu dan mendapat harta yang menjadi tujuan ku, tetapi aku rasa ini sudah cukup."

Ucap wanita itu sambil menaiki tali yang di tarik oleh sebuah Helichopter. Rainess membiarkannya melarikan diri. Entah apa yang menahannya, hingga ia menyadari kalau wanita itu tengah membawa Noctis yang tidak sadarkan diri bersamanya.

"Tch! Sial!"


TO BE CONTINUED

A/N (AGAIN): makasih udah baca ceritanya tanpa mengSKIP setiap paragraph huehuehuehueheuhuehuehueheu. Jangan lupa Review nya yah readers ku tercinta! Mari menguak misteri cinta sang pangeran! LOOOOOOL