**Disclaimer**

Bungou Stray Dogs just by Asagiri Kafuka Harukawa Sango

Warn : Melihat characternya Dazai Chuuya, tentu ini shonen-ai. Typo dan gaje adalah hak segala bangsa.. Dan mungkin ini agak fiksi ilmiah. Karena kuhanya pencerita abal abal, jadi ooc pasti akan ditemukan. Dan satu lagi, diri ini tidak mengenal Yokohama dengan baik, jadi kalau ada yang rancu, maafkanlah~

Silahkan menikmati~


Seven Days Without You

—PROLOG—

Diceritakan Dazai Osamu dan Nakahara Chuuya adalah sepasang kekasih yang merangkap rekan dalam suatu organisasi yang disebut Port Mafia di kota pelabuhan bernama Yokohama.

Bertengkar adalah hal lumrah. Namun setiap amarah selalu disalurkan dalam kata kata penuh rasa suka. Kedua berfikir demikian. Dan mereka juga merasa demikian.

Itu hal yang baik, kedua dari mereka sangat menyukainya. Dazai suka saat wajah Chuuya memerah karena terbakar emosi, saat segala egonya malah berbalik kepadanya seperti hal konyol yang manis karena kalah berdebat dengan Dazai. Chuuya suka saat suara lembut Dazai memanggil namanya, setiap sentuhan pada kulit dan kecupan pada bibir dari Dazai kepadanya, serta seluruh perhatian yang diberikan Dazai secara tersirat walau sangat jarang dia ucapkan.

Mereka jarang menegaskan kata cinta. Aku cinta padamu, aku sayang padamu, aku membutuhkanmu, aku menginginkanmu, setiap kalimat itu jarang sekali terkata dari mulut masing masing. Bukan karena malu atau apa, namun karena masing masing sudah tahu. Masing masing akan saling mengisi. Masing masing akan saling melengkapi. Masing masing akan saling memahami. Masing masing saling mencintai.

Hari ini, pukul delapan lewat lima pagi, Dazai menemukan Chuuya-nya baru keluar dari ruangan Boss Mori Ouge.

"Apa yang kau lakukan?", Dazai bertanya.

"Aku? Hanya melaporkan sesuatu."

"Seperti meminta restu?"

"Restu apa? Kau bodoh? Tentu saja bukan itu."

"Lalu?"

"Sesuatu. Tentang misi terakhir.", Chuuya meraih tangan Dazai. Menyelipkan jari jarinya ke jari jari Dazai. Yang diraih malah kaget. "Kau mau membawaku ke mana hari ini?" katanya menatap lebih tinggi.

"Hah? Oh Chuuya sayang, kau yang bertemu Boss, kau yang meraih tanganku, kenapa kau yang bertanya mau aku bawa kemana hari ini?"

"Dia bilang kita bebas hari ini. Misi terakhir yang membawa berkahnya."

"Benarkah?", Dazai meragu. "Ya sudah. Kita mau kemana? Jalan jalan ke mana?" timpalnya tanpa sempat di jawab Chuuya. "Jangan katakan terserah, Chuuya. Tapi baiklah. Mau ke pantai?"

"Kenapa pantai?" Chuuya mengikuti langkah Dazai dengan tangan kiri yang masih berkait dengan tangan kanan Dazai.

"Festival. Pameran. Semacamnya. Mereka mengundang grup orkestra dan opera dari Australia." pria dengan perban itu menjelaskan dengan perlahan. "Kau penasaran dari mana aku tau? Pamflet. Saat aku membeli tali tambang tadi."

Mereka berjalan ke luar gedung. Mengarah ke bawah tanah tempat kendaraan di parkirkan. "Tapi biasanya orkestra itu malam hari kan? Apa di sana ada gedung opera?" Chuuya menanyakan.

"Stannya buka siang hari, pertunjukannya malam. Tenanglah kau tidak akan bosan di sana, kalau bersamaku." Dazai menyudahinya dengan senyum jahil dan hampir membuat Chuuya menghela nafas. Tangannya ingin membuka pintu mobil sedan berwarna ultramarine dan sedikit aksen ebony, namun terhenti saat tangan lain menjegatnya. "Ayo naik kereta." kata si penjegat.

"Kereta? Kenapa? Lebih cepat kalau naik mobil kan?" Dazai bertanya pada Chuuya yang tadi menghentikan niatnya untuk membuka kunci pintu mobil.

"Tidak masalahkan? Pertunjukannya nanti malam. Lagipula aku sudah lama tidak naik kereta."

"Tapi jarak stasiun dan lokasinya jauh, Chuuya."

"Bis masih bisa dipakai kan? Tidak? Tenang saja, aku bisa membawamu terbang." Chuuya tersenyum yakin seraya menepuk bahu Dazai yang kokoh. Sedetik kemudian ia berbalik ke arah pintu masuk. "Ayo ayo. Ayo Dazai."

Kurva tipis terbentuk di bibir Dazai dengan mata yang tertutup maklum. Ia pasrah, menerima keinginan kecil dari pujaan hatinya. Lalu melangkah, ikut dalam arah Nakahara Chuuya.

Berbincang dalam perjalanan ke stasiun. Saling berbagi bahu saat di kereta. Berdebat panjang hanya untuk memilih menu makan siang di restoran keluarga pinggiran kota. Dan saling mencuri lauk pauk saat makan di dalam bis. Berebut urutan kedai yang ingin dikunjungi saat di festival. Menikmati matahari terbenam di bibir pantai. Hingga di depan panggung berhias gorden sinoper gelap, keduanya terdiam dalam hening menyaksikan Hamlet.

Dazai mengantar Chuuya pulang. Atau lebih tepat, Dazai mengikut Chuuya pulang. Memutuskan untuk menginap di rumahnya. Menonton film, bermain kartu atau minum hingga mabuk, tidak masalah asalkan dengan Chuuya tersayangnya.

Bulan sudah dalam keadaan maksimalnya. Jarum pada jam dinding terletak berhimpit pada angka satu. Keduanya duduk di sofa merah marun dengan botol alkohol berdiri di antara gelas gelas kecil di atas meja cardinal beraksen rust.

"Hey Chuuya," Dazai bertanya setelah menunggu wine nya. "Kalau aku benar benar mati dalam upaya bunuh diriku, apa yang kau lakukan"

"Mungkin aku akan bahagia." Chuuya menjawab seadanya.

"Tentu yah. Saat cita cita kekasihmu terwujud, kau pasti bahagia yah.. Chuuya aku tau kau sangat baik!" Dazai memeluk Chuuya lalu memberi kecupan kecil di pipi tak lupa dengan matanya yang bulat berbinar ceria.

"Kau bodoh! Bukan itu maksudku." nadanya menggantung diikuti helaan nafas dan tambahan kata "Terserahlah."

Dazai enggan melepas dekapannya, namun malah berbaring dan membawa tubuh mungil Chuuya telungkup di atasnya. Kedua pasang mata saling menatap, lalu perlahan menutup dengan bibir keduanya berpagut dalam kehangatan penuh cinta.

Sedikit pemanasan —mungkin— sebelum Dazai menggendong Chuuya dan merebahkannya di atas kasur empuk. Diawali lenguhan lemah, hingga erangan kasar, beriring decitan ranjang yang mengisi sunyinya malam.

Menyenangkan. Sehari bersama kekasih yang biasanya dihabiskan dengan pertarungan, penyelidikan, atau pengurusan berkas berkas perkara. Terimakasih pada Boss Mori yang baik mau memberi hari libur sehari setelah Double Black bekerja penuh selama sebulan lebih.

Apa salahnya orang orang dunia bawah seperti mafia berkencan selayaknya pasangan normal?

—II—

Terik menyusup dari celah gorden zamrud. Mentitah sesosok tubuh tegap di balik selimut tebal keluar dari bayang bayang mimpi. Mengedipkan mata berkali kali hingga terbiasa dengan silau sang mentari. Manik topaz melirik ke samping, tidak ada siapapun di sana. Chuuya sudah bangun lebih awal rupanya.

Perhatiannya berpindah pada lingkaran angka satu hingga dua belas dengan lukis romawi. Pukul sebelas lewat lima belas, Dazai Osamu untuk pertama kali setelah sekian lama dapat tidur hampir sepuluh jam.

Di atas kursi ada pakaiannya yang terlipat rapih. Di atasnya sepucuk memo coklat dengan tulisan yang ia kenali. Digapainya kertas itu.

Panggilan mendadak. Pulang malam atau besok.

Chuuya.

PS : Sarapan di kulkas. Panaskan dulu.

Dazai menghela kecewa. Baru sehari, Chuuya sudah direbut misi. Tapi mau bagaimana lagi? Tuntutan pekerjaan yang dia pilih.

Ia memakai pakaian yang Chuuya lipatkan untuknya. Memakan sarapan yang Chuuya buatkan untuknya setelah memanaskan sesuai pesan kekasih tercintanya. Lalu pergi membawa kunci bersamanya. Karena dia berprinsip, milik Chuuya adalah miliknya dan miliknya adalah miliknya. Memangnya masalah? Toh miliknya atau bukan, dia akan memberikan apapun yang Chuuya minta.

Ia berjalan ke markas Port Mafia. Seperti biasa, sibuk. Banyak dokumen dokumen yang harus ia perbaiki karena kesalahan seorang pengkhianat yang menjadi biang lemburnya Soukoku selama sebulan lebih.

Memulai dengan disket berisi daftar anggota anggota Port Mafia incaran musuh. Masuk ke program inti, memalsukan data, menghapus jejak, dan seterus seterusnya. Melelahkan duduk di depan komputer dengan banyak monitor dan kertas kertas bertumpuk yang harus diurusnya.

Mulai dari matahari berada di ubun ubun, hingga hampir tenggelam di balik gedung gedung. Dazai Osamu masih berkutat dengan komputernya. Seharusnya ini bukan tugasnya, namun bagaimana lagi. Orang yang seharusnya duduk di sini sudah berkhianat.

Bulan muncul. Dazai menyudahi tugasnya. Ia perlu makan setelah hidangannya yang terakhir ia santap di rumah Chuuya. Setelah makan, lalu pulang, ke rumah Chuuya. Bagaimanapun dia lebih suka berada di sini dibanding rumahnya sendiri. Karena dia bisa melihat Chuuya marah saat dia mengobrak abrik perabotan Chuuya, meminum wine nya sembarangan, dan mencoba gantung diri di ambang pintu atau lompat dari balkon kamar Chuuya.

Namun sayang Chuuya sedang menjalani misi di kaki gunung. Sedikit membosankan. Dazai ingin segera tidur dan bermimpi tentang mereka berdua, atau cita cita bunuh diri tenangnya, tapi ia masih berharap Chuuya masuk dari pintu dengan peluh dan jatuh di dekapannya.

Sekali lagi sayang. Semakin dinanti semakin terasa sunyi. Hingga denteng pukul sebelas malam, Dazai memasuki alam mimpi, dan terbangun keesokan hari. Mengulangi kegiatan seperti kemarin sendiri, tanpa Nakahara Chuuya.

—II—

Sejujurnya bukan sekali ia dan Chuuya tidak sepaket, namun sesuatu di relung hatinya merasa benar benar tertusuk sepi. Sedikit takut pada sesuatu yang tidak diketahui. Tidak ada kabar dari kekasihnya, Dazai maklum. Mungkin sedang dalam pertarungan atau handphone Chuuya terbelah dua. Namun rasa cemas mendalam tetap ia rasakan, bahkan semakin menjadi jadi.

Lalu sekitar pukul tujuh malam, ia pergi dari ruang kerjanya untuk menghampiri seorang Veteran Port Mafia.

"Hirotsu-san? Kau tau dimana Chuuya?" tanyanya tanpa basa basi. "Dia bilang akan pulang semalam atau hari ini. Tapi aku belum melihatnya. Kau tau dimana dia?"

Lelaki tua berpakaian rapih pun menjawab "Maaf, Dazai-san. Aku tidak lebih tau darimu. Mau aku hubungi salah seorang bawahannya?"

"Oh. Silahkan."

Hirotsu meraih telepon genggam dari sakunya, mencoba menghubungi salah satu anggota tim yang Chuuya bawa. Sedikit obrolan terjadi hingga dua puluh lima detik sambungan itu tertutup. Dazai berharap cemas, walau tidak tertera sedikit pun di wajah tampannya.

"Dia sedang dalam perjalanan pulang. Mereka sedikit mengalami hambatan karena informasi palsu. Dan sedang dalam kereta menuju Yokohama." Hirotsu menjelaskan singkat tentang informasi yang baru ia dapatkan. "Dan Nakahara-san baik baik saja." tambahnya ketika melihat tatapan Dazai yang masih terpaku padanya.

"Baiklah. Itu cukup. Terimakasih Hirotsu-san. Aku rasa aku akan pulang. Permisi." Dazai berlalu. Meninggalkan Hirotsu yang sedikit menundukkan kepala padanya.

Pukul sepuluh, sebelas, hingga masuk di hari baru, Dazai belum merasakan hawa keberadaan Chuuya di sekitarnya. Gelisah. Walau sudah tau apa yang terjadi, tapi kali ini ia sangat was was. Entah kenapa, rasanya berbeda dari misi misi tunggal sebelumnya.

Rintik air mulai terdengar satu satu di genteng merah bata. Setiap detik semakin banyak hingga menderas membuat jalanan hitam semakin hitam, aroma hujan semakin ketara, dan hari mendung semakin gelap.

Cuaca yang bagus untuk percobaan bunuh diri terjun ke sungai. Tapi tidak sebelum Dazai melihat Chuuya-nya.

—II—

Rasa malas sudah lumrah melanda tiap makhluk di saat cuaca seperti ini, tak terkecuali Dazai. Dingin menyuruhnya membenam diri lebih dalam pada selimut peach tebal. Tetesan air mengalun berniat membuatnya terlelap kembali ke alam mimpi. Dan sunyi hampir saja melumpuhkannya jika handphone di atas meja tidak berdering.

"Halo?" Dazai memulai berbicara setelah dengan berat mengangkat tangan kiri guna menggapai si benda.

"Bukakan pintu."

Tanpa aba aba, Dazai langsung bangkit dari kursi malas bernada merah maroon. Berlari menuju pintu grey, membuka kunci, memutar knop, lalu menariknya. Melihat sosok kekasih yang sangat ia rindukan walau baru berpisah kurang dari tiga hari.

Chuuya masuk, dengan topi, mantel, dan sepatu yang basah kuyup. Langsung menuju kamar mandi meninggalkan Dazai yang membatu di ambang pintu.

"Apa yang kau lakukan di situ, Dazai?"

"Oh, Chuuya?" Dazai tersadar, langsung menutup dan mengunci kembali pintu. Berbalik pada sosok mungil yang baru keluar dari kamar mandi tanpa baju melekat di badannya. "Aku tidak melihatmu. Mungkin karena kau pendek?"

"Hah?" perempatan muncul di dahi Chuuya. "Sialan kau. Aku tau kau merindukanku."

"Siapa? Aku? Jangan bercanda. Aku bahkan berharap kau tidak kembali."

"Oh." Chuuya bersikap cuek, lalu beralih menuju dapur. Diikuti Dazai di belakangnya.

Dazai menghampiri Chuuya yang sedang menyeduh teh. "Kenapa baru pulang?" tanyanya bersandar pada meja berkayu eboni tempat Chuuya membuat teh untuk dirinya sendiri.

"Seperti yang Hirotsu-san katakan." jawab Chuuya setelah menyesap tehnya. "Benar kan kau merindukan ku." Chuuya tersenyum menang.

"Dalam mimpimu, sayang." Dazai meraba rambut Chuuya yang basah. "Jangan jangan kau yang merindukanku?" nadanya mulai menggoda.

"Bodoh. Aku tidak punya ruang dalam kepalaku, atau tempat dalam susunan waktu di jamku untuk memikirkan —bahkan mengingat— kau dan segala kekonyolanmu." Chuuya membuang mukanya. Duduk di kursi bewarna sama dengan meja lalu kembali meminum tehnya.

"Kau baik baik saja Chuuya?" Dazai bertanya sambil melihat Chuuya yang sudah pendek, lebih pendek lagi karena sedang duduk dan dia berdiri.

"Tentu. Memangnya aku kenapa?"

"Aku hanya merasa terlalu khawatir. Tapi mungkin hanya perasaan."

"Aku tau. Kau hanya terlalu merindukanku. Itu saja. Haha.."

"Ayolah Chuuya, apa aku pernah mencarimu saat kau bertugas sendiri selain dari kemarin?"

"Mungkin tidak." Chuuya menelaah memorinya. "Kenapa kau mencariku?"

"Aku khawatir." Dazai menatap sayu. "Sangat khawatir. Tapi aku tidak merindu atau semacamnya."

"Kau aneh. Orang khawatir karena rindu kan? Bodoh yah? Aa.. Aku bertaruh kau tidak akan bisa hidup tanpaku selama seminggu."

"Kau menantangku?"

"Ya, Tapi tidak. Aku tau kau tidak akan bisa. Mustahil bagimu. Sudah lupakan." Chuuya mengibaskan tangannya, seraya meremehkan sang kekasih.

"Kau takut kau yang akan merindukanku Chuuya? Oh tentu. Kenapa tidak?" Dazai tersenyum penuh arti. "Mau taruhan?"

"Kau serius Dazai?" Chuuya menatap ke dalam manik coklat kehitaman dengan kelembutan bercampur keyakinan terpancar dari sana. Sesuatu yang Dazai beri hanya pada Chuuya semata.

"Kau yang menantangku, kenapa kau yang tidak percaya diri? Chuuya oh Chuuya.." irama mengejek mulai tersirat di kalimat laknat. "Bagaimana?"

"Bagaimana? Mulai besok hingga tujuh hari ke depan, tidak boleh berbicara, langsung ataupun telepon, tidak bertukar pesan, tidak bersentuhan, tidak berhubungan, dan tidak mencari kabar." Chuuya mengeluarkan peraturan nya. "Yang pertama melanggar adalah yang kalah."

"Baiklah. apa taruhanmu?" Dazai bertanya. Bersemangat seraya lupa rasa rindu nya selama beberapa hari ini.

"Apa yah? Kau mau apa dariku?"

"Dirimu." senyum jahil terulas di wajahnya. Dazai memagut dagu Chuuya dengan jari tangannya yang kokoh. Menatap wajah rupawan yang perlahan mengekspos rona merah.

"Huh.. Itu bodoh, tapi baiklah." Chuuya membuang mukanya, agar tidak terlalu lama terpana pada mata Dazai yang seperti menelannya. "Aku tidak tau apa yang kuinginkan sekarang. Akan aku katakan saat aku menang." katanya yakin.

"Baiklah. Sekarang, pergilah mandi. Aku tidak ingin repot mengurusmu jika kau demam karena bertelanjang dada di cuaca dingin seperti ini." Dazai mencium pipi Chuuya, lalu mengambil tehnya dan meneguknya hingga habis.

—TO BE CONTINUED—


Yaaahaaaayyy~~~~

Ini, ff ini, hanyalah imajin abrusd yang dibuat di sela sela tiap freeless sekolah. Jadi, terimakasih banyak terucap pada guru yang ga' masuk. Saya harap bapak ibu guru terhormat memberi saya freeless lagi untuk chapter selanjutnya. :'v /plak

Terimakasih yang paling utama buat readers yang responsif maupun yang just silent, aku mencintai kaliannn~~~ *wink* *kiss* /dibuang.

Rencananya kisah ini mau dibuat cuma 2 chapters ditambah prolog ini.. Jadi.. nikmatilah~~

Hmmm, Itu aja deh, tinggalkan jejak di kolom komentar yahh...

See You~~

PS : kalo ada yang gaje, itu karena engga' diedit lagi sebelum post.. T_T