Yuki: Akhirnya saya bisa nginep lagi di rumah awesome Dani!! XD

Yuki: OI! Jangan fitnah aku! *nendang Dani yang ngetik kalimat di atas*

Dani: Maple! Akhirnya kami bisa membuat fic kolab lagi. Karena kami sedang tergila-gila pada APH, makanya jadi fandom Hetalia lagi!

Yuki: Dan karena kami sedang jatuh cinta ama Ivan dan Gilbert, maka jadi charanya Ivan dan Gilbert nongol lagi XD

Dani: Karena banyak yang minta Are you smarter than a sixth grader dilanjutin lagi (meski kami gak nyangka bakal ada yang request demikian), awalnya kami ingin membuat fic dengan tema yang sama, yaitu acara kuis.

Yuki: Tapi gak jadi dan akhirnya kami membuat fic ini yang asli murni dan purely dari ide kami sendiri XD

Dani: Ya sudahlah, met baca.

=_=_=_=_=_=_=

Hetalia © Hidekaz Himaruya

Haunt The Haunting in The Haunted Dorm © Dani en Yuki.

Warning: OOC, AU, dan semua warning yang khas pada fic ciptaan kami XD

=_=_=_=_=_=_=

Di taman depan sebuah sekolah asrama cowok, pada siang hari, berkumpullah beberapa siswa yang tengah sibuk bermain keluarga-keluargaan dengan pohon beringin sebagai rumahnya, bangku panjang sebagai sofa, dan dedaunan serta batu sebagai makanan.

"Aku pulang!!" teriak Arthur semangat sembari mendekati pohon beringin di mana Tino dengan Ludwig yang berperan sebagai Ibu dan Ayah dari 4 orang anak. Tino memasang senyum yang dipaksakan dan Ludwig tak perlu repot-repot menyembunyikan rasa jengkelnya pada anak (haram) nya yang beralis tebal itu. Maklum, ide permainan childish ini awalnya dicetuskan oleh Arthur dan dengan pemaksaan, maka semua akhirnya menuruti kemauannya.

"Selamat datang," kata Tino keibuan (?) dengan sangat tidak ikhlasnya.

"Eh, adikku," Ivan datang dari balik pohon beringin yang berfungsi sebagai dapur. Dia membawa sehelai daun busuk yang ada ulat di atasnya dan menyodorkannya pada Arthur dan Gilbert yang baru datang, "Nih, Kakak masakin makanan yang enak. Makan ya. Awas loh. Papa udah susah cari uang, juga," kata Ivan sembari mengeluarkan aura kejamnya.

"Udah deh, kelar aja yuk," kata Ludwig yang daritadi merasakan death glare entah dari mana yang ditujukan kepadanya semenjak permainan ini dimulai.

"I'll kill 'm," ucap seorang cowok berkacamata dari atas pohon nangka yang tidak jauh dari tempat itu.

"Kelar? Baru aja dimulai. Aku aja baru pulang sekolah, nih," sanggah Arthur.

"Iya, Arthur harus makan ini dulu baru boleh kelar," Ivan semakin memajukan makanan 'lezat' itu ke hadapan Arthur.

"Sorry, aku udah makan bekalku tadi," Gilbert dengan PD menjawab pertanyaan yang ditujukan pada Arthur sambil mengeluarkan sesuatu dari plastik hitamnya, "Ini aja masih sisa banyak," dua buah batu bata merah keluar dari plastik itu. Dan Gilbert langsung membuangnya.

"Errr… entar aja, deh. Aku mau ngerjain PeEr dulu," kata Arthur sembari bersiap memanjat pohon beringin karena kamar fiksinya ada di atas sana.

Tepat saat Arthur hendak memanjat, seseorang terjun dari atas pohon beringin dan langsung mendarat di hadapan Ludwig dengan pose hero-nya. Kaki kiri bersimpuh, dan kaki kanan ditekuk, tangan kanannya membentuk tanda peace, dan tangan kirinya menengadah, dengan satu mata yang dikedipkan ke arah Ludwig.

"Apa?" tanya Ludwig dengan perasaan tidak enak, "Peace juga," dan dia pun ikut membentuk tanda peace dengan tangan kanannya. Tampangnya masih menunjukkan tanda-tanda tidak minat.

"Maksudku, ini minta uang 200.000 dollar," kata pemuda yang ada di depannya itu, Alfred.

"Kok minta ke aku?"

"Kamu kan yang jadi Papa di sini!" Alfred keukeuh.

Setelah menghela napas berat, Ludwig menyambar daun busuk yang dipegang Ivan dan langsung menaruhnya dengan kasar di atas tangan Alfred yang menengadah.

"Tuh uangnya! Sisanya ditabung ya!"

Suasana langsung sunyi. Angin berhembus lirih dan daun-daun tambah berguguran sehingga persediaan makanan mereka makin berlimpah. Tak ada satupun yang membuka suara, bahkan Arthur pun bungkam.

"Kok diam?" pikir Ludwig, "Jangan-jangan aku harus ngasih duit beneran. Mampus!" Ludwig jadi kepikiran, "Ah, lebih baik aku kasih uang beneran. Siapa tahu mereka mau disuap buat ngeakhirin permainan ini," Ludwig pun hampir mengeluarkan dompetnya saat Arthur berbicara.

"Ah… bosen ya ternyata main ginian," katanya yang disambut ucapan syukur dari yang lain.

"Baru nyadar lo?!" batin yang lain.

"Lebih baik kita main dokter-dokteran aja!" usul Arthur yang langsung disambut oleh aksi tindakan angkat tangan oleh Ivan.

"Ahahaha… ide bagus," kata Ivan yang membuat lesu para siswa yang lain. Kalo Ivan setuju, gak ada cara buat menolak, "Tapi lebih bagus lagi kalo kita diam aja."

"Horey!" bahkan Gilbert pun ikut bersorak dan berterima kasih pada Ivan dalam hati.

"Gak asyik ah kalo diam," kata Arthur, "Ah, bahkan main mayat-mayatan lebih seru!"

"Gimana kalo elo yang jadi mayat dan kita trus ngelayat dan pulang ke kamar masing-masing sementara elo di sini," usul Ludwig melampiaskan rasa sensinya.

"Ah, gimana kalo kita main kontes coverboy? Aku yang jadi pesertanya dan kalian yang jadi jurinya!" usul Gilbert.

"Gak asyik banget!" ucap Arthur blak-blakan sambil memalingkan wajahnya, "Masa juri-jurinya lebih ganteng daripada pesertanya?"

"Udah-udah. Kalian berdua sama aja," sela Alfred kesal, "Yang satu narsis, yang satu alisnya tebal."

"Gak nyambung, oi," kata Arthur tersinggung.

"Errr… bagaimana kalo untuk mengisi waktu luang sekarang, kita ceritain cerita horor yang kita tahu atau alami aja?" usul Tino menengahi.

"Waktu luang?" Gilbert memandang Arthur, "Elo jadi KetOs masih punya waktu luang buat nyantai-nyantai ngerumpi gini?"

"Elo juga jadi calon satpam gak belajar ngejaga sekolah!" balas Arthur pada Gilbert yang notabene adalah anggota senior PKS.

"Udahan," kata Tino sabar, "KetOs pun perlu waktu luang untuk refreshing."

"Hm!" Arthur dengan bangga mendekap kedua tangan di depan dada karena untuk pertama kali dalam hidupnya, ada seseorang yang membela dia.

"Begitu juga dengan calon satpam," kata Tino yang langsung meralat ucapannya, "Maksud Mama, calon tentara," sambung Tino yang karena masih terbawa suasana permainan, tanpa sadar menyebut dirinya 'Mama' padahal permainan keluarga-keluargaan mereka sudah lama berakhir.

"Oke, mulai dari aku, ya!" kata Alfred semangat sembari langsung duduk bersila di tanah di depan Ludwig dan Tino yang tanpa sadar masih duduk berdampingan di kursi panjang. Dan dengan terpaksa karena tidak ada kerjaan lagi, Arthur, Ivan, dan Gilbert pun ikut duduk di atas tanah.

"Jadi… begini ceritanya…" ucap Alfred. Kemudian dia berdehem untuk menghilangkan dahaknya, "Waktu itu… aku sedang membuat hamburger…" ucapnya dengan wajah biasa-biasa saja, "Kemudian telepon pun berdering…" sambungnya dengan ekspresi yang sedikit seram, "Dan aku pergi meninggalkan hamburgerku untuk mengangkat telepon…" dia pun menghentikan kalimatnya untuk mendramatisir. "Saat aku mengangkat teleponnya, telepon itu mengeluarkan suara 'tut… tut… tut…'. Aku sudah mulai merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres…" katanya.

Saat Alfred berhenti bercerita, ia baru sadar bahwa semua siswa yang mendengarnya hanya melongo menanggapi ceritanya.

"Errr… mungkin itu telepon salah sambung?" kata Tino.

"BUKAN!" teriak Alfred keras dan tiba-tiba yang membuat semua langsung tersentak kaget, bahkan Tino tanpa sadar memegang lengan Ludwig yang juga tidak sadar bahwa ia telah memeluk Tino.

"Itu bukan salah sambung," kata Alfred menjelaskan, "Itu adalah telepon dari salah satu temenku, tapi karena aku terlalu lama menjawab, maka ia tutup teleponnya."

"Trus, mana bagian horornya?" tanya Arthur yang mulai bosan.

"Begini… setelah aku meletakkan kembali teleponku… aku pun kembali ke dapur. Dan ternyata apa?!" Alfred mendramatisir.

"Apa? Apa ada hantu yang nyamar jadi gue dan membuatmu terpesona?" tanya Gilbert.

"Masak hantu nyamar jadi hantu?" ejek Alfred yang merasa dari dulu sensi ama Gilbert karena kenarsisannya, "Lebih parah! Oh, man! Hamburgerku…"

"Kenapa?" tanya yang lain mulai tertarik.

"Hamburgerku menghilang secara mistis!!" pekiknya. "Dan saat aku mencarinya, aku menemukannya di tong sampah!! Horor banget, kan?!" Alfred sampai memegang kedua pipinya sendiri.

"Itu bukannya horor," kata Arthur, "Tapi hidayah."

"Maksud?!"

"Udah-udah. Sekarang giliranku buat cerita!" kata Gilbert.

"Silahkan, Gilbert-kun," kata Ivan sembari tersenyum.

"Waktu itu… hari kamis malam. Aku ada di kamarku. Sendirian. Yang lain pada keluar asrama untuk menghadiri pesta seseorang."

"Trus?" tanya Tino.

"Dan waktu malam itu, sebelum aku tidur, aku ingin membersihkan wajah awesomeku ini. Dan ternyata saat aku melihat kaca…"

"Ada hantu di belakangmu?"

"Oh My God!!" teriak Gilbert heboh, "Saat aku melihat kaca, ada seekor burung di kepalaku!!"

"Bukannya dari dulu?" tanya Ludwig gak tertarik.

"Hah? Masak sih?" tanya Gilbert, "Gak mungkin. Burung itu muncul secara tiba-tiba dan mistis! Horor banget tuh!"

"Masak kamu gak tahu? Selama ini gak pernah ngaca yah?" tanya Alfred.

"Aku kan awesome banget, buat apa ngaca," jawab Gilbert.

"Gak pernah ngaca? Pantesan gak pernah nyadar diri," kata Arthur.

"Ya udah, karena burung itu muncul secara mistis dan kupikir akan membawa keberuntungan, aku biarin aja dia hidup di atas kepalaku," kata Gilbert.

"Sekarang giliranmu, Ludwig," tunjuk Alfred.

"Errr… cerita horor?" Ludwig keringat dingin, "Sekarang pun aku lagi merasakan hawa horor entah darimana," ujar Ludwig yang masih tanpa sadar memeluk Tino.

"I'll fuckin' kill 'm," kata seseorang yang masih juga nongkrong di atas pohon nangka di dekat sana itu.

"Sekarang giliranku!" kata Ivan mengacungkan tangan.

"Kamu gak perlu cerita pun udah kerasa kok suasana horornya," batin semuanya.

"Waktu itu… aku mampir ke rumah salah seorang temanku. Dan di depan rumah itu ada sebuah patung seorang cewek yang membawa guci. Awalnya sih aku perhatiin gak ada yang aneh. Trus…"

"Trus mata patung itu ngelirik kamu?" tanya Arthur gak sabar yang kebanyakan nonton film horor buatan suatu negara di Asia Tenggara.

"Bukan. Gak mungkin ada lah hal kayak gitu di dunia ini," kata Ivan tersenyum pada Arthur.

"Ini kan cerita horor. Jadi ya mungkin aja, kan?" batin Arthur tersinggung.

"Tiba-tiba… WOAH! Dari dalam guci itu, muncul dan mengalirlah air dengan ajaibnya!" kata Ivan, "Horor banget kan? Ahahaha…."

"Kalo horor kenapa kamu ketawa?" batin semuanya yang sweat dropped baik pada tingkah Ivan maupun pada cerita horornya yang lebih tepat disebut cerita pengalaman katroknya itu.

"Karena aku takut, ya udah, aku hancurkan saja patung cewek itu dengan magical stick ini!" Ivan mengambil sebatang pipa air yang sejak tadi ia sandarkan di pohon beringin, "Dan aku berhasil! Guci itu udah gak mengeluarkan air lagi! Yay!" ia mengacungkan jari membentuk tanda peace.

Yang lain sweat dropped dan mengasihani siapapun orang yang menjadi pemilik patung malang itu.

"Hal yang mistis dianggap gak ada. Hal yang biasa banget dianggap mistis," batin Arthur yang masih tersinggung pada Ivan.

"Serem kan? Ahahaha…"

"Oh… seram…," kata yang lain dengan tidak semangat dan terpaksa.

"Sekarang giliran…."

"Aku belum selesai!" Ivan memotong ucapan Arthur, "Ini ceritaku setelah pulang dari rumah temanku itu."

"Ya, silahkan lanjutkan," kata Arthur pasrah.

"Waktu itu aku udah memasuki asrama. Hari udah malam dan lampu-lampu pada dimatikan karena semua udah tidur. Waktu aku melewati lorong, aku merasa bahwa ada yang mengikutiku. Karena di lorong waktu itu gelap banget, aku tidak bisa melihat dengan jelas." Kata Ivan.

"Kayaknya sekarang, ini baru beneran horor deh," batin Tino.

"Waktu aku berbelok ke tikungan lorong, aku melihat sekelebat bayangan di belakangku."

"Oh! Hantukah itu?" tanya Alfred.

"Entahlah. Aku tidak tahu. Yang jelas aku merasa takut waktu itu. Saat itu aku sendirian di sana dan suasana sepi sekali karena udah larut malam."

"Trus kau lari?"

"Tidak. Karena aku takut, dan dengan refleksnya aku berbalik badan dan mengayunkan magical stick milikku ke arah belakangku."

"Mana bisa hantu dipukul manusia?" sanggah Gilbert.

"Tapi bisa kalo dipukul dengan magical stick ini," Ivan memegang pipa kran air itu, "Dan bukti bahwa aku berhasil mengalahkan hantu itu adalah saat terdengar bunyi 'prang!' yang cukup keras di suasana sepi itu."

"Woah! Pasti hantu itu jadi serpihan-serpihan kecil kayak monster-monster di Power Rangers," kata Alfred.

"Dan akupun langsung berjalan cepat menuju kamar dan tidur. Saat keesokan harinya, waktu aku telah bangun dan berjalan menuju kamar mandi, aku melewati lorong malam sebelumnya aku bertemu dengan hantu itu. Dan kalian tahu apa? Ada serpihan-serpihan kaca kecil di lantai!"

"Itu mungkin jiwa roh yang malam sebelumnya kamu kepruk," kata Alfred.

"Mungkin juga," kata Ivan.

"Kamu sudah membakar serpihan kaca itu?" tanya Arthur tiba-tiba.

"Tidak tentu saja," kata Ivan, "Aku langsung menginjaknya dan pergi ke kamar mandi. Ahahaha…"

"KAU HARUSNYA TIDAK PATUT TERTAWA BEGITU!!" Arthur berdiri sambil menunjuk Ivan.

"Setelah ini kupikir kita akan kehilangan KetOs kita," batin Ludwig.

"Eh? Kau tidak suka?" tanya Ivan.

"Nyawamu terancam Ivan (meski itu bagus bagi kami semua)!" kata Arthur pura-pura cemas.

"Nyawamu yang sedang terancam, Idiot!" batin Alfred.

"Kenapa?" tanya Ivan.

"Karena kau membiarkan serpihan kaca itu tanpa membakarnya, berarti kau membiarkan roh hantu (?) itu berkeliaran di tempat di mana ia dimusnahkan. Dan kau tahu? Dia akan membalas dendam pada siapapun yang membuatnya sirna!!! Oh Ivan! Kau akan mati!!" kata Arthur yang tanpa sadar menyumpahi kematian Ivan.

"Udah jangan didengerin. Dasar sok dukun," kata Alfred.

"Eh! Jangan membantahku dalam hal mistis ya, brengsek!" kata Arthur sambil menunjuk Alfred. Lalu Arthur kembali menatap Ivan, "Satu-satunya cara agar selamat, kau harus menangkap hantu itu dan melakukan ritual di tempatmu memusnahkan hantu itu. Supaya kita bisa mengurung roh itu ke alamnya yang abadi di sana," Arthur menunjuk ke atas dan diikuti oleh dongakan kepala yang lain. Bahkan burung di atas kepala Gilbert pun ikut mendongak heran.

"Ah? Ahahahaha…"

"KAU TAK HARUSNYA TERTAWA!!!" teriak Arthur.

"Tentu saja aku tertawa karena aku bahagia, karena kalian mau membantuku untuk menangkap hantu itu dan melakukan ritual. Iya kan, da?" ucap Ivan dengan aura berwarna ungu yang mengitarinya.

Dan mau tidak mau, semua mengangguk setuju. Kecuali Arthur dan Ivan, semua bahkan menyumpahi Arthur lah yang akan dibunuh hantu apapun yang akan mereka temui nanti.

=_=_=_=_=

Omake

"Hey, Matthew, kenapa kau ada di sini? Semua sudah kumpul makan malam," sapa Francis saat hendak melewati kamar Matthew yang pintunya terbuka dan menampakkan Matthew yang terduduk sambil menunduk di tepi ranjangnya bersama Kumajirou.

"Tidak," jawabnya.

"Kenapa?"

Matthew pun mendongakkan kepalanya untuk menatap Francis yang ada di depannya meskipun pandangan Matthew agak blur.

"WOAH!" Francis terkejut bukan main saat melihat kacamata yang dipakai Matthew hanya tinggal bingkainya saja tanpa kaca. Bukan hanya itu. Yang paling membuat Francis terkejut adalah sebelah mata Matthew yang bengkak membiru seperti habis dihantam benda tajam.

"Apa yang terjadi denganmu?!" tanya Francis.

"Aku sendiri juga tidak tahu," kata Matthew.

=_=_=_=_=

Yuki: Ahahaha… *ala Ivan* ngerti maksud omakenya nggak, ya?

Dani: Ya jelas lah! Jelas banget! Kalo nggak ngerti, kalian kepruk aja komputer kalian masing-masing menggunakan magical stick. *menunjukkan pipa keran yang dicabut dari belakang rumah*

Yuki: Mungkin ini bakal jadi 3shot. Sekitar gitu deh. Pokoknya bikinnya ini musti selese sekaligus karena gak setiap hari bisa nginep di rumah Dani (yang awesome--inserted by Dani) gini.

Dani: Ya udah, mau tahu gimana para chara APH memburu hantu itu dan bagaimana besarnya kekuatan magical stick dalam menumpas kejahatan (meski yang punya adalah sumber kejahatan abadi)? Siapakah orang yang nangkring di atas pohon nangka? Dan siapa yang ternyata membuang hamburger Alfred ke tong sampah? (yang terakhir ini gak bakal pernah dibahas lagi di chapter berikutnya) Seperti kata Arthur, itu semua adalah hidayah.

Yuki: Auf wiedersehen!

Dani: Ha det!

Yuki & Dani: Review yaaa!!! *nodongin magical stick*