"Bagaimana dengan film layar-lebar terbaru anda, Miss?"

"Apakah anda akan menandatangani kontak dari M.E.?"

"Miss Granger, apakah anda memiliki kekasih rahasia?"

"Miss Granger, Miss Granger.. Tunggu!"

Colin membukakan pintu mobil tepat waktu. Hermione berhasil menghindar sebelum cakar-cakar itu mengenainya. Memutar mata sebal, ia benar-benar tidak habis pikir betapa gigihnya makhluk-makhluk itu meninju-ninju kaca mobil untuk sepatah kata saja.

Maksudnya, tidakkah orang tua mereka mengajarkan untuk tidak mencampuri urusan orang lain? Bukankah tidak seharusnya mereka menanyakan masalah pribadi seperti itu?

"Hermione, lebih baik kau alihkan pandanganmu dan belajarlah tersenyum. Akan bagus jika kau bisa terlihat tulus saat mereka menawarkan kontrak nanti."

Ia mendengus.

...

a Dramione fanfiction written by GinevraPutri:

Burn

Harry Potter © J.K. Rowling

...

"—and we gonna let it burn, baby."

...

[SATU]

"Batalkan kontrak itu. Aku lelah."

Hermione mengempaskan tubuhnya disofa. Melepaskan sweater asal-asalan, ia menyalakan AC dan menatap wajah manajernya.

Beku.

"Colin, kau dengar aku? Batalkan-kontrak-itu," ulangnya tajam.

Yang diajak bicara malah mengerjap kaget. "Hermione, kontrak ini bernilai 200 juta dollar."

Hermione menaikkan sebelah alisnya. "Siapa peduli."

"Oke, aku peduli. Kita semua peduli padamu. Kontrak ini adalah kontrak paling besar yang pernah kau terima. Kau akan bermain dalam film layar lebar kelas dunia, yang diangkat dari sebuah novel best seller internasional. Kontrak ini akan melambungkan karirmu. Kau akan jadi bintang di seantero jagad raya ini!" Colin memandangnya tak percaya.

"Aku sudah cukup terkenal, Colin. Aku lelah," balasnya enggan.

"Cukup? Cukup terkenal, Hermione? Tak lama lagi kau akan dilupakan! Dicampakkan! Kau harus punya sesuatu yang baru— atau penggemarmu akan kecewa, " ucap Colin tak sabar. "200 juta dollar. Aku tahu kau tak peduli soal uangnya, tapi pikirkan. Kau akan dikenal semua orang.. dari segala usia. Semua akan tahu.. bahwa kau, Hermione Jean Granger.. adalah aktris paling berbakat yang pernah mereka ketahui. Dunia internasional akan bertekuk lutut padamu, Hermione.."

Well, Hermione tahu Colin bisa meyakinkan banyak orang dengan mudah.

"Oke, oke. Kemarikan, aku harus tanda tangan dimana?" dengusnya akhirnya. Colin tersenyum lebar, memberikan beberapa lembar kertas.

"Kau tahu, aku akan membunuhmu kalau dunia internasional tidak bertekuk lutut padaku, Colin," ancamnya.

Colin tertawa.

"Aku serius."

Tapi efek dua kata itu malah membuat tawa Colin semakin pecah. Hermione mencebik kesal.

...

"Oke, BREAK!" teriak si sutradara.

"Kau menakjubkan," Colin menepuk pundaknya.

Hermione memutar mata. "Aku akan tersanjung kalau kau tidak mengatakan hal itu setidaknya 8 kali hari ini."

"Baiklah. Kau selalu menakjubkan," ralat Colin.

"Dasar payah," Hermione memutar mata lagi.

Colin mengangkat bahu. "Kau terlalu sempurna, Hermione. Sulit untuk tidak memujimu."

"Oh, berhentilah merayu."

"Aku tidak merayu."

"Bohong."

"Aku tidak bohong."

"Diamlah, "

"Oke, aku diam."

Oh, demi Tuhan.

Hermione tak tahu bagaimana bisa cowok itu—Colin, maksudnya—menjadi seorang manajer artis? Sejak mereka masih bersekolah dulu, Colin memang selalu pintar dan berbakat, kendati terkadang begitu cerewet hingga membuat Hermione kesal. Tetapi sekarang.. manajer artis? Bahkan manajernya! Ini... ini seperti membayangkan kalau di dunia ini ada vampir, atau penyihir!

Terlalu mustahil

Ah. Seseorang pernah mengatakannya.

...

Malam yang cerah. Bulan menghiasi angkasa malam. Bintang-bintang ikut terpaku menyaksikan dua insan Tuhan yang tengah beradu argumen, berusaha membongkar rahasia takdir yang sebenarnya: alasan mengapa mereka ditakdirkan untuk saling menemukan, saling merasakan, dan akhirnya saling mengasihi.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Granger—"

"Kenapa kita harus berpisah, Malfoy? Kenapa kau ingin aku pergi dari kehidupanmu?"

"Karena kita tidak ditakdirkan untuk bersama." Pemuda itu membalas, dalam satu tundukan. "Terlalu mustahil. Terlalu tidak mungkin."

"Apa kau gila?" Sang gadis menggebrak meja. Api berkobar di matanya. "Bagaimana mungkin kau mengatakan semua yang telah terjadi itu mustahil, Malfoy? Bagaimana mungkin kau mengatakan bahwa kita adalah hal yang tidak mungkin? Bagaimana mungkin kau berpikir begitu, setelah apa yang telah kita lewati? Setelah apa yang telah kita bangun selama ini.. setelah semuanya.. setelah perasaan yang telah kita pertahankan sampai sejauh ini?"

Hening.

"Kenapa? Kenapa kau ingin semuanya berakhir, Malfoy? Tatap aku!"

Si pemuda mengumpulkan seluruh kekuatannya yang tersisa dan menggeleng keras. "Tidak."

"Tidak? Apa maksudmu dengan 'tidak'?"

"Maksudku, Granger, semua yang pernah terjadi di antara kita adalah kesalahan! Seharusnya itu tidak pernah terjadi! Seharusnya kita tidak pernah dipertemukan oleh takdir! Sekarang, aku ingin kau lupakan saja. Lupakan segalanya, lupakan aku. Lupakan, apa pun itu yang pernah terjadi tentang kau dan aku. Lupakan saja, Granger.. biarkan berlalu.. dan mulai kehidupanmu lagi. Mulai saja dari awal."

Seluruh penghuni cafe melongo, tepat ketika si pria melangkah keluar ruangan, diikuti gadisnya yang tampak seperti pasien rumah sakit jiwa.

"Berhenti, Malfoy! Berhenti!" jerit sang gadis, menahan aliran air matanya.

Tapi percuma saja. Yang diharapkan untuk berhent malah tak mendengarkan. Dengan segala ego, si pemuda melangkah semakin cepat.

"Berhenti! Nyamohon, berhenti! Draco, please.."

Nama itu.

Si pemuda mendadak kehilangan keseimbangannya. Lututnya lemas, pandangannya dikaburkan oleh sesuatu— tidak, ia tidak akan menangis. Namun, perlahan.. sangat perlahan..

Si pemuda membuka mulutnya, menyuarakan kekosongan dalam hatinya.

"Jangan—"

Terlambat. Sang gadis telah berlari dengan keputusasaannya, menghampiri si pemuda yang tidak bergeming di tempatnya.

"Aku.. mencintaimu."

Sudah cukup. Sudah cukup si pemuda menahan diri untuk malam ini. Akhir dari segala permainan kejar-kejaran yang bodoh, yang terpaksa terjadi

—si pemuda memeluknya. Memeluk sang gadis, menghirup aromanya, menyelidiki perasaannya, dan merasakan kehadirannya, kehangatannya..

Namun semua kebahagiaan dan rasa dan cinta itu tidak permanen. Tidak selamanya indah. Di mana ada pertemuan, di situ ada perpisahan. Di mana ada kisah cinta, di situ ada sakit hati.

Takdir sungguh-sungguh hebat.

Pelan tapi pasti, pelukan itu semakin merenggang. Kehangatannya semakin menghilang dan teredam, seiring dengan tangisan sang gadis yang mulai—untuk kesekian kalinya—mengeras.

"Granger, please... Dengarkan aku." Kedua tangan itu menangkup pipi sang gadis yang masih terisak.

Si pemuda menghela napas, kemudian tersenyum. Entahlah, sebenarnya tersirat banyak kepedihan dalam senyum itu.

"Ini.. ini yang terbaik untuk kita."

Salah.

Kalimat itu benar-benar salah.

"Untuk kita?" bisik sang gadis. "Untuk kita, Malfoy? Bukannya hanya untukmu?"

Layaknya tersambar petir, si pemuda merasakan aliran listrik menjalari tubuhnya, atau hatinya lebih tepat.

"Tidak. Tidak, Hermione. Bukan untukkku. Kau tak akan pernah mengerti.. tak akan.." Si pemuda menggeleng kuat-kuat.

Gila. Ini sungguh gila.

"Oh ya?" Sang gadis berbisik lagi. Tapi bisikan itu menambah rasa lemas pada lutut si pemuda. Bisikan itu menyiratkan rasa sakit, benci, dan cinta yang sangat dalam, yang telah tergores oleh luka bodoh. Sial.

"Benarkah, Malfoy? Aku tak akan mengerti?" Sang gadis sepertinya sangat menikmati luka yang dia goreskan ke hati si pemuda, dengan cara meneruskan bisik-berbisik itu. Lebih sakit, lebih puas rasanya.

Si pemuda mengganguk lemah. Tangannya mengelus pipi pucat sang gadis, yang hampir meleleh, akibat sudah terlalu basah oleh air mata yang terus mengalir.

"Kalau begitu, jelaskan! Jelaskan padaku!" Sang gadis telah kehilangan kesabarannya. Dengan kebencian yang membara, dia mendorong dada si pemuda, melepaskan tangan yang menangkup kedua pipinya, dan dengan kasar..

Sang gadis menamparnya.

"Jelaskan! Jangan membodohiku dan berhenti mempermainkan perasaanku! Bagaimana mungkin kau menginginkanku melupakan semuanya? Bagaimana mungkin kau mengira aku akan berhasil? Bagaimana kau tahu, apakah aku akan berhasil melupakanmu atau tidak?" Gadis itu menjerit dan menjerit hingga suaranya nyaris tak terdengar. Bergelut dengan keputusasaannya kini, ia membiarkan tetes-tetes air mata yang terjatuh menjadi tak berarti sama sekali.

"Kau pasti akan sanggup melupakannya.. kau.. kau pasti akan sanggup.. t-tapi bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan perasaanku yang telah kau hancurkan? Apakah kau peduli?" Sang gadis mengguncang-guncangkan tubuh si pemuda.

"Coba lihat Malfoy, betapa egoisnya dirimu!"

Malam itu, mendadak semuanya berakhir. Sang gadis ambruk, dengan segala kesakitan dan kepedihannya, ke dalam dekapan si pemuda.

"Aku harus, Hermione.. Aku harus melakukan ini. Aku harus meninggalkanmu. Kita memang tak ditakdirkan untuk bersama, Hermione. Tidak.."

Kemudian sang gadis menjamin, dia tak akan pernah bisa melupakan detik-detik saat si pemuda mencium bibirnya dan membisikkan kata-kata yang selalu ingin dia dengar. Sang gadis membalas ciumannya. Mereka begitu terjerumus ke dalam permainan takdir. Lidah keduanya saling menjelajah, dan menemukan— mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Akhir dari penantian gila itu, si pemuda melepaskan ciumannya, dan pergi begitu saja. Pergi menjauh—sangat jauh—dan tak akan pernah kembali ke dalam kehidupan sang gadis. Hal terakhir yang diketahui sang gadis, ia masih bisa merasakan rasa bibir si pemuda di bibirnya dan mendengar 'aku mencintaimu' di saraf telinganya, sebelum dirinya terbangun di kamar, dan terisak pilu, lagi dan lagi.

...

"Hermione, break sudah selesai. Saatnya adegan ke-12."

Colin membuyarkan memori yang masih tersaji hangat— baru saja selesai diproyeksikan. Hermione tersenyum kaku dan mengangguk, berusaha mengubur hidup-hidup ingatan kelam itu. Kendati jujur saja, bukan itu bagian terburuknya.

Yang paling buruk?

Ialah sang gadis dalam kisah itu.

Hermione sudah mengerahkan segenap kekuatannya untuk memulai hidup yang baru. Segalanya, bahkan sikap dan kepribadiannya tapi mengapa? Mengapa semuanya sia-sia?

Alasannya sejauh yang ia tahu dan sadari hanya satu.

Karena mungkin, walaupun Hermione berusaha sampai nyaris mati pun, Draco Malfoy tetap, dan akan selalu menjadi satu-satunya, pria yang ia cintai melebihi nyawanya sendiri.

...

To Be Continued

...