Author's Notes: Halo semua. Another-of-Me kembali lagi! :D (Kenal ga? Enggak tuh.) Hiks.
Setelah menulis dua fic yang head-shot (Kamu hantu!) eh salah, one-shot, kali ini saya mencoba menulis fic yang berseri. (Sinetron? Bosen!) Hiks, lagi.
Ini adalah cerita AU, keluar dari hasil imajinasi saya, sehingga kalian semua akan bingung sekali membacanya.(Lalu kenapa masih ditulis juga?) Karena gw pengen menulisnya! Puas? (Enggak. :D) Hiks! Dan semoga berkenan di hati para pembaca.

Akhir kata, selamat membaca.


Summary: Saat kau belajar bekerja sama, kau punya sahabat. Saat kau belajar melindungi dan mengasihi kau punya keluarga. Namun, saat kau belajar menentukan pilihan untuk masa depanmu? Kau hanya punya dirimu, hidupmu sendiri.

Genre: Family dan Comfort.

Rating: T

Disclaimer: Semua karakter Tekken milik Namco.


Sahabat Keluarga dan Hidupmu
oleh Another-of-Me

.

Chapter 1: Berlari

.

Berlari adalah salah satu cara untuk menyelamatkan diri dari bahaya.

Berlari adalah jalan keluar termudah dari masalah.

Berlari adalah hal terakhir yang dipilih jika masalah tidak mampu diselesaikan dengan kepala dingin.

Maka, berlarilah.

.

Seorang remaja sekolahan berambut spike berwarna hitam berlari menyusuri lorong sempit dan gelap. Seakan tidak peduli dengan sekitarnya, ia terus menatap kedepan dan berlari. Ia menabrak, menendang, mendorong tiap benda yang menghalangi lajunya. Nafasnya tersengal-sengal karena sudah berlari cukup lama dan ditemani hujan deras yang mengguyur sekujur tubuhnya.

Sesekali ia terpeleset karena jalan yang licin. Tubuhnya oleng, lalu menabrak dinding tinggi di sampingnya dan diikuti jatuh terjelembab ke jalan sempit serta basah itu. Dengan tidak mempedulikan rasa sakit di tubuhnya, ia segera berdiri kembali. Berlari. Tidak mau mengulur waktu lebih lama dengan mengasihani rasa sakitnya.

"Kembali kau, brengsek!"

Ia melirik ke belakang dan melihat dua orang yang sedikit lebih tua darinya sudah berbelok di ujung jalan dan mulai memasuki lorong sempit yang dilaluinya. Mereka tampak sulit berlari sambil berdesak-desakan. Belum lagi ditambah dengan benda-benda yang berserakan dan jalan yang basah. Mereka saling dorong, jatuh menimpa lainnya dan tambahan mengumpat di setiap teriakan karena kesakitan.

Sang remaja tidak sadar kalau ia menoleh ke belakang sambil berlari, sehingga menabrak pagar kawat di depannya. Ia sudah sampai di ujung lorong yang berakhir tanpa jalan keluar lainnnya.

Ia mulai panik. Ia mencoba mendorong, menarik, dan menggeser pagar itu, namun tak satupun membuat pagar kawat bergerak sesuai keinginannya. Pagar kawat itu terlalu kokoh baginya. Hanya ada satu cara agar ia mampu keluar dari lorong itu: Ia harus memanjatnya.

"Hei, sini kau!"

Tak ada waktu lagi, kedua orang itu semakin mendekat dan langkah mereka kian cepat. Seperti harimau yang sedang berburu mangsa. Semakin dekat, semakin cepat. Ia segera melompat, meraih tepi pagar dengan kedua tangannya, dan kakinya berusaha menginjak pagar kawat untuk membantu seluruh tubuhnya naik.

Gagal. Ia terpeleset dan jatuh terduduk. Auw! Sakit sekali, namun lagi, ia tak boleh mempedulikannya.

Usaha kedua. Kali ini ia melompat, meraih tepi pagar dengan kedua tangannya dan langsung menekuk kedua sikunya sehingga lehernya sejajar dengan tepi pagar. Bertumpu pada tangan kirinya ia segera memindahkan siku kanannya ke sisi seberang lalu menaikan kaki kanannya untuk meraih tepi pagar. Dengan tiga tumpuan di tepi pagar, ia mengangkat sisa tubuhnya ke atas dan menjatuhkannya ke sisi seberang pagar. Lagi-lagi sakit menyelimutinya.

Ia melihat sekelilingnya. Pemukiman. Ia aman di pemukiman. Kedua orang tadi tidak akan berani menyerangnya di tempat yang penuh dengan penduduk. Beberapa orang tampak heran melihat dirinya yang baru saja melompat dari pagar kawat, lainnya tak peduli dan terus melakukan aktifitasnya masing-masing. Terima kasih kepada hujan yang deras karena menghalangi pandangan orang-orang untuk melihat siapa dirinya.

Benturan pagar kawat membuat perhatiannya kembali kepada dua orang yang mengejarnya. Yang satu sedang memukul-mukul pagar, seakan tidak bersedia kehilangan mangsanya, yang lainnya tengah bertopang pada kedua lututnya supaya tidak kehilangan keseimbangannya. Keduanya terengah-engah.

"Kau boleh lolos, berengsek, tetapi kau akan kembali lagi kepada kami," sahut anak laki-laki yang berada di depan pagar, "kau mau tahu kenapa?" lanjutnya sambil menyeringai dan melirik temannya yang di belakang. Dengan segera, anak laki-laki satunya maju dan mengangkat benda yang dipegangnya.

"Oh tidak…" gumam sang penyelamat diri sambil melihat dompetnya yang berada di tangan orang lain. Tanpa sadar ia segera merogoh saku celana dan jaketnya untuk membuktikan bahwa yang dilihatnya tidak benar.

"Oh ya," balas remaja di belakang pagar sambil menyeringai.

"Rasanya tak mungkin jika kau ikut ujian semester tanpa membawa kartu pelajar," kata remaja pemegang dompet sambil membukanya lalu membaca kartu pelajar yang terdapat di dalamnya, "apalagi di sekolah Mishima, Mishima High School, hmm. . . Jin Kazama."

Mendengar namanya disebut, Jin segera berlari kembali di bawah guyuran hujan. Ia harus pergi dari tempat itu. Ia tak mau berlama-lama bersama kedua orang itu. Ia kembali pada pelariannya.

Kedua orang itu langsung meledak tertawa dan yang satu berteriak. "Jangan lupa untuk kembali lagi ya. Kami dengan senang hati menunggu ke pulanganmu!"

"Kita akan bersenang-senang!" balas temannya. Setelah puas tertawa mereka kembali menyusuri lorong gelap, tempat mereka.

Beberapa orang yang menyaksikan itu mulai berbicara satu dan lainnya.

"Lagi-lagi murid dari sekolah Mishima dapat masalah dengan berandal jalanan."

"Kasihan anak itu."

"Siapa namanya ya?"

"Kita harus lapor polisi!"

"Dengan bukti apa? Hanya sebagai saksi mata?"

"Berkali-kali polisi mencoba menangkap mereka, tetapi selalu lolos."

"Tak satupun ada yang kita kenal."

"Anggap saja anak itu sedang kena sial."

". . . kau benar. . ."

"Iya! Benar."

"Benar!"

Seperti biasa. Orang-orang menyaksikannya, orang-orang membicarakannya, orang-orang mengasihaninya, lalu orang-orang mengakhirinya begitu saja…


-Jin POV-

Kenapa begini?

Kenapa begitu bodohnya aku melakukan itu? Bukankah hal ini sering aku lakukan? Cukup pergi, tinggalkan hal yang akan menyusahkanku dan lari secepat mungkin meninggalkannya.

Lalu kenapa aku melakukannya?

Lihat hasilnya Jin Kazama. Sekarang kau kehilangan dompetmu, dan yang lebih penting lagi, kau kehilangan kartu pelajarmu. Sial! Aku tidak bisa ikut ujian tanpa kartu pelajar. Jika aku membuat yang baru, aku harus ke tempat guru BP. Jika aku berurusan dengan guru BP, pasti ujung-ujungnya aku harus panggil orang tua. Aku harus mengundang orang tuaku, dan mengundang orang tuaku adalah masalah besar!

Terutama ayah…

Argh, tak seharusnya aku berlagak jagoan! Hanya karena anak kecil itu di 'gencet' oleh dua berandal tadi, lalu aku harus turun tangan? Menolongnya? Tidak! Bukan urusanku. Anak itu bukan adikku. Anak itu bukan saudaraku. Anak itu bukan salah satu anggota keluargaku. Aku bahkan tidak mengenalnya.

Bu…bukan tanggung jawabku. Iya kan…?

Adalah salah anak itu kenapa bisa berurusan dengan dua berandal tadi. Mungkin saja anak itu yang memulai masalah terlebih dahulu kepada mereka. Sudah tahu bertubuh kecil, tetapi malah bikin onar dengan orang yang tubuhnya dua kali lebih besar darinya. Kalaupun harus ditolong, orang yang seharusnya menolong adalah orang tuanya kan?

Iya kan? Menjadi kesalahan orang tuanya, mengapa mereka tidak berada di sampingnya, menjaganya. Jika anak itu terluka pun, sepenuhnya adalah salah orang tuanya. Kenapa tidak mendidik anaknya dengan baik?

Anak adalah tanggung jawab orang tua kan? Maka...aku tak perlu menolongnya.

Iya kan…

Pasti begitu!

Lalu…kenapa. . .?

Kenapa ada hal yang terasa 'janggal' di dada?

Oh, kumohon hentikan pula hal aneh yang terus berputar di kepalaku ini. Aku harus melupakannya. Aku harus meninggalkan perasaan 'sok jagoan' ini. Aku harus menutup perasaan ini. Ini bodoh, ini tolol, dan ini sangat menganggu hidupku! Aku tak mau terbebani dengan masalah baru.

Tidak mau tidak mau tidak mau tidak mau tidak mau tidak mau tidak mau tidak mau tidak mau

"Jin?"

Tid. . . ibu?

"Jin, kenapa kamu hujan-hujanan begini?"

Ibu? Aku dima. . .

"Ayo cepat masuk, nanti kamu sakit."

Rumah? Aku sudah sampai rumah? Sejak kapan?

"Ayo, Jin."

"I,iya bu."

"Cepat mandi dan ganti bajumu. Ayah sudah menunggumu dari tadi."

Oh tidak…


-Normal POV-

"Ia berdiri di depan rumah, meremas kepalanya, di bawah guyuran hujan, dan baru sadar setelah kau memanggilnya?" Kazuya duduk di sofa ruang keluarga sambil menatap istrinya dengan bingung. "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Aku tidak tahu," Jun berjalan mendekati suaminya lalu menyodorkan mug yang terisi dengan kopi panas. Musim hujan memang lebih menyenangkan bagi pasangan suami istri itu sambil menikmati kopi panas.

Kazuya menerimanya namun tidak melepaskan pandangannya terhadap istrinya. Jun menghelai nafas lalu duduk di samping Kazuya.

"Mungkin ada sesuatu yang dipikirkannya saat pulang, sampai-sampai ia lupa menggunakan payungnya."

"Atau ia kena masalah di jalan," kata Kazuya sambil memandang mug di tangannya.

"Sayang, janganlah kau berfikir seperti itu," Jun menggenggam lengan Kazuya sambil mengngerutkan dahinya namun menatapnya lembut, "belum tentu ia kena masalah."

"Ya, mungkin. Atau ia memang pembuat onar," kata Kazuya, lagi.

"Sayang."

"Kau bilang seragamnya berlumuran lumpur dan celananya robek seperti jatuh terseret. Bisa jadi ia membuat onar kan? Jangan-jangan ia berkelahi dengan berandal jalanan," tukas Kazuya dengan nada suara yang lebih tinggi.

"Sayang. . . ," Jun mencoba mencoba menyapanya lagi. Sebelum ia mampu meneruskan kalimatnya. Suara piring yang diletakan di bak cuci piring mengalihkan perhatian mereka ke koridor utama.

"Ia sudah selesai makan?" tanya Kazuya sambil berdiri dari sofa empuknya.

"Ia masih lelah," Jun tahu kalau suaminya sedang dipenuhi amarah. Ia tidak mau suaminya berbicara dengan Jin dalam keadaan seperti itu.

Langkah Kazuya sangat cepat, dalam sekejap ia sudah berada di dapur. Jun mulai merasa takut, ia tidak mau ada pertengkaran, namun ia pun juga ingin tahu apa yang terjadi dengan anak satu-satunya.

Sebagai kepala keluarga, Kazuyalah yang harus bertindak. Ia harus tahu apa yang terjadi sebenarnya, semuanya.

"Jin, kita harus bicara."

Mendengar suara sang kepala keluarga, Jin segera berbalik dan berhadapan dengan Kazuya. Ia tahu ekspresi itu, penuh amarah. Entah sudah berapa kali ia melihat ekspresi itu menempel di wajah ayahnya. Terlalu sering, mungkin.

"Jawab pertanyaanku, Jin, apa yang terjadi?" tanya Kazuya.

Jin tampak ragu untuk menjawab pertanyaan itu, namun ia tetap melakukannya sambil memalingkan wajah.

"Tidak ada apa-apa."

"Tidak mungkin 'tidak ada apa-apa', Jin. Jawab dengan jujur," nada suaranya kini makin tinggi. Mendengar nada suara seperti itu membuat Jin agak takut, namun ia menggelengkan kepalanya.

"Jawab!" teriak Kazuya sambil memukul meja. Jin hampir melompat karena kaget mendengarnya.

"Sayang," Jun mencoba menyapa suaminya dengan suara halusnya, berharap itu bisa menenangkan amarahnya. Ia berdiri di ambang pintu dapur, menyaksikan percakapan sang ayah dan sang anak.

"A. . .aku. . . ," Jin sudah terlalu takut menjawab pertanyaan ayahnya, namun ia tetap mencoba menjawabnya, "a. . .aku. . .tadi terja. . .terjatuh."

"Celanamu tersobek cukup besar, kau tak mungkin hanya terjatuh, Jin. Kau pasti jatuh karena berlari. Sekali lagi, jawab dengan jujur, apa yang terjadi?"

Jin masih memalingkan wajah, kedua tangannya meremas tepi bak cuci piring yang ada di belakangnya. Di balik bibirnya, giginya bergetar karena takut dan hawa dingin yang menyelimuti dapur itu.

Jun pun menunggu jawaban dari anak tercintanya. Jari-jarinya terkait dan ditempelkan di depan dadanya. Ia berharap anaknya berkata dengan jujur dan tidak ada perdebatan, lagi.

"Apa kau jadi anak berandal, sekarang?" tanya Kazuya sambil melipat lengannya di depan dadanya.

Jin langsung memandang ayahnya. "Apa?" tanyanya heran.

"Apa kau berkelahi dengan seseorang di jalan?"

"Ayah. . ."

"Apa kau membuat onar?"

"Ayah! A. . .aku. . ."

"Sekarang kau jadi jagoan, Jin?"

"Sayang..." sang ibu mencoba menenangkan suasana yang ada namun gagal.

"Tidak! Ayah, aku. . ."

"Siapa yang kau lawan? Kenapa kau melawannya? Apa kau hanya mencari kesenangan dengan berbuat onar? Atau kau hanya ingin menjadi jagoan? Atau kau. . ."

"Cukup!" Jin sudah tidak tahan lagi.

Kali ini ia ikut meledak. "Saat aku pulang aku melihat anak kecil sedang di'gencet' oleh dua berandal jalanan. Mereka menyudutkan anak itu. Aku tak mau anak itu menjadi bulan-bulanan mereka, maka aku mencoba menghentikan hal itu sebelum benar-benar terjadi. Tetapi sebagai gantinya aku menjadi sasaran mereka! Aku berlari menyelamatkan diri, terjatuh dan itulah mengapa celanaku sobek serta seragamku kotor!"

Jin menjawab dengan penuh emosi, tanpa pikir panjang. Ia keluarkan semua perasaan yang ia pendam sejak tiba di rumah, dan berharap ayahnya mempercayainya.

Hening. Sesaat semua menjadi hening. Baik Kazuya ataupun Jun tak ada yang memecahkan keheningan tersebut. Hanya nafas pendek yang terus berulang dari Jin karena menjawab pertanyaan begitu panjang dan cepat serta dipenuhi amarah yang mewarnai ruang itu. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya tertuju pada ayahnya dan dadanya naik turun makin perlahan, mencoba mengatur nafasnya. Sampai akhirnya Kazuya berkata…

"Mengarang cerita tidak akan menyelamatkanmu dari apapun, Jin."

"Sayang?" Jun pun menatap tak percaya kepada Kazuya.

Apa? Kata Jin di dalam hati. Ia tidak percaya dengan pernyataan ayahnya.

"Benarkah yang kau katakan?"

"Sayang!"

Ayah? Mata Jin mulai memerah.

"Atau kau hanya mengarang cerita untuk menutupi kesalahanmu yang sebenarnya!"

"Sayang!"

Kenapa? Pandangannya mulai kabur karena di pelupuk matanya terdapat air yang kian menumpuk.

"Perbuatanmu seperti itu hanya akan menyusah. . ."

"KAZUYA!" Jun berteriak. Kali ini ia ingin perdebatan ini dihentikan, sekarang juga!

Kazuya terhenti di tengah kalimatnya saat mendengar istrinya memanggil dengan keras namanya. Namanya! Bukan panggilan mesra yang biasa ia dengar. Ia melihat Jun, dan saat melihat ekspresinya…Apa aku sudah melewati batas? Tanya Kazuya dalam hati.

Jin menunduk dan menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak percaya dengan semua yang dikatakan ayahnya.

"Tidak ada yang dipercaya dari jawabanku, bukan?" tanya Jin dengan suara parau.

"Jin?" Jun tahu anaknya pasti terluka berat, ia ingin menenangkannya.

"Ayah… tidak pernah mempercayaiku, bukan? Kenapa…ayah? Kenapa…?"

"Jin..." Jun berusaha mendekati anaknya, ingin memeluknya.

Namun Jin mengangkat kepalanya, terlihatlah kalau wajahnya sudah basah oleh derasnya air mata dan berteriak keras dengan suara parau. "Mengapa KAU tidak pernah mempercayaiku , ayah?"

Selesai berbicara seperti itu, Jin melesat menuju koridor, melewati ibunya, menaiki tangga, memasuki kamarnya dan menutup pintunya dengan keras.

Jun hanya mampu menatap koridor dan mendengar benturan keras dari pintu kamar tidur anaknya. Setelah itu, ia berbalik dan melihat suaminya.

Kazuya sudah terduduk di bangku. Siku kiri diatas meja, tangannya menopang kepalanya yang tertunduk. Tangan kanannya mengepal keras di atas lutut. Matanya tertutup rapat, dan keras. Kazuya mengingat kembali ekspresi anaknya, perlahan-lahan ia resapi seperti adegan slow motion di kepalanya, dan berulang kali. Ekspresi, suara, air mata, rasa sakit yang dibebani oleh anaknya, ia mencoba menyelami perasaan Jin, dan ia sadar: ia benar-benar sudah terlewat batas.

Jun menghelai nafas dan berjalan mendekati suaminya, menekuk lututnya sampai menyentuh lantai dan menyentuh tangan Kazuya yang mengepal keras.

"Aku gagal sebagai 'Ayah'."

"Shhh. . .tidak. Kau tidak gagal," Jun menyentuh wajah suaminya, sehingga pria yang dicintainya itu tahu bahwa ia ada di sampingnya, bersamanya. "Jika kau gagal, maka aku apa? Aku selalu ada disampingnya namun tak mampu mendidiknya."

Kazuya menatapnya, dan mendapat balasan senyum begitu lembut di wajah cantik istri kebanggaannya. Ia pun menyentuh wajah halus Jun dengan kedua tangannya. "Kau tak pernah gagal. Kau selalu sempurna di matanya dan di mataku. Setidaknya ia mendengarkanmu."

"Dan akan mendengarkanmu juga. Semua butuh waktu. Kau lelah, Jin lelah. Tenanglah," balas Jun.

"Terima kasih."

Setelah menjawab itu, Kazuya ikut tersenyum dan mengecup kening istrinya.


Malam itu, Jun menghampiri kamar anaknya, mengetuk pintunya.

"Jin, boleh ibu masuk?"

Tidak ada jawaban. Ia memutar kenop pintu dan membukanya. Kamar itu gelap, namun sinar lampu dari koridor cukup untuk melihat keadaan kamar itu.

Kamar Jin berantakan. Buku-buku pelajaran dan baju-bajunya berserakan di lantai. Tak luput selimut pun ikut tergeletak acak-acakan di sana. Sedangkan Jin? Ia sudah terbaring di atas tempat tidur, memunggungi pintu kamarnya, memunggungi ibunya.

Dengan sabar, Jun memunguti buku serta baju yang berserakan itu. Membereskannya dan menempatkannya di tempat yang semestinya. Setelah itu ia duduk di tepi tempat tidur Jin, mencoba memanggilnya lagi, jika ia masih bangun. Jawaban yang ia dapat hanyalah keheningan semata.

Jun menarik selimut, lalu menyelimuti anak kesayangannya supaya tidak kedinginan. Setelah itu ia mengecup sisi kening anaknya seraya mengucapkan, "Selamat tidur, anakku." Lalu keluar dari ruangan itu.

Sebenarnya, Jin belum terlelap saat itu. Ia tahu ibunya pasti datang mengucapkan 'Selamat tidur' padanya karena itu ada hal yang tidak pernah dilupakan oleh ibunya tiap malam.

Hanya saja, ia merasa malu melihat wajah ibunya setelah episode pertengkaran yang telah terjadi di dapur. Ia merasa tak pantas menerima senyuman tulus dari ibunya.

Aku ingin keluar! Teriaknya dalam hati.

Aku ingin bebas! Satu air mata turun membasahi bantalnya.

Aku ingin berlari.

.

-Bersambung-


Authtor's notes: Sudah saya tulis sebelumnya bahwa ini keluar dari imajinasi saya. Jika cerita ini buruk, saya mohon maaf. Karakter akan OC sekali, namun saya mencoba untuk membuatnya tidak terlalu membosankan. Selamat berandai-andai ria.

Terima kasih sudah membaca. Jika berkenan silahkan diReview sehingga saya tahu pendapat kalian semua. :D

Sampai bertemu di episode berikutnya. :D (Tuh kan sinetron...) BAWEL!

-Edit pertama 18 Juni 2011