Love Accident – Underneath the Tree

Disclaimer : Naruto ©Kishimoto Masashi

Pairing : GaaHina

Warning : Bahasa tidak sesuai EYD, abal, gaje

Mohon maaf kalo ceritanya jelek, Ai masih newbie di FFN dan ini juga cerita kedua Ai sekaligus cerita multichapter pertama Ai.

Terus maaf juga kalo ada yang mungkin ada yang merasa ada bagian ceritanya yang mirip-mirip, Ai nggak sengaja lho.

.

.

.

"Hyuuga Hinata-san, sebagai hukuman, kamu mengelilingi sekolah ini sepuluh kali."ucap Kabuto-sensei sambil membetulkan kacamatanya. Hinata hanya bisa mengangguk pasrah dan mulai berlari.

Hinata hanya bisa menyesali perbuatannya tadi. Karena agak marah, dia jadi melempar jus jeruk yang diminumnya dan tumpah di kemeja Kabuto-sensei. Salah orang. Kabuto-sensei memang orang yang mudah marah. tak ada murid yang berani berurusan dengannya. Lari Hinata jadi melambat. Tapi, Hinata menambah kecepatannya agar ini segera selesai dan dia bisa pulang tepat waktu. Sudah terbayang olehnya Neji yang marah-marah di depan rumah sambil berkacak pinggang kalau dia pulang terlambat. Neji khawatir, Hinata paham itu. Tapi, tetap saja menakutkan.

Hinata melewati bagian belakang sekolah yang sepi karena memang sangat jarang dilalui siswa. Di belakang sekolah tak ada apa-apa selain sebuah pohon rindang, beberapa kursi panjang yang menempel pada gedung sekolah, dan sebuah mesin minuman otomatis. Itu fasilitas yang kurang memadai. Makanya, siswa malas ke belakang sekolah. Hinata lari ngelewatin belakang sekolah gitu aja sampe 5 kali, padahal ada orang yang duduk di situ, tapi Hinata nggak liat. Orang yang lagi baca buku sambil dengerin lagu itu cuma bisa diem sambil ngeliatin Hinata yang lari ngos-ngosan. Ngerasa kakinya kesemutan, orang itu nyelonjorin kakinya.

Putaran ke-6. Hinata ngelewatin belakang sekolah lagi. Hinata nggak liat ada kaki yang lagi nyelonjor dengan santai kayak di pantai. Sementara orang yang lagi baca buku itu nggak nyadar Hinata mau lewat sementara bukunya ditaro persis di depan mukanya.

GUBRAAAAK!

Ada yang nyenggol kaki orang itu. orang. Bukan barang. Dengan ogah-ogahan dia menunda baca buku. Dan dilihatnya seorang cewek jatuh tengkurap dengan satu kaki nyangkut di pergelangan kakinya.

"Oi. Bangun."suruhnya. Hinata diem. Orang itu jongkok di sebelah Hinata dan menusuk pundaknya pelan.

"Oi."panggilnya lagi. dia membalik badan Hinata. Dia agak membelalak waktu ngeliat kening Hinata yang berdarah.

Ya, Hinata pingsan.

Kira-kira yang bakal dilakuin orang itu, apa ya?

.

.

.

"Nn.."Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya. Tiba-tiba di atasnya ada dedaunan. Di bawah pohon. Itu yang langsung terbersit dalam pikiran Hinata. Hinata merasa keningnya sakit dan perih, tapi dia merasa nyaman dan hangat. Hinata menoleh sedikit dan membelalak waktu melihat.. lelaki.

Hinata memaksakan diri bangun walaupun dia ngerasa tubuhnya masih sakit. Ada yang jatuh ke paha nya, tapi dia cuekin dulu. Ternyata tadi Hinata tiduran di pangkuannya si cowok ini. mana si cowok juga ketiduran. Hinata ngeliat sesuatu yang jatuh ke pahanya. Saputangan. Warna coklat. Polos. Masih bersih. Hinata ngebolak-balik saputangan itu. dan ternyata di balik bagian yang bersih, penuh bercak darah. Hinata baru inget. Tadi dia lari baru 6 putaran dan jatuh. Keningnya sakit banget. Pasti berdarah. Hinata langsung ngeraba keningnya. Udah diplester. Apa cowok ini yang masang plester?

Hinata ngeliatin bercak-bercak darah itu. tiba-tiba pandangannya terhenti di sudut saputangan itu. ada tulisan warna putih yang terpampang jelas di situ. 'Sabaku no Gaara.' Hinata noleh. Dia baru nyadar kalo cowok itu Sabaku no Gaara dari kelas 2-2. Kelas favorit. Harusnya Hinata nyadar cuma dengan ngeliat rambut merahnya yang menyolok itu. tapi Hinata malah nggak nyadar samasekali. Hinata langsung pergi gitu aja tanpa pikir panjang sambil ngebawa saputangannya Gaara. Hinata celingukan. Mastiin nggak ada orang di situ. Emang bener. kosong. Padahal..

"Hehehehe.. tertangkap jelas oleh kamera ponselku. Jarang-jarang nih bisa dapet foto kayak gini.."

.

.

.

"T-tadaima.."ucap Hinata terbata-bata. Dan benar saja, begitu dia membuka pintu, Neji sudah ada di hadapannya. Tapi kali ini tidak berkacak pinggang, melainkan melipat tangannya di dada.

"Jam berapa sekarang?"tanya Neji. Suaranya jelas-jelas menandakan ia marah.

"J-jam tujuh."jawab Hinata sambil menunduk–takut.

"Kau pulang sekolah jam berapa?"

"J-jam s-setengah lima."

"Kau boleh pulang paling lama jam berapa?"

"J-jam setengah enam."

"Kenapa baru jam segini kau pulang?"

"A-aku.."Hinata mengelap matanya yang basah dengan punggung tangannya.

"Kenapa?"

"A-aku dihukum Kabuto-sensei.. t-tapi ada sedikit masalah.. s-sehingga aku pulang terlambat.."

"Aku kan sudah bilang jangan pulang terlalu malam! Apalagi hari ini giliranmu memasak makan malam dan menyetrika!"bentak Neji. Kemarin hal itu memang bagian Neji. Hari ini bagian Hinata.

"Ma-maaf, aku.."

GREP

Neji tiba-tiba meluk Hinata. Tangannya ngelus kepala Hinata pelan. Hinata kaget, diem aja.

"Aku khawatir, Hinata-sama. Aku selalu mencemaskanmu. Tolong, pikirkan itu. aku sudah kehilangan ayahku. Aku tak mau kehilangan kau, Hanabi-sama, atau Hiashi-sama."ucap Neji pelan.

"Maaf, Neji-niisan. Sebisa mungkin aku tak akan mengulanginya."

"Aku tak akan memaksamu berjanji."

Sementara itu, di tempat lain..

"Tadaima."ucap Gaara sambil menutup pintu rumahnya.

"Okaerinasai.. ah."Temari yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah langganannya itu menyeringai melihat kepulangan adiknya. Gaara hanya mengangkat satu alisnya yang tak ada di tempat. Gaara memilih cuek dan melewati kakaknya begitu saja. Temari menahan tangannya.

"Jangan cuek, dong."

"Apa maumu?"

"Apa, ya? Coba kau tebak."Gaara mengerutkan kening. Dia tak suka basa-basi. Dan sebagai Kakak seharusnya Temari tahu itu.

"Cepat katakan."Gaara menghentak tangannya sendiri sampai tangan Temari yang menahannya lepas.

"Aku… lihat, loh?"

"Lihat apa? Nara Shikamaru dari kelas 2-4?"tanya Gaara sambil menyebutkan nama pacar kakaknya itu.

"Bukaaan.. masa kau tidak sadar?"
"Sadar apa?"Temari menepuk jidatnya.

"Kau lupa?"

"Lupa apa?"Gaara mulai geram. Dia tidak berpura-pura bodoh. Dia memang tak tahu apa yang sedang dibicarakan Oneesan nya itu.

"Ini apa, yaaa?"Temari menunjukkan layar ponselnya. Gaara mengernyit, mencermati gambar yang ditunjukkan Temari. Foto. Foto Gaara yang tertidur di bawah pohon di belakang sekolah dengan seorang gadis yang tertidur di pangkuannya.

"Oh, itu. kenapa dengan itu?"

"Kau iniiii.."Temari menepuk pundak Gaara dan membiarkan tangannya berada di situ. "Punya pacar kenapa tak bilang-bilang Neesan-mu ini eh?"

"Dia bukan pacarku."bantah Gaara sambil mendorong tangan Temari pelan dari pundaknya. "Cuma seorang cewek yang jatuh pingsan gara-gara kepalanya terbentur akibat tersandung kakiku." Temari sweatdrop. Dia tahu kebiasaan adiknya yang tak pernah bohong.

"Hn.. sudah terlanjur."

"Apa?"

"Kukirim ke Kaasan."

Hening. Gaara mengepalkan tangannya. Urat bermunculan di lehernya. Dahinya mengernyit. Temari hanya tersenyum jahil.

Teror dimulai ketika Karura dan Kankurou pulang. Apalagi saat mereka makan malam bersama. Karura tak berhenti menatap Gaara. Tapi sudah adab di keluarga Sabaku untuk tidak bicara selama makan. Karena itu Karura benar-benar ingin segera menyelesaikan makanannya.

"Gochisousama."ucap Karura pelan. Yang lain, satu persatu mulai selesai makan.

"Nah, Gaara-kun."panggil Karura. Gaara mengangkat wajahnya. "Jelaskan padaku siapa gadis ini." Karura mengangkat ponselnya, menunjukkan layarnya ke Gaara.

"Haaah.." Gaara menghela napasnya. Lalu menatap Karura lagi. "Hanya gadis yang sedang dihukum guru, lewat di depanku, tersandung kakiku, jatuh, kepala terbentur, dan pingsan."jelas Gaara.

"ohya? Kenapa Temari-chan bilang dia pacarmu?"tanya Karura. Temari terkekeh. Gaara meliriknya sebal.

"Lagipula, kalau bukan pacarmu, kau tak akan melakukan hal ini kan?"tanya Kankuro yang juga dikirimi Temari gambar yang sama. Karura mengangguk setuju.

"Aku hanya.."Gaara menggantungkan kalimatnya. Tak yakin akan kelanjutannya. Tapi dia selalu jujur. Akhirnya dikatakan juga. "..merasa bersalah."

"Kau tak pernah merasa begitu padaku, Temari, Kaasan ataupun Tousan kan?"tanya Kankuro. Temari yang baru sadar ikut mengangguk. "Lalu kenapa? Gadis ini pengecualian? Kecuali kau memang pacaran dengannya."

Gaara tak mampu menjawab. Temari yang memang cantik punya. Kankuro yang mukanya standar aja punya. Masa Gaara yang segitu kerennya nggak punya pacar? biarpun menurut Gaara pacaran itu nggak penting, tapi Temari dan Kankuro selalu geregetan nyuruh Gaara nyari pacar. masa sekeren ini nggak punya pacar. sayang, kan? Padahal fans nya aja numpuk dan siap ditembak kapanpun. Emang Gaara peduli? Gak. Akan. Pernah.

"Kenalkan dia."ucap Karura. Gaara memandangnya heran. "Ajak dia ke sini. Makan malam dengan kita."

"Kaasan hanya bercanda.."Gaara memotong ucapannya sendiri, memberi jeda tak penting. "..kan?"

"Tidak. aku serius, Gaara-kun."

"Kalau aku tak mau?" Karura tersenyum iseng mendengar pertanyaan Gaara. Gaara benar-benar salah tanya. Salah memberi pertanyaan pada orang yang salah pula.

"Aku akan memalsukan nilai ulanganmu menjadi lingkaran besar dan memberikannya pada ayahmu. Gimana?"

Uh-oh, Karura menyalahgunakan persahabatannya dengan Tsunade yang notabene pemilik Konoha Gakuen tempat Gaara sekolah. Gaara diem. Kalo aja dia nggak inget reputasinya sebagai murid yang nilai akademisnya termasuk top 5 Konoha Gakuen, pasti dia nolak mentah-mentah. Tapi wajar banget kan kalo seorang cowok nggak mau ngebuang reputasi yang didapetin susah-susah.

"Kapan?"tanya Gaara akhirmya.

"Sabtu. Sabtu malam. Satnite." Karura pergi dari ruang makan. Meninggalkan The Suna Siblings bertiga.

Gaara masih mencerna kalimat Karura. Sabtu malam. Satnite. Itu berarti Saturday Night. Tapi Gaara yang belom punya pacar dan bahkan nggak tertarik atau mikir pacaran juga tau, yang namanya Satnite itu pacaran. Berduaan. Kenapa jadi bejubel ama keluarganya gini, sih?

BRAAK

Temari terlonjak dari kasurnya. Padahal dia sedang asik mendengarkan lagu favoritnya di iPod yang sedang dipegangnya. Tapi pintunya terbanting oleh seseorang. Adiknya. Kankurou atau Gaara? Ah, sudah pasti Gaara. Temari bingung, darimana efek kehitam-hitaman di belakang Gaara itu? emang author punya duit buat nyewa gituan? *plak

"Kau. Apa maumu, hah?"tanya Gaara sambil mendekat ke arah Temari.

"Mauku? Soal apa?"tanya Temari–berpura-pura bodoh.

"Apa maumu? Mengirimkan foto itu ke Kaasan? Aku bahkan tidak kenal gadis itu."

"Oh, ayolah Gaara. Sekali-sekai berguraulah."

"Aku tak butuh gurauan!" Gaara memberikan deathglare mautnya. "Gara-gara kau! Jadi begini!"

"Gaara." Temari menepuk pundak Gaara. "Dengarkan Oneesanmu ini sekali-sekali." Gaara ikut duduk di sebelah Temari. "Kau. Harus punya pacar."

"Buat?"

"Eh?"

"Buat apa punya pacar?"

"Buat apa? ya jelas buat ngeramein hidup kita. Seneng kan kalo ada orang yang bisa kita sayangi selain keluarga?"

"Gak butuh. Emang penting? Kalo gak punya kita bakal gak seneng dan hidup jadi gak rame? Gitu?"

"Gaara. Lihat dirimu. Kau pendiam. Penyendiri. Jarang bergaul. Dan pacar itu pasti sangat dekat dengan kita, lebih dekat dari semua teman kita. Siapa tau kau bisa belajar bergaul darinya?"

"Ah, aku tak butuh pacar untuk itu."

"Kau butuh, Gaara. Kau itu menggoda untuk dimiliki. Makanya ladeni sedikit cewek di kelasmu atau gadis yang tidur di pangkuanmu itu."

"Sudahlah. Tak ada gunanya aku protes padamu, walau sampe besok juga." Gaara beranjak dari kasur Temari dan keluar kamar. Temari hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya itu.

.

.

.

Hinata menatap selembar saputangan cokelat yang baru saja ia cuci. Noda darahnya sudah hilang. Dan sudah hampir kering. Hinata mengambil setrika, menancapkan kabelnya dan menunggunya agak panas. Setelah dirasa agak panas, Hinata menyetrikanya. Perlahan-lahan. Dengan rapi. Lalu dilipat menjadi beberapa bagian.

"Saputangan siapa itu?"tanya Hanabi yang tiba-tiba ada di sebelah Hinata.

"Ehh.. ini.. saputangan.."

"Kalau saputangan punya Neechan nggak mungkin, deh. saputangan Neechan kalau nggak warna biru, pasti ungu muda, kan?"

"I-iya.."

"Kalau begitu, punya siapa?"

"S-seseorang.."

"Hn?" Hanabi menaikkan sebelah alisnya. "Tumben Neechan rahasia-rahasiaan."

"A-a––"

"Ah, sudahlah, Neechan."Hanabi menepuk pundak kakaknya itu. "Kalau memang rahasia, Hanabi nggak maksa, kok." Hinata hanya mengangguk.

Hanabi perlahan melirik saputangan itu. dan yang tertangkap olehnya 'aara' sedangkan tulisan lain di depannya tertutup jari-jari Hinata. Hanabi mulai memutar otak dan berpikir. aara? Siapa anak kelas dua dengan bagian namanya 'aara' ? lalu langsung terpampang jelas oleh Hanabi, wajah Sabaku no Gaara yang diidolakan di Konoha Gakuen. Hanabi makin bingung. 'jangan-jangan, Neechan pacaran sama Gaara-san.'

.

.

.

Istirahat.

Semua orang hanya bisa terpaku melihat kedatangan Sabaku no Gaara di pintu kelas. Semua orang yang masih di kelas tidak jadi keluar untuk menghabiskan waktu istirahat. Semua orang seperti dipaksa melihatnya. Tak terkecuali Hinata. Gaara meliriknya tajam, lalu menunjuk koridor kelas dengan meliriknya. Hinata tau, Gaara menyuruhnya ke situ. Akhirnya, setelah mengumpulkan sedikit keberanian, Hinata menghampiri Gaara.

"A-ada apa, S-Sabaku-san?"

"Sebelumnya." Gaara menyenderkan bahunya di dinding dan menyilangkan kakinya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Bisa nggak, kau bicara tanpa tergagap?" Hinata sedikit menggigit bibir bawahnya. "Aku benci itu."

"Ma-maaf."

"Jangan tergagap."

"I..ya.."

"Jangan diucapkan pelan-pelan. Lancar, dan dengan kecepatan berbicara yang normal." Hinata menelan ludah.

"Aku mengerti."

"Bagus."

"Jadi..ada apa?"

"Aku cuma mau bilang–" Gaara menggantungkan kalimatnya. Sekedar untuk mengambil napas atau memberi jeda tidak penting. "–nanti, pulang sekolah temui aku."

"Di-di mana?"Hinata mulai tergagap lagi, tapi kali ini Gaara membiarkannya saja.

"Di belakang sekolah. Cari aku."

"Ba-baik."

"Sampai nanti pulang sekolah."

"I-iya."Hinata melangkah masuk ke dalam kelas.

"Tunggu."panggil Gaara–sebelum Hinata benar-benar masuk ke dalam kelas.

"A-apa?"

"Kau tak ke kantin?"

"Ti-tidak. a-aku bawa bekal."

"Hm." Gaara mendekati Hinata. "Aku akan makan bersamamu."

Hinata bergidik, tapi Gaara telanjur masuk ke dalam kelasnya–dan entah kenapa langsung tau kalau meja Hinata adalah yang paling pojok. Hinata duduk dan memangku bentonya dan mulai makan, sedangkan Gaara duduk di atas meja, sambil memakan sebuah roti daging yang tidak terlalu besar. Gaara menoleh ke arah bento yang dimakan Hinata. Dan Gaara sadar, bento itu terlihat –err, enak. Gaara berpikir Hinata tidak cukup sensitif untuk menyadari hal ini. padahal tidak.

"K-kau mau coba?"tanya Hinata, sedikit mengangkat kepala untuk mempertemukan pandangannya dengan Gaara. Dia sedikit memajukan kotak bekalnya ke arah Gaara. Gaara agak kaget–tapi samasekali tidak terlihat di wajahnya.

"Tidak."jawabnya tanpa menggeleng.

"Ma-mau kubuatkan?"

"Mau."

JDEEENG!

Sebuah jawaban luarbiasa dari seorang Sabaku no Gaara. Hinata tak menyangka Gaara mau begitu saja. jangankan Hinata, Gaara saja tidak percaya dia mengatakan itu barusan. Tapi sudah terlanjur terucap, mau diapakan lagi. lagian, Gaara emang orang jujur yang gak akan bohongin diri sendiri atau orang lain, kan?

"K-kalau begitu, besok kubuatkan untuk.. m-makan siang.."

"Di belakang sekolah. Besok."

Gaara turun dari meja Hinata dan keluar kelas. Hinata masih memproses kalimat Gaara. Di belakang sekolah. Besok. Dan dia berkata begitu karena kalimat Hinata sebelumnya. Besok. Kubuatkan untuk. Makan siang. Dan kesimpulan yang didapatnya adalah, Gaara mengajak Hinata makan siang berdua di belakang sekolah. Besok. Hinata menggeleng sekuat-kuatnya. Berusaha mencari kesimpulan lain. Tapi, ketika Hinata menggabungkan maksud kalimatnya dan kalimat Gaara, selalu muncul kesimpulan yang sama. Hinata terdiam.

"Aku bodoh sekali."ucapnya pada diri sendiri. "Aku lupa mengembalikan saputangannya."

Makang siang? Berdua? Gaara? Ukh.. mikirnya saja bikin merinding.

.

.

.

"A-apa?

"Apa perlu kuucapkan lagi?"

"Apa..a-aku tak salah..d-dengar?"

"Bukan kau yang salah dengar atau aku yang salah bicara."

"J-jadi itu benar?"

"Tentu saja."

"Kau bohong, Sabaku-san.."

"Aku tidak bohong." Gaara menatap Hinata lekat-lekat. "Dan aku tidak pernah bohong."

"T-tapi.."

"Sudahlah. Datang saja."

"A-aku.."

"Daripada ngeles tidak bisa datang, lebih baik jujur saja. kau mau datang atau tidak?"Hinata tersentak. Gaara seperti bisa membaca pikirannya.

"A-aku.. sebenarnya.. t-tidak mau.. t-tapi.. aku juga.. t-tidak ingin.. m-menolaknya."

"Pilihan yang sulit." Gaara meneguk kopi yang baru dibelinya. "Apa alasanmu?"

"Ka-kakakku akan marah padaku."

"Siapa kakakmu?"

"H-Hyuuga Neji..k-kelas 3-1.."

"Oh." Gaara menggoyang-goyangkan kaleng kopi yang dipegangnya. 'Sekelas dengan Neesan.'batinnya. "Bukannya dia kakak sepupumu?"

"A-aku lebih suka menganggapnya.. k-kakakku.."

"Kenapa dia akan marah?"

"D-dia tak suka.. k-kalau aku pergi.. k-ke rumah lelaki.."

"Hah? Jadi kau tak pernah main ke rumah teman cowokmu?"

"P-pernah."

"Jadi?"

"N-Neji-niisan.. harus.. k-kenal baik..d-dengan orang itu.."

"Haaah.." Gaara menghela napas panjang. Dia tidak tahu Neesannya–Temari, akrab dengan Neji atau tidak. kalau iya, dia bisa saja meminta bantuan kakak perempuannya itu.

"Ya sudah. Besok kau ke sini lagi, sepulang sekolah."Gaara mengangkat kakinya dari situ. Membuang kaleng kopi yang dipegangnya ke tempat sampah, dan benar-benar menghilang, meninggalkan Hinata sendirian di situ.

"Aku ngapain, sih?"tanya Hinata pada diri sendiri. "Aku memang bodoh." Hinata menghela napas. "Aku lupa mengembalikan saputangannya." Lagi..?

"Neesan."ucap Gaara. Telinganya menempel dengan ponselnya.

"Hn?"sahut seseorang di telepon.

"Aku ingin bicara."

"Soal apa?"

"Hyuuga Neji. Yang sekelas denganmu."

"Baiklah."

.

.

.

Sunyi. Itu yang dirasakan Hinata. Padahal Gaara duduk manis di sampingnya sambil memakan bento buatannya, tapi–entah kenapa, mereka diam saja–mengingat sifat mereka yang sesama pendiam. Dari awal, Gaara memang diam saja. dia hanya menerima bento Hinata, duduk di sebelah Hinata, dan makan bersama Hinata. Gaara tidak mengatakan –bahkan satu hurufpun. Padahal Hinata berharap Gaara akan mengomentari bento buatannya. Memangnya Gaara orang macam itu? Tidak.

"Hm. Bento buatanmu lebih enak daripada dugannku."

Mungkin juga iya.

"T-terimakasih.."Hinata menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Jangan menunduk." Gaara mengetuk kotak bekal Hinata dengan sumpitnya. "Kalau menunduk, kau tak tau kau akan melangkah ke mana." Gaara menjepit sepotong sosis goreng. "Dan agar kau tau kemana kau melangkah,.." Gaara memainkan sumpit yang dipegangnya. "..caranya adalah dengan menatap lurus ke depan."

Hinata akhirnya mengangkat wajahnya, dan menatap lurus ke depan. "Iya.."ucapnya pelan.

Mata gadis itu terus saja memperhatikan mereka. "Gaara memang selalu jujur..dia juga berusaha keras tiap ingin mendapatkan sesuatu." Dia tersenyum. "Aku bangga padanya. Aku bangga menjadi kakaknya."

"S-Sabaku-san."

"Hn?"

"Sa-saputanganmu. Ini. terimakasih."

"Ya.."

Baguslah, kali ini, dia tidak lupa.

.

.

.

Next chapter : With the Sabaku

Summary :

Hinata makin takut pada Gaara.

'Mungkin aku menghindar saja.' batinnya.

Semakin hari, yang ada justru Hinata yang makin menjauh dari Gaara. Tiap ada Gaara, Hinata akan menghindar, mengalihkan pandangannya, dan pergi.

"Hah? menjauhimu?"

"Ya. aneh, kan."

"Pokoknya, dekati dia lagi."

"Tapi, Neesan.."

"Eit, tidak ada tapi-tapi. Dekati. DIA."