Suatu hari, sang Furuya termuda secara khusus datang ke hadapan Takatou Erika dengan angkuhnya.
"Hm? Ouzou? Ada apa?" Sambut sang gadis, ramah.
Penyuka warna merah itu melirik ke arah seorang pemuda berperawakan kecil yang sedang berlatih memasukkan bola bersama kiper sahabat baiknya. Sang gadis mengikuti. Melihat betapa indahnya teknik yang ditunjukkan sang blonde membuat wajahnya sedikit bersemu. Dan memang inilah yang ingin dilihat oleh Furuya Ouzou.
"Hei, Takatou..."
.
.
.
"...Kamu shotacon ya?"
.
.
.
Warn : various pair! maybe OOC! Middleschool!AU in Japan.
.
.
.
Am I Shota(con) ?
.
.
.
Adalah Takatou Erika, gadis tomboy dengan ponytail marun yang jago bermain sepakbola. Di samping itu, semua temannya pun laki-laki, kecuali si manis Saionji Reika. Hobinya sehari-hari bermain bola bersama Zach—anjingnya—berlatih sepakbola dengan teman-teman lelakinya, atau menonton bola bersama teman-teman yang sama pula. Punya lingkup pergaulan yang tidak jauh dari bola dan lebih hafal tindak pelanggaran Arsenal dari pada jenis kosmetik yang biasa dipakai gadis seusianya.
Intinya, hampir tidak ada yang menyadari kewanitaan Erika jika saja gadis itu tidak punya ponytail merah marun yang sebenarnya bisa saja terlihat manis.
Sang teman dekat, Oota Shou, bahkan sering heran mengapa persahabatannya dengan Saionji Reika yang sangat tuan putri tidak membuatnya sedikit saja bisa terlihat manis layaknya gadis SMP biasa.
Ah, biarlah. Selama itu masih Erika yang sama sepertinya tidak ada yang keberatan.
Akan tetapi, akhirnya setelah empat belas tahun sang gadis tomboy hanya memikirkan sesuatu yang bersangkutan dengan bola, rona merah malu di wajah itu muncul. Bukan sekedar rona merah karena malu ketahuan berbuat salah atau karena marah akan kecerobohan sang kapten Momoyama Predators, tapi rona yang disertai dengan berdesirnya sesuatu di dada dan aktifnya adrenalin yang memacu jantungnya berdetak cepat.
Hipotesa Oota Shou sejauh ini, Erika jatuh cinta.
Tapi seperti biasanya Erika, gadis itu hanya menyangkal dan mengakui pada akhirnya dengan dangkal.
"Aku cuma kagum sama tekniknya Aoto!"
Shou tersenyum jahil. "Akhirnya kita bisa lepas juga ya dari gosip."
Erika cemberut berat. Tampak di ingatannya bayangan Furuya Ouzou yang menghampirinya kemarin sore sehabis latihan dan tiba-tiba mengatainya Shotacon. Oke, sebenarnya dia cuma nanya apakah Erika Shotacon. Tapi tetap saja ia secara tidak langsung mengatai Erika bukan? Ugh, tentu saja itu tidak benar tahu!
"Hn, Erika, kamu kenapa?"
Shou mendekat, dan membuyarkan lamunan Erika. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan berkata tidak apa-apa. Mungkin ia memang sedikit tidak enak badan hari ini karena percaya atau tidak ia baru saja melihat Shou begitu perhatian. Baiklah, anak itu memang memperhatikan seluruh anggota timnya. Jadi tidak aneh juga jika ia perhatian terhadap Erika, kan?
Duh, perkataan Ouzou soal shotacon semakin terngiang-ngiang dalam benak Erika.
"Maaf deh kalau aku terlalu sering menggodamu soal Aoto. Nanti pulang latihan mau kutraktir yakiniku di rumahku? Sehabis latihan kan paling enak makan yakiniku!" Ajak Shou.
Dari kata-katanya, tampaknya sih Shou hanya mengajak Erika. Jika saja bukan soal yakiniku yang ia suka, gadis tsun itu mungkin akan menolaknya. Malu!
"Un, baiklah."
Sang kapten menepuk pundak Erika keras-keras. "Yosh! Sekarang ganti bajulah dan ayo latihan dengan semangat!"
Erika tersenyum, lalu kembali kepada mode gila bolanya dengan berusaha keras mengabaikan kehadiran si kecil blonde yang membuatnya salah tingkah.
.
.
.
Latihan hari ini rasanya pelatih Hanashima jahil sekali pada Erika. Terhitung berapa kali hari ini ia terpaksa—tapi mau—berhadapan dengan Aoto. Awalnya tentu saja canggung, tapi melihat ulasan senyum yang kadang dilontarkan sang pemuda ketika Erika semakin ketat menjaganya membuat gadis itu berapi-api. Bahkan Aoto sering kali mengajaknya bicara untuk mengkritik gerakan-gerakan Erika dan pada akhirnya bisa dikatakan mereka juga berlatih berdua.
Aah indahnya. Erika jadi punya banyak cerita yang ingin diutarakannya pada Reika. Tapi sialnya sehabis ini ia hanya akan makan bersama Shou—pemuda itu benar-benar tidak mengajak siapapun!—dan Reika sendiri harus langsung bersiap untuk menghadiri pesta kenalan mamanya, dimana katanya si kembar tiga Furuya juga akan hadir. Erika juga tidak mungkin menceritakan perasaan senangnya ini pada Shou karena pemuda itu pasti akan semakin menjahilinya tak peduli pada akhirnya ia akan menyesal minta maaf karena membuat Erika ngambek.
Seperti menraktirnya yakiniku sehabis latihan seperti ini.
Erika merapikan seifuku-nya gugup. Ia biasa berdua saja dengan Shou dalam berbagai situasi, terutama yang tidak disengaja—atau tidak disadari sengaja?—tapi makan malam berdua itu rasanya kok agak aneh ya. Tidak akan terlihat seperti kencan sih, soalnya pemuda itu bakalan terlihat seperti adiknya karena tinggi badannya yang masih belum juga mengalahkan Erika—terutama wajahnya yang agak kekanakan. Akan tetapi yang namanya gugup ya gugup.
Sudahlah! Rasanya Erika hari ini terlalu banyak berurusan dengan cinta! Dan walaupun itu menyenangkan tapi tetap saja memusingkan.
Tanpa memikirkan apapun lagi, Erika bergegas keluar dari ruang ganti dan mencari-cari Shou. Tapi di lapangan hanya ada si kembar Furuya yang masih mengoper-oper bola walau sudah berganti seragam sekolah.
"Hai! Eh, bukankah kalian harusnya bersiap ke pesta yang dihadiri Reika, ya?" Tanya Erika setelah menghampiri ketiganya. Permainan operan itu pun terhenti.
"Aku agak malas ke sana, soalnya di sana aku pasti hanya akan berdua Ryuuji." Jawab Ouzou, seraya melirik iseng ke arah Kouta.
Ah, Erika mengerti maksudnya.
Kouta merasa risih dilihati ketiganya. "Apaan sih? Kau sendiri bukannya malah senang karena bisa mencari gadis-gadis, he, Ouzou?"
"Iya, Ouzou memang bukan tipe yang setia sepertimu, Kouta." Timpal Ryuuji, ikut berpartisipasi membuat wajah Kouta memerah.
Erika tertawa. Jarang-jarang cowok judes ini salah tingkah begini.
"Aku tidak segitunya kok." Bantah Ouzou. "Setidaknya mungkin sekarang aku sudah terpaku pada satu orang, yah walau tidak anggun sama sekali tapi sayangnya orang itu sepertinya malah lebih suka orang blasteran."
Ryuuji, Kouta, dan Erika memandang Ouzou kaget. Jarang-jarang Ouzou curhat terbuka begini, pikir Erika. Tapi sepertinya Ryuuji dan Kouta kaget akan hal lain.
Erika menepuk pundak Ouzou, prihatin. "Yah, aku tidak tahu banyak soal cinta, tapi tetap semangat ya! Jangan pantang menyerah! Dan, maaf ya aku ada janji dengan Sh-seseorang sebentar lagi! Kalian juga bersiaplah ke pesta... karena Reika pasti senang kalau kalian datang."
Lalu Erika melesat cepat setelah melempar cengiran iseng ke arah sang kembar tertua. Ryuuji pun memungut bola lalu mengajak kedua kembarnya pulang.
"Semangat ya Ouzou, katanya—"
.
.
.
Seumur hidup, nyonya Oota baru kali ini mendengar anaknya yang gila bola dan menjomblo selama empat belas tahun ini akan mengajak seorang gadis makan berdua di restorannya. Gadis itu memang sesama gila bola, tapi setidaknya ia seorang gadis dan sikapnya manis, sejauh yang ia tahu. Maka, sang ibu dan adik mulai sibuk mempersiapkan suasana restoran dan tentunya penampilan Shou sendiri demi acara yang sebenarnya hanya traktiran sehabis latihan itu. Toh Erika sendiri nantinya juga cuma akan memakai seifuku.
"Sudah ah Ma! Aku cuma traktir Erika biasa saja—dan lagipula dia bukan siapa-siapa selain teman setimku ah!" Protes Shou, ketika sang mama mengeluh tidak punya jas untuk 'kencan' Shou.
Sang pemuda pun memutuskan untuk memakai baju sehari-harinya saja. Walau akhirnya dengan sedikit tambahan saran dari sang adik yang memang membuat penampilannya sedikit terlihat lebih dewasa dari biasanya-apalagi ini seorang Erika yang notabene lebih tinggi darinya. Jam sudah menunjukkan pukul lima lewat nyaris enam. Seharusnya gadis itu sudah datang. Padahal persiapan Shou sudah cukup lama.
Pintu berdentang menandakan pelanggan datang. Shou sudah bersiap menyambut Erika, tetapi yang ditemuinya malah sepasang anak muda yang sangat ia kenal. "Aoto dan Tagi? Se.. sedang apa kalian di sini?"
"Tentu saja kami mau makan yakiniku. Menurutmu apalagi?" Jawab Aoto, dingin seperti biasa.
Tagi menengahi. "Sudah, ah, ayo kita cari meja yang kosong."
"Ah, oh, ka.. kalau begitu selamat datang!" Sambut Shou dengan ceria, namun kentara sekali menyembunyikan kekecewaan.
Dengan lesu, Shou masuk ke dalam dapur. Dengan gelisah, melihat jam dinding yang terus berjalan. Salah seorang pegawai dipanggil Tagi, menandakan mereka siap memesan. Shou merenung. Kalau ada Aoto, pasti Erika...
"Selamat datang!" Suara si pegawai yang melayani Tagi dan Aoto terdengar. Dengan hati-hati, Shou mengintip. Kali ini benar-benar Erika yang datang. Panik, Shou malah lari ke arah pintu belakang dan bersiap pergi. Entah kemana.
"Kak? Mau kemana? Bukannya..."
"Kalau Erika mencariku bilang aku minta maaf karena harus pergi! Tapi biarkan dia makan gratis ya—nanti aku bayar!" Teriak Shou sebelum akhirnya membanting pintu belakang dan pergi.
Sementara itu, Erika yang menemukan Tagi dan Aoto di restoran itu benar-benar merasa terkejut.
"Ha.. hai. Wah tidak menyangka kalian di sini juga." Sapa Erika canggung. Ia menghampiri meja Tagi dan Aoto yang berkapasitas empat orang, tapi hanya berdiri di sebelah meja.
Tagi menyambutnya ramah. "Ah, duduk saja di sini sekalian, Takatou." Ditepuknya kursi di sebelahnya yang kosong.
"Sebentar ya, aku harus menemui Shou dulu." Tolak Erika setelah mendapati tidak ada pemuda bersuara keras itu di sini. Lagipula, suasananya agak aneh. Biasanya restoran ini akan penuh di jam seperti ini.
Sayangnya, Tagi, Aoto, dan Erika sama-sama tidak melihat tanda reserved yang sengaja dipasang sang mama agar ini menjadi makan malam yang berkesan hanya untuk anaknya dan Erika yang diajaknya.
Karena sudah dikenal keluarga Oota, Erika dengan percaya diri masuk ke dapur dan bertemu beberapa koki dan sang adik. "Ah, maaf, Shou dimana ya?"
Sang adik memutuskan untuk mematuhi apa kata kakaknya. "Tadi Kak Shou minta aku menyampaikan pada Kak Erika kalau dia minta maaf karena harus pergi setelah teringat urusan mendadak. Kakak bisa makan saja kok di sini, dan sesuai janji Kak Shou, semuanya gratis."
Erika tersenyum miris mendengarnya. "Begitu... Tidak usah, aku pulang saja deh. Terima kasih."
Gadis ponytail marun itu melangkah keluar dapur dengan mantap. Apa maunya Shou ini sih? Malah membatalkan janji di saat-saat terakhir, tanpa pemberitahuan! Lupakah dia soal teknologi bernama ponsel?
"Lho, mau kemana?" Tanya Tagi, ketika mereka berpapasan di ruang restoran. Yakiniku pesanan mereka baru saja sampai bersamaan dengan sapaan Tagi.
Erika jadi bingung harus menjawab apa.
"Menunggu Shou? Duduk saja di sini, sekalian pesan makananmu." Timpal Aoto.
Sebelum Aoto mungkin akan berubah pikiran, Erika cepat-cepat duduk di samping Tagi. Dekat Aoto? Mana kuat! Lagipula nanti Shou pasti pulang, ini kan rumahnya.
Aoto menyodorkan buku menu. "Pesanlah."
Erika menerimanya. Membolak-balik sekian kali walau sudah hafal hampir semua menu. Lalu menutupnya.
"Aku jadi tidak lapar. Ah, maaf aku pesan lemon tea dingin satu!" Teriak Erika. Pelayan yang ada di dapur pun keluar lalu mencatat pesanan Erika di samping meja mereka.
Aoto menyodorkan sepotong daging dengan sumpitnya. "Jangan begitu. Ini enak. Coba."
Erika jauh lebih tahu dari pada Aoto soal kelezatan yakiniku restoran ini. "Ah, tidak usah. Sungguh."
"Sudah, coba saja." Aoto berdiri. Masalah kurang tinggi. "Buka mulutmu."
Masa bodoh soal gengsi atau tidak lapar, Aoto yang dikaguminya bersiap sedang menyuapinya! Mimpi apa Erika semalam?
Erika mengunyah yakiniku suapan Aoto dengan senang. "Enak! Enak sekali!" Serunya, terdengar kelewat semangat sebenarnya.
Tagi tiba-tiba menerima SMS. Setelah membacanya, ia tiba-tiba menghabiskan makanannya dengan cepat, lalu mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya. "Maaf Aoto, Takatou, aku harus pergi! Ada sesuatu yang harus kulakukan!"
Aoto memandangnya super heran. "Bukannya sehabis ini kau akan menginap di rumahku dan nonton bareng nanti malam?"
"Nantilah aku akan menyusul. Tapi aku harus pergi sekarang. Maaf ya Aoto, Takatou! Aku duluan!" Tagi pun meraih tas besarnya lalu pergi meninggalkan Aoto dan Erika berdua di restoran itu.
Suasana menjadi canggung.
"Aku mau pesan!" Panggil Aoto dari mejanya. Pelayan pun kembali keluar—kebetulan dengan lemon tea Erika—dan bersiap mencatat pesanan Aoto.
"Aku pesan yakiniku yang sama seperti yang kupesan tadi. Untuk gadis ini. Masukkan tagihannya ke menu yang sama ya." Perintah Aoto.
"Ah, tapi tadi nyonya bilang jika gadis ini memesan tidak perlu dibayar—akan dibayar Shou." Jelas si pelayan.
Aoto mengangkat satu alisnya, meminta penjelasan Erika yang salah tingkah di hadapannya.
"Sebenarnya hari ini aku mau ditraktir Shou, tapi entah dia kemana sekarang. Padahal ini rumahnya." Jelas Erika.
Aoto mengangguk. "Sudah, masukkan saja ke tagihannya. Shou juga sedang tidak ada di rumah kan?"
Si pelayan mengangguk, lalu segera berlalu ke dapur.
"A.. Ano... Aoto aku hari ini tidak bawa uang cukup untuk membayar pesananku... umm.."
"Sudahlah, biar kutraktir saja. Tadinya karena kalah taruhan aku mau traktir Tagi, tapi dia malah pergi dengan meninggalkan uang bagiannya. Jadi, terima saja." Potong Aoto.
Erika mengeluarkan seluruh uang yang dibawanya. Dua ratus yen. "A.. aku cuma bawa segini. Nanti kuganti kapan-kapan! Maaf ya Aoto."
Aoto mendorong tangan Erika dengan lembut. "Kapan-kapan kau bisa traktir aku sesuatu, sebagai gantinya. Biar saja nanti Tagi bayar sendiri."
Keduanya pun tertawa. Walau yah, seperti yang bisa diduga dari seorang Aoto yang dingin, tawanya tentu saja tidak lepas. Tidak seperti Shou.
Karena Aoto dan Shou memang berbeda bukan, Erika?
Setelah tawa itu, Erika menyeruput lemon tea-nya pelan. Diikuti Aoto yang menyeruput Ocha-nya juga. Canggung.
"A..ah.. ngomong-ngomong, tadi latih tanding yang seru. Aku baru kali ini merasakan kembali tekanan melawan orang sehebatmu, Aoto." Erika membuka pembicaraan, yang ujung-ujungnya tidak jauh juga dari bola.
"Yah, kau juga sangat cepat. Setiap orang punya kelebihan di bidangnya masing-masing." Timpal Aoto.
"Ya, terutama itu, kurasa aku kelebihan tinggi selaku anak perempu..." Erika sadar telah salah bicara ketika memandang Aoto yang cemberut di hadapannya. "...an. Ah, eh, Aoto, aku tidak bermaksud..."
"Lihat saja nanti. Aku cuma sedikit telat tumbuh." Bela Aoto. "Kau dan Tagi itu yang terlalu cepat!"
Erika tertawa. "Iya. iya. Yang penting kan sekarang kau jago bola. Lagipula kecepatanmu juga tidak kalah denganku, yang lebih tinggi ini." Godanya.
Si pelayan pun datang menyela obrolan mereka. "Silakan, pesanan Anda."
"Terima kasih." Lalu si pelayan pergi. "Ngomong-ngomong, aku sebenarnya sudah sering ke sini. Jadi aku tahu betapa lezat yakiniku keluarga Shou!" Papar Erika.
Setelahnya, Aoto menanggapi, lalu Erika berceloteh. Dan terus begitu sampai-sampai keduanya tidak menyadari sang pemilik restoran tengah mengamati dari jauh. Ia melihat bagaimana Erika begitu antusias, kurang lebih sama dengan rasa gilanya dengan bola. Tidak salah lagi, sekeras apapun Erika menolak mengaku, Shou tahu ia tengah jatuh cinta kepada sang idola.
Pemuda bersurai coklat itu tersenyum miris. Ditinggalkannya kedua orang yang diawasinya sejak tadi.
"Tampaknya ini memang belum saatnya aku bisa jatuh cinta dengan menyenangkan seperti Erika."
.
.
.
Sepiring yakiniku Erika pun habis, dan membuat gadis itu sedikit malu karena ketahuan memiliki porsi makan yang sangat tidak gadis. Tapi tampaknya Aoto tidak keberatan. Pemuda pendek itu segera membayar lalu mengajak Erika pergi.
"Rumahku dekat kok dari sini. Jadi, terima kasih traktirannya ya!"
Aoto mengangguk kalem, lalu berpisah dengan Erika. Gadis itu sendiri tetap diam di pertigaan itu karena menyadari seseorang tengah mengintainya.
"Kemana aja baru muncul?" Tanyanya sarkatis. Oota Shou pun muncul dari tempat persembunyiannya.
"Maaf! Tadi ada kepentingan mendadak jadi baru bisa pulang, terus aku lihat kamu mau pulang sama Aoto. Aku kan jadi tidak enak mau ganggu." Jelas Shou, bohong, walau tidak sepenuhnya.
Erika menggelengkan kepala. Memaklumi tindakan bodoh sang kapten entah yang keberapa kalinya. Tapi kali ini tindakan bodoh yang bisa membuatnya merasakan keajaiban dewi fortuna, sih.
Gadis penggila bola itu menepuk pundak sang kapten keras-keras. "Iya deh. Iya."
.
.
.
"Habis ini mau nonton bareng di rumahku, Shou? Ayahku pasti senang dapat teman nonton selain aku!"
"Eh? Tapi besok ulangan..."
"Kayak kau pernah belajar saja sebelum ulangan."
.
.
.
Shou tersenyum. Mengiyakan tanpa banyak basa-basi lagi.
.
.
.
tbc. or end?
up to you, readers. Say it in review box! :3
