Summary :

Setiap waktu, setiap detik.. Kau bukan indigo yang bisa membaca apa yang kupikirkan.

Aku bahkan lebih memilih berpura-pura tidak tau agar tidak menderita hingga akhir nafasku.

Cast :

Byun Baekhyun

Wu Yifan

Park Chanyeol

Do Kyungsoo

Xi Luhan

Etc..

Thanks for all fans for support me.

By this story, I celebrate my come back to be author again. hahaha

Wish you like this story.

Don't forget to review and don't be plagiator.

The story is 100% mine.

Thank you.

.

.

.

.

.

Day 2190

Adalah sebuah hari di musim gugur ketika sepasang kaki pendek seorang pria dua puluh empat tahun melangkah bahkan tanpa asa layaknya mayat hidup atau zombie. Raganya terus melangkah bukan tanpa arah dan tujuan, hanya saja ia ragu untuk terus bergerak. Pikirannya tidak disana. Pikirannya tidak sedang bersama raganya. Menghayal jauh melewati dimensi jarak dan waktu. Membekapnya dalam rasa sesak yang menyulitkan parunya untuk tetap melakukan inspirasi dan ekspirasi terhadap udara. Menggerayangi seluruh tubuhnya dengan perasaan sakit dan ngilu yang tak nyata.

Hari itu dedaunan yang menguning semakin banyak. Hampir seluruh dedaunan merubah warnanya hingga tak lagi hijau. Mereka tua. Sudah saatnya gugur dan digantikan dengan daun muda yang baru yang akan tumbuh perlahan di musim semi. Ia kering. Ia akan segera berhibernasi hingga musim dingin berlalu.

Namun dengan perasaan sesendu ini, jalanan pejalan kaki berhiaskan pohon-pohon berdaun kering membuat suasana nampak seperti dalam film-film romance dimana tokoh wanita bertemu dengan kekasihnya dalam nuansa haru yang membawa perasaan yang amat dalam, membuat penonton akan menitikkan air mata atas kesunyian tanpa kata yang menjebak pemeran dalam bisu dan memaksanya berbicara melalui pasang mata yang tergenang air seolah dua pasang bola itu mampu mengatakan segalanya yang tak dapat diucapkan melalui kata.

Bertumpu pada pohon terdekat sepertinya merupakan tindakan paling tepat sebelum tubuh mungil itu terhuyung tak sadarkan diri di jalanan sepi itu. Sepasang tangan mungil berkulit halus dan elastik seperti bayi mulai menghalangi pandangannya dan menutupi sebagian besar karisma dalam parasnya yang sudah tampak amat pucat sejak semalam. Ia mulai terisak tanpa air mata. Matanya memerah bukan hanya karena kurang tidur. Matanya terasa sangat pedih. Bukan tubuhnya yang sedang sakit, tapi hati di dalam raganya yang rapuh dan baka. Tidak ada yang kekal di dunia ini selain Tuhan. Sinar terang yang terpancar sempurna dari aura yang dibawakan senyumannya sehari-hari seolah sirna tanpa bekas, lenyap tertelan kegelapan pedih yang tengah menggerogoti jiwanya. Tak perduli berapa puluh kali ia memukul dadanya perasaan sakit itu tidak akan pernah hilang. Terus seperti itu dengan sederet kalimat makian untuk dirinya sendiri atas kebodohannya hingga pria berambut coklat gelap itu benar-benar jatuh tak sadarkan diri di bawah sebuah pohon ginkgo yang berdiri gagah bersama deretan pohon lainnya di pinggiran jalan. Akhirnya tubuhnya roboh.

Byun Baekhyun. Tubuhnya terasa sangat berat dan sakit semua ketika matanya kembali terbuka setelah lebih dari lima jam jatuh pingsan. Pandangannya belum sepenuhnya normal. Bayangan benda yang jatuh tepat ke irisnya masih menghambur samar untuk beberapa detik. Sampai akhirnya sepasang pupil kecoklatan itu menangkap bayangan sesosok pria yang duduk di sampingnya. Seorang pria jakung dengan tinggi sekitar 28 centi lebih tinggi dari Baekhyun. Rambutnya ditata berantakan namun justru membuatnya terkesan seperti bad boy yang manis. Tatapan kebencian sarat akan kemarahan tersirat jelas dari sepasang mata pemuda bermarga Park itu. Park Chanyeol. Sebuah nama yang tak akan pernah sirna dari otak Baekhyun walau kepalanya mengalami benturan hebat yang membuatnya amnesia sekalipun.

"Berhentilah bertingkah seperti anak kecil, Baek!" gertaknya jengkel melihat Baekhyun yang menunduk sedih seolah pingsan yang baru saja ia alami diluar keinginannya adalah sebuah dosa yang begitu hina.

.

.

.

.

.

Day 1

Pagi yang begitu hangat di tengah Seoul dengan udara musim semi yang berhembus dingin sisa musim dingin yang belum lama berlalu.

Byun Baekhyun. Itu adalah hari pertamanya kembali sekolah di Seoul setelah menghabiskan seluruh masa remajanya dan hampir seluruh masa kanak-kanaknya di New York yang menurutnya terlalu sumpek. Ia bersumpah tidak ingin kembali ke New York lagi untuk waktu yang lama.

Sepasang kaki kurusnya melenggang santai di koridor lantai tiga dimana terdapat deretan ruang kelas para siswa tingkat tiga. Sebagai orang yang sudah hampir delapan tahun tinggal di New York, style Baekhyun terlihat casual tapi modis. Dengan seragam alakadarnya sampai ia mendapat seragam resmi dari sekolah barunya, Baekhyun tetap saja terlihat cocok dan pas dengan seragam itu. Pandangannya tegap lurus sarat akan kepercaya dirian yang tinggi. Tegap tubuhnya memancarkan aura angkuh yang anggun dan tenang. Penuh akan wibawa dan kharisma yang menakjubkan. Setiap mata memandangnya dengan detail dari ujung kaki hingga ujung rambutnya, menilai secara financial setiap benda yang melekat di tubuh pendeknya yang kurus. Rambutnya yang dicat kecoklatan dan ditata berantakan membuatnya terlihat imut dan manis. Sinar matanya member keteduhan yang lembut. Benar-benar gambaran seorang bangsawan rupawan yang dihormati.

Tanpa ia sadari sepasang mata yang sejak tadi terus memperhatikannya dengan kekaguman yang sedikit berbeda dari yang lainnya.

"Jadi ini kah siswa baru dari New York itu?" sekelompok siswa laki-laki tampak menghadang Baekhyun di tengah koridor lantai tiga itu.

"Dia menyogok kepala sekolah dengan berlian berapa koper agar mau menerima anak SD ini?" cemooh salah seorang dari mereka lagi.

Baekhyun berhenti dan menoleh kearah gerombolan itu dan menarik seluruh perhatian siswa-siswi yang masih berkeliaran di koridor yang sejak tadi sibuk mengaguminya.

"Kupikir ini sekolah elit dengan pendidikan etika yang tinggi. Ternyata masih ada sampah di tempat seperti ini," jawabnya calm dan segera pergi dengan santai. Dentum bel menahan kegeraman gerombolan itu dan memaksa mereka untuk segera masuk kelas dari pada harus menyeret kerah baju Baekhyun dan memukul wajah mulusnya.

.

.

.

.

.

Day 7

Hiruk pikuk kantin sekolah selalu terlihat sama. Hampir semua siswa menghabiskan jam istirahatnya untuk makan siang dengan jumlah bangku kantin yang tak sebanding dengan jumlah seluruh siswa dari tingkat satu hingga tiga. Sudah hari ketujuh Baekhyun di Seoul dan sudah hari ke empat kehidupannya di sekolah namun ia belum memiliki satu pun teman. Baekhyun adalah tipe orang yang terlalu tenang dan tidak perduli ia punya teman atau tidak.

Tak perduli betapa pekik dan riuhnya suasana kantin, Baekhyun hanya duduk dan lahap memakan semangkuk ramnyunnya yang membuatnya berkeringat.

"Sepertinya tidak ada kursi lain yang kosong selain disini," sebuah suara berat menyita pandangan Baekhyun sesaat dari kesibukannya.

"Sejauh ingatanku aku belum memiliki hak milik resmi atas bangku itu untuk melarangmu duduk di sana," jawabnya enteng sambil kembali menyeruput kuah ramyunnya sementara orang di hadapannya mendengus geli dan segera duduk di bangku di hadapannya.

Tubuhnya tinggi sempurna bak model. Mungkin tingginya lebih dari 180 centi. Rambutnya dipotong cepak dan dicat blonde menampakkan kedua alis tebalnya yang membuatnya tampak maskulin. Tulang wajahnya tampak tegas dan berkharisma tinggi. Tatapan matanya yang setajam elang memberikan aura kepemimpinan yang kuat dan tegas dalam pribadinya.

"Aku Wu Yifan. Panggil saja Kris," pria itu memulai pembicaraan.

"Oh? Terima kasih sudah memperkenalkan diri walau aku tidak bertanya," seulas senyuman bersahabat melengkung tipis dari bibir merah alaminya. Keduanya tampak mengulum senyum, tapi tak ada kecanggungan sedikit pun di antara keduanya.

"Aku melihatmu di koridor lantai tiga tiga hari lalu. Kau orang kedua yang berani membungkam sekumpulan sampah itu,"

"Kau dari tingkat tiga?"

"Yeah begitulah,"

"Apa semua orang takut pada mereka? Lalu siapa yang pertama?"

"Kau sedang melihatnya,"

"Kau?" Kris hanya tersenyum.

"Aku Byun Baekhyun dari tingkat satu,"

Mereka terus berbincang seperti teman lama yang bertemu kembali. Keakraban mereka membuat orang-orang iri. Kris yang selama ini dipuja, tak sembarang orang berani mendekatinya. Lebih karena rasa hormat dari pada takut. Kharismanya yang menawan, gadis mana yang mampu menolak pesonanya yang sarat akan aura dingin yang member rasa aman. Tapi Baekhyun, pria pindahan dari New York yang lebih tampak manis seperti gadis itu tampak dengan mudah dan luwesnya mengobrol dengan Kris, pria Canada-China itu. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang berusaha mencuri pandang pada mereka.

.

.

.

.

.

Day 184

Hari itu adalah musim panas yang begitu kering. Hampir semua orang di sekolah menenteng minuman dingin di jam istirahat. Sudah hampir jam empat. Ada banyak orang duduk memenuhi bangku penonton di sekitar lapangan basket. Termasuk salah satunya adalah Baekhyun yang duduk di bangku paling depan untuk member dukungan pada teman baiknya— Kris. Teriknya matahari tidak melunturkan sedikit pun rasa antusiasnya.

Hari ini adalah pertandingan basket musim panas antar sekolah di seluruh region Seoul. Dan semua juga tau Kris adalah kapten tim bakset di sekolah. Basket hanyalah perkara waktu baginya sampai ia berhasil mencetak puluhan point dan menang mutlak.

Ketika wasit meniupkan peluit kebanggannya, semua pemain mulai mengambil posisi masing-masing. Baekhyun sedikit memincingkan matanya ketika menangkap sosok jakung yang berdiri di belakang Kris dengan kuda-kudanya. Ia sering melihatnya berkeliaran di sekitar lapangan basket di jam olah raga tapi sama sekali tidak mengenal namanya.

Mata kecoklatannya membulat sempurna mengeja nama yang tertulis di punggung seragam basketnya yang longgar. Park Chanyeol. Pria jakung yang menurut logikanya suka membuat lelucon dan tertawa bersama teman-temannya. Tubuhnya nyaris setinggi Kris dan kurus berisi. Sebuah ikat kepala merah melingkar di kepalanya dan membuatnya tampak seperti seorang gantle man berkepribadian hangat dan jauh dari kesan dingin seperti Kris.