Aku kini sendiri. Merasa kan kesepian yang bahkan dulu tidak pernah terpikir oleh ku akan datang menghampiri ku. Kekasih ku meninggalkan ku. Meninggalkan luka yang mendalam. Membuat ku merasakan amarah yang sangat besar. Kenapa? Kenapa aku bisa jatuh cinta padanya? Kenapa aku punya perasaan ini? Aku benci rasa ini ada hanya untuk disakiti. Aku membenci Tuhan karena memenuhi hati ku dengan cinta. Aku mengutuk dunia karena membuat ku bertemu dengannya. Aku mengutuk nya karena pergi meninggalkan ku dan aku mengutuk diri ku sendiri karena jatuh cinta padanya.

Kami berpisah karena sebuah janji. Janji yang mengikat kami membuat ku membencinya, marah dan kecewa. Semuanya melebur menjadi satu. Membuat ku berpikir, aku tidak akan pernah lagi jatuh cinta. Apapun itu, jangan harap cinta bisa masuk ke hati ku. Memaksanya terbuka dan menempatinya. Tidak. akan. Pernah.

Discalimer : Masashi Kishimoto

Pairing : Narusasu, dan mungkin akan bertambah

Rated : T (Ane belum sanggup M)

Warning : YAOI, OOC, banyak typo disana sini, gaje abal, dll.

The Promise

Seorang pria memakai seragam militer dengan berbagai macam penghargaan tersemat didadanya. Langkahnya tegas tanpa terlihat takut sama sekali. Menyusuri koridor pangkalan militer menuju tempat parkir. Sesekali dia melihat jam tangan yang ada dipergelangan tangan kirinya. Sesekali mengangguk kan kepala jika ada yang memberi hormat.

"Kapten." Teriakan seseorang memanggil pria tersebut. Wajahnya segera menoleh ke belakang. Seorang laki-laki yang diperkirakan lebih muda darinya berlari tergesa-gesa seperti dikejar waktu.

"Hah, hah, Kapten." Ucap laki-laki tersebut dengan nafas tersengal. Tidak lupa dengan tangan yang diletakkan dipelipis untuk memberi hormat.

"..."

Melihat si pria terdiam dengan menatap tajam wajahnya, sudah dipastikan kalau dia tidak boleh membuang-buang waktu. Setelah mengatur nafas dengan baik, laki-laki tersebut mengatakan tujuannya memanggil sang Kapten.

"Kapten, Anda dipanggil Jendral Madara ke ruangannya." Lapornya.

Tanpa membalas laporan laki-laki tersebut, Sang Kapten segera memutar arah tujuannya ke ruangan Jendral di ikuti laki-laki tadi. Tak berapa lama, dia sampai tujuan. Menghadap pintu berwarna coklat di depannya yang terukir nama Madara Uchiha lalu mengetuknya tiga kali.

"Masuk." Sahutan dari dalam menyambut mereka.

Pintu itu terbuka, memperlihatkan ruangan rapi dengan meja kerja tepat di depan jendela sebelah kanan yang langsung menghadap tempat latihan militer. Satu set sofa tertata rapi ditengah ruangan dengan rak penuh buku dibelakangnya. Disebelah kanan terdapat pintu kecil yang diketahui sebagai kamar mandi. Namun, bukan keadaan ruangan itu yang menjadi fokusnya. Tapi, seorang pria dengan rambut hitam yang berdiri di depan jendela. Pria itu segera berbalik begitu merasakan orang yang diinginkannya sudah hadir. Sang Kapten dan laki-laki yang mengikutinya tadi segera memberi hormat.

"Akhirnya kau datang." Ujar pria tersebut seraya menuju meja kerjanya. "Tobi, tugas mu sudah selesai. Kembalilah ke pos mu." Lanjutnya ke arah laki-laki yang mengikuti Sang Kapten.

"Siap, Jendral."

Setelah kepergian Tobi, Madara lalu menyerahkan berkas yang ada di meja kerjanya. "Aku ingin kau mengawasi cucu ku. Namanya Satsuki dan Sasuke. Mereka sekolah di Tokyo High School." Jelasnya.

Sang Kapten terlihat membaca berkas di tangannya. Terlihat dua orang remaja dengan wajah yang serupa. Yang membedakan adalah jenis kelamin mereka. Dia mengernyitkan alisnya saat melihat sesuatu yang ganjil. 'Masing-masing mendapatkan sepuluh bodyguard untuk mengawasi mereka. Lalu untuk apa dia ada disana?'

"Aku ingin kau yang memimpin pengawasan secara langsung." Lanjut Madara lagi saat tidak mendapat tanggapan dari Sang Kapten.

"Bukannya sudah ada dua puluh pengawal untuk mereka?" Pertanyaan yang tadi menghantui benaknya akhirnya keluar juga.

"Aku tahu. Tapi, itu saja tidak cukup. Mereka berdua masih bisa kabur saat yang lain lengah. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan kaburnya mereka kembali."

Menutup berkas yang ada ditangannya, Sang Kapten menatap langsung ke mata onix Madara. "Maaf, Jendral. Tapi, spesialis ku adalah menjinakkan bom. Bukan mengawasi dua orang remaja seperti cucu, Anda." Ucapnya menolak secara tidak langsung. "Lagipula, kenapa Anda memilih ku?" lanjutnya lagi.

Madara terdiam sejenak. Pandangan matanya teralih kembali ke arah tempat latihan. Terlihat tentara-tentara muda itu berusaha mengikuti instruksi pelatih mereka. Wajahnya yang masih awet muda terlihat sendu.

"Fugaku adalah putra tunggal ku. Harapan ku satu-satunya setelah istri ku meninggal saat melahirkannya. Apapun keinginan Fugaku segera ku turuti. Apapun itu. Tapi, hanya satu yang tidak bisa ku kabulkan..."

Sang Kapten tahu kisah itu belum habis. Walaupun dia tidak tahu untuk apa Madara menceritakan padanya, dia tetap mendengarkan.

"...Fugaku yang saat itu bekerja disebuah perusahaan, berkenalan dengan seorang gadis pelayan cafe hingga akhirnya jatuh cinta. Aku menentang hubungan mereka. Kami yang sama-sama keras kepala tidak ada yang mengalah. Hingga anak ku pergi meninggalkan ku untuk menikah dengan kekasihnya.

Seharusnya aku mencarinya. Tapi, aku memilih diam dan semakin sibuk bekerja. Hingga setahun kemudian datang sebuah surat dari Fugaku. Berisi foto lucu Satsuki dan Sasuke. Dia bahkan masih mengingat ku. Namun, aku hanya memandang dingin foto itu. Bagi ku Fugaku sudah mati. Aku tidak punya anak lagi. Ku dedikasikan hidup ku hanya untuk negara. Sampai kabar itu datang."

Madara masih ingat. Waktu itu Satsuki dan Sasuke berumur 3 tahun saat datang ke rumahnya bersama Mikoto, istri Fugaku. Tubuhnya sudah dipenuhi luka. Bahkan Madara tidak yakin Mikoto dapat bertahan dengan luka tersebut kalau tidak melihatnya sendiri. Tapi, mana Fugaku? Kenapa hanya Mikoto yang ke sini? Pertanyaan itu terus bergelayut dibenaknya.

"Mereka menyerang kami dan membunuh Fugaku. Aku berhasil kabur dan langsung menuju ke sini. Tolong jaga anak kami. Mereka berdua adalah cucu mu. Aku tahu, Anda membenci kami. Tapi, ku mohon. Jangan membenci cucu, Anda. Tolong rawat mereka." Dengan susah payah, Mikoto menjelaskan tujuannya ke sini.

Madara langsung terpukul mendengarnya. Anak kesayangannya di bunuh. Anak yang sudah dibesarkannya dengan susah payah meninggal tanpa sempat menemuinya. Seharusnya dia tidak egois. Seharusnya dia membiarkan Fugaku menikah dan tinggal disini bersamanya. Seharusnya dan seharusnya. Itu yang tertanam dalam pikirannya.

"Siapa...? Siapa yang melakukannya?" Pertanyaan Madara hanya dibalas senyum lembut dari Mikoto. Dan tidak berapa lama dia sudah menyusul suaminya. Meninggalkan kedua buah hatinya yang masih terlelap. Tanpa mengetahui kalau orang tuanya sudah meninggal.

Madara memandang batita dipelukannya sendu. Cucu-cucunya begitu mirip dengan anaknya. Ah, tentu saja. Mereka pasti mirip karena ini memang cucunya. Di tatapnya kembali Mikoto. Menantunya yang sampai sekarang tidak diakuinya. Sebuah janji langsung terbersit dipikirannya. "Aku bersumpah atas nama kalian berdua. Sampai nafas ini berhenti. Sampai jiwa ini berpisah dari raganya. Aku, Madara Uchiha akan melindungi anak kalian berdua dengan segenap kemampuan ku. Itulah sumpah ku."

Ingatan itu masih terpatri kuat dalam hati, pikiran dan tubuhnya. Dia tidak perlu tahu apa yang terjadi pada anak dan menantunya. Prioritas utamanya adalah kedua cucunya. Sumpah itu akan terlaksana jika Sang Kapten membantunya.

Membalikkan tubuhnya, Madara menatap penuh keyakinan disana. "Hanya kau yang ku percayai dan mampu melindungi mereka. Tidak ada yang lain. Dan ini perintah."

Menatap sejenak ke arah Madara. Mencari suatu hal yang bisa membuatnya menolak hal tersebut. Sang Kapten hanya berdecih kecil saat tidak ada celah untuk menolaknya. "Baiklah. Tapi, aku akan membawa empat personil kepercayaan ku. Selain itu metode yang ku lakukan nanti tidak boleh di tolak. Dan ini mutlak."

Tersenyum kecil, Madara mengangguk menjawab permintaan pria dihadapannya. "Kalian langsung ke rumah ku. Disana ada kepala pelayan kami yang akan menunjukkan kamar kalian dan apapun yang kau inginkan."

"Kalau begitu, saya permisi dulu." Sahutnya dengan gerakan hormat.

Pria itu segera berbalik setelah urusannya didalam ruangan itu selesai. Tapi, saat dia akan keluar ruangan tersebut. Madara memanggilnya.

"Aku berharap penuh pada mu..." Pria itu menoleh ke arah Madara. "...Naruto."

.

.

.

Naruto berdiri disisi Jeep Wrangler berwarna hijau miliknya. Saat ini dia memakai T-shirt ketat berwarna hitam yang menampilkan bentuk tubuh yang menggoda setiap kaum hawa dan uke. Celana army berwarna hijau miliknya serta kacamata hitam yang menambah sisi keren dari seorang Naruto.

Selagi menunggu partner-nya datang, dia memilih menulis sesuatu di buku agenda berwarna coklat miliknya. Menulis apa yang dialaminya hari. Naruto memang bukan orang yang banyak bicara. Dia lebih cenderung bersikap dingin pada orang lain. Jika tidak ada yang penting, dia tidak akan bicara. Semua orang memang tahu sikapnya itu. Makanya mereka tidak pernah ambil hati akan sikap Naruto.

Naruto segera merapikan bukunya saat mendengar suara tapak kaki berderap menujunya. Menyimpannya dalam kantong celana army miliknya. Tangannya segera bersidekap saat melihat empat orang yang ditunggunya akhirnya memunculkan wujudnya.

Keempat orang itu segera meneguk ludahnya dengan berat saat melihat Naruto menatap mereka tajam. Walaupun memakai kacamata, hawa berat terasa pekat saat mereka mendekat.

"Maafkan kami, Kapten. Kami harus melapor dulu ke ruangan Yamato Senpai." Jawab salah satu diantara mereka dengan takut.

Naruto hanya menanggapi mereka dingin. Tanpa aba-aba sama sekali. Dia menaiki Jeep-nya disusul pandangan heran setimnya. 'Kenapa tidak dihukum?' begitu pikir mereka.

"Kalian berlari mengikuti mobil ku sampai batas waktu yang di tentukan." Perintah mutlak keluar dari bibir Naruto mengenai hukuman mereka.

Mereka hanya mengangguk mengiyakan tanpa adanya bantahan. Selama setim dengan Naruto, mereka tahu ada beberapa peraturan yang harus mereka ikuti. Pertama, tidak boleh telat. Kedua, ikuti peraturan dan tiga, jangan protes. Dan mereka cukup tahu diri untuk tidak protes akan hukuman dari Naruto. Kalau tidak, hukuman akan bertambah dua kali lipat. Dan mereka cukup sekali merasakannya.

Mereka berlari mengikuti mobil Naruto yang dipacu agak pelan. Sekejam-kejamnya Naruto, dia tidak pernah menghukum anggotanya lebih dari kemampuan mereka. Makanya, setelah lebih dari 100 km mereka berlari. Naruto menyuruh mereka naik ke mobil.

.

.

.

Mereka sampai di kediaman Madara satu jam kemudian. Pagar yang menjulang tinggi dengan lambang khas Uchiha dibagian tengah menyambut mereka. Salah seorang pria berpakaian militer yang memang ditugaskan disana menemui mereka.

"Selamat datang, Kapten Naruto." Tentara itu memberi hormat pada Naruto. "Buka gerbangnya." Lanjutnya dengan teriakan pada temannya yang berada didalam.

Mobil Naruto segera memasuki kawasan mansion. Halaman luas dengan mawar merah menyambut mereka. Suara decak kagum terdengan samar dari rekan Naruto. Setelah sampai di depan pintu utama. Mereka berlima turun dari mobil itu. Tidak berapa lama, pintu dengan bahan kayu jati itu terbuka. Menampilkan seorang pria bersurai silver dengan masker menutupi wajahnya.

"Selamat datang, Uzumaki-sama di kediaman Uchiha-sama. Saya Kakashi Hatake, Kepala Pelayan disini. Tuan besar sudah menelpon saya untuk melayani kalian semua." Ucapnya sembari membungkukkan tubuh. "Mari saya antar ke kamar kalian." Ajaknya kemudian.

Seketika raut wajah mereka berubah bahagia saat mendengar ucapan terakhir dari Kakashi. Namun, secepat itu muncul dan secepat itu pula menghilang saat mendengar perkataan Kapten mereka.

"Nanti saja. Aku ingin kau menunjukkan dimana ruang monitor berada."

"Baiklah. Mari ikuti saya." Jawab Kakashi seraya pergi ke ruang monitor diikuti Naruto dan rekannya.

Mereka menuju ruangan yang ternyata dapur itu. Sekilas memang tidak terlihat ke anehannya. Sama seperti dapur pada umumnya. Namun, mata terlatih seperti mereka tentu tidak dapat ditipu. Dan dugaan mereka benar. Kulkas mini yang terletak bersisian dengan kulkas besar itu terbuka menampilkan seorang pria memakai jas hitam. Membungkuk sebentar pada Kakashi dan bergegas pergi menuju lantai atas.

"Aku tidak menyangka kalau Jendral sepintar ini. Menggunakan pintu kulkas sebagai pintu masuk ke ruang monitor." Ujar seseorang di belakang Naruto. Mempunyai banyak piercing diwajah dan telinganya.

"Jendral mengantisipasi seorang penyusup yang bisa masuk kapan pun. Karena itu, dia menyamarkannya dengan bentuk kulkas." Jelas Kakashi. Dia segera mengajak mereka masuk kedalam ruang monitor.

Pintu ruangan bisa jadi kecil, namun saat didalam sangat luas. Naruto segera melihat ratusan monitor yang menampilkan seluruh kediaman Madara yang diawasi oleh dua orang pria. Hal sekecil apapun terekam jelas disana. Naruto tidak perlu lagi bersusah payah mengatur posisi kamera. Mungkin kaburnya cucu Madara membuat mereka semakin awas.

"Pain, aku ingin kau mengawasi ruang monitor ini. Keahlian mu dalam komputer sangat di butuhkan. Jika terjadi sesuatu, segera laporkan." Perintah Naruto pada pemuda penuh tindikan disebelah kirinya.

"Siap, Kapten."

"Hatake-san, dimana Uchiha kembar?" Tanya Naruto saat tidak melihat cucu Madara di monitor.

"Mereka sekarang berada di sekolah dan diawasi pengawal masing-masing."

"Apa mereka tahu tentang kami?"

"Tidak. Madara-sama ingin kalian semua yang memberitahu secara langsung."

"Nagato, Sasori." Panggilnya pada dua rekannya yang sama-sama punya rambut berwarna merah. "Aku menugaskan kalian menjemput Uchiha kembar sepulang sekolah. Dan aku ingin seluruh pengawal mereka berkumpul di ruangan ini nanti sore. Hatake-san, aku ingin jadwal kabur mereka berdua saat itu." Naruto melihat tiga orang yang disebutkan namanya tadi mengangguk. "Shukaku, ikuti aku. Kalian bertiga akan diantarkan Hatake-san ke kamar. Tapi, kalian harus mengingat tugas kalian tadi."

"Siap."

Mereka segera keluar dari ruangan monitor tersebut. Kakashi segera menuntun Pain, Nagato dan Sasori menuju kamar mereka. Sedangkan Naruto dan Shukaku memilih keluar rumah dan mengendarai Jeep nya.

"Shukaku. Aku ingin kau memasang sebuah chip ini di handphone Uchiha kembar. Aku juga ingin kau terus memantau kemana mereka pergi dan dengan siapa. Setiap sepuluh menit kau harus melapor." Ujar Naruto sambil memberikan dua chip berbentuk card memory. "Pindahkan dengan cepat data mereka ke chip ini sebelum kau tinggalkan di handphone Uchiha bersaudara."

"Baik, Kapten."

.

.

.

Mansion besar kediaman Uchiha memang luas. Penuh lorong yang bisa membuat tersesat. Pintu ruangan yang sama juga bisa membuat orang lain bingung. Mereka bersyukur tidak menginap disana. Kakashi mengantarkan ketiga rekan Naruto ke Paviliun belakang rumah yang dipisahkan dengan jalan setapak. Halaman belakang diisi oleh pohon pinus dan bunga lily berbagai warna. Cocok untuk mansion mewah Uchiha.

Tidak butuh waktu lama, mereka sampai ke tempat tujuan. Paviliun minimalis dengan design yang luar biasa yang di kelilingi pohon pinus.. Atapnya seperti cangkang keong berwana coklat tua. Jendela berukuran besar terletak didekat pintu masuk. Menampilkan ruang tamu berisi sofa putih, rak buku, sebuah meja kerja dengan komputer.

Kakashi membuka pintu mahoni berwarna coklat itu dengan kunci yang dibawanya. Dan kali ini mereka tidak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Ruangan yang terlihat tadi memang sama bentuknya begitu mereka masuk. Yang membedakan adalah, lantai ruangan tersebut adalah kaca bening dengan kolam ikan dibawahnya.

"Huwa... Hatake-san. Kaca ini tidak akan retak, kan?" Pertanyaan kekanakan itu keluar dari bibir Nagato yang memang tidak lihat tempat kalau sudah muncul.

"Baka Nagato. Kau lihat perabotan disini. Lebih berat benda itu dari pada kita. Lagipula, kaca itu pasti lebih kuat dari badan mu yang seperi ranting pinus diluar sana." Pain yang tepat berada disebelah Nagato menjawab dengan penuh sindiran.

"Pain, aku kan bertanya. Jawab baik-baik bisa, kan?"

"Aku setuju dengan Pain. Kalau Kapten melihat mu sekarang, dia pasti lebih memilih kami." Sahut Sasori yang mendukung Pain.

"Hey, Sasori. Jangan ikut-ikutan, ya. Dasar penggila boneka berwajah bayi." Balas Nagato menghina.

Sasori yang hendak membalas segera terdiam mendengar deheman seseorang diantara mereka. Kakashi sedang berdiri disana, menghadap mereka dengan tatapan terhibur. Sontak wajah mereka memerah. Kami-sama, mereka malu sekali. Seorang tentara seperti mereka bertengkar didepan orang lain. Apa yang akan di katakan orang dihadapan mereka ini setelah melihat tingkah mereka? Kalau Kapten tahu, dia akan mencincang tubuh mereka menjadi beberapa bagian karena sudah membuat malu.

"Sebaiknya kalian ikuti saya. Dari pada menghabiskan banyak waktu sekarang ini hanya untuk bercanda sesama teman." Ucap Kakashi sembari melanjutkan langkah kakinya ke dalam ruangan.

Ada satu poin penting yang berhasil ditangkap oleh telinga mereka. Bercanda? Mereka yang saling menghina tadi dianggap bercanda.

"KAMI TIDAK BERCANDA." Teriak mereka bertiga ke arah Kakashi. Hah, hancur sudah image mereka.

Kakashi hanya menggelengkan kepala mendengar teriakan mereka. Dia segera membuka ruangan yang bersebelahan dengan ruang tamu tadi yang ternyata sebuah kamar tidur. Nagato, Pain dan Sasori segera melihat ruang tersebut dan langsung kagum.

Ruangan tersebut tidak terlalu besar. Dindingnya di warnai dengan coklat muda. Ada seperangkat TV LED 40 inch disebelah kiri dekat pintu masuk. Ada bunk beds di sebelah kiri dan single bed disebelah kanan yang berhadapan langsung dengan pintu. Diantara tempat tidur itu ada lemari tiga pintu berwarna sama dengan dinding. Disebelah single bed ada jendela jendela besar yang berhadapan langsung dengan kolam renang yang terletak dibelakang paviliun. Didekat jendela itu ada sebuah pintu putih.

"Hatake-san. Itu pintu apa?" Nagato yang memang penasaran, bertanya.

"Itu kamar mandi." Jelasnya. "Silahkan kalian beristirahat sesuai pesan Uzumaki-sama. Jam satu siang nanti makan siang kalian akan diantar oleh pelayan." Lanjutnya.

"Dimana Shukaku dan Kapten tidur?" Tanya Nagato lagi. Kali ini dia sudah meletakkan barangnya di single bed. Sasori dan Pain yang melihat itu juga segera memilih tempat mereka.

Kakashi berbalik dari kamar mereka untuk menghadap pintu dibelakangnya. Pintu itu di buka memperlihatkan kamar sederhana. Bentuk ruangan dan perabotannya sama. Yang beda disana hanya ada satu tempat tidur, dan lemari dua pintu.

"Ini kamar untuk Shukaku-san. Dan Uzumaki-sama ada diatas." Jelasnya.

"Dimana tangganya? Aku tidak lihat." Kali ini Pain bergabung. Mengabaikan pandangan sinis dari Sasori yang terlambat mengambil posisi di bawah.

Dengan diam, Kakashi menuju ruangan belakang. Ternyata disana ada bar table minimalis lengkap dengan rak penuh minuman mahal dibelakangnya. Tiga tentara itu hanya tercengang menatap apa yang dihadapannya.

"Minuman itu pasti mahal." Sasori yang sadar duluan dari rasa tercengangnya menggelengkan kepalanya. "Orang kaya memang beda." Sambungnya lagi.

Dengan senyuman yang tidak terlihat. Kakashi berujar. "Kalian boleh minum minuman tersebut. Paviliun ini khusus milik Madara-sama kalau sedang senggang. Dia hanya sekadar minum dan bersantai. Kalau waktunya tidur, dia akan kembali ke rumah induk."

Ketiga tentara itu hanya mengangguk. Didalam kepala mereka sudah ada rencana untuk menikmati minuman itu nanti.

"Kalian tidak ikut?" Suara Kakashi memecah beribu rencana didalam kepala mereka. Merasa aneh saat melihat Kakashi sudah ada di tengah tangga yang terletak di dekat bar table.

"Tangga itu kapan munculnya, Hatake-san?" Pain menyerukan pertanyaan yang ada dibenak mereka.

Kakashi hanya menunjuk seseuatu dibalik rak minuman. Terlihat tombol berwarna merah dengan tulisan Aperi dan clausa disana. Mereka yang tidak tahu artinya hanya mengangkat bahu dan melangkahkan kaki ke atas.

"Wow, kamar Kapten bagus sekali." Seru Nagato takjub.

Terlihat sebuah kamar tanpa pintu dan juga dinding. Hanya di tutupi oleh gorden tebal berwarna coklat dengan pemberat di bawahnya. Sehingga pemandangan sekitarnya terlihat. Sebuah tempat tidur ukuran king size berada di tengah ruangan. Dibelakang tempat tidur ada sebuah teropong yang langsung berhadapan ke rumah induk. Disebelah kanan ada lemari besar dengan sebuah meja kerja disisinya lengkap dengan komputer. Bagian kiri ada sebuah ruangan dengan kaca buram sebagai dinding juga gorden tebal sebagai pintunya. Dan ketiga tentara itu menebak kalau ruangan kecil tersebut adalah kamar mandi.

"Aku tidak bisa menebak, seberapa banyak uang yang harus dihabiskan untuk membangun sebuah paviliun." Ucap Nagato miris.

"Tidak perlu menebak. Cukup kalian nikmati dan rasakan." Sahut Kakashi. "Sebaiknya kalian istirahat. Saya permisi dulu." Lanjutnya dan segera beranjak pergi dari sana.

"Dia benar. Cukup nikmati saja." Ujar Pain melanjutkan.

.

.

.

Shukaku dan Naruto berada dalam ruangan Kepala Sekolah. Kali ini dengan pakaian berbeda. Ya, tadi Naruto dan Shukaku membeli baju yang sesuai dengan penyamaran mereka. Naruto dengan kemeja putih polos yang ditutupi oleh jas hitam dan celana bahan berwarna sama dengan jasnya. Sepatu pantofel dan kaca mata hitam juga menambah nilai plus pada Naruto. Sekarang ini yang terlihat bukan Sang Kapten, tapi, seorang pengusaha sukses.

Shukaku juga tampil dengan berbeda. Baju kaos hitam di tutupi jaket coklat, celana jeans hitam dan juga sepatu sneakers coklat dengan strip putih, membuat penampilan Shukaku seperti anak muda kebanyakan.

"Senju-sama. Maafkan saya karena terlambat. Ini seragam sekolah untuk keponakan Anda." Ucap seorang pria agak tua dengan jas lengkapnya memasuki ruangan itu.

Naruto mengambil seragam dari tangan pria tersebut yang ternyata Kepala Sekolah. "Terima kasih, Kepala Sekolah. Anda sudah banyak membantu kami. Keponakan saya ini belum bisa beradaptasi. Jadi, tolong di bantu." Balas Naruto. Matanya lalu di arahkan kepada 'keponakan' nya. "Nah, Shukaku, pakai seragam mu. 'Belajar' yang rajin dan selalu 'perhatikan' apa yang di jelaskan oleh guru mu."

Shukaku yang sudah tahu maksud dari perkataan Naruto hanya mengangguk kecil. "Aku berganti baju dulu, Paman."

"Ah, ganti baju saja di kamar mandi itu. Sebentar lagi, wali kelas mu akan datang untuk mengantar mu." Tawar Kepala Sekolah pada Shukaku.

Shukaku segera beranjak dari kursinya menuju kamar mandi yang terletak disebelah kanan meja Kepala Sekolah. Sedangkan Naruto duduk berhadapan dengan Kepala Sekolah.

Kali ini Naruto menyamar sebagai seorang pengusaha ternama Senju. Sedangkan Shukaku, sebagai keponakannya yang baru pulang dari Amerika yang ingin bersekolah disana. Sebenarnya 'Senju' bukanlah samaran. Itu adalah marga kakek dari pihak ibunya yang memang seorang pengusaha terkenal di Amerika sana yang juga seorang MenHan. Dengan memakai marga 'Senju', Naruto bisa meminta ruangan yang sama dengan Uchiha bersaudara. Ruangan yang berisi anak-anak berpengaruh di Jepang.

Naruto menyuruh Shukaku bersekolah disini agar mudah mengawasi Uchiha bersaudara. Apalagi, dia tadi dapat sebuah email tentang waktu Uchiha bersaudara kabur. Dan itu semua bermula dari sekolah. Mereka yang tentunya hapal dengan kondisi sekolah, pastinya tahu dimana tempat strategis untuk kabur. Dan dengan menyuruh Shukaku, dia bisa dengan mudah menangani semuanya.

TOK TOK TOK

"Masuk." Balas Kepala Sekolah. Dia yang tadi sedang menulis sebuah laporan segera menghentikannya.

Seorang pria berumur 26 tahun memasuki ruangan itu. Rambut berwarna coklat dengan bekas luka melintang diwajah, serta pakaian yang dikenakannya membuat Naruto yakin kalau dia adalah wali kelas yang disebutkan oleh Kepala Sekolah.

"Senju-sama, dia adalah Umino Iruka. Wali kelas XI IA dimana keponakan Anda ditempatkan. Umino-san, ini adalah Senju Naruto."

Iruka mengangguk kan sedikit kepalanya. Sedangkan Naruto hanya duduk diam tanpa memandang Iruka. Iruka yang melihat itu mengernyitkan kepalanya heran.

CKLEK

Pintu kamar mandi terbuka menampilkan seorang pria-atau pemuda sekarang- dengan seragam sekolahnya. Dia segera membungkukkan tubuhnya ketika melihat Iruka. Dia tentunya tahu siapa pria itu. Suara Kepala Sekolah terdengar sampai ke kamar mandi.

"Dia Senju Shukaku, siswa baru di kelas mu. Shukaku, ikutlah dengan Umino-san. Dia akan mengantar mu sampai kelas." Jelas Kepala Sekolah.

"Kalau begitu, saya pamit dulu. Terima kasih atas waktu Anda Kepala Sekolah."

"Sama-sama, Senju-sama."

Naruto, Shukaku segera keluar ruangan tersebut mengikuti Iruka. Saat tiba di persimpangan koridor, Naruto dan Shukaku harus berpisah. Setelah bertatapan sebentar, mereka langsung mengalihkan tatapan mereka.

"Jadi, kenapa kau memilih sekolah disini, Senju-..."

"Panggil saya Shukaku, Sensei. Sangat aneh jika Anda memanggil marga keluarga saya." Potong Shukaku cepat. Dia sekarang berjalan di sebelah Iruka.

"Eh, ehem. Baiklah. Kamu juga harus memanggil saya Iruka-Sensei."

"Ya."

"Jadi?"

"Jadi apa, Sensei?"

"Pertanyaan Sensei tadi."

"Oh, saya hanya ingin merasakan bagaimana pendidikan di Jepang."

"Hanya itu?" Shukaku mengangguk.

"Oh, nah. Ini kelas mu yang baru." Seru Iruka saat mereka sudah di depan kelas.

Shukaku memandang pintu di depannya. Suara seorang wanita terdengar dari dalam. Dalam hati Shukaku menggerutu. Kenapa bukan Pain? Sasori ataupun Nagato? Kenapa harus dia segala? Apa Naruto tidak tahu kalau dia paling benci dengan sekolah? Hah, sudahlah. Naruto sudah memberikan dia perintah. Dan dia harus melakukannya. Dari pada di beri hukuman yang mengerikan.

Iruka mengetuk pintu di depannya. Suara yang di dengar Shukaku berhenti dan tidak lama kemudian pintu kelas itu terbuka. Terlihat seorang wanita cantik dengan seragam kerja ketat, rambut hitam yang tergerai dan jangan lupakan bibirnya yang indah di polesi lipstik.

"Iruka-Sensei, ada apa?" Tanya wanita itu.

"Kurenai-Sensei. Saya hanya mengantarkan seorang murid baru pindahan dari Amerika. Dia baru datang tadi."

"Tunggu sebentar di sini. Saat ku panggil baru kau boleh masuk."

Shukaku hanya mengangguk kecil sebagai balasan. Wanita itu segera masuk kembali. Terdengar ucapan wanita itu tentang murid baru dan suara penuh penasaran menyusul kemudian.

"Kau yang di luar. Masuk dan perkenalkan diri mu." Panggilan dari Kurenai segera di tanggapi oleh Shukaku. Iruka yang sudah menyelesaikan tugasnya pun sudah pergi meninggalkan Shukaku.

Langkah pertama, kelas yang tadi ramai sekarang menjadi hening. Langkah kedua mulai terdengar bisik-bisik. Dan langkah ketiga...

"KYAAAAAAAA"

"Tampan sekali."

"Apa dia sudah punya pacar?"

"Siapa dia?"

Teriakan dan bisikan bercampur jadi satu. Telinga Shukaku sampai berdenging mendengar teriakan mereka tadi.

BRAK

"Bisakah kalian diam? Atau aku akan menyuruh kalian mengerjakan 500 soal latihan." Bentak Kurenai memukul meja dengan kuat.

Suara berisik tadi langsung menghilang. Shukaku yang sudah merasakan aman pada telinganya segera membukanya.

"Kenalkan diri mu." Perintah Kurenai.

"Ehem, nama ku Senju Shukaku, pindahan dari Amerika." Singkat dan padat.

SING~

Keheningan masih terasa. Menunggu Shukaku memperkenalkan dirinya lebih jauh lagi.

KRIK KRIK

Hening

"Shukaku, apa segitu saja perkenalannya?" Tanya Kurenai pelan. Takut Shukaku merasa minder memperkenalkan dirinya.

"Hn."

"Oh, ok. Ehem, baiklah. Kau boleh duduk di sebelah Nara Shikamaru."

Shukaku mengedarkan pandangannya. Bukan untuk melihat seorang Nara. Namun, untuk mengetahui posisi Uchiha bersaudara. Dan mereka berdua duduk tepat di depan seorang laki-laki yang mengangkat tangannya.

"Nama ku Shikamaru. Kau duduk dengan ku." Ujar laki-laki itu yang ternyata menjadi teman semejanya.

'Well, posisi yang sangat pas.' Dalam hati, Shukaku menyeringai atas keberuntungan yang didapatkannya.

.

.

.

TBC

Wokeh, jangan marahi Ane. Marahi otak Ane yang selalu memikirkan cerita baru. Tenang aja koq, Jatuh Cinta, Eh? Dan I Love You, Duren juga masih Ane teruskan. Ane hanya mau cerita yang ini agak sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Pengennya sih Oneshot, tapi, sepertinya terlalu panjang. Yang ada entar semua orang tidak penasaran lagi.

Jadi, Ane tunggu riview semuanya, Yakkkkkkkk...