VIERA V LŽI

By Arianne794

.

Family, Hurt/Comfort, Romance, Crime

.

.

.

Ditulis berdasarkan sebuah cerita bersambung berjudul sama yang bagian pertamanya terbit disebuah majalah lokal edisi XXXVI; 21 Agustus 1997, oleh Reanne Baisya.

.

.

Our uncomfortable rendezvous and coincidence

.

.

Hari itu langit mendung. Awan kelabu berarak perlahan, mengirim rasa cemas akan datangnya hujan. Orang-orang mulai panik, berlarian karena sadar tak membawa pelindung. Berkas-berkas kertas disembunyikan dalam tas, pun semua perangkat elektronik tak tahan air disimpan rapat. Semuanya menghindar dari rintik hujan yang basahnya bisa membawa bencana. Sepersekian detik, suara brashkeras terdengar dari jutaan tetes air yang jatuh menghantam bumi.

Berlarian, menyebabkan percikan air ke sekitaran, biarlah. Tetesan air dari ujung payung mengenai orang lain, pun acuh tak acuh. Peduli apa, yang penting diri sendiri sedikit aman lebih dulu.

"Sayang, bertahanlah!"

Seorang wanita muda seperempat abad berlari susah payah menghindari lalu lalang pejalan kaki, menembus hujan deras dengan lengan mendekap erat seorang gadis kecil berbalut jaket merah marun tebal bertudung. Tetesan air hujan yang membasahi tubuh dan memedihkan mata ia abaikan, tak apa selama gadis kecil dalam dekapannya terlindung dari air hujan. Walau nyatanya percuma juga.

Kesalahannya memang. Tak ingat membawa payung atau apapun itu sesaat setelah ia membaca angka tigapuluhsembilan derajat di termometer digital. Ia tak sempat melihat langit yang mendung karena kening panas menjadi prioritas.

Panik, ketakutan, khawatir. Semua perasaan bercampur aduk dalam dirinya sehingga yang dapat ia pikirkan adalah merujuk ke fasilitas kesehatan terdekat. Kesialan menimpa ketika klinik kecil yang biasanya ia kunjungi ternyata tutup.

Ia berlari menuju halte bus terdekat, menapak cepat pada tangga bus ketika alat transportasi itu berhenti dan membuka pintu. Tak ada satupun kursi yang kosong, membuatnya harus susah payah menenangkan gadis kecil dalam dekapan yang tak henti mengigau; dingin, Mama, sangat dingin dalam kondisi berdiri. Ketika bus melaju ia harus menjaga posisi sembari mencoba mengurangi kegelisahan gadis kecilnya. Hatinya makin kalut ketika mendapati kening gadis kecilnya tak juga berubah, malah tak ubah sepanas bara..

Bibir pucat tak henti merapal kata-kata penenang bagai mantra.

"Tenanglah, Mama bersamamu, Sayang…"

Orang-orang acuh tak acuh melihat keadaannya. Memang apa yang diharapkan? Sudah sejak lama ia tak lagi menaruh harapan kepada orang lain. Ia sendiri mulai menggigil, serangan panik yang ditahannya mulai muncul ke permukaan. Tetapi memikirkan sang buah jauh lebih menderita membuatnya menguatkan diri.

Bus berhenti di dekat sebuah rumah sakit elit setelah melewati waktu yang membuatnya nyaris menggigit kuku. Hujan masih deras, membuatnya harus kembali melindungi gadis kecilnya sambil menerobos. Ia berlari menuju instalasi gawat darurat.

Ia merasa setengah sadar saat gadis kecilnya diambil alih orang lain, dibaringkan di ranjang putih berbau antiseptik, disentuh tangan-tangan lain bersama tirai bergaris yang tertutup. Ia berdiri gelisah, pucat wajahnya beriring dengan gemeletuk gigitan kuku. Batinnya lagi-lagi merapal mantra, berderet tanpa henti nyaris tanpa jeda. Sepanjang waktu ia habiskan dengan berusaha menenangkan diri, ia tak boleh kehilangan diri pada saat seperti ini.

Tirai bergaris terbuka, langkahnya refleks mendekat. Banyak sekali pertanyaan yang hendak meluncur, tapi pada akhirnya ia tercekat.

"B-bagaimana—"

Lelaki berjas putih yang punya senyum menawan itu menyentuh bahunya, dan seketika rasa paniknya perlahan menurun. Nafas terengah mulai beraturan.

"Putri Nyonya baik-baik saja, putri Anda hanya mengalami demam dan flu."

"T-tapi panasnya—"

"Nyonya tenang saja, flunya akan segera membaik. Demamnya juga akan segera turun dan normal. Lebih dari itu, bukankah Anda ingin melihat putri Anda?"

Wanita itu tersentak, dan nyaris berlari mencapai ranjang putri kecilnya. Ia bersimpuh, mengusap wajah berkeringat dengan sayang, lalu mengecup bergantian antara dahi dan pipi gembul yang ronanya mulai memudar. Hatinya mengucap syukur meskipun meringis melihat punggung tangan gadis kecilnya tertusuk jarum infus.

"Apakah putri Anda kehujanan beberapa hari sebelum ini? Apa jadwal makannya tidak teratur?" Dokter berpostur jangkung itu bertanya dari seberang ranjang. Wanita itu mengangguk pelan.

"Sudah dua hari dia kehujanan karena saya tidak sempat menjemputnya di sekolah. Dia memang susah sekali makan akhir-akhir ini. Semuanya salah saya." Katanya penuh sesal. Dokter itu tersenyum kecil, begitupun dengan perawat cantik di sebelahnya.

"Putri Anda akan membaik segera, setelah infusnya habis Anda bisa membawanya pulang, atau di sini semalam untuk memastikan kondisinya. Resep obat bisa ditebus di apotek rumah sakit. Dan, semoga cepat sembuh untuk putri Anda, Nyonya." Dokter itu membungkuk pelan. Begitupun dirinya, ia bangkit dan membalas bungkukan sopan itu.

"Bisakah saya mendata putri Anda, Nyonya?" Kata perawat itu.

"Ya…"

"Atas nama?"

"Shia." Perawat itu mengernyitkan dahi mendengar nama singkat itu, tampak hanya nama pemberian tanpa itu tersenyum kecil melihat reaksi perawat itu.

"Shia, hanya Shia." Perawat itu tersentak kecil sebelum berdeham canggung dan mengulas senyum.

"Berapa umur Nona Shia?"

"Tujuh tahun 16 April ini."

"Dan Anda?"

"Lu Han."

"Baiklah, Nyonya Lu Han. Dokter Park sudah meresepkan obat dan Anda bisa menebusnya di apotek kapan saja. Semoga lekas sembuh."

.

.

.

Luhan memutuskan untuk membawa gadis kecilnya pulang setelah cairan infusnya habis, atas permintaan Shia sendiri. Gadis kecilnya sudah membuka mata, memeluknya erat dan berkata jangan pergi. Luhan tersenyum lega melihat kondisi buah hatinya membaik, panasnya sudah menurun dan Shia sudah mampu tersenyum seperti biasa meskipun masih sedikit lemah.

"Sebentar lagi infus Shia akan habis, jadi Mama harus pergi sebentar untuk mengambil obat Shia, oke?"

Dahi Shia mengerut dalam.

"Mama tidak boleh pergi." Kata gadis kecil berambut hitam kecoklatan itu. Luhan tersenyum kecil.

"Bukankah Shia bilang ingin segera pulang karena tidak suka di sini? Atau Shia ingin di sini dulu dan pulang besok?" Sebenarnya Luhan tidak masalah jika Shia pulang besok, sekalipun mungkin ia akan menghabiskan sedikit lebih banyak uang, namun baginya, kesehatan putri kecilnya jauh lebih penting.

Shia mencebikkan bibirnya, berpikir keras terhadap kalimat ibunya.

"Mama akan menghabiskan banyak uang jika Shia pulang besok." Luhan mencelos mendengar kalimat yang tak seharusnya diucapkan gadis kecil berumur enam tahun itu. Luhan mengusap sayang kening Shia dengan tatapan sendu.

"Mama janji hanya sebentar?" Shia memberikan pandangan penuh harap, Luhan tahu, Shia sangat benci ditinggal sendirian.

"Hm-mm, tentu saja. Mama hanya pergi ke apotek dan mengambil obat Shia saja. Shia tidak perlu takut, jika Shia butuh sesuatu Shia bisa minta tolong pada nona perawat, oke?"

Shia mengangguk. Luhan mengecup dahinya sebelum bangkit dari kursi.

Luhan berjalan menuju apotek dan setelah mengambil tebusan obat, ia menuju bagian resepsionis. Tepat sebelum ia sampai di sana, tangannya yang meraba saku mantel terhenti. Wajahnya pasih mendapati dirinya tak dapat menemukan dompet.

Tuhan, apa lagi ini?

Luhan menepi ke bangku tunggu dan mengobrak-abrik mantelnya. Saku kemeja dan juga saku celana kain ia raba kasar. Luhan nyaris meremat rambutnya yang sedikit berantakan. Uang dan kartu-kartu penting ada di sana dan setahunya ia masih memiliki dompetnya setelah memasuki rumah sakit ini. Kemana hilangnya benda itu?!

Ia tidak bisa pulang untuk mengambil uang karena kartu busnya ada di dompet itu. Tidak mungkin ia berjalan pulang sementara hujan masih lebat dan ia berjanji tak akan lama. Pun ia tak bisa menghubungi seseorang untuk membantunya. Luhan mendesah berat. Ia menggigit bibir, sebenarnya ada, namun ia tak yakin.

Apa yang harus ia lakukan?

Luhan menggelengkan kepalanya. Apapun harus ia lakukan untuk Shia, sekalipun ia harus mendengar kalimat-kalimat kasar yang membuat telinganya bernanah nantinya.

"Permisi, apakah saya bisa meminjam telepon?" Kata Luhan pada petugas resepsionis.

"Oh, tentu saja Nyonya. Silakan."

Luhan menekan deretan nomor dan menunggu panggilantersambung.

"Ya? Kediaman Gong di sini…"

"A-ah, Nyonya Gong… Ini saya, Luhan…"

"Oh, Luhan! Kenapa kau menghubungiku? Apa kau sudah punya uang untuk membayar sewa bulan ini dan bulan lalu?" Luhan menggigit bibir.

"Maaf, saya menelpon karena saya membutuhkan bantuan Anda. Shi—"

"Bantuan apa maksudmu?" Suara yang terdengar tidak suka itu memotong dengan kasar.

"Shia demam tinggi, dan saya bawa ke rumah sakit. Saya—"

Kalimatnya kembali dipotong. "Oh, kau minta aku untuk membayar biaya rumah sakit anakmu yang merepotkan itu? Kalau kau sendiri tidak punya uang mengapa kau membawanya ke rumah sakit?! Kau pikir aku ini bank berjalanmu, hah?! Kau menunggak sewa dua bulan dan kau masih berani meminjam uangku? Darimana aku dapat jaminan kau akan membayarnya?"

Luhan menyunggingkan senyum miris tipis. Ia sudah berkali-kali dihina dan dicerca macam ini, tapi tak apa, demi Shia.

"Maafkan saya, dompet saya hilang di bus dan saya tidak mungkin kembali pulang. Saya berjanji akan segera melunasinya akhir bulan ini."

"Dari kemarin kau selalu mengatakan hal yang sama. Tidak mungkin kembali pulang, huh? Lantas kau pikir aku mau susah susah pergi menemuimu hanya untuk urusan sepele macam ini?"

"Saya mohon, Nyonya…" Luhan sudah tak tahu apa lagi yang harus ia ucapkan.

Sambungan terputus, dan Luhan menghela nafas. Ia mengembalikan telepon itu dengan senyum tipis, dan gadis resepsionis itu memberi senyum maklum.

"Maaf, permisi…" Sebuah suara maskulin yang berat terdengar di sampingnya dan membuat Luhan sedikit menyingkir. Ia hendak berjalan kembali ke bangsal Shia, namun lengannya ditarik kecil. Dan ia terkejut ketika seorang pria paruh baya tengah memberi senyum teduh.

"Apakah Anda sedang kesulitan?"

Ada niat baik terdengar dari sana, tapi Luhan memilih untuk memasang tameng defensif. Ia mundur beberapa langkah setelah menjauhkan tangan pria itu. Siapa pula yang akan dengan senang hati menyambut uluran tangan orang tak dikenal? Luhan sudah belajar untuk menolaknya.

"Maaf?"

"Saya mendengar percakapan Anda di telepon, dan saya kira Anda sedang membutuhkan bantuan. Apakah anak Anda sedang sakit?"

Mata Luhan memicing tak suka. "Bagaimana Anda tahu—"

"Saya melihat Anda menggendong anak perempuan tadi siang. Dan saya sudah mengatakan bahwa saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda di telepon. Saya bisa membantu—"

"Maaf, tapi tidak, terimakasih." Luhan membungkukkan badannya sebelum pria paruh baya itu sempat menyelesaikan kalimatnya. Tapi, sepertinya tak hanya Luhan yang tak mau mendengar.

"Saya akan membayar tagihan atas nama Shia." Pria paruh baya itu beralih ke gadis resepsionis dan mengabaikan Luhan dengan baik. Luhan tersentak.

"Maaf, saya tidak bisa menerima bantuan Anda, Tuan. Nona, tolong hentikan." Gadis resepsionis itu terbelah, gugup hendak menuruti siapa.

"Lakukan." Gadis resepsionis itu tergagap kecil sebelum mengurus tagihan Luhan. Luhan berkali-kali menyela, tapi sama sekali tidak digubris.

Luhan memasang wajah datar ketika kertas tagihan disodorkan padanya. Biji matanya menatap tak suka, entah ia harus marah atau berterimakasih.

"Maafkan kelancangan saya, tapi saya hanya menjalankan perintah atasan saya." Luhan mengerjap dan mengangkat pandangannya.

"Maksud Anda?" Luhan nyaris membisik. Ia baru akan kembali melontarkan kalimat ketika seseorang lain memanggil pria paruh baya itu.

"Paman Seo."

"Saya permisi, Nyonya Luhan." Luhan tersentak. Dan berlari kecil saat menyadari pria yang dipanggil Paman Seo itu berjalan mengikuti seorang lelaki berpakaian rapi menuju pintu keluar.

"Maaf, permisi… Permisi, Tuan!"

Luhan mencegat langkah dua orang berbeda usia itu.

Seorang lelaki muda berusia akhir duapuluhan menatapnya datar. Luhan meneguk ludah sebelum membungkukkan badan.

"Maafkan saya, tapi apa maksud Tuan membayar tagihan rumah sakit Shia—maksud saya, anak saya?" Luhan bertanya dengan nada bergetar, kenangan kecil tentang hal serupa berkilas dan membuatnya tak nyaman.

"Anda sedang kesulitan." Jawab lelaki berambut hitam itu. Luhan reflek meninggikan suara.

"Dan kenapa Anda harus melakukannya?"

Lelaki berambut hitam itu sedikit membulatkan mata sebelum mengulas senyum samar. "Ini hal yang sedikit memalukan untuk saya katakan di pertemuan pertama, tapi, saya rasa saya harus mengatakannya agar Anda mengerti?"

Luhan mempertahankan kening berkerutnya.

"Maaf jika saya tidak sopan, tapi saya tidak bisa melihat seorang ibu kesulitan sendirian. Saya pernah berada di posisi putri Anda, dan saya seperti melihat diri saya ketika kecil dulu."

Kerutan dahi Luhan memudar perlahan dan raut wajahnya melunak.

"Saya teringat ibu saya ketika melihat Anda, Nyonya." Luhan tertegun sejenak.

Luhan membungkukkan badannya sembilan puluh derajat. "Saya benar-benar berterimakasih, maafkan saya. Tapi saya akan segera mengembalikan uang Anda, Tuan."

Lelaki berambut hitam itu menggeleng pelan. "Anda tidak perlu—"

"Tidak, saya akan tetap mengembalikannya." Kata Luhan tegas.

Lelaki itu kembali tersenyum tipis sebelum mengambil sesuatu dari saku jas dan mengulurkannya ke Luhan. Luhan menerimanya dengan anggukan kecil.

"Anda bisa menghubungi saya kapan saja, tidak perlu terburu-buru. Saya permisi, Nyonya Luhan. Semoga putri Anda cepat sembuh." Dua orang itu membungkukkan badan, begitupun Luhan yang diiringi ucapan terimakasih.

Luhanmenatap kartu nama berwarna putih dengan aksen perak sederhana itu, hanya tertera nama lengkap dan nomor panggilan. Tak ada keterangan apapun tentang siapa lelaki berambut hitam itu.

"Oh Se Hun." Bisiknya perlahan.

.

.

.

Pagi itu semua kembali berjalan normal. Luhan terbangun dengan Shia yang meringkuk dalam dekapannya. Ia bangkit ke kamar mandi setelah membenarkan selimutsang buah hati. Mengurus segala keperluan Shia untuk pergi kesekolah. Berusaha membuatkan bekal seenak mungkin meski kerap kali ia nyaris menangis hanya bisa memberikan bekal sederhana sementara anak lain mendapatkan daging setiap hari.

Ia akan menghentikan pekerjaannya ketika suara khas bangun tidur Shia yang menggumamkan "Mama, Shia sudah bangun…"terdengar dari kamar. Ia memandikan Shia yang masih setengah terpejam dengan canda dan godaan kecil. Mengikat rambut hitam kecoklatan serupa miliknya dengan pita merah marun. Mengantarkan Shia ke sekolahnya dan memberikan kata-kata penyemangat.

"Shia janji, jangan menerobos hujan lagi sekalipun Shia bawa payung. Tunggu Mama menjemputmu, oke? Mama sudah menghubungi Kim Saem agar menjagamu sebelum Mama datang. Jangan lupa habiskan makan siang Shia dan makan obat yang sudah Mama siapkan. Ah, dan—"

"Dan jadi anak baik yang tidak cengeng dan pintar. Harus mendengarkan nasihat Kim Saem dan tidak boleh bertengkar. Shia harus tersenyum dan menyapa teman-teman." Senyum kekanakan lebar yang membuat mata bulat itu menyipit bak bulan sabit membuat Luhan tersenyum.

"Benar sekali. Apa Mama harus menyiapkan kata-kata lain besok?" Katanya bercanda. Shia mencium pipi ibunya dengan sayang.

"Tidak perlu, Shia suka, kok! Mama baik-baik ya, jangan sampai Mama terlalu lelah. Shia janji jadi anak baik; Mama tidak perlu khawatir. Shia sayang Mama. Muah!" Shia mengecup bibir ibunya sebelum melambai dan berlari masuk ke sekolah.

Luhan tersenyum saat menatap langkah gadis kecilnya yang penuh semangat. Membisikkan doa akan kebaikan Shia, berharap apa yang ia terima hari ini mampu berguna di masa depan. Berharap kehidupannya kelak akan lebih baik dan tak perlu mencicipi asam garam kehidupan yang semenyakitkan ibunya ini.

Dan sekarang, tugasnya untuk memberikan kehidupan yang layak kembali dimulai.

Ia bukanlah seorang wanita dengan titel sarjana di belakang namanya, meski ia sempat mengenyam bangku perkuliahan. Persaingan begitu ketat dan mendapatkan pekerjaan di era milenial tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada ribuan orang mengantri di satu lowongan kerja dan peluangnya tak ubahnya lubang jarum.

Tapi ia tak putus asa, bagaimanapun ia tak bisa putus asa.

"Selamat datang, Luhan!" Suara lembut dari seorang wanita bermata bulat menyapa kedatangan Luhan di sebuah kedai makan sederhana di salah satu gang yang cukup ramai. Luhan tersenyum.

"Selamat pagi, Kyungsoo… Datang lebih pagi seperti biasanya, huh?"

Wanita bernama Kyungsoo itu melemparkan cengiran singkat yang membuat Luhan mendenguskan tawa. Tangannya yang sedikit kasar tengah mengelap tumpukan piring dan Luhan segera mendekat setelah meletakkan tasnya di pantry.

"Ganti pakaianmu dulu sebelum Nyonya Jang marah, Luhan!" Kata Kyungsoo memperingatkan sambil berusaha mengambil kain lap yang Luhan pegang. Luhan mengelak dengan mulus.

"Masih ada setengah jam, oke?"

Kyungsoo memutar bola matanya. "Aku tidak tanggung kalau wanita tua itu memarahimu."

"Siapa yang kau sebut wanita tua, hah?"

Seorang wanita paruh baya berjalan menuruni tangga dengan mata memicing ke arah dua wanita muda yang tengah sibuk itu. Kyungsoo berjengit sementara Luhan menahan senyum.

"Maksudku wanita cantik, mungkin Nyonya salah dengar." Kyungsoo dengan santai menjawab pertanyaan itu dan Luhan kembali mengulum senyum. Nyonya Jang mendekat dan memeriksa pekerjaan mereka.

"Apakah ada hal khusus sehingga Nyonya turun lebih pagi?" Luhan bertanya. Nyonya Jang menggeleng pelan dan berjalan menuju lemari penyimpanan. Suara sahutan terdengar sedikit teredam.

"Tidak, dan jangan panggil aku Nyonya dan segera ganti pakaianmu, Luhan!"

Kyungsoo memberikan tatapan apa kubilang dan Luhan mendengus kecil. Luhan beranjak menuju ruang loker di bagian belakang dan mengganti pakaiannya dengan celana kain panjang dan blus putih yang dibalut celemek cokelat tua. Ketika Luhan mengikat rambutnya lebih tinggi dan tak sengaja menatap bayangan di cermin, ia tertegun.

Ini mengingatkannya pada dirinya dulu.

Luhan menggeleng kecil dan meninggalkan ruang itu.

"Aku seperti melihat Luhan umur delapan belas." Komentar Kyungsoo refleks ketika melihat Luhan keluar. Luhan tertegun dan tanpa sadar mengulas senyum sendu. Kyungsoo langsung menyadari kesalahannya.

"Maafkan aku."Kyungsoo segera mengubah atmosfer. "Kita harus bekerja keras agar mendapat banyak tips!"

Luhan terkekeh kecil. "Tentu saja."

Luhan dan Kyungsoo bekerja sebagai koki di kedai makan milik Nyonya Jang. Terhitung tahun kedua bagi Luhan dan tahun ketiga bagi Kyungsoo. Ada tiga lain yang bekerja sebagai pelayan dan seorang lagi yang menyentuh ranah minuman dan makanan manis, sementara Nyonya Jang sendiri memegang meja kasir. Kedai itu akan ramai di jam sarapan menjelang makan siang dan akan tutup menjelang petang.

Memang uang yang ia dapatkan dari sini tidak dapat mencakup seluruh biaya, namun setidaknya ia menyukai pekerjaan ini dan dikelilingi orang-orang yang baik hati. Wanita paruh baya yang sudah seperti ibu baginya itu kerap memberikan tips dan juga pinjaman saat ia kesulitan. Kyungsoo dan yang lain selalu menjadi teman yang baik dan pengertian. Dan Luhan tak tahu di mana ia akan menemukan orang-orang seperti ini.

"Luhan, kau tidak usah kembali kesini setelah menjemput Shia. Shia masih sakit bukan?" Kata Nyonya Jang setelah kesibukan jam makan siang selesai. Luhan yang tengah membereskan piring-piring kotor menoleh.

"Shia sudah membaik dan aku tidak mungkin pulang lebih awal lagi, Nyonya." Luhan merasa sungkan terhadap kebaikan Nyonya Jang.

"Kau bilang kau punya urusan hari ini, Luhan. Lagipula jam ramai sudah lewat, kami akan baik-baik saja. Bukan begitu, Nyonya?" Kata Kyungsoo dari depan kompor.

"Kyungsoo benar, Luhan. Setidaknya sampai anakmu sembuh benar sering-seringlah bersamanya, percaya atau tidak keberadaanmu sudah menjadi obat baginya."

Luhan tersenyum kecil dan kembali berkutat dengan piring-piring kotornya. "Baiklah, tapi tetap harus menyelesaikan tumpukan piring ini, bukan?"

Luhan mengganti pakaian dan segera keluar dari kedai itu begitu mengucapkan salam perpisahan kecil. Ia tertegun ketika mendapati sebuah amplop putih panjang ada di dalam tas saat ia hendak mengambil kartu bus. Begitu melihat isinya ia langsung tersenyum kecil; sejumlah uang yang diketahuinya sebagai gaji bulan ini. Ada beberapa lembar tambahan di sana yang membuat Luhan menghela nafas, lagi-lagi Nyonya Jang berbaik hati.

"Pasti Kyungsoo yang bicara pada Nyonya Jang sehingga beliau memberikan gaji lebih awal." Gumamnya. Ia segera memasukkan amplop itu begitu bus tiba.

Perjalanan itu tak banyak memakan waktu. Ia turun dan berjalan beberapa saat menuju sekolah Shia. Baru saja ia memasuki gerbang sekolah ia sudah ditubruk seseorang bertubuh lebih pendek darinya. Luhan terkejut setengah mati.

"Mama!"

Luhan tersenyum begitu tahu siapa yang antusias memeluknya ini.

"Mama pikir Shia masih di dalam bersama Kim Saem, heum?" Luhan mengangkat tubuh ringan Shia ke gedongannya seraya memberikan kecupan sayang.

"Tadi Shia melihat Mama dari jauh, jadi Shia langsung pamitan pada Kim Saem. Ah! Mamanya Nara ingin bertemu Mama." Luhan mengerutkan dahi.

"Mamanya Nara? Maksudmu Nyonya Kim?"

Shia mengangguk semangat. "Hmm! Nah, itu mereka." Shia menunjuk sepasang ibu dan anak yang berjalan mendekat ke mereka. Luhan menurunkan Shia dari pelukannya ketika mereka sampai.

"Selamat siang, Nyonya Luhan."

"Ah, selamat siang, Nyonya Kim. Ada perlu apa sampai repot-repot ingin bertemu dengan saya?" Kata Luhan.

"Ah, begini." Wanita seumuran dengan Luhan itu menunjukkan roman sedikit malu sambil mengelus rambut Nara yang tampak bercengkerama dengan Shia. "Nara berulang tahun senin minggu depan, dan dia minta dibuatkan masakan Anda, Nyonya Luhan."

Luhan tampak terkejut. "Ah, ulang tahun. Tapi—"

"Saya tidak pandai memasak," Potong wanita itu dengan senyuman malu. "Jadi setiap hari saya hanya bisa membuatkan roti isi saja. Shia sering berbagi bekal makan siangnya dengan Nara, dan Nara selalu berkata dia suka sekali bekal buatan Anda. Juga dengan kue-kue kecil yang sering Shia bawa, begitu."

Ah, Luhan mengerti. Luhan mengalihkan pandangan pada Shia yang tengah memberikan cengiran kecil yang lucu, kemudian pada Nara yang terlihat bersembunyi di belakang ibunya, merona malu.

"Apa Mamanya Shia mau membuatkan Nara kue ulang tahun? Dan juga yang seperti bekal makan siang Shia?" Nara berkata malu dan sedikit mencicit, mengundang tawa renyah dari dua wanita dewasa di sana.

"Ah, tentu saja. Nara ingin dibuatkan apa saja?"

Mereka berpisah begitu bertukar nomor kontak. Luhan menggandeng Shia yang tampak lebih cerah dari biasanya. Luhan tersenyum kecil. Mereka berjalan seiring menelusuri trotoar pinggir jalan yang tak terlalu ramai.

"Ada apa? Kenapa Shia tampak sangat senang hari ini?"

"Tidak ada apa-apa." Gadis kecil itu menatap ibunya dengan binar lucu. "Mama, kenapa kita berjalan kesini? Apa kita tidak akan pulang kerumah?" lanjut Shia ketika sadar ini bukan jalan pulang.

"Mama harus bertemu dengan seseorang, Shia mau kan, menemani Mama?"

"Ung! Shia mau. Siapa yang mau Mama temui? Teman Mama?"

Luhan memberikan usapan kecil di puncak rambut Shia yang sedikit terurai lepas dari ikatan pitanya. "Hmm, salah satu kenalan Mama."

Luhan membuka ponselnya dan kembali memastikan pesan dari Oh Se Hun, seseorang itu. Kemarin Luhan menghubunginya dan direspon cukup baik. Mereka membuat janji hari ini dan lelaki itu yang menentukan di mana mereka akan bertemu, mengingat jadwalnya yang terbilang padat. Luhan mahfum, sudah sangat terlihat dari penampilannya meski Luhan belum tahu apapun tentang lelaki yang berbaik hati menolongnya kala itu.

"Woah, apa kita akan makan di sini, Mama?" Shia tak dapat menyembunyikan raut wajah antusiasnya begitu sampai di tempat tujuan; sebuah restoran keluarga yang tampak indah dan menarik.

Luhan terdiam sejenak, namun akhirnya ia mengangguk.

"Tentu saja." Akan ia pikirkan nanti tentang uang yang akan dihabiskannya.

"Kita cari meja nomor 16, oke?" Shia mengangguk semangat dan membimbing langkah Luhan. Wanita berambut hitam kecoklatan itu terkekeh kecil.

Mereka disambut ucapan selamat datang yang ramah ketika memasuki restoran yang ternyata cukup ramai itu. Luhan hampir-hampir tak dapat melihat di mana meja bernomor 16.

"Ada yang bisa kami bantu?" Salah seorang pelayan mendekat dan menawarkan bantuan. Luhan mengangguk kecil.

"Kami mencari meja nomor 16."

"Ah! Reservasi atas nama Tuan Oh Se Hun, benar? Mari, saya antarkan." Luhan mengernyitkan dahi. Reservasi? Berarti pria itu belum datang?

Mereka mengikuti langkah pelayan itu dan Luhan tak dapat menahan senyum melihat Shia tak juga menghapus senyumannya. Meja nomor 16 ternyata sedikit ke dalam dan berada di samping kaca-kaca transparan yang menampakkan bagian outdoor yang ternyata cukup ramai pula.

"Silakan duduk. Apa Anda ingin memesan sekarang?"

"Ah, tidak terimakasih. Kami akan memesan nanti." Sahut Luhan sembari duduk. Pelayan itu mengangguk sopan dan menjauh.

"Mama, kita masih menunggu teman Mama, ya?"

"Hm-mm, Mama rasa sebentar lagi. Shia bisa menunggu, kan?"

"Eum!" Kaki Shia yang menggantung beberapa senti dari lantai mengayun-ayun kecil, matanya tak lepas mengamati seisi ruang.

Seorang pria bersetelan hitam berjalan menuruni tangga restoran. Kaki panjangberhenti menapaki anak tangga saat netra gelapnyamenangkap seorang wanita berambut hitam kecoklatan dan gadis kecil serupa tengah bercengkerama kecil. Salah satu sudut bibir tertarik miring.

"Menarik."

"Diam."

"Mama, lain kali apa Shia boleh duduk di meja luar?" Shia lagi-lagi tak bisa menyembunyikan nada antusiasnya.

Luhan baru akan membuka bibir sampai seseorang menyela.

"Tentu saja boleh, Shia." Luhan terkejut menyadari kedatangan pria bersetelan rapi itu. Matanya tak lepas dari ukiran senyum ramah di wajah tegas itu.

"Apa paman temannya Mama Shia?" Shia bertanya dengan raut wajah menggemaskan.

Sehun terkekeh pelan sambil mendudukkan diri. "Ya, bisa dibilang begitu, Nona Kecil." Sehun beralih kepada Luhan. "Apakah kalian menunggu terlalu lama? Maaf, saya baru saja selesai dari lantai atas."

Luhan mengerjap. "A-ah, tidak. Kami baru saja sampai. Harusnya saya yang meminta maaf karena kami mengganggu waktu Anda, Tuan Oh."

Pria itu tersenyum tipis. "Tidak, samasekali tidak. Apa kalian ingin memesan sekarang? Permi—"

"Mohon tunggu sebentar, Tuan Oh." Luhan menyela dan mengobrak abrik isi tas tangannya. Ia mengeluarkan sebuah amplop putih polos dari sana dan mengulurkannya ke atas meja.

Luhan menundukkan wajahnya sopan. "Terimakasih atas bantuan Anda sebelumnya. Maafkan saya baru bisa mengembalikannya sekarang." Shia mengikuti apa yang ibunya lakukan, meskipun ia sama sekali tidak tahu apa maksudnya.

Di sisi lain, Sehun tertegun. Sebuah senyum tipis muncul melihat pasangan ibu dan anak itu.

"Sebenarnya Anda tidak perlu mengembalikannya." Kata Sehun sambil menatap Luhan dan Shia bergantian. Luhan menggeleng.

"Tidak, saya sudah berjanji akan mengembalikannya. Mohon diterima." Luhan memberi nada paksaan yang kentara.

Sehun pada akhirnya menerima uang yang sebenarnya tak seberapa itu.

"Kenapa Mama bilang begitu pada paman ini?" Tiba-tiba Shia bertanya, ternyata gadis kecil itu tak bisa diam dengan hal ini. Mengapa ibunya memberikan amplop pada temannya ini?

Luhan tersenyum kecil sambil mengelus rambut Shia. "Kemarin Tuan Oh membantu mama saat Shia di rumah sakit. Dan Mama mengembalikannya sekarang."

Shia mengerjap kecil kemudian menatap Sehun dengan tatapan benarkah? yang membuat Sehun menggigit bibir kecil, menahan senyuman.

"Ya, bukankah kita harus saling membantu, Shia?" Katanya.

"Kalau begitu Shia juga harus berterimakasih. Tuan Oh, terimakasih telah membantu Mama Shia saat Shia sedang sakit!" Gadis kecil itu membungkuk kecil, mengundang kekeh renyah dari satu-satunya pria di sana.

Tangan besar yang kokoh terulur dan mengusak poni rambut Shia dengan pelan, membuat Shia mengangkat wajahnya. "Sama-sama, dan jangan panggil aku seperti itu. Panggil dengan Paman Sehun, oke?"

Shia tersenyum manis. "Eum, Paman Sehun!"

Sehun beralih pada Luhan, memberikan tatapan yang tak dapat diartikan bersama dengan senyum tipis yang menawan.

"Bagaimana dengan kartu-kartu penting yang ada di dompet Anda?" Luhan tersenyum sopan.

"Saya sudah mengurusnya, dan tidak saya sangka bisa selesai secepat ini."

"Syukurlah kalau begitu." Sehun menatap sekilas pada arloji hitamnya.

"Ah, maafkan saya. Sepertinya saya harus segera pergi." Begitu Sehun berucap, seorang pria paruh baya yang Luhan kenali sebagai seseorang yang Sehun panggil Paman Seo datang. Berdiri di sebelah Sehun lantas membungkukkan badannya sekilas. Luhan membalas dengan sama sopannya.

"Terimakasih kalian sudah menyempatkan diri hari ini, dan maafkan saya tidak bisa menemani lebih lama." Luhan menggeleng pelan.

"Seharusnya saya yang berterimakasih dan meminta maaf, karena sudah merepotkan Anda sejauh ini." Luhan tak tersinggung sama sekali dengan hal itu, Sehun sudah menyisihkan sedikit waktu untuk urusan sepele macam ini sudah membuat Luhan bersyukur.

"Kalau begitu saya pergi. Selamat siang, Nyonya Luhan." Sehun bangkit, lantas menepuk puncak kepala Shia dengan sayang. Hal itu membuat Luhan merasa sedikit tidak nyaman.

"Paman pergi dulu, ya? Shia cepat sembuh dan besok jangan sakit lagi, oke?" Shia membalas senyuman tipis itu dengan cengiran khas.

"Eung! Sampai jumpa, Paman Sehun!"

Sehun melangkah menjauh, meninggalkan Luhan yang terpaku menatap punggungnya. Sesuatu yang terasa tidak nyaman menelusup dalam dadanya. Ia tersentak saat Shia menarik blusnya dari samping. Tangannya nyaris menepis kasar tarikan itu.

Nyaris saja, Tuhan… Nyaris saja.

Shia memiringkan kepalanya bingung. "Mama kenapa?"

Luhan dengan segera menggeleng. "Shia ingin memesan apa?"

Hari itu, ketika Luhan hendak membayar tagihan makan siangnya, pelayan yang sama menolak lembaran uangnya dan berkata :

"Semua sudah dibayar atas nama Tuan Oh, beliau meminta agar Anda memeriksa kotak pesan Anda, Nyonya."

Dan sebuah pesan datang, sesuai janji.

Today, 02.35 PM

Saya terbiasa melakukannya di pertemuan kedua. Dan Anda tidak boleh mengembalikannya. Sampai jumpa lagi, Nyonya Lu Han.

.

.

.

"Selanjutnya apalagi, Shia?"

"Tomat ceri dan paprika kuning!"

Sepasang ibu dan anak berjalan menyusuri koridor supermarket bagian fresh vegetable and fruit dengan troli penuh bahan makanan. Luhan mendorong troli sembari mengambil bahan yang Shia sebutkan, menimang kualitasnya. Sementara Shia yang duduk di bagian khusus troli memegang kertas yang cukup panjang, berseru semangat menyebutkan isi daftar itu.

"Selanjutnya?"

"Ung, bagaimana cara membaca ini, Mama?" Shia menunjukkan kertas daftar itu dan seketika Luhan tertawa.

"Maafkan Mama menuliskannya kurang jelas, itu buah peach, Sayang."

Shia mengangguk-angguk mengerti. "Berarti kita akan mulai membeli untuk kue, Mama?"

"Yap! Dan Shia harus membantu mama memilih mana yang bagus, oke?" Luhan mengecup bibir Shia sekilas dan Shia tersenyum lucu, ikut mengembangkan senyum di belah bibir wanita cantik itu.

Luhan mendorong trolinya kembali dan berhenti di bagian buah peach. Luhan mengambil dua buah peach dari sekat berbeda. Luhan menunjukkannya kepada Shia yang menunggu dengan semangat.

"Menurut Shia, mana yang lebih baik untuk dibuat kue?" Luhan bertanya dan Shia mengetukkan jari pada bibirnya, membuat gestur berpikir yang membuat Luhan mengulum senyum.

"Yang kanan lebih kecil dari yang kiri, heuunngg, tapi mama pernah bilang kalau kecil bukan berarti tidak manis. Uhh," Luhan benar-benar gemas. "karena Shia kecil dan manis, jadi Shia pilih yang kanan!"

Cengiran polos itu membuat Luhan tertawa renyah. Luhan mendekatkan wajah dan menggesekkan hidung mereka, ciuman kelinci kebiasaan.

"Pilihan Shia benar, tapi alasannya tidak boleh karena itu, oke? Shia bisa mencium wangi buah ini, coba…" Shia mencium wangi buah peach kanan, kemudian yang kiri. "dengan begitu Shia bisa tahu mana yang lebih baik untuk dibuat kue. Mengerti?"

"Ung! Shia mengerti." Luhan mengambil beberapa buah lagi dan memasukkannya kedalam troli.

"Kita lanjutkan ke bagian kue, oke?" Shia mengangguk, kakinya masih mengayun-ayun kecil.

Mereka meninggalkan koridor itu dan berbelok ke kanan menuju bagian roti dan kue. Shia tak henti bertanya pada Luhan tentang apa yang ia lihat, apa gunanya, apa rasanya, seperti apa bentuk di dalamnya. Dan Luhan dengan sabar menjawab semua pertanyaan itu. Menatap binar mata putri tunggalnya dengan penuh kasih sayang.

"Tepung terigu tinggi protein dan susu vanila." Shia kembali menyebutkan isi daftar.

"Baiklah! Tepung terigu tinggi protein dan susu vanila bubuk dataang." Shia terkikik melihat ibunya.

"Ah! Ini yang terakhir. Mama, selanjutnya kita kemana?" Mereka keluar dari koridor roti dan kue dan berbelok menuju koridor selanjutnya.

"Kita beli shampoo kesukaan Shia, bagaimana?" Shia tak menjawab. Diam-diam melirik ibunya takut-takut saat Luhan memasukkan sebotol shampoo beraroma bunga sakura kedalam troli.

"Mama, Shia ingin es krim, boleh?" Shia akhirnya bertanya, menatap ibunya dengan pandangan mata memelas yang membuat Luhan nyaris luluh. Tapi dengan tegas Luhan menggeleng, ini sudah kesekian kalinya Shia bertanya hal yang sama dan jawabannya tetap tidak. Shia baru saja sembuh dari sakit dan mana mungkin ia membiarkan anaknya kembali sakit.

Membayangkan betapa tinggi demamnya kala itu membuat Luhan benar-benar panik.

"Bukankah Shia baru saja sembuh, hm?"

"Paman Sehun!" Luhan seketika berbalik.

Sebuah kebetulan yang tidak Luhan inginkan, melihat Sehun mendekat kearahnya dengan tangan memegang beberapa botol produk pembersih tubuh. Luhan bisa melihat Sehun tengah tersenyum tipis padanya, tapi Luhan tak menemukan dirinya sangat menyukai senyuman itu.

"Selamat pagi, Shia, Luhan."

Luhan tetap membungkukkan badan meskipun terkejut dengan panggilan yang dinilainya terlalu akrab itu. Penampilan pria itu tak jauh berbeda dari dua pertemuan mereka sebelumnya, masih rapi dan luwes meski tanpa balutan jas dan ikatan dasi. Pria itu terlihat lebih santai.

"Paman Sehun sedang membeli apa?" Shia bertanya dengan ramah, dan Luhan nyaris menyesali kalimat tentang harus bersikap ramah pada siapapun yang ia camkan pada putri kecilnya itu.

Sehun berjalan lebih dekat. "Paman sedang membeli beberapa shampoo dan beberapa lain. Shia sedang apa di sini?"

"Shia membantu membacakan daftar ini untuk Mama!" Sehun melihat daftar yang dilambaikan Shia dan sedikit terkejut melihat jumlahnya yang begitu banyak.

"Apa kalian sedang akan mengadakan acara, Luhan?"

Lagi-lagi ia memanggilku Luhan…

"I-itu…"

"Eum! Teman Shia akan ulang tahun besok dan meminta Mama Shia untuk membuatkan kue dan bento. Namanya Nara dan—"

"Shia." Luhan menegur putrinya itu dengan lembut, ia tak menyukainya. Shia terdiam sejenak sebelum menunduk dan menggumamkan maaf sangat pelan.

Sehun tersenyum mahfum melihatnya.

"Apakah kau sudah selesai?" Luhan mengerjap mendengar pertanyaan itu.

"A-ada beberapa barang lain yang harus saya beli, kalau begitu—"

"Kalau begitu kau tidak keberatan kalau aku membantumu mendorong troli? Belanjaanmu sangat banyak dan kurasa Shia terlalu sayang untuk turun dari sana, bukan begitu, Shia?" Sehun mengerling pada Shia, yang langsung merona malu. Gadis kecil itu mengangguk dan seketika Luhan kehilangan kata.

Luhan tak bisa melakukan apa-apa saat Sehun mengambil alih troli itu setelah memasukkan barangnya sendiri kedalam troli. Dalam hati memaki mengapa dirinya menurut saja pada pria asing itu. Seharusnya tidak begini, seharusnya pria itu tidak sedekat ini pada mereka. Dan mengapa bibirnya begitu kaku untuk melontarkan penolakan? Terlalu sungkankah dirinya terhadap kebaikan Sehun kala itu? Tapi, tidak seharusnya Sehun melewati batas sampai seperti ini.

Namun pada akhirnya Luhan menyerah saat melihat senyum dan binar mata Shia yang terlihat berbeda saat memandang Sehun. Hati kecilnya tercubit, namun enggan mendengarkan kata hati dan menepis perasaan itu jauh-jauh.

"Shia baik-baik sebentar, ya." Luhan beralih pada Sehun. "Tolong jaga Shia sebentar, Tuan Oh." Luhan melesat pergi setelah menepuk puncak kepala Shia sayang, berbelok di ujung rak dan menghilang.

"Sepertinya Mama sedang membeli roti tawar, tapi nanti Paman Sehun jangan bilang apa-apa, ya?" Shia membuat gestur diam dengan telunjuk di depan mulut yang mengerucut kecil.

Sehun mengerjap. "O-oh, roti tawar, ya? Baiklah, Paman akan diam saja." Sehun mengikuti gestur yang Shia buat meski tidak tahu apa yang gadis manis ini maksud.

Mereka berjalan pelan menyusuri celah jalan diantara rak-rak tinggi. Sesekali Shia bertanya pada Sehun tentang apa yang mereka lewati, dan dengan sabar Sehun menyahuti semua pertanyaan itu.

"Ada apa, Shia?" Tanya Sehun ketika Shia terdiam dengan pandangan terpaku pada sesuatu. Sehun mengikuti arah pandang Shia dan seketika membisu, tidak dapat berkata apapun.

Ada seorang anak perempuan yang sedang digendong ibunya, bersama ayahnya yang tengah mendorong troli. Mereka terlihat sangat cerah dengan candaan dan gelitikkecil.

Sehun beralih menatap Shia. Tangannya reflek mengusap kepalanya sayang saat mendapati mata itu tak secerah sebelumnya, ada lapisan kaca tipis dan sorot sedih di sana.

"Shia baik-baik saja?" Tanya Sehun, sama sekali tidak menampakkan nada iba dan mengasihani di sana. Karena menurutnya, Shia bukanlah gadis kecil yang memerlukan iba dan rasa kasihan dari orang lain. Gadis ini begitu kuat, begitupun dengan ibunya.

"Kenapa paman bertanya seperti itu?"

Meskipun senyum lucu itu sedikit palsu, Sehun memilih tak lagi berkata apapun. Mereka melanjutkan perjalanan menuju kasir. Antrian sedikit mengular saat mereka sampai dan begitu mereka masuk kedalam antrian, Luhan datang.

Sebelah tangannya berada dibelakang tubuh, menyembunyikan sesuatu—Sehun nyaris tersedak saat matanya melirik sekilas apa yang Luhan sembunyikan, kini ia mengerti kalimat Shia sebelumnya. Sementara yang satu lagi mengusap wajah Shia perlahan seakan tengah memeriksa apakah Sehun melukainya atau tidak. Sehun hanya tersenyum pada akhirnya. Mengerti mengapa Luhan melakukan hal tersebut.

"Sekalian saja, ya, aku hanya membeli sedikit barang." Luhan mengangguk dengan senyum kaku, hitung saja sebagai ucapan terimakasih untuk bantuan kecilnya kali ini.

Antrian itu berjalan sedikit lambat, membuat Shia kebosanan. Duduk diam bukanlah sifatnya, namun bagaimanapun ia tidak mau turun hanya untuk berdiri berhimpitan. Lagipula di sini tak terlalu buruk meski ia hanya bisa duduk; lengan Sehun memegang erat kedua sisi troli dan menjaganya dari guncangan kecil dari troli lain.

Gadis kecil itu mendapatkan selapis air bening pada dua mata indahnya. Hal itu tak luput dari sang Ibu, namun lagi-lagi Luhan mengabaikan itu, menepis dan mengalihkan pandangan.

"Selamat datang di Latte Mart. Kami akan segera melayani Anda." Penjaga kasir bersenyum lebar itu mulai menghitung isi troli mereka.

Ketika semuanya hampir selesai, Sehun meminta penjaga kasir itu untuk memisahkan barang miliknya. Luhan dan Sehun membayar secara terpisah. Luhan diam-diam merasa lega, setelah semuanya bukan tidak mungkin Sehun akan bertingkah agar mendapatkan lebih banyak waktu untuk bertemu dengannya, atau hanya untuk membuatnya berhutang budi. Sehun sudah mendapatkan banyak perhatian dari Shia, dan Luhan tak bisa menerimanya dengan senang hati.

Luhan dengan pikiran kompleksnya, dan Sehun dengan senyum kecil mendapati Luhan merona padam saat memberikan barang yang ia sembunyikan tadi kepada penjaga kasir.

"Paman keluar sebentar ya?" Sehun meninggalkan mereka saat salah satu petugas hampir menyelesaikan pengemasannya.

Seharusnya Luhan tidak berpikir Sehun sudah pergi, karena saat ia keluar sebuah mobil hitam sudah terparkir apik di depan supermarket. Sehun yang berdiri di sisi samping mobil langsung mengambil alih plastik besar yang susah payah ia bawa untuk dimasukkan kedalam bagasi mobil itu.

Luhan lagi-lagi tak mampu menolak, terlebih dengan kalimat yang diucapkan Sehun, bukan untuk dirinya, tapi untuk Shia.

"Apa Shia keberatan Paman Sehun mengantar Shia dan Mama pulang?"

"Eung!" Gelengan Shia dan jawaban selanjutnya membuat Luhan kalah dari orang asing. "Shia tidak keberatan."

Luhan memandang Sehun yang tengah mengulas senyum tipis dengan tatapan datar, percikan tidak suka dan defensif menguar samar, tersembunyi oleh rasa sungkan.

Dia tidak membiarkanku mendorongnya menjauh.

.

Tbc

.

Masih prolog, sepertinya akan berjalan slowbuild.

Ini disesuaikan dengan saat sekarang karena, yeah, ternyata kultur dan latar susah dipadukan *sobs, mungkin nanti akan campur aduk. Kali ini saya menulis untuk kepuasan pribadi, haha, selingan untuk RL yang agak menyebalkan.

Kalau tidak ada halangan ini akan diupdate tiap tanggal yang ada angka nol-nya. :") Terimakasih sudah membaca dan semoga ini bisa diterima yaaa. ^^

Dengan keadaan masih beraroma panggangan barbeque dan kembang api (uhuk), saya ucapkan

Happy New Year 2k18! Semoga resolusi kita semua bisa tercapai ya!

.

Anne, 2018-01-01