Disclaimer : Masashi Kishimoto

Summary : Pada kenyataannya aku memang merindukan suaranya.

Rate : Setelah perdebatan dengan hati nurani, akhirnya saia memutuskan memberikan rating PG-15 untuk fic ini.

Author's Note : YAOI. AU. OOCness. Gaje. Don't like don't read.

Pairing : Uchiha Sasuke & Uzumaki Naruto

Inspired by : title inspired by 'Sometimes in April', a movie that I forgot who made it Xp . 'Watchmen', a Zack Snyder's film . 'G.I Joe : Rise of The Cobra', a Stephen Sommers's film .

-

-

-

Saya kehilangan kemampuan saia membuat ONESHOT. =.=. setelah kehilangan kemampuan membuat lemon scene, sekarang giliran ONESHOT yang menghilang. Lama-lama vakum nih dari ffn.

-

-

-

_Chiba Asuka's Present_

_Sometimes in April_

-

-

-

Chapter 1

New York.

Uchiha Sasuke's journal, April 3rd, 1974.

Saat ini sudah tepat enam tahun. Dan pada kenyataannya aku memang merindukan suaranya. Tidak. Bukan hanya suaranya. Aku merindukan semua hal darinya. Suaranya, senyumnya, tawanya, matanya, sentuhannya, dirinya.

Aku selalu mengingatnya setiap saat, dan hari ini semua ingatan tentang dirinya menyeruak ke permukaan otakku. Kemudian aku mulai berkutat dengan notes kecilku, berusaha menumpahkan semua kenanganku itu.

Dan sekarang, aku akan mulai.

Semua itu bermula pada tanggal 3 April tahun 1968, di suatu hari di bulan April dengan musim seminya yang cerah. Hari ketika Richard M. Nixon terpilih sebagai presiden Amerika Serikat, dan aku sendiri juga baru saja diangkat menjadi Senator of New York. Posisi yang cukup menjanjikan. Aku mendapat kantor pribadi di Albany, sekretaris pribadi yang cantik, dan juga akses khusus ke White House. Aku lajang, masih muda, tampan, kaya, sukses, mapan dan terpandang. Semuanya kelihatan sempurna kan?

Tapi sebenarnya tidak.

Aku yang merupakan pewaris tunggal dari Uchiha's Corporation, perusahaan terbesar di Amerika yang memimpin dan merancang semua percobaan ilmu pengetahuan, seharusnya hanya tinggal ongkang-ongkang kaki saja selama sisa hidupku. Tidak perlu bagiku untuk terjun ke dunia politik dan bekerja keras lagi karena aku bisa memiliki semua yang kuinginkan dengan mudah hanya dengan sekali tunjuk. Tapi pada kenyataannya, semuanya tidak seindah kelihatannya. Aku menjadi satu-satunya pewaris tunggal, karena kakakku diasingkan di Alcatraz setelah membantai seluruh anggota keluargaku dan hanya menyisakan aku seorang. Aku tumbuh besar dengan dendam akan kakakku yang meninggal tak lama setelah dikirim ke Alcatraz. Aku dikucilkan dari golongan sosialku karena mempunyai kakak yang sakit jiwa. Tapi setelah kerja keras selama tujuh belas tahun, aku kembali mendapatkan posisiku yang seharusnya di masyarakat. Aku mendapatkan harga diriku kembali.

Seharusnya aku merasa cukup sekarang. Tapi belum. Aku merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupku, sesuatu yang telah lama hilang sejak seluruh keluargaku mati. Tapi aku tidak tahu apa itu.

Terdengar suara pintu diketuk.

"Masuk," kataku dingin.

Pintu terbuka, dan sekretarisku, Haruno Sakura, memasuki ruangan. Dia bisa saja menjadi Miss Universe dengan kecantikan dan otak cemerlangnya daripada bekerja sebagai sekretarisku. Aku mengakui aku bukan atasan yang baik.

"Laporan dari NYPD baru saja datang, Sir," katanya cekatan sambil menyerahkan map yang tebalnya di atas rata-rata. "Dan baru saja ada telepon dari White House, rapat kabinet akan diadakan pukul delapan malam ini."

Aku membuka map yang diserahkan Haruno, dan langsung menyingkirkannya dari hadapanku. Laporan dari NYPD selalu menjadi bacaanku sebelum tidur, bukan di jam kerja. "Ada yang lain?" tanyaku.

"Mengenai Perang Vietnam, Sir," kata Haruno. Ada sedikit kilat kesedihan di mata hijau emeraldnya. Aku tahu apa yang dirasakannya mengenai perang itu. Tunangannya, Rock Lee, yang bertugas di garis depan selama perang itu berlangsung belum memberinya kabar selama dua bulan terakhir. Dan baru tiga minggu yang lalu, Nara Shikamaru, Menteri Pertahanan dan Keamanan Negara yang kejeniusannya tak tertandingi itu, datang ke kantorku untuk memberitahukan bahwa Letnan Rock Lee dikabarkan hilang. Tak ada kata 'mati' di angkatan darat. Kalau kau dinyatakan hilang, berarti kau mati.

"Presiden meminta persetujuan Anda untuk memulai mengoperasikan ANBU," Haruno melanjutkan.

Aku mengernyit. ANBU adalah American Nuclear Bakckfire Unit, unit yang rencananya akan menjadi senjata nuklir terkuat di dunia. Presiden Nixon memintaku merancang proyek itu melalui Uchiha's Corporation untuk berjaga-jaga seandainya Uni Sovyet ingin memulai perang nuklir melawan USA. Perang dingin membawa ketakutan yang tak perlu, tapi aku menyanggupi merancang proyek itu.

"Aku akan bicara dengannya secara personal mengenai itu," tanggapku.

Haruno mengangguk paham. "Baik," kata Haruno. "Dan yang terakhir, Miss Yamanaka mengajak Anda untuk makan malam bersama besok. Pukul tujuh."

"Batalkan yang itu," kataku cepat. Ini sudah ke sembilan kalinya Yamanaka Ino itu mengajakku makan malam, tapi aku selalu menolaknya, tak peduli dia adalah anak dari konglomerat besar Amerika. Aku tahu Yamanaka mengajakku makan malam bukan untuk membicarakan bisnis atau politik yang tentunya tidak akan dia pahami. Aku tidak tertarik untuk menjalani hubungan tak perlu dengan wanita. Aku sepaham dengan Nara Shikamaru dalam hal ini. Merepotkan.

"Ini hanya saran dari saya, Sir, tapi sebaiknya Anda menerima undangan itu," kata Haruno.

Aku mengernyit memandang wanita cantik berambut merah muda itu.

Haruno berdehem untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. "Tampil bersama wanita, dalam kasus ini Miss Yamanaka, penting untuk karir Anda, Sir. Terutama di mata pers."

"Aku tak peduli dengan apa yang dilihat kecoak-kecoak pers itu, Haruno."

"Tapi di The New York Gazette kali ini mulai muncul artikel kalau Anda…" Haruno terhenti sebentar, ia menarik napas dan melanjutkan, "Maaf sebelumnya, Sir. Koran itu menyatakan kalau Anda adalah seorang homoseksual." Wajah Haruno agak memerah setelah mengatakan kalimat itu, dan dia menunduk menatap sepatu hak tingginya.

Aku mengangkat alis. Konyol. "Aku sudah mengatakan padamu kalau aku tak peduli dengan apa yang ditulis pers. Kalaupun mereka mengatakan aku gigolo sekalipun. Kau bisa keluar dari ruanganku sekarang, Haruno."

Haruno mengangguk dan bergegas keluar.

Aku menghela napas dan bersandar di punggung kursiku. Walaupun aku menolak mentah-mentah saran Haruno, aku tahu kalau dia ada benarnya. Sudah cukup bagiku dipandang rendah sebagai adik seorang psikopat, tak perlu terulang lagi dengan dipandang rendah sebagai seorang homoseksual. Aku tak tahu darimana pers mendapatkan ide untuk menulis artikel tak penting seperti itu, tapi kurasa mereka cukup jeli untuk tahu bahwa seumur hidup Uchiha Sasuke yang tampan bagaikan Adonis itu belum pernah sekalipun kencan dengan wanita. Menurutku cinta itu sesuatu yang tak masuk akal dan penghambat karir.

Tapi ternyata kata-kata Haruno tadi membuatku resah juga. Prinsip dan pikiranku mulai bertentangan. Bukan berarti aku belum pernah menyukai lawan jenis secara spesifik, bagaimanapun juga aku tetap seorang pria, tapi… aku memejamkan mata dan menghela napas. Aku masih normal, tegasku dalam hati. Semua perang yang terjadi ternyata bisa membuatku stress juga sampai berpikir yang tidak-tidak. Aku mengurut keningku dengan ujung jariku. Kurasa terlalu banyak pikiran dalam otakku. Aku harus menumpahkannya pada sesorang supaya aku tidak gila…

Kriiing.

Aku mengangkat gagang telepon yang terletak seperempat meter di hadapanku.

"Tuan Nara ingin bicara dengan Anda, Sir," terdengar suara lembut Haruno.

"Sambungkan sekarang," perintahku. Dan beberapa detik kemudian, suara lembut Haruno langsung digantikan oleh suara Nara Shikamaru.

"Uchiha, bagaimana menurutmu dengan ANBU?" tanyanya tanpa berbasa-basi.

"Aku akan membicarakan masalah itu dengan Presiden secara personal, Nara. Kau akan tahu hasilnya nanti."

"Aku juga akan mengirim laporan mengenai berapa banyak yang hilang dari pihak kita secara personal padamu, Uchiha. Kau akan tahu jumlahnya nanti," balas Nara. Aku paham apa maksudnya. Ia berusaha memperingatkanku mengenai banyaknya korban di pihak kita dan secara implisit memintaku menolak rencana Presiden. Bukan pertama kalinya bagi Nara untuk menolak usul langsung Presiden. Untungnya kami belum pernah kalah dalam perang selama ia yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan-nya.

"Baiklah," kataku dingin.

Nara menggumam puas, dan mengakhiri pembicaraan. Kurasa dia juga stress, pikirku sembari meletakkan gagang telepon di tempatnya semula. Nara Shikamaru sebelum perang Vietnam adalah orang yang terlalu santai dan tidak pedulian. Bukan tipe orang yang akan mengancamku dengan halus seperti tadi. Tapi sejak Jenderal Asuma, orang yang sudah dianggap sebagai ayah sendiri oleh Nara, tewas dua tahun yang lalu di awal perang, dia berubah total.

Tsk. Bukan saatnya bagiku untuk memikirkan urusan orang lain sekarang ini. Aku mengecek arlojiku. Pukul lima sore. Masih tiga jam sebelum rapat kabinet. Aku bangkit berdiri dan mengambil mantelku lalu berjalan keluar dari kantorku.

"Hubungi aku kalau terjadi sesuatu," pamitku pada Haruno yang mengangguk menyanggupi.

Aku keluar ke trotoar yang ramai dengan pejalan kaki lainnya dan berjalan sepanjang 21st Avenue, berusaha menjernihkan otakku dan memikirkan alasan yang tepat untuk menolak permintaan Presiden. Tapi Nixon kemungkinan besar akan bersikeras menggunakan ANBU dan meratakan Vietnam sekaligus, tak peduli itu liberal atau komunis. Tapi itu terlalu berisiko. Aku juga tak ingin menghilangan negara yang tak ada sangkut pautnya dari peta. Lagipula menghancurkan Vietnam bukan berarti akan menghentikan perang dingin, malah akan semakin memperparahnya. Dugaan Uni Sovyet bahwa kami punya nuklir akan terbukti. Einstein keparat, seandainya dia tidak menemukan benda berbahaya macam—

Bruk!

Pikiranku terhenti ketika aku menyadari bahwa aku telah menabrak seseorang. Orang yang kutabrak tadi jatuh terduduk di trotoar dengan segala macam berkas-berkas bertebaran di sekitarnya. Ia meringis kesakitan, tapi langsung bergegas mengumpulkan barang-barangnya sebelum diinjak-injak oleh orang yang lewat. Merasa tak enak, aku berlutut dan membantunya.

"Maaf," kata orang itu. "Berkasnya banyak sekali, aku tidak bisa melihat jalan."

Aku menggeleng. "Tak usah dipikirkan. Aku juga sedang tidak berkonsentrasi," tanggapku.

Akhirnya semuanya telah terkumpul dan kami bangkit berdiri.

"Terimakasih," kata orang itu dengan senyum lebar. Aku mengangguk.

"Ah," celetuknya tiba-tiba. "Anda Uchiha Sasuke? Senator of New York?" tanyanya, terpana dengan apa yang dilihatnya. Mata biru di balik kacamatanya terbelalak lebar.

"Ya," jawabku tegas.

Ia tersenyum lagi dan langsung menjabat tanganku dengan resmi. "Senang bertemu dengan Anda. Saya Uzumaki Naruto. Dr. Uzumaki Naruto."

"Oh." Aku mengangguk paham. Sebagai pemilik tunggal Uchiha's Corporation, aku sudah sering mendengar nama itu disebut-sebut di wilayah perusahaan. Orang yang merupakan otak atas proyek ANBU, pria cerdas yang menguasai ilmu kedokteran, seorang kimiawan dan fisikawan yang disegani ilmuwan-ilmuwan Uchiha's Corporation, belum lagi ia juga merupakan seorang psikiater terkenal. Semua itu dicapainya di usia yang sangat muda. Tak jauh berbeda denganku yang menjadi senator termuda dalam sejarah.

Pria pirang itu melepaskan jabatan tangannya. "Ada waktu untuk minum kopi di kantor saya? Anda kelihatan banyak pikiran," ia menawarkan dengan senyum ramah terkembang.

Pertanyaan khas seorang psikiater. Aku menatapnya selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Aku memang sedang mencari orang yang tepat untuk menumpahkan semua masalahku dan jalan pikiranku yang rumit, dan kurasa psikiater bukan pilihan yang buruk.

Itu adalah saat pertama kali aku bertemu dengannya, dan dia memang bukan pilihan buruk. Aku memang belum merasakan apa-apa pada saat itu, tapi segera, dia akan menjadi hal terindah dalam hidupku.

_To Be Continued_

X3

Saia kembali dengan fic baru….*pede mode on*

Mungkin alurnya agak lambat di awal… saia minta maaf untuk itu… soalnya rencananya ini bakal jadi oneshot, tapi setelah diketik kok malah jadi 9000 kata lebih…~.~ ya akhirnya dipisah jadi 4 bagian deh…x)

Walaupun kayaknya belum ada yang bisa dikomentari mengenai jalan cerita di chapter ini, semua masih serba misterius, tapi…

Mind to review? ^^