FIKSI PENGGEMAR
Kantai Collection
COPYRIGHT : DMM, KADOKAWA, DAN ANTEK-ANTEKNYA
AU
.
KANDY
Permen, glukosa, sukrosa, fruktosa, atau mungkin sakarin?
Manis memang, namun tak semua yang manis itu baik jika berlebihan. Semua yang berlebihan memang tidak baik, masalahnya dia bukan permen.
Jikalau dikau dihadapkan pada pilihan antara keyakinan yang dilarang atau kebenaran tanpa keyakinan, kira-kira langkah apa yang akan engkau tetapkan? Akankah lari dapat mengubah keadaan? Namun tetap engkau tiada bisa memaksa perasaan. Dua, tiga, empat, lima, sama saja. Selama sukma masih dalam dada, rasa ini tidak akan lari dari sang raga, tidak hari ini, besok, pun untuk lusa.
Kaga memandang indahnya. Gadis anggun dengan tatapan yang serupa angin sejuk dalam cuaca paling panas di bumi. Permen yang dua tahun lalu masih asing.
"Wah! Kaga ada dua! Tapi yang satu lagi lebih tinggi, suaranya lebih berat, rambutnya lebih pendek…."
"Ini saudara kembarku, kami kembar identik hanya saja dia laki-laki. Ah sudah waktunya! Lebih baik kita cepat berangkat ke sekolah sebelum terlambat"
Ucap Kaga sembari tersenyum kepada teman barunya, yang dia ketahui adalah Akagi merupakan adik kelas mereka yang baru saja menginjak sekolah menengah atas. Masih masa orientasi dan beruntunglah Akagi sudah mengenal Kaga dan saudara kembarnya, beruntung karena kebetulan Kaga adalah sekretaris dari organisasi siswa yang entah mengapa selalu diagung-agungkan oleh warga dalam penjara kecil itu, beruntung pula karena saudara kembar Kaga juga ikut andil sebagai ketua organisasi siswa intra sekolah mereka.
Tiga hari masa orientasi berjalan, berbeda dengan bocah-bocah seangkatannya, Akagi tidak sedikit pun merasa takut akan bentakan kakak kelas. Yang dia lihat hanya Kaga yang tersenyum lembut menatap langsung ke bola matanya lalu berpaling dan kembali menjadi kakak kelas "jahat" bagi mereka yang merasa demikian. Setidaknya sampai kelalaian Akagi menghantui kehidupan masa orientasi siswa.
"Ng… Kaga…"
"Ya? Ada perlu apa Akagi?"
"Aku… Em…. Aku… tidak membawa salah satu barang bawaan, maaf."
"Eh?! Apa yang tidak Akagi bawa?"
"Ng… Tiga tali tampar warna merah, ukuran 15cm, untuk menguncir rambut. "
Menahan tawa yang hendak menerobos bibirnya, Kaga menggeleng keheranan atas kelakuan panitia yang sebegitu jahatnya mengerjai anak orang yang bahkan belum mereka kenal.
"Baik, Akagi tunggu sini ya? Aku carikan."
Tidak sampai 5 menit, Kaga sudah kembali membawa tali tampar merah, penggaris, dan pisau pemotong yang entah dia dapat dari jemuran dan kantor siapa, diberikan barang-barang tersebut sambil dirinya memamerkan senyum bangga telah membantu anak baru yang bernasib malang dalam tiga hari ini.
"Sebenarnya tidak usah pas 15cm juga tidak apa-apa, mereka semua pemalas, mana mau mereka mengecek panjang tali seluruh siswa di sekolah ini."
"Maaf…. Boleh aku minta tolong satu hal lagi?"
"Ah, iya dengan senang hati, apa yang bisa aku bantu?"
"Boleh aku minta tolong kuncirkan rambutku, sedari dulu aku tidak pernah bisa menguncir rambut sendiri."
"Rambut sepanjang ini tidak pernah Akagi kuncir? Tidak kepanasan?"
"Tidak kok, mungkin sudah kebiasaan."
"Baiklah Akagi, berbaliklah"
Tangan Kaga mulai menyentuh rambut Akagi, lembut, amat lembut, bahkan rambut yang dia rawat setiap hari tiada bisa mengalahkan kelembutan rambut Akagi. Penasaran apa merek sampo yang Akagi gunakan, atau mungkin perawatan dan biaya yang dia keluarkan untuk sekadar membuat mahkotanya sempurna.
"Rambut Akagi indah sekali, perawatan apa yang Akagi gunakan? Berapa harganya? Bahkan aku bisa mengaturnya dengan mudah tanpa menggunakan sisir."
"Tidak ada apa-apa aku hanya mencucinya 2 hari sekali dengan sampo biasa, aku berasal dari keluarga yang tidak seberapa berkecukupan jadi mustahil untuk melakukan perawatan yang seperti itu."
"Ah, begitu"
Selesai sudah Kaga mengikat rambut Akagi, rapi dan sempurna. Dalam detik-detik yang berlangsung di kehidupan Kaga, dia merasa seperti Tuhan mengatur waktu agar hentakan jarum kecil pada jam dinding tersebut berlaku lebih lama sembari pupilnya membesar memandang Akagi yang berbalik dan tersenyum. Satu tembakan dalam hati Kaga yang entah mengapa membuatnya bahagia, Kaga jatuh cinta.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, begitu seterusnya hingga hampir satu tahun mereka bersama, kadang bertengkar lalu kembali bersatu, entah bagaimana Akagi namun yang pasti Kaga tidak mengurangi rasa cintanya barang secuil. Sayang realita memang maha menyusahkan, waktu Kaga dalam tempo ini banyak berkurang untuk pelajaran tambahan menjelang akhir kelulusan begitu juga waktu untuk bersama Akagi, beruntung Akagi akan sabar menunggu kepulangan Kaga dan saudara kembarnya di depan gerbang, entah motivasinya apa.
"Kalian kok sudah pulang? Ini masih jam 3 loh."
Tanya Akagi bingung.
"Gurunya mati."
Jawab Kaga kesal lantaran sudah repot-repot dia mengerjakan tugas menggunung semalaman hingga waktu berharganya untuk tidur sia-sia.
Saudara kembar Kaga hanya menahan tawa melihat adiknya yang sedari tadi mengumpat sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang nyatanya lebih seperti monster untuk anak pada umur mereka.
"Sudah… Sudah… Kaga, Akagi ayo pulang."
Langkah demi langkah kecil tiga manusia kelelahan dengan hentakan seirama dan hampir terdengar seperti pasukan pengibar bendera di sekolah yang lambat laun menjauh dari tempat mereka berada sebelumnya, obrolan kecil dan tawa mengiringi perjalanan hanya untuk mengalihkan rasa lelah pada hari-hari yang mereka jalani, anggap saja obat stres untuk remaja yang mudah risau bahkan untuk masalah paling kecil dalam hidupnya.
Akagi mulai penasaran dengan apa yang saudara kembar itu lakukan setelah lulus nanti, jujur saja Akagi takut merasa kesepian tanpa adanya mereka di sekolah.
"Kalian nanti lulus sekolah, kuliah atau bagaimana?"
Saudara kembar Kaga hanya tersenyum.
"Kaga akan mencari universitas, kalau aku akan langsung meneruskan cabang dari usaha orangtua kami."
"Kalau boleh aku bertanya, usaha apa yang orangtua kalian lakukan?"
"Pabrik permen, ah tikungan! Akagi kita berpisah di sini. Hati-hati."
"Eh iya, sampai jumpa!"
Pandangan Akagi seketika menatap pertigaan yang memisahkan perjalanan mereka lalu berbelok arah kiri sembari melambaikan tangan, semakin jauh lalu tidak lagi terlihat.
Masih penasaran dengan perkataan sang kakak, Kaga kembali mempertanyakan soal percakapan beberapa menit yang lalu.
"Hei, sungguh kau tidak ingin kuliah?"
Tanya Kaga kepada saudara kembarnya.
"Entahlah, aku terlalu malas untuk membuang waktuku di sana."
"Ayah setuju?"
"Dia bilang itu bukanlah masalah tapi selamanya aku tidak akan bisa memegang pabrik inti, tentu nantinya akan diberikan kepadamu."
"Hanya itu saja alasanmu?"
"Em….Kaga…."
"Iya?"
"Tidak apa, lupakan saja."
"Apanya yang tidak apa? Oh iya sebenarnya ada yang ingin ku ungkapkan, sebenarnya anu…."
"Anunya siapa?"
"Bodoh! Eng… Sebenarnya aku suka dengan Akagi, besok akan ku ungkapkan."
"Eh?! Tapi Kaga kau kan…"
"Iya aku mengerti, tapi tetap saja."
"Ah baiklah, aku berharap yang terbaik untukmu."
"Terima kasih."
Dekat memang, ibarat candu yang terus menggoda Kaga untuk tetap tak bisa dan biasa jauh dari Akagi, Kaga bagai tiada hidup tanpa Akagi. Terkadang Kaga memikirkan jikalau candu berperasaan, apakah candu juga tak ingin jauh dari penggunanya? ah masa bodoh, sudah waktunya Kaga menjemput candunya untuk berangkat sekolah.
Tatkala tiada lagi hujan manusia akan benci kepada sang mentari, namun saat dirinya menghilang manusia akan berbalik membenci hujan. Nafsu, ketidakpuasan, ego, dan semua yang dinilai buruk ada dalam diri mereka, namun satu hal yang membuat mereka istimewa, akar dari segala perbuatan baik nan buruk, ujung dari terciptanya raga dan sukma, awal dari segala kehidupan dan hilang dalam kematian. Beribu bahasa dapat diucapkan, sayang tak ada barang satu dari sekian banyak layak menjelaskan arti yang sesungguhnya, di luar logika namun ada dalam setiap bagian tubuh yang kasat mata pun tidak kasat mata.
Cinta. Perasaan maha bangsat. Tuhan kedua. Omong kosong yang datang dan pergi sesukanya. Perasaan maha bangsat. Perasaan maha bangsat. Perasaan maha bangsat. Bukan untuk diucapkan, bukan untuk diungkapkan, bukan untuk ditunjukkan, cukup untuk dirasakan. Tai.
Pagi hari hujan mengguyur kawasan rumah Akagi, Kaga yang sudah susah payah menjemput Akagi pagi-pagi harus berteduh di rumah Akagi sambil menahan dingin lantaran basah yang mengguyur sekujur tubuhnya tak kunjung hilang.
"Akagi suka permen? Aku bawa sebagian dari pabrik."
"Wah! Tentu saja aku suka, kau tahu? Aku ini penggemar permen sejati, kadang dalam satu hari aku dapat makan hingga dua toples penuh, mungkin sudah dapat dikatakan aku jatuh cinta dengan permen."
"Permen adalah cinta."
"Ya, kamu benar Kaga."
"Cinta adalah permen."
"Hah?"
"Akagi bisa saja bahagia dengan memakan banyak permen, namun tentu Akagi akan sedih pada akhirnya. Diabetes, sakit gigi, batuk, dan penyakit lain akan datang menghancurkan kebahagiaan itu."
"Kaga, cinta ya cinta! Permen ya permen! Kamu ini selalu saja begitu. Cinta itu tak ada logika, permen dibuat dengan logika."
"Logika Akagi sendiri sudah rusak karena kecintaanmu pada permen."
"Kaga menyebalkan!"
"Maaf deh maaf, Akagi boleh aku bertanya sesuatu?"
"Berjanjilah ini bukan tentang permen atau sejenisnya."
"Hahahaha bukan, aku….Ng… hanya ingin tahu…. apakah mencintaimu adalah hal yang salah?"
Memang benar sang mentari sedang bersembunyi saat ini, namun Akagi merasakan panas yang tiada tanding di sekujur tubuhnya, sudah susah-susah dirinya berdandan sebelum sekolah sayang kini bedaknya terhapus oleh peluh dari dahi yang tetap menetes dan berakhir di ujung dagu lancipnya, detak jantung yang berhenti sejenak diikuti tubuh yang membatu dan sukma tanpa pamit menghilang dalam sekejap lalu kembali ke raga cantik menghasilkan rona merah padam pada wajahnya.
"Kau kan sudah berjanji untuk tidak bicara tentang permen dan sejenisnya!"
"Kan memang bukan? Tidak ada hubungannya kan? Aku tidak mengerti."
"Tentu saja ada hubungannya, permen itu manis, begitu pun kamu dan perkataanmu."
"Hah?"
"Tentu saja mencintaiku bukan hal yang salah, karena aku pun merasa demikian."
Kaga memang terkenal dengan wajah datar, bagai tak ada satu pun otot melekat pada sekitar mulutnya untuk tersenyum, namun kini nampaknya salah satu otot tersesat menciptakan perasaan bahagia dan rekahan senyum yang mengembang hebat. Manis, cantik, tampan, keajaiban dunia. Air matanya berlinang diikuti wajah gembira akan jawaban Akagi, padahal sebelumnya Kaga sudah bersiap-siap untuk diusir dan menangis ala remaja labil yang sakit hati. "Mumpung hujan." Batinnya. Sontak Kaga secara tiba-tiba memeluk gadis di depannya tanpa sadar diri tentang keadaan tubuhnya yang penuh ludah awan, Akagi tertular basah tubuh Kaga.
Ujian akhir menanti Kaga, Kaga sendiri adalah tipikal murid rajin, serius, dan hemat kata jika sudah berhubungan dengan teman sekelasnya. Kaga yang dikenal selalu berada dalam kamarnya untuk belajar, akhir-akhir ini sering menghilang sembari membawa tas ransel berat untuk menuju tempat dirinya bisa lebih serius untuk mendapat nilai terbaik nanti.
"Ibu, Ayah, Kaga mau pergi dulu, belajar kelompok ke teman."
Teriak Kaga sedang dirinya menyalakan motor dan membuka pintu gerbang rumahnya.
"Hati-hati."
Entah siapa yang tadi menjawab, Kaga tidak mendengarnya, motornya sudah terlanjur melaju cepat menuju rumah Akagi. Perjalanan memakan waktu 12 menit karena jalanan tidak terlalu dipenuhi kendaraan penghalang jalan untuk ke tujuannya.
"Permisi."
Tak lama seorang gadis rupawan membukakan pintu, memandang sejenak lalu tersenyum ke arah Kaga.
"Kaga sudah sampai, cepat juga ya?"
Akagi menghampiri Kaga sembari membuka pintu pagar rumahnya.
"Silahkan masuk Kaga."
"Mbaknya siapa ya?"
"Kaga, itu tidak lucu."
"Saya mencari Akagi, kok yang muncul mbaknya?"
"Kaga, aku ini Akagi, sungguh bercandamu tidak lucu."
"Oh ya ampun ini Akagi? Aku kira aku sedang bermimpi saat melihat bidadari membukakan pintu untukku."
"Bodoh!"
Kaga sudah seperti tukang ojek yang merayu penumpangnya dengan gombalan kelas rendah namun sukses membuat wajah targetnya merah padam. Dengan keadaan Kaga yang belum juga turun dari motornya, siapa yang tahu bahwa Kaga datang ke rumah Akagi untuk belajar.
Setiap hari Kaga akan selalu ada waktu untuk sekadar menyempatkan diri belajar ke rumah Akagi, alasannya cukup sederhana, dengan melihat Akagi maka dalam pikiran Kaga akan terlintas bagaimana nanti Kaga harus sukses untuk menghidupi dirinya dan Akagi, tekad Kaga sudah bulat untuk nanti tinggal bersama Akagi sampai akhir hayat.
Tak terasa, telah tiba saatnya Kaga untuk cepat keluar dari penjara kecil sekolah untuk kembali ke penjara berikutnya, wisuda telah menanti dirinya, tentu saja Kaga bahagia dan cukup puas dengan nilai yang dia dapat atas kerja kerasnya selama ini, hubungannya sama sekali tidak menghalangi prestasinya malah membuatnya semakin semangat untuk menunjukkan bahwa dia nanti akan dapat membimbing adik kelas sekaligus kekasih hatinya, permennya yang dirasa paling manis. Di seberang sana Akagi menjadi salah satu dari anggota paduan suara yang ikut meramaikan dan memberi kenangan atas keberhasilan 300 kakak kelasnya.
Rangkaian acara telah usai, Akagi perlahan menghampiri Kaga cepat-cepat memberikan rangkaian bunga yang telah dipesannya jauh-jauh hari.
"Selamat ya sayang."
"Terima kasih, berikutnya giliran Akagi, semangat!"
"Entahlah apa aku bisa menyaingi Kaga sang peraih nilai tertinggi di sekolah."
"Jangan begitu Akagi, ini semua juga berkat Akagi yang menjadi semangat untukku."
"Kaga, jalan kita masih panjang"
"Ku ingin kau selalu di sini~ Biar cinta kita tumbuh harum mewangi, dan dunia menjadi saksinya~"
Balas Kaga sambil bernyanyi lagu latar sinetron yang cukup terkenal pada masanya, memang mengagetkan bahwa kenyataan Kaga masih memiliki selera humor dalam dirinya.
Akagi hanya bisa menepuk dahi mendengar jawaban atau mungkin bisa disebut senandung yang Kaga nyanyikan, selera humornya terlampau rendah, Akagi sendiri tidak percaya dirinya bisa jatuh cinta dengan manusia jenis ini.
"Kamu sering nonton sinetron ya?"
"Jarang kok, cuma sampai season 7 episode 1002 saja."
"Memangnya ada berapa episode?"
"1002 episode."
Akagi terdiam sejenak, memandang pacarnya yang notabene satu jenis dengan sekumpulan ibu lanjut usia penguasa televisi rumah saat malam telah tiba.
"Untung sayang."
Dibalas dengan gerutu yang menggemaskan, Kaga hanya bisa menahan tawa atas reaksi pacarnya sembari mengelus lembut ujung ubun-ubun Akagi.
Malam hari di ujung jendela kamar Akagi, pandangannya tertuju pada rembulan yang sesekali bermain petak umpet di balik awan, bulan hari ini terlihat berbeda, lebih besar dengan warna oranye. Entah seberapa indah malam itu, namun Akagi merasakan sakit yang luar biasa di dalam dada, tanpa sebab dan tanpa disengaja.
"Perasaan macam apa ini?"
Samar-samar tedengar suara dari luar kamar Akagi, semakin lama semakin dekat lalu berakhir pada gebrakan pintu yang tak bersalah. Ayah Akagi dengan raut wajah murka datang secara tidak baik-baik mendekatinya.
"Akagi! Apa maksud semua ini?!"
Yang ditanya hanya menahan rasa bingung sekaligus takut akan bentakan tersebut.
"A..Apa maksud ayah?"
"Cukup Akagi! Kau menjalin hubungan dengan wanita bukan?!"
Kaget, amat kaget Akagi dibuatnya, entah mengapa namun sekarang Akagi merasa tak bisa menggerakkan barang satu inci pun bagian tubuhnya, bahkan berkedip dirasa berat untuk dilakukan.
"Jawab pertanyaan ayah!"
"D..da.. dari mana ayah tahu?"
"Ini.'
Ayah Akagi mengeluarkan telepon genggam milik Akagi, bahkan Akagi sendiri tidak tahu kapan telepon genggamnya dapat berpindah tangan dengan ajaib.
"Bersiaplah! Besok kau akan ayah jodohkan dengan anak teman ayah!"
"Tapi yah… bukankah itu terlalu cepat? Aku masih ingin sekolah."
"Setidaknya itu bisa memperbaiki otakmu yang sudah tidak waras, tidak usah khawatir tentang sekolahmu, toh nanti tugasmu hanya menjadi ibu rumah tangga yang baik, tidak ada kata tapi!"
Bentak ayah Akagi sekali lagi yang lalu berbalik meninggalkan kamar Akagi sembari membanting pintu.
Selesai sudah semuanya.
Semakin naik bola mata Akagi kembali menatap rembulan di atas langit, seolah tidak puas membuat air di laut pasang, kini rembulan juga menarik air mata Akagi keluar dari persembunyiannya. Tangisan pilu tanpa suara menghiasi detik-detik menuju hari berikutnya, terus mengalir hingga tak terasa dua jam berlalu. Akagi masih terdiam ditemani dinginnya malam dan tangisan yang perlahan mengering, tatapan kosong itu seperti membawa Akagi ke masa depan dengan perubahan warna langit semakin terang, fajar menyingsing di ufuk timur menyisakan secercah cahaya semu menempel tepat di wajah Akagi yang berantakan. Mata bengkak, hidung merah, bibir pucat, rambut ala kadarnya.
"Akagi cepat bersiap-siap, ayah tunggu di ruang tamu."
Entah sejak kapan ayah Akagi berada di sana, tidak juga terdengar suara pintu terbuka dari dalam kamarnya, mungkin Akagi terlalu sibuk dengan angan-angan palsu sepanjang malam untuk bisa menikmati setiap hari bersama Kaga, menjadi bahagia senang sentosa. Kini telah habis kesempatan Akagi untuk memikirkan hal tersebut, sudah tiba saatnya Akagi menerima kenyataan pahit akan seberapa kejam dunia memperlakukan setiap manusia.
Usai sudah dirinya membersihkan diri, saatnya menyisir rambut indah itu perlahan, berlanjut ke tepukan lembut bedak di sekitar wajah hancurnya dan berakhir di torehan pewarna bibir pucat agar terlihat indah dipandang. Sayang beribu sayang, mata bengkaknya tiada bisa tertutupi begitu pun hatinya yang hancur akan sadisnya kenyataan.
Langkah kecil ditempuh dalam rumah yang tidak terlalu luas menuju ke satu tempat sumber suara dimana beberapa lelaki nampak berdiskusi, mau tidak mau Akagi harus mengangkat kepalanya guna mengetahui siapa orang yang akan menjadi suaminya kelak.
"K..Kamu…."
Akagi mengenalnya, saudara kembar Kaga, datang dengan keluarganya ke rumah Akagi, namun tak ada Kaga di sana. Hanya saudara kembar Kaga dengan orangtuanya.
Sebenarnya ingin membuat cerita ini menjadi oneshot, tapi tidak jadi.
Kenapa jadi multichap? Untuk keperluan sains.
Kenapa 'Kandy' bukannya 'Candy'? Karena aku sayang kamu.
.
.
Mohon maaf jikalau ada typo, kata yang tidak baku, dan segala kesalahan yang disengaja atau tidak.
