00: Samar
Yaya menghela napas berat, menghempaskan diri ke kursi putar dibalik meja kantornya. Ia sandarkan punggung sejadi-jadinya ke kursi, mencopot sepatu ber-hak tinggi yang ia pakai dan melemparkannya sejauh mungkin dari dirinya, jatuh terkapar ke pojok ruangan. Semua aktivitas ini ia lakukan tanpa gemulai, yang seorang Putri seperti dia seharusnya punya.
Ugh, bodo amat, pikirnya, ketus dan alis ditenun jadi satu.
Ia pijati telapak kakinya yang mulai membengkak dengan satu tangan, tangan yang lain sibuk merogoh laci meja dan cepat memasang sendal jepit yang ia dapatkan di dalam laci tersebut. Muak ia, kalau dipakai hak tinggi itu kakinya lecet terus. Kalau saja ia dibolehkan memakai sendal seadanya untuk bekerja, langsung tercucurlah air matanya, kelewat bersyukur ia.
Nggak papalah, Yaya membatin, menatap rindu sendal jepit yang ia pakai. Toh kalo aku di kantor ku sendiri bisa ku pake, nggak ada juga yang bakal ngeliat.
Berkas-berkas yang ia sama hempaskan saat mendudukan diri berbaring menggunung dihadapannya, keberadaannya memaki untuk segera dikerjakan. Bahu Yaya merosot lesu menyaksikan kerjaannya dalam diam. Padahal belum dibaca, melihat gundukan kertas itu saja sudah cukup untuk membuat matanya yang hampir minus itu perih.
Lagi Yaya hembuskan napas yang terdengar teramat pilu, mata dikucek dan jemari dilemaskannya kuat-kuat.
Oke! Gadis itu mendengus mantap. Fighting, Yaya! Fighting!
Dan dengan penyemangatan diri yang teramat menyedihkan ini (yang dibahan bakari K-Drama), segera tangannya meluncur membuka notebook pink yang telah siap bersedia duduk di atas meja mahagoni tersebut, menunggu setia bila pemiliknya membutuhkan. Jemari Yaya lincah mengetik data-data riset pengeluaran dana kantor. Hidungnya sekali-kali dikernyitkan, mendapati kesalahan pada hasil angka dan langsung menyelesaikan masalah itu dalam hitungan detik. Ia simpan data ini untuk dikirim ke kakaknya nanti.
Sangatlah sedih Yaya mengakui bahwa beginilah cara ia dalam menghabiskan akhir pekannya. Gadis lain mungkin keluyuran bersama teman, bersosialisasi dengan orang seumur—tapi ia lain, harus duduk bagaikan patung didepan layar seharian. Mengetik adalah satu-satunya hal yang ia tahu, yang harus dipriotaskan. Ia dipaksa membuang masa remajanya dan berkecimpung di dunia orang dewasa, bekerja sampai penat.
Yaya yang dari keluarga orang kantoran, tumbuh di lingkungan kantor perusahaan. Sampai buah masam nan kecil yang adalah dirinya itu matang dan juga jatuh ditempat yang sama; yaitu di kantor. Mungkin memang beginilah takdirnya, mengurusi gedung yang kelurganya keringat darah untuk bangun, menjadi salah satu ahli waris dan nanti juga akan mewariskan perusahaan tersebut pada anak-anaknya kelak nanti.
Tapi... apa keputusannya untuk pasrah ini benar? Pastilah ada sesuatu yang seorang Yaya bisa lakukan dengan hidupnya, yang bukan urusan perkantoran namun kehidupan pekerjaan yang sederhana, yang amatlah sederhana seperti... seperti melukis.
Ya, melukis. Gadis kantoran dari keluarga pengusaha ini ingin menjadi Pelukis. Apakah salah bila ia ingin menentang takdir, takdir kehidupan yang orang tuanya paksakan pada dirinya? Tak sekalipun Yaya berminat pada suram dan piciknya dunia bisnis. Angka dia memang suka, tapi bila disandangkan dengan melukis? Dengan warna-warni karya yang bisa ia olah? Jelas saja ia akan memilih hobinya tersebut. Daripada angka yang memusingkan lebih baik menciptakan sebuah seni, pikirnya.
Curhatan hatinya tergusik dan jemarinya terhenti saat mendengar lantunan melodi keluar dari tas kecilnya. Yaya kesampingkan pekerjaannya, menggapai tas yang terletak di sebelah kanannya rada sebal. Ia rogoh isi tas kecil tersebut, mata menyipit mencari-cari benda yang mengeluarkan bunyi bising tersebut.
Yaya menemukannya. Ternyata handphone-nya lah dalang dari pecahnya konsentrasinya tadi. Ia geser layar kaca tersebut lekas, menempelkan mesin canggih itu ke kuping dan memberi salam. Tak kepikiran ia untuk mengecek ID peneleponnya terlebih dahulu.
"Assalam'mualaikum. Ini siapa, ya?" tanya Yaya, raut wajah jutek sembari kedua tangan kembali berkerja. Dengan ahli ia lekatkan handphone itu dengan bantuan angkatan bahunya, lehernya ia miringkan supaya suara dari telepon bisa jelas ia dengar dan handphone tenang tertempel dipipi.
Terdengar statis tak jelas beberapa saat sebelum pemanggilnya itu merespons balik.
"Wa'alaikumsalam. Halo, Yaya? Ini Yaya, kan? Ini aku, Boboiboy!"
Suara riang dari handphone tersebut hampir membuat jantung Yaya copot. Mata senada biji kopi itu terbelalak, hampir saja ponselnya menyelip dari lekuk leher dan menyelam jatuh ke lantai berubin yang ia injak berjinjit gugup sekarang. Refleks, ia genggam handphone itu kembali.
Yaya gagap sewaktu menjawab. "B-B-Boboiboy? I-ini Boboiboy?"
"Iya!" Di balik telepon Boboiboy tertawa geli. "Hehe, ketauan kamu, ya~ Ternyata kemarin memang nggak disimpan nomorku, kan?"
Nggak kok! batin Yaya menolak, aku simpan! Aku simpan banget!
Tapi bodohnya ia lupa melirik caller ID-nya.
Yaya pukul keningnya sendiri, menjauhkan handphone sebentar dari mulut, tertegun panik: K-kenapa dia telpon aku sekarang?! Duh, sekarang aku harus apa?!
Berdehem, ia tempelkan kembali handphone itu ke kuping, merekatkan kembali harga dirinya. Iapun tersenyum canggung, bola mata terputar melirik sana-sini. "Anu, ada apa, ya, Boboiboy? Ada yang bisa saya bantu?"
Gila, formal amat! umelnya dalam hati, merutuki diri yang bersuara sok penting, juga lidahnya yang bergeliat liar layaknya cacing kepanasan.
Mendengar respons sang gadis, Boboiboy makin tergelak, isi perutnya benar-benar terkocok diolahnya. Pemuda itu cengengesan nyaring. "Aduh, Yayaaa...! Kamu ini OB atau resepsionis, sih? Bicaranya tegang amat. Dibiasain aja deh. Aku, kan, temen, bukan Bos-mu."
Pipi Yaya merona, jengah akan kelakuannya sendiri. Ia juga ikutan nyegir. "I-iya deh," sahutnya, wajah berseri-seri.
"Tuh kan? Kalo gitu manis kan? Kedengeran umurnya masih muda. Kalo kayak tadi persis deh kayak Mbak-Mbak ubanan mencari cinta," ujar Boboiboy, seringainya melebar. Apalagi waktu ia mendengar gemerincing tawa Yaya yang indah, entah kenapa benar-benar adem hatinya bila berinteraksi dengen gadis yang satu ini.
"Oke-oke," gelak Yaya, "Dah cukup. Kan aku udah nurut. Lagi pula kamu belum menjawab pertanyaanku tadi lho. Ada apa nih? Tumben nelpon."
Boboiboy lekas teringat pada bawaannya. "Oh iya, ampe lupa! Yaya, kamu dimana sekarang? Aku lagi nunggu kamu nih di ruang OB. Plis ya ke sini. Kantor sepi nih. Nggak ada karyawan yang bisa dimintain tanda terima disini. Pada meeting semua, ya? Ugh, kalo kayak gini barang pada belumut semua deh. Tolong yah, Yaya, sudah lebih sejam nih aku nunggu nggak ada yang nongol-nongol juga. Serem juga, kayaknya kedengeran tadi deh Pocong lompat-lompat di koridor. Kamu kan OB, kalo sama kamu kerjaanku pasti bisa tuntas! Plis, yah, Yaya? Ku tunggu nih, yeee!"
Klik. Dem.
Teleponnya dimatiin.
Mata Yaya lagi-lagi membulat, terperangah, megap-megap masih menempelkan handphone-nya ke telinga.
Boboiboy disini? Di ruang OB? Nungguin aku?!
Yaya lekas beranjak, membuat kursi putarnya terguling ke belakang, membuka kasar laci-laci di meja. Ia gusar mencari, langsung menarik keluar sebuah tas ransel bermotif bunga kekanak-kanakan di dalam salah satu laci dan menarik resleting tas itu supaya terbuka. Segera ia keluarkan isi tas tersebut: seragam biru khas OB dan kerudung pink kesanyangannya terlipat rapi dan ia sikep.
Meletakan baju gantinya di meja, Yaya buka kancing kemeja krem yang ia kenakan dan ia lempar blazer hitam legam ber-shoulder pads ke atas sofa di tengah ruangan, rok lipit bercorak sama dengan blazer terseret ke lantai. Lugas ia ganti pakaiannya dengan seragam OB tersebut, sendal jepit masih menghiasi kakinya. Rambut yang awalnya tergerai sebahu ia ikat kencang, memakai ciput dan lihai melilitkan kerudung itu mengelilingi kepalanya, menyelipkan masuk kain kerudung kedalam kerah baju OB. Yaya tak perlu cermin untuk tahu bahwa kerudung sudah benar ia pakai. Kalau salah, ya, bodo amat. Dapat memakainya diam-diam saja ia sudah bahagia.
Gadis itu termenung sejenak, meremas-remas kerudungnya cemas, membisu saat otaknya memutar kembali kejadian lima tahun yang lalu tanpa sekehendaknya. Kejadian yang melibatkan kerudungnya dan wajah murka orang tuanya.
Yaya lekas menggelengkan kepala, mengusir pergi pengalaman pilu yang mentraumakan itu. Ia geser-geser kerudungnya, membenarkan dan teringat pada Boboiboy. Pemuda itu pasti masih sabar menunggu kehadirannya di ruang OB, dengan kardus-kardus dan mengarak mereka pangling di kedua tangan.
Dengan wajah Boboiboy terngiyang di kepalanya, Yaya si OB pergi berlari menghantam pintunya untuk terbuka. Kencang ia menuju lift eksekutif, kartu ID-nya digesekan dan dipencet-pencetnya tombol lift macam angin puting beliung—tidak sabaran, berulang-ulang kali.
Ting! Beberapa menit kemudian lift akhirnya mau terbuka, membiarkan gadis itu melangkah masuk masih dengan sikap tergesa-gesanya.
Ruang OB di lantai dasar, kan? batinnya berucap, dibaluti rasa gundah. Tolong dimaklumi ke dangkalan Yaya dalam hal mana-di mana tempat-tempat berada. Ia jarang menjamah menikmati fasilitas yang ada di dalam gedung, hanya mau nyelongor masuk ke kantornya sendiri. Sungguh kesalahan seorang NEET (yang bekerja).
Merasa tak nyakin, ia pencet tombol Nomor 01, menunggu resah sambil mendengarkan alunan lagu lift yang sungguh amat memuakkan.
Siapa sih yang pilih lagunya? batin sang gadis mengumpat, berjanji akan mengadukan orang itu pada orang tuanya. Ia ketukan telapak kaki ke lantai tak sabaran selagi ia mencuri-curi pandang pada arlojinya.
Ting! Satu menit serasa seperti sejam dengan musik tak bermutu tersebut, terang saja Yaya keluar dengan wajah masam. Dilangkahkannya kedua kakinya cepat, mengitari koridor mengingat-ngingat di mana ruang OB bersemayam.
Kenapa juga sih kecoplosan kalau aku OB? Heh, nyesel, keluhnya. Padahal Yaya sudah beberapa kali berkedok sebagai OB dihadapan Boboiboy, tapi tetap saja ia merasa keruh, lupa-lupa ingat di mana tempat OB biasa nongkrong tersebut. Ia juga berat hatinya, iba, merasa bersalah telah membohongi pemuda yang bekerja sebagai kurir itu. Tapi kebohongannya ini tentu dengan alasan yang baik.
Kalo aku nggak berdusta mana mau Boboiboy dekat denganku, benaknya terisak, mengingat kembali percakapannya dengan pemuda itu kala pertama kali bertemu.
"Aku nggak terlalu suka dengan orang-orang kaya," ucap Boboiboy waktu itu, menopang dua kardus sekaligus. "Mereka sombong sekali, hanya karna mereka banyak duit mereka pikir mereka bisa menginjak-injak orang yang berpenghasilan rendah, yang kekurangan. Mereka licik, memanipulasi setiap kejadian supaya berpihak kepada mereka, menyuap di balik kejadian. 'Dengan uang semua pasti beres!' Hah, yang benar saja! Mereka semua licik! Licik! ...Eh—hei, sorry nih ye, tapi bisa nggak angkatin kardus yang itu kemari? Makasih!"
Yaya menghela napas berat. Apa yang diucapkan Boboiboy memang benar adanya. Sepertinya ia berpengalam, tahu-menahu bagaimana kehidupan orang-orang kaya berjalan. Bahkan orang tua Yaya sendiri, yang sudah berkecukupan, antusias mau menjual anak mereka sendiri untuk dikawinkan. Alasannya tentu hanya untuk menambah kocek uang masuk ke dalam bank mereka, tak sekalipun mereka terpikirkan akan perasaan Yaya.
Karena terlalu melarutkan diri dalam kesedihan, hampir saja gadis itu terlewat ruang yang sedari tadi ia cari-cari. Pintu kayu yang dikaitkan dengan papan karton bertuliskan 'OB' dengan spidol tersebut tersembunyi di pojokan koridor. Ruangan itu hendak ia lewati kalau saja ia tak mendegar kasak-kusuk tak jelas dan jeritan mengaduh-ngaduh darinya.
Yaya putar kenop pintu ragu, mengintip ke dalam.
Gadis berseragam OB itu menaikan alis, terkejut mendapati Boboiboy yang menjulurkan lidah yang kelewat merah keluar, tangan kiri mengipas-ngipasinya sementara tangan kanan memegangi cup plastik berisi kopi yang menggempul. Di sebelah pemuda itu ada kitchen set beserta alat-alat masak yang lengkap. Di tengah ruangan berbertuk kotak tersebut terdapat sofa norak berwarna kuning cerah, menghadap televisi 21 inci. Lantai yang seharusnya putih mencilang sekarang malah berserakan kardus-kardus beragam bentuk dan besar. Ada juga sebuah trolli barang yang bertengger bisu di dinding ber-wallpaper garis-garis hitam putih, label perusahaan yang memperkerjakan Boboiboy jelas tertera pada besinya.
"Kamu nggak papa, Boboiboy?" tegur Yaya, menutup pintu dan mendekatinya. Ia ulurkan sebelah tangan untuk mengambil cup kopi tersebut.
Mata pemuda itu berlinang air mata, masih rajin mengipasi lidahnya. "Kepwanasan...! Kopi... pwnaaas...! Lidah... kebwakar...!"
Menahan cekikan, Yaya suguhkan cup yang telah ia isi air putih biasa, yang gesit ia ambil dari teko di atas kompor listrik. Tenang saja, sudah ia cek kok, air didalam teko itu sudah mendingin menjadi suhu normal.
Boboiboy gelagapan, tak main pandang dan lekas ia rampas cup yang disediakan gadis berkerudung tersebut, meneguknya habis sampai tak ada yang tersisa.
"Aduh, Yaya, masih sakit nih," rengeknya manja setelah air meluncur masuk membasuh mulut dan tenggorokan, meletakan cup kosong yang ia pegang ke atas kabinet dapur.
Yaya membalas dengan mencubit pipinya. "Eleh, katanya macho, kok gitu aja sakit?" godanya seraya tertawa renyah.
"Aduah...! Swakit, Yaya! Swakiiit...!"
Seringai Yaya makin melebar.
Setelah itu mereka bercakap-cakap ria menanyakan kabar: saling menggoda, bercanda sekali-kali. Boboiboy ceritakan bahwa ia sudah dua jam menunggu kedatangan orang di dalam ruang OB. Berkali-kali ia keluar mencari-cari masyarakat yang berkerja di kantor tapi tak kunjung juga ia dapatkan. Ia sudah putus asa. Makanya ia menelpon Yaya, pikirnya Yaya yang OB di perusahaan tersebut pasti bisa meluruskan permasalahannya.
"—Makanya itu, aku nyuruh kamu kemari. Maaf, ya. Padahal kamu liburkan? Duh, kamu juga kepaksa pake seragam lagi. Maaf banget, ya."
Yaya menggelengkan kepala, kalau saja Boboiboy tau.
"Nggak kok, sebenarnya aku kerja hari ini, jadi jalannya juga singkat-singkat aja," tawa Yaya terdengar berbeda dari yang sebelumnya, sangatlah dipaksakan, kaku. Gadis itu berdoa dalam hatinya kalau Boboiboy takkan mempertanyakannya.
Namun, benar dugaan Yaya, Boboiboy jelas mendengar nada janggal darinya. Namun pemuda itu hanya memberengut, bergeming diam tak bersuara. Syukurlah.
Yaya coba untuk mengganti topik pembicaraan mereka. "Ah! Kaos kamu kecipratan kopi, Boboiboy. Mau dibersihin? Ada laundry dibelakang."
Menaikan alis, Boboiboy dongkakan kepalanya ke bawah, mendapati benar apa yang Yaya ucapkan. Baju polo jingga yang dikenakannya sekarang berhias titik-titik hitam, pasti terkena waktu ia terkejut, menyemprotkan air kopi itu keluar dari mulutnya. Bahkan celana training hitam bergaris oranye dan sepatu skets-nya yang putih juga kena. Menyesal ia memakainya, corak hitam di atas putih kan susah hilangnya. Tawaran Yaya memang menggiurkan sih, sungguh seorang istri ideal, tetapi... semoga saja adik-adiknya mau bekerja ekstra sewaktu ia pulang nanti karena dia telah merencanakan aktifitas spesial untuk mereka berdua.
"Nggak, nggak perlu. Aku ada pembantu dirumah," ringan dia menolak.
Boboiboy nyengir sendiri, Yaya urung memandangnya bingung.
Tak mengindahkan sesi senyam-senyum sendiri teman ngobrolnya, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar, berjongkok dan menginspeksi kardus yang terduduk diam disebelah kakinya.
"Mana surat-suratnya, Boboiboy?"
Akhirnya Boboiboy hentikan aksi nyegirnya, menggaruk belakang lehernya.
"Surat apa?" timpalnya, heran.
Yaya menengadah ke arahnya, cemberut. "Surat tanda terima...?"
Ber-'Oh' ria, Boboiboy pukul keningnya dengan pangkal tangan. Cepat ia rogoh isi tas pinggangnya, mengeluarkan map kuning berisi kertas resmi. Ia sodorkan map itu beserta sebuah pena biru, tersenyum seraya berjongkok juga mengimbangi sang gadis.
"Nih, tolong tanda tangan ke sini, ya~ Dan plis deh, jangan ngambek gitu dong, mirip Nenek Gayung tau~," godanya, ketauan maruk kebanyakan nonton film horor Indonesia. Ia menunjuk-nunjuk sana-sini di atas kertas, meminta Yaya untuk mengisi namanya juga.
Dikatain begitu Yaya malah makin cemberut. Pipinya menggempul, serabut pink menjalar dari daun telinga hingga jembatan hidungnya. Cute.
Boboiboy tentu gemas melihatnya, sekarang balik dia yang mencubit pipi Yaya.
"Kalo digembungin gini bakal ku letupin lho," goda Boboiboy lagi.
Tangan yang pergi mencubit sergap di sekap Yaya dengan genggaman kuat, membuat Boboiboy terkesiap bingung dengan maksud dari kelakuannya. Yaya tatap mata biru itu lekat-lekat, bereksperimen, dan benar apa yang ia kira—jantungnya memang berdegup lebih kencang, kembang-kepis seperti ada orang yang berdugem ria di dalamnya.
Mari kita check list apa yang Yaya rasakan saat ini, yaitu:
1) Curi-curi pandang, cara paling ampuh untuk mengetahui bila kita terpikat pada seorang lawan jenis atau tidak, akan membuat jantung kita deg-degan tak karuan, memengaruhi emosi.
2) Rona pipi, aliran darah dari degupan jantung yang bekerja ekstra pergi membenami pipi, menunjukan rasa malu, gugup, dan kasih.
3) Perhatian lebih pada bibir lawan jenis, mempertunjukan hasrat. Dosa besar ia kalau langsung nyelongos masuk tanpa adanya cincin pernikahan dijari, berpegangan tangan saja seharusnya tak boleh ia lakukan. Aduh, hasrat memang anjing.
Ah, ketertarikan ini... benarkah ini cinta?
Menit berlalu dan tak ada yang mau beranjak. Boboiboy yang sedari tadi memperhatikan tampang watados Yaya, buyar konsentrasinya saat ponselnya berdering. Yaya juga terperanjat dibuatnya, melepaskan genggamannya.
"Maaf, sebentar, ya?" ujar pemuda berpakaian jingga itu, meminta izin. Ia bangkit, berputar membelakangi Yaya dan membuka flip phone usang ber-casing biru tua. Pemuda itu memberi salam.
Yaya tajamkan indra pendengaran ke ponsel tua tersebut, menguping mendengarkan pembicaraan di balik telepon dengan hikmat sehikmat-hikmatnya.
"Ya, salam'mualaikum, Gopal? Iya nih sudah selese," disini ia melirik Yaya dengan tatapan terima kasih. "Iye, beres kok! Tenang, Bos, tenang~ Mau gimana lagi, orangnya pada meeting semua, jelaslah lama. Hah? Api beronar lagi? A-Air tenggelam?! T-tunggu, apa maksud-...?! APA?! Yang bener lo?! Gopal kalo lo boong gue—Lho? Halo? Gopal? Pal?! Jawab Pal!" Boboiboy tatap layar ponselnya tak percaya. "Sial! Dimatiin!"
Boboiboy lekas mengambil trolli dari tempat bersandarnya di dinding, merogoh saku celena untuk kunci truk dan menendang buka pintu ruang OB yang tak bersalah. Sepatu skets-nya terus berdecit selama ia berlari ditempat, rahang terkatup rapat, kedua tangan mengatup di gagang trolli dan pupil bergetar seraya ia menatap panik Yaya.
"Maaf, sekali lagi maaf, Ya! Makasih udah datang cape-cape kemari, sebagai ucapan terima kasih besok—eh, nggak, lusa—anu, minggu depan, kita kencan! Kencan! Aku bakal jadi lebih ganteng, janji! Tenang aja! J-jadi, kita impas kan? Ya kan? Oke karna kita impas, bye-bye!"
Whooosh! Secepat angin dia pergi menjalajahi koridor, mendorong trolli dan menaikinya layaknya scooter.
Yaya hanya bisa terjongkok terkesima menyaksikannya, terbungkam kagum lalu tertawa lepas akan sikap Boboiboy, pena biru masih merekat di tangan.
Wajahnya berseri-seri. Cinta atau bukan, aku memang menyukainya.
Tetapi, ia tersadar akan sesuatu.
Lho? Gimana bisa air tenggelam?
Yaya keluar dari lift eksekutif lebih riang dari sebelumnya, meloncat-loncat kecil dan berseringai lebar tak jelas masih dengan dandanan seorang OB. Toh aku sendiri juga di bangunan ini, pikirnya, tak terkena deja vu.
Sesampainya ia di depan ruangannya, sirna sudah semua kebahagian dari parasnya. Laju loncatnya tersendat mendapati hal yang ganjil dari ruang yang bagai rumah kedua untuknya itu. Wajahnya pucat pasi, menyadari seseorang telah membuka pintu dan membiarkan pintu itu menganga lebar, seperti disengaja menunggu kedatangannya. Bingung, ia melangkah masuk, was-was, meremas gugup baju OB yang ia kenakan.
Ternyata Yaya salah rupanya, ia tidak sendirian di dalam gedung pada hari minggu nan cerah ini. Buktinya, seorang pria yang mengenakan jas putih lengkap tengah berdiri tegap menghadap jendela, membuka tirai dan membelakangi dirinya, kedua lengan terlipat kebelakang. Mendengar langkah nyaring kaki yang beraslaskan sendal tersebut, pria itu berbalik, menemui sepasang mata yang terkejut akan kehadirannya.
Yaya terhenyak.
Coklat kopi bertemu dengan merah delima.
Lelaki itu tersenyum dingin, menghadapnya penuh sekarang dan membungkuk hormat. Kedua bola mata merah itu bergerak mengamati gadis yang ada dihadapannya, tak luput apapun dari ujung kaki sampai ubun kerudung lusuh yang ia kenakan. Dinilainya lekas seorang diri Yaya—Yaya yang memakai seragam Office Boy.
Iris ruby itu berbinar sinis. Dia lincah menggerakkan mulutnya:
"Hanna? Ternyata benar kau mengurung diri di sini. Aku Halilintar, tunanganmu. Salam kenal."
Disclaimer: Proklamasi. Ane fans Boboiboy dengan ini menyatakan kalau ane tidak memiliki hak apapun padanya, hal-hal yang mengenai fanfic ini dan lain-lain dibuat dengan cara abal-abalan dan ane menginginkan review sesingkat-singkatnya.
Di rumah orang tua, 14 Agustus 2016.
Untuk fans-fans Boboiboy.
DillyTheWombat.
A/N: Perasaan ane durhaka ama negara sendiri deh... #plak. Maaf Bang Soekarno, Bang Hatta! Ane perlu disclaimer kreatif, jadi jangan hantuin ane ya nanti, amiiin. *dikeroyok masyarakat Indonesia dan digebukan oleh Bung Karno*
BTW Buswey, selamat Hari Kemerdekaan! Walau terlalu awal, hehe. Moga negara maritim ini makin maju, ane selalu bangga lahir sebagai orang Indonesia, yang warganya penuh perbedaan tapi tetap satu, tetap membantu satu sama lain. Ane doain selalu supaya kita rakyat Indonesia bisa menunjukan kehebatan kita terus kepada masyarakat dunia, supaya kita makin banyak kumpulin medali emas di Olimpiade, dan juga damai selalu dengan para tetangga (terutama Malaysia), amiiin.
Ane minta maafnya bila ada typo atau salah-salah pengucapan yang menyakiti hati. Sungguh, ane tak bermaksud. Kalo ada yang nggak nyambung, yah, maklumin, kan ane masih latihan, masih hijau, wkwkwk. Tapi kalo dikritik nggak papa kok, ane tabah dan selalu bercucuran air mata bila membacanya #jaelahlebay. Dan tolong di review, ya~ Fav dan juga Follow sungguh ane hargai.
Sampe jumpa di bab selanjutnya!
Edit: Karna sepertinya banyak orang yang bingung akan karakterisasi Boboiboy disini, ane ingin mencerahkan sedikit. Semua elemantals adalah orangnya sendiri disini. Maaf kalo bikin bingung. Dan soal 'Boboiboy' di cerita ini... ane beri pentunjuk: "Yaya tatap mata biru itu lekat-lekat."
Tuh, sudah tau kan siapa Boboiboy sebenarnya?
Sekali lagi maaf ye atas kebingungannya.
Adios!
