Special thanks to A.B.I., the one who make me inspired with this story and sorry for evereything that I have done to you.
Disclaimer: Absolutely not mine. I, ReiyKa, just have the plot story.
Yap. I use accelerator 4.0 and office OOC 3.5 to make this story. And because I, ReiyKa, just have the plot story, I decided to use AU.
Why I use english when I have to make Indonesian story? Oke. Change. Subtitle: Bahasa.
.
"Cinta itu panas. Panasnya mampu membuat hatimu hangat atau bisa juga membakar hatimu hingga menjadi abu. Apakah rasa hangat yang kurasakan ini cinta ataukah pengaruh terik matahari di musim panas?"
.
"Kan kutuliskan kisah kita di sebuah buku berjudul Cinta"
.
.
Penggalan 1: Musim Panas
Bab 1: Bertemu
Gadis itu membuka mata abu-abunya dan mendapati sinar matahari telah masuk melewati tirai jendela tipisnya. Dengan sikap malas-malasan, dia duduk di atas tempat tidurnya dan mengusap sudut matanya. Beberapa detik kemudian, dia mulai merenggangkan tangannya, mencoba membuat tubuhnya terasa segar sekaligus untuk mengusir rasa kantuknya.
Itu adalah pertengahan bulan Agustus dimana sekolahnya sedang libur panjang musim panas. Semua tugas yang diberikan gurunya telah dia selesaikan di minggu pertama. Tak heran karena sang gadis adalah anak yang cukup pintar di sekolahnya.
Setelah cukup mengumpulkan segenap energi untuk bergerak, gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan membuka jendela kamarnya. Udara dingin dan segar segera menyambutnya.
"Hinata!" Seseorang memanggil nama gadis itu dari lantai bawah. "Kau sudah bangun? Bisa bantu ibu menyiapkan sarapan?"
Gadis itu menutup jendela kamarnya dan turun ke dapur dimana ibunya sedang sibuk di depan kompornya. "Apa yang bisa kubantu?"
"Ah, aku ingin kau mengambil susu segar di pintu depan dan menata piring."
Gadis bernama Hinata itu mengangguk pelan. Dia berjalan menuju pintu depan dan mengambil dua botol susu segar yang biasa diantarkan ke depan rumahnya setiap pagi. Dia menuangkan isinya ke empat gelas untuk masing-masing anggota keluarganya.
Setelah itu, Hinata menata empat piring di setiap sisi mejanya lalu duduk diam menunggu perintah selanjutnya.
"Ada lagi, Ibu?"
"Bisakah kau merapikan ruang tengah, Hinata?"
Hinata menaikkan sebelah alisnya. Kenapa mendadak jadi acara bersih-bersih sekarang? "Aku akan melakukannya setelah sarapan nanti saja."
"Ayolah, Hinata," sahut ibunya, seorang wanita dengan rambut biru gelap panjang seperti dirinya. "Akan ada seseorang yang datang nanti siang. Kau tidak ingin memberi kesan buruk setelah kalian berdua lama tidak bertemu kan?"
"Ada tamu? Memangnya siapa yang akan datang, Ibu?"
"Sepupumu, Neji."
Hinata mengangguk pelan dan berjalan menuju ruang keluarganya. Semalam teman-teman ayahnya dan ayahnya sendiri melakukan pesta kecil-kecilan disana. Keadaannya sudah cukup berantakan tanpa perlu Hinata sadari.
Setelah menghela napas panjang, Hinata mulai merapikan tempat itu. Mengembalikan semua benda ke tempatnya, menepuk kursi yang terlihat berdebu, dan menghisap debu di karpetnya dengan vacum cleaner.
Satu jam kemudian, semua sudah selesai. Hinata cukup puas dengan apa yang dilakukannya. Semuanya sudah terletak pada posisi yang tepat dan tidak ada satu debu pun yang menempel disana.
Hinata berjalan menuju ruang dan mendapati ayah, ibunya telah duduk di tempatnya masing-masing. Gadis itu juga akan melakukan hal yang sama kalau saya ibunya tidak lagi-lagi menyuruhnya.
"Hinata, bisakah kau panggilkan Hanabi untuk sarapan?"
Lagi-lagi gadis itu tidak bisa menolak. Dia berdiri lagi dari kursinya dan berjalan menuju kamar adiknya yang tepat bersebelahan dengan kamarnya. "Hanabi," panggil Hinata pelan dengan suara lembutnya. "Kau sudah bangun kan? Sarapan sudah siap."
Terdengar suara sesuatu yang jatuh dan tidak lama kemudian pintu itu pun terbuka. Hinata bisa melihat adiknya, Hanabi, berdiri dengan piyamanya serta rambut biru gelap yang berantakan.
"Ah... Kakak ya... selamat pagi..."
"Ya. Selamat pagi." Hinata menganggukkan kepalanya dan turun duluan ke ruang makan. Akhirnya kali ini dia bisa meminum susu segar yang dituangkannya pagi tadi. Hanabi duduk tepat di sebelahnya dan memakan roti telur dengan mata terpejam.
"Hanabi, sebaiknya kau cuci muka terlebih dahulu!" perintah ayah mereka.
Hanabi menguap lebar lalu menganggukkan kepalanya. Dia berdiri dan menghilang di lorong rumah.
"Terima kasih atas bantuannya, Hinata."
"Sama-sama, Ibu." Dimintai tolong seperti ini sudah merupakan kebiasaan rutin Hinata semenjak libur musim panas dimulai.
"Ah ya, ngomong-ngomong, nanti siang, sepupumu Neji akan datang kesini."
Hinata menganggukkan kepalanya. Dia sudah menebak maksud pembicaraan barusan. Ayah Ibunya bekerja di siang hari sementara Hanabi mendapat pelajaran tambahan di sekolahnya. Hanya Hinatalah yang berada di rumah dan dia harus menyambut sepupunya yang lebih tua dua tahun darinya itu.
Ayahnya menatap kedua bola mata abu-abu putri pertamanya dengan penasaran. "Kau tidak mau tanya kenapa dia bermain kesini selama liburan musim panas?"
Hinata berhenti menggerakkan pisau serta garpunya dan mencoba berpikir. "Liburan."
Apa yang coba dilakukan orang lain saat liburan musim panas? Tentu saja liburan.
Ayahnya terkekeh geli mendengar jawaban polos putrinya yang manis. "Hinata, selama Neji disini, kau harus mengajaknya berkeliling!"
Hinata sejujurnya agak merasa aneh dengan perintah ayahnya. Berkeliling kemana? Kota kecil seperti Kota Okinawa sama sekali bukan pilihan tepat untuk liburan sebenarnya. Palingan liburan ke pantai yang memang cukup indah. Tapi masa mau ke pantai terus sih selama sebulan liburan? Yang benar saja! Pasti bosan kan?
Tapi, Hinata memutuskan dia tidak akan mengatakan pendapatnya. Dia mengangguk lagi dengan patuh. Dia bisa menanyakan hal itu nanti kepada sepupunya kalau si subjek pembicaraan itu sudah sampai disini.
"\O_o/"
Cuaca panas langsung menyergapi kamar Hinata siang itu. Gadis itu terpaksa mengikat rambut biru gelap panjangnya menjadi satu setidaknya untuk mengusir rasa gerah itu.
Dia menarik napas panjang dan menatap langit cerah dari jendela kamarnya. Kenapa tidak hujan saja sih?—pikirnya datar. Rasanya Hinata ingin pergi ke kolam renang umum saja dan menyelam di air yang dingin daripada harus kepanasan di kamarnya. Sayangnya, dia sudah diberi titah untuk menyambut sepupunya.
Hinata menghela napas dan menguap lebar. Dia tidak mengantuk sebenarnya. Hanya sedikit bosan. Setelah berguling-gulingan beberapa kali, akhirnya Hinata memutuskan untuk makan es krim saja.
Saat membuka kulkas di dapurnya, Hinata ingin masuk ke kulkas saja rasanya. Dingin dan nyaman. Sayangnya, tubuh setinggi 165 cm miliknya tidak akan cukup untuk masuk kesana. Dia harus membatalkan niat bodohnya dan memilih mengambil es krim batangan yang segera dimasukkannya ke dalam mulut.
Rasa manisnya segera menyebar dan memberikan sensasi dingin menyenangkan buat Hinata.
Gadis itu tersenyum lalu berjalan kembali ke kamarnya. Hinata mengambil ponselnya dan mencoba mengirim pesan ke teman baiknya.
/Aku bosan. Apa yang kau kerjakan?/
Beberapa saat kemudian, emailnya dibalas.
/Latihan basket di sekolah. Kenapa? Kau mau bergabung/
Hinata memutar bola matanya. Dia sama sekali tidak menyukai apapun yang berbau olahraga.
/Tidak akan. Aku benci berkeringat./
/Kalau begitu, wajar saja kalau kulitmu pucat sekali seperti itu./
Hinata langsung bangkit berdiri dan menatap bayangannya di cermin besar lemarinya. Sosoknya adalah gadis berusia 15 tahun dengan rambut biru gelap panjang dan poni yang menutupi dahinya. Matanya bulat besar berwarna abu-abu yang menurutnya sangat membosankan. Tidak adakah warna lain yang lebih kusam dari abu-abu? Kenapa seluruh keluarga Hyuuga memiliki iris mata dengan warna membosankan seperti itu?
Tenten, sahabatnya memang benar. Kulit Hinata teralu pucat. Teralu putih dan rapuh. Apa dia harus membuat jadwal berjemur mulai besok?
Hinata menghela napas lagi. Dia melemparkan stik es krimnya ke kotak sampah dan menatap langit-langit kamarnya. Sebenarnya jam berapa sepupunya itu akan datang?
Kemudian Hinata mendengar telepon rumahnya berbunyi. Dengan malas, gadis itu menuruni tangga dan mengangkat teleponnya. "Keluarga Hyuuga disini," sapanya lembut.
"Bisakah kau menjemputku?" Sebuah suara laki-laki dengan intonasi datar terdengar dari seberang.
"Hah?" Hinata menaikkan alisnya. "Ini siapa?"
"Neji. Aku tidak tahu harus naik kendaraan apa. Bisakah kau menjemputku di stasiun sekarang?"
Rasanya Hinata benar-benar malas. "Baiklah. Aku akan datang kesana setengah jam lagi."
Hinata meletakkan kembali gagang teleponnya. Sebenarnya dia malas, tapi mengingat amanat yang sudah diberikan oleh orang tuanya, rasanya Hinata tidak punya pilihan lain.
"Setidaknya aku sudah bisa memulai program pewarnaan warna kulit hari ini."
"\O_o/"
Hinata mengendarai skuter putih miliknya dengan ekspresi datar. Dia menggenakan baju lengan panjang dan membatalkan acara pewarnaan kulitnya mengingat sinar matahari yang sangat menyengat siang itu. Salah salah dia bisa saja membuat kulitnya secoklat tanah berlumpur atau bahkan sehitam bebatuan di laut.
Angin yang menerpa wajahnya bahkan terasa panas dan kering. Kenapa musim panas di Okinawa selalu terasa menyakitkan seperti ini sih?
Stasiun jaraknya kira-kira dua kilometer dari rumahnya dan karena ini adalah kota kecil, jalanan sama sekali tidak macet seperti layaknya kota besar, Kyoto, tempat tinggal sepupunya, Neji. Hinata sama sekali tidak habis pikir kenapa ada orang yang mau menghabiskan liburannya di kota kecil seperti ini. Padahal pasti di Kyoto pasti jauh lebih banyak tempat yang jauh lebih menarik.
Apa yang dicari sepupunya, Neji, sebenarnya?
Tapi, itu hak Neji dan dia sama sekali tidak punya niat untuk bertanya lebih jauh. Jadi, dia hanya mengendarai skuter putih miliknya dengan pasrah sambil mendengarkan lagu lewat earphone yang tersambung ke pemutar musik hadiah ulang tahunnya yang ke lima belas kemarin.
.
wasure rukotonado dekiru to omou no minare ta senaka wo oi kaketai
namida nima kasetekoboretaiiwake shinji rukotosaemou dekina i
hontou no kimochi ha mune nishimau futari no ashita ga kie ru mae ni
.
Itu adalah lirik lagu Nostalgia milik Ikimono-Gakari, grup musik yang diidolakan Hinata. Dia benar-benar menyukai lirik lagunya yang manis dan menyentuh, seperti sebuah gulali cinta.
Bicara soal pengalaman cinta, rasanya Hinata sama sekali tidak beruntung soal itu. Orang yang dia sukai biasanya berakhir dengan menjadi pacar teman baiknya dan dia terpaksa harus melupakan itu semua mengingat ia memegang teguh prinsip tidak akan melukai sahabat sendiri apapun yang terjadi.
Apa boleh buat memang. Semua itu karena sikap Hinata yang teralu malu-malu dan penurut. Saat salah satu temannya mengatakan padanya kalau orang itu menyukai laki-laki yang disukai Hinata, saat itu jugalah Hinata akan mengakhiri perasaannya.
Tidak mudah memang, tapi dia sudah benar-benar berusaha keras. Dan dia bersyukur karena sejauh ini dia selalu mampu menutupi perasaannya dengan sangat baik.
Sehingga semua sahabatnya yang akhirnya pacaran dengan orang yang pernah disukainya sama sekali tidak tahu soal itu semua.
Yap. Hinata selalu tersenyum dan berpura-pura bahagia sementara dia harus menangis di belakang.
Gadis dengan iris mata berwarna abu-abu itu sudah sampai di terminal bis Okinawa. Dia memarkirkan skuternya dan melepaskan helm putihnya. Matahari dengan sinarnya yang terik serasa membakar wajah Hinata.
Hinata berjalan menuju terminal dengan kepala yang selalu tertengok ke segala arah. Dia sedang mencari sosok sepupunya. Neji pasti seharusnya sudah ada disana kan mengingat anak laki-laki yang usianya di atas Hinata itu sudah menelepon minta dijemput tadi.
Lalu, Hinata menemukannya. Sesosok anak laki-laki berusia 17 tahun dengan rambut coklat panjang yang dikuncir satu ke belakang.
"Neji," panggilnya pelan.
Anak laki-laki itu kelihatannya sama sekali tidak mendengar panggilannya barusan. Kelihatannya Hinata sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain menghampirinya.
"Neji!" Kali ini Hinata sudah berdiri di depan pemuda tampan itu dengan tangan yang diayunkan di depan matanya.
Neji menatap Hinata datar. Mata mereka yang sama-sama berwarna abu-abu saling bertatapan untuk sesaat. "Selamat siang, Hinata."
Selamat siang? Bukankah sebaiknya: terima kasih nona Hinata karena telah menjemput hamba yang lemah ini? Yah, yang mana saja bolehlah. Hinata sudah teralu pusing karena berada di bawah terik matahari seperti ini.
"Neji, kau cuma bawa segitu saja?" tanya Hinata pelan setelah melihat bahwa Neji hanya membawa tas ranselnya saja.
"Ya. Memangnya ada masalah?"
"Kau berencana untuk menginap disini sampai akhir musim panas kan?"
"Ya. Memangnya ada masalah?"
Hinata kehilangan kata-katanya. Akhirnya, gadis itu mengangguk saja dan membawa Neji ke tempat dimana skuternya diparkir. Dia menyerahkan helm yang juga berwarna putih pada Neji.
"Kau bisa bawa skuter tidak?"
"Tidak."
"Aah... begitu ya..." Lagi-lagi Hinata kehilangan kata-kata. Neji sepupunya memang dikenal sangat pendiam. Hanya bicara seperlunya saja. Tapi lucu saja kalau misalnya Neji tidak bisa menaiki motor. Usianya sudah tujuh belas tahun kan? Bahkan Hinata yang belum mendapat lisensi ijin mengemudi saja sudah bisa menaikinya.
"Kau suka hello kitty ya?"
Hinata menoleh dan menatap helm yang dipegang Neji. "Itu punya Hanabi. Kau keberatan ya? Mau tukeran denganku?"
Mata abu-abu itu mengalihkan pandangan pada helm putih bergambar tokoh Doraemon yang sedang dikenakan Hinata. Tiba-tiba dia membuang muka. "Tidak usah."
"Hemm... baiklah kalau begitu." Hinata naik ke skuternya dan memundurkannya dari posisi semula agar dia bisa keluar dari tempat parkir itu. Kemudian dia melirik Neji yang tidak kunjung naik ke motor. "Naiklah."
Neji akhirnya menatap wajah Hinata lagi dan mengangguk pelan. Dia memakai helmnya lalu naik dan duduk tepat di belakang Hinata.
Dan tiba-tiba saja Hinata merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Dia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki manapun sebelumnya kecuali ayahnya. Mendadak dia bisa mencium parfum yang digunakan Neji yang entah kenapa terasa sangat wangi di hidungnya.
Hinata segera menepis pikiran itu. Dia harus fokus. Lagipula apa yang sedang coba dia pikirkan? Neji itu sepupunya. Sepupunya! Ayah Neji adalah adik dari Ayah Hinata. Jadi, segera jauhkan pikiran aneh itu Hinata. Pikiran aneh yang mengatakan bahwa parfum Neji baunya enak.
Tangan Hinata mulai memutar gagang skuter dan skuter putih itu mulai berjalan.
"Kau hebat sekali karena bisa mengendarai skuter." Tiba-tiba saja Neji mengajaknya bicara.
"Umm..." Respon Hinata. Dia bahkan sama sekali tidak mengerti kenapa pemuda tampan yang biasanya diam itu mulai mengajaknya bicara.
"Bagaimana kabar Hanabi?"
"Baik-baik saja. Dia ada pelajaran tambahan di sekolahnya. Kau mungkin baru bisa melihatnya nanti malam."
"Begitu ya..." Neji menoleh ke kanan dan sibuk melihat pemandangan.
Hinata mengamati pemuda itu dari kaca spion di skuternya. Dia harus mengakui bahwa sepupunya memang sangat tampan. Dengan hidung mancung, kulit putih porselen, serta mata abu-abu yang indah. Entah kenapa, walaupun mata mereka berdua sama-sama berwarna abu-abu yang menurut Hinata adalah warna yang membosankan, mata Neji tidak begitu. Matanya indah.
Ah... apa yang sedang kupikirkan?—pikir Hinata. Dia harus fokus. Lagipula apa-apaan ini? Kenapa wajahnya memanas. Ini pasti karena pengaruh sinar matahari kan? Pengaruh sinar matahari. Ya. Itu benar.
Neji tampak begitu serius memperhatikan gedung-gedung kecil yang mereka lewati. Beberapa rumah tua kelihatannya asing bagi pemuda yang selama ini tinggal di kota besar itu.
"Tampak bosan, Neji?" tanya Hinata tiba-tiba. Gadis itu tidak tahu kenapa, tapi rasanya dia harus mengajak Neji berbicara. Pemuda itu kelihatan lebih diam daripada biasanya yang dapat diingat Hinata.
"Tidak. Hanya saja, kota ini teralu berbeda dengan Konoha."
"Yap. Karena itulah aku agak heran kenapa kau mau liburan kesini. Mencoba melepaskan penat kehidupan kota yang mewah?"
Neji hanya diam. Hinata terpaksa melihat ekspresi sepupunya dari balik kaca spionnya. Neji tampak diam serius seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Neji? Kau baik-baik saja?" Hinata memastikan.
Neji lalu tersenyum tipis. "Ya. Aku hanya ingin liburan. Itu saja."
Hinata merasa dia tidak boleh menyinggung masalah ini lebih jauh lagi. Gadis itu menanggukkan kepalanya dan mulai fokus pada jalan di hadapannya.
"\O_o/"
Matahari sudah terbenam ketika akhirnya Hinata turun dari kamarnya. Hanabi dan ayahnya sedang sibuk menonton berita malam di ruang tengah. Merasa acara yang dia tonton tidak menarik, Hinata berjalan menuju dapur untuk setidaknya mengecek keadaan ibunya yang selalu masak sendirian di dapur.
Anehnya, di tengah aroma wangi nan menggiurkan itu, Hinata dapat melihat sosok ibunnya dengan rambut gelapnya dan seseorang dengan rambut coklat yang dikuncir satu ke belakang, Neji.
Itu pertama kalinya bagi Hinata untuk melihat seorang laki-laki masuk ke dapurnya untuk membantu memasak. Selama ini ayahnya sama sekali tidak pernah melakukan hal itu.
"Ibu," panggil Hinata.
Ibunya menoleh ke arah putri pertamanya sambil tersenyum. "Mau bantu-bantu juga, Hinata?"
"Aah..." Sebenarnya bukan itu maksudnya, tapi sepertinya ibunya mengharapkan bantuan dari Hinata. Akhirnya dia menganggukkan kepala dan berjalan mendekati ibunya yang sedang sibuk memotong sawi putih.
"Bisakah kau memotong bawang merahnya, Hinata?"
Hinata lagi-lagi mengangguk pasrah. Dia mengambil pisau dan tatakan lalu mulai memotong sayuran berwarna merah itu. Sesekali diliriknya Neji yang masih membelakanginya.
Apa yang sedang dilakukannya di dapur?—tanya Hinata dalam hatinya. Biasanya anak remaja seperti Neji selalu menganggap dapur adalah tempat bagi perempuan kan? Laki-laki yang masuk kesana hanyalah banci. Ataukah, Neji jangan-jangan...
Tidak! Itu tidak mungkin kan?—tiba-tiba Hinata malah berdebat dengan pikirannya sendiri. Lagipula tidak mungkin anak laki-laki sekeren Neji itu banci. Eeh... tunggu dulu. Barusan Hinata berpikir kalau Neji itu keren?
Hinata segera mengelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Apa yang baru saja dia pikirkan barusan?
"Hinata, kau tidak apa-apa?" tanya Ibunya yang agak cemas setelah melihat Hinata tiba-tiba menggelengkan kepalanya setelah memotong bawang seharusnya adalah menangis kan? Bukannya malah menggeleng...
"Tidak apa-apa, Ibu." Dapat dilihatnya Neji ternyata juga sedang menatap wajahnya. Mendadak Hinata merasa panas dan merasa sangat malu. Reaksi apa-apaan ini sebenarnya?
Neji tersenyum tipis lalu mulai melanjutkan kegiatannya barusan.
Apa dia sedang mengejekku begitu?—Hinata mulai berpikir yang aneh-aneh.
"Bibi, aku sudah selesai memotong daun sawinya. Apa ada lagi yang bisa kubantu?" sahut Neji dengan suaranya yang berat dan datar.
Hinata mencuri-curi pandang ke arahnya. Sepupunya itu... kenapa bisa terlihat sangat tampan sih? Kenapa mampu membuat jantung Hinata berdebar-debar?
"Terima kasih, Neji," balas Ibu Hinata sambil mengambil wadah berisi potongan sawi dari tangan Neji. "Kau bisa membantu Hinata mengupas dan memotong bawang merah."
Neji mengangguk pelan dan duduk tepat di hadapan Hinata. Dia meraih pisau dan mulai mengupas bawang tanpa komentar sedikit pun.
Mata abu-abu Hinata mulai mengamati tingkah laku Neji. Bahkan saat dia mengupas bawang pun, sepupunya itu terlihat benar-benar keren. Dan benar saja, jantung Hinata berdebar lebih cepat hanya dengan menatap wajah Neji.
Apa Neji memang punya bakat sebagai seorang perempuan ya?—pikir Hinata. Rambut coklat Neji itu lho... kok bisa-bisanya anak SMA seperti dia memiliki rambut sepanjang itu? Ataukah memang Neji memiliki jiwa feminism yang kuat?
Hinata segera menggelengkan kepalanya lagi. Dia harus berhenti berpikiran aneh-aneh mengenai sepupunya. Dan terutama Hinata harus mampu membuat debaran jantungnya normal kembali.
"Hinata?" panggil Neji setelah melihat respon Hinata yang agak aneh. "Kau baik-baik saja?"
"Aah..." Hinata segera menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Aku baik-baik saja—aww..."
Neji langsung meraih tangan Hinata dengan cepat.
"Hinata! Neji, cepat ambil kotak P3K!" pekik Ibunya panik.
Jari gadis berambut biru gelap itu tengah mengucurkan darah karena terkena pisaunya yang dia ayunkan dengan panik setelah Neji bertanya tadi. Lukanya tidak besar, tapi sudah cukup mampu membuat Ibunya yang paranoid itu pucat dan hampir pingsan.
Neji langsung menarik tangan Hinata keluar dari dapur menuju kotak P3K yang terletak di lorong lantai atas. Setelah itu, dia membawa Hinata ke beranda lantai dua. Dengan cermat, Neji segera membersihkan luka Hinata dengan kapas.
Wajahnya tampak benar-benar serius. Tangannya benar-benar menggenggam tangan Hinata erat-erat.
Sementara itu, di sisi lain, Hinata sudah cukup merasakan jantungnya akan keluar ketika tangannya masih terus-terusan digenggam oleh Neji. Perasaan romantis apa ini? Kenapa dia mulai memikirkan hal aneh mengenai sepupunya?
"Kau... masih ingat letak kotak P3K yaa..." sahut Hinata. Dia cukup bisa mengontrol agar suaranya tidak bergetar saking gugupnya.
Mata abu-abu Neji beralih ke mata abu-abu Hinata. Dia merasa apa yang baru saja dikatakan gadis itu terdengar sangat aneh dan dia sendiri baru menyadarinya. "Ah ya... aku juga baru sadar kalau aku mengingat letak kotak P3K..."
Mau tak mau Hinata akhirnya tertawa. Suasana canggung yang dia rasakan tadi akhirnya mulai mencair. "Apa boleh buat... dulu aku selalu ceroboh dan terluka saat bermain sih... Neji terpaksa harus terus-terusan menolongku."
Neji tersenyum tipis. "Hinata memang tidak berubah ya... selalu ceroboh seperti biasanya..."
"Ceroboh? Aku tidak terima dikatakan begitu!" Hinata menggembungkan pipinya karena sedikit kesal. "Terutama oleh orang yang teralu serius seperti kau!"
"Aku? Serius? Benarkah?" Neji balik bertanya. Dia hampir tertawa saat mendengar Hinata berkata seperti itu.
"Itu benar! Padahal kita dulu sangat dekat, tapi sekarang..."
Hinata tidak mau melanjutkan kata-katanya. Mendadak dia merasa dia tidak ingin melanjutkan kata-katanya. Matanya terpaku pada tangannya yang masih digenggam oleh Neji. Tidak ada rasa sakit sama sekali. Hinata justru merasakan perasaan hangat yang sangat nyaman.
Perasaan yang pernah dirasakannya ketika dia sedang berdua saja dengan orang yang disukainya.
Mikir apa aku barusan?—teriak Hinata dalam hati. Wajahnya mendadak terasa panas. Pasti merah! Wajahku pasti merah seperti udang rebus!
Neji tampaknya melihat perubahan Hinata dan dalam hati dia tersenyum. Dia tidak memprotes dan mempertanyakan ucapan Hinata yang terputus tadi. Dia memutuskan untuk meneruskan kegiatannya untuk mengobati jari Hinata.
Setelah Neji selesai, Hinata masih menundukkan kepalanya. Neji tersenyum tipis lalu mengusap kepala Hinata dengan lembut.
"Lain kali hati-hati ya, Na-chan."
Mata abu-abu itu seketika langsung melebar tak percaya begitu mendengar nama panggilan masa kecilnya disebut. Dia segera menegakkan kepalanya untuk melihat ekspresi seperti apa yang digunakan Neji saat mengatakan hal itu.
Namun, pemuda berambut coklat panjang itu sudah menghilang dengan membawa kotak P3K.
Meninggalkan Hinata yang masih terpaku di tempatnya duduk.
Meninggalkan Hinata yang mulai dihinggapi perasaan aneh yang hangat.
.
.
"Nee... Na-chan, kau mau main sesuatu?"
"Aku tidak mau main permainan anak laki-laki, Ne-kun! Tidak mau!"
"Kalau begitu, ayo kita mainkan permainan anak perempuan."
"Eh? Ne-kun tidak keberatan?"
"Tidak. Ayo main rumah-rumahan. Itu permainan kesukaan Na-chan kan?"
"Ayo! Kalau begitu, Ne-kun akan berpura-pura jadi ayah dan Na-chan yang berpura-pura jadi ibunya!"
"Tidak akan ada pura-pura!"
"Eh? Maksudnya?"
"Karena saat sudah besar nanti, Na-chan pasti menikah dengan Ne-kun kan?"
"Eh? Umm... itu..."
"Tidak mau ya?"
"Tentu saja... aku... mau... karena Ne-kun... umm... karena Ne-kun... adalah orang... yang paling... disukai oleh Na-chan... orang... yang paling kusukai... untuk selama... lamanya..."
.
.
.
"Kan kutuliskan kisah kita yang selanjutnya di bab dua sebuah buku berjudul Cinta"
.
berkenan memberikan review?
