Tak ada jeda untuk mengambil nafas.

Hentakan kaki yang terus berlari menjadi sebuah penopang hidup yang tak ternilai harganya.

Seragam yang terus-terusan terciprat darah, tak bisa menjadi sebuah alasan penghenti bagi kami yang ingin terus memandang cerahnya langit biru yang di terpa sinar matahari.

Jalan hidup kami yang biasa kini musnah, tak ada yang tersisa sama sekali.

Pada awalnnya, kupikir bertahan hidup di tengah-tengah kumpulan mayat hidup itu menyenangkan. Tapi, aku menyesal telah mengharapkan semua itu, aku ingin kehidupan lamaku kembali, di hina dan di caci maki karena aku seorang penggila dunia fantasi.

Tapi sepertinya Tuhan benar-benar mengabulkan harapan kecilku kali ini, aku kembali berharap pada Tuhan supaya harapan kecilku itu di ambil kembali supaya kehidupan normal yang biasa kujalani juga ikut kembali.

Dan seperti yang kuduga, itu tidak terjadi.

Konsekuensi harapanku tidak hanya menimpaku, tapi menimpa semua orang.

Aku menyesal telah berharap seperti itu.

Aku benar-benar ingin kembali.

Aku, Naruto Uzumaki, seorang pelajar kelas sepuluh yang kini harus membunuh untuk bertahan hidup.


[A Live in The Dead World]

Disclaim Character: Masashi Kishimoto

Warning: OOC, Typo, AU, Violence, and etc.

Summary: Naruto, remaja penggemar Zombie yang bertahan hidup di tengah-tengah sekumpulan bangkai manusia yang berjalan. Di makan, atau membunuh? Hanya pilihan itu yang kini ada pada hidupnya.

.

(Beginning)

(Sehari sebelumnya)

"Hei, bocah pirang, lagi baca komik zombie-mu lagi? Hahahaha..."

Memang apa yang harus aku sangkal? Tidak ada! Pada jam istirahat sekolah ini memang sudah biasa bagi telingaku untuk mendengar suara tawa girang dari tiga siswa yang mungkin paling suka mencela orang, terutama padaku.

Hal yang selanjutnya terjadi pasti Sasuke datang yang kemudian memelototi mereka dengan tatapan membunuhnya, dan kemudian tiga siswa yang menertawaiku pasti pergi. Aku sudah hafal skenario ini, bagaimana tidak, ini terjadi setiap harinya.

"Kenapa kau hanya diam saja saat di hina seperti itu? Harusnya kau membalas."

Kulihat Sasuke sedang menarik sebuah kursi kearah bangku-ku, dan kemudian mendudukinya. Yah, inilah sahabatku, seorang siswa yang sekaligus anak kepala polisi yang disegani, hanya dia yang bisa kujadikan seorang teman.

"Seperti kau tidak tahu aku saja," Kututup komik yang baru saja aku buka dan kemudian berdiri, "Mau ke Kantin?"

Kulihat Sasuke tersenyum sejenak sebelum ikut berdiri, "Tentu saja. Aku 'kan belum punya pacar, mana mungkin aku dibuatkan sekotak bekal?"

Aku tertawa. Ternyata sahabatku yang terkenal dingin ini, masih bisa melawak juga.

~o~

Sebuah roti lapis atau yang bisa disebut sandwich, menjadi santapan makan siangku hari ini. Biasanya sih aku memilih kare, tapi berhubungan sahabatku tidak membelinya, aku jadi cuma ikutan saja.

"Hei Naruto, ada gadis pujaanmu tuh!"

Aku langsung mengarahkan pandanganku kearah kedikan dagu Sasuke, dimana disana terdapat seorang gadis yang menjadi seorang idola sekolah yang setiap menitnya selalu saja di kerumuni oleh para siswa di Sekolah ini. Dia adalah Hinata Hyuuga, gadis sok polos yang memiliki harga diri tinggi, lebih tepatnya terlalu melebih-lebihkan.

Hinata adalah gadis yang kusukai, dulu. Sebelum aku mengetahui bagaimana sifat aslinya terhadap murid yang lain, kini aku tidak menyukainya, tidak menyukai sifatnya. Secara paras mungkin Hinata masuk kedalam semua kategori kriteria gadis yang paling dicari, kulit putih dan selembut salju, rambut panjang lurus tergerai rapi, dan proposional tubuh yang menurutku sudah melebihi batas, coba lihat dadanya yang menonjol itu, sangat besar, dan itu merupakan poin terbaiknya.

Mungkin para siswa yang sedang mengerumuninya hanya memuja keagungan dada besar yang menonjol itu. Aku merasa bodoh karena aku pernah terjebak diantara mereka yang memuja indahnya paras perempuan, kini aku kasihan pada mereka.

Aku menatap sahabatku kembali, "Jika tidak ada dirimu, pasti aku masih terjebak dalam belenggu idolism seperti mereka, sekali lagi aku berterima kasih."

Kulihat Sasuke menyedot jus tomat yang di belinya melalui sedotan, matanya tak sedikitpun teralihkan pada novel yang sedang ia pegang di tangan kiri, "Tak usah berlebihan seperti itu, itulah gunanya teman."

~o~

Rencana selanjutnya saat sampai ke Rumah setelah ini adalah tiduran di atas ranjang sambil membaca novel bertema zombie yang aku beli beberapa menit yang lalu di Toko buku. Tidak ada yang lebih baik dari itu.

"Hei, Naruto-kun."

Aku langsung menoleh ke arah Yukata yang berada di sisi kiriku, dia adalah sepupuku yang kini ikut bernaung dalam satu atap dimana aku juga berada di dalamnya. Sepupuku ini cukup populer di kalangan murid Sekolah, tapi tak terlalu berlebihan seperti Hinata, dia hanya sekedar di kenal banyak murid karena keramahannya, dan mungkin karena kecantikannya juga. Aku tak ingin munafik, aku menilai kalau paras sepupuku ini bisa di kategorikan manis.

"Naruto-kun!"

"H-hah?" Aku tergagap, hal yang spontan.

"Huh," Kulihat Dia mendesah, "Kenapa sih akhir-akhir ini kau sering melamun!? Kau memikirkan gadis itu lagi?"

"Ti-Tidak-tidak kau salah, aku hanya sedang memikirkanmu."

Dapat kusadari kalau kedua mata sepupuku ini melebar, wajahnya mulai memerah. DIA DEMAM!

"Ne-Nee-chan! Ka-Kau sakit!?" Kusentuh dahinya yang tertutupi poni, err... tidak terasa panas tapi wajahnya memerah, gejala penyakit apa ini!?

"Lepaskan tanganmu!"

Dia melepaskan tanganku dari dahinya dengan gerakan yang sedikit kasar, lalu dia berjalan mendahuluiku...? Lho, kok ngambek?

One side POV end

~o~

Pintu masuk kediaman Namikaze terjerembab dengan lebarnya, membuat Kushina sedang memasak hidangan makan malam dengan penasaran mengintip pintu masuk. Mata birunya menatap tidak mengerti ke arah Yukata yang berjalan melewatinya dengan wajah yang memerah, setelah itu pandangannya teralihkan ke arah Naruto yang sepertinya sedang mengikuti langkah sepupunya itu dari jarak yang lumayan jauh. Dua meter.

Naruto berhenti berjalan tepat di depan ibunya, "Oh, aku pulang, Kaa-chan. Nee-chan, tunggu~" Dia menyusul kembali sepupunya.

Kushina hanya bisa melihat punggung anaknya dengan terheran, "Se-Selamat datang...?"

.

.

BRAK!

Saat pintu masuk kamar Yukata sudah di banting seperti itu, mau tak mau Naruto harus di buat menyerah oleh keadaan. Dia menghela nafas pelan, bertahan beberapa detik disana lalu mulai berjalan ke arah kamarnya yang berada tepat di samping kamar Yukata.

Naruto menutup pintunya pelan, berjalan kearah meja belajarnya untuk menaruh tas sekolahnya disana dan kemudian dia beralih ke arah komputer yang terletak di salah satu meja lainnya. Saat koneksi internet sudah tersambung, Naruto dengan cepat memilih salah satu search engine yang ada pada layar komputer miliknya, sebuah kata kunci untuk membuka website yang menyediakan sebuah layanan televisi online menjadi halaman favorit Naruto untuk mencari berbagai movies yang sedang di tayangkan di seluruh channels televisi dunia.

Tapi setelah beberapa menit mencari, tak ada satupun saluran yang menayangkan film layar lebar, kebanyakan kini sedang menampilkan sebuah berita. Naruto menghela nafas, "Tumben hari ini isinya berita mulu, membosankan." Kemudian dia beranjak kembali menuju tas sekolahnya, mengambil novel yang ia beli lalu tiduran di atas kasur.

"Untung aku tadi membeli ini," Naruto mulai membaca huruf demi huruf, kalimat demi kalimat yang berada pada novel itu. "Enaknya hidup di dunia penuh zombie, andai saja aku hidup di dunia seperti itu." Dia kemudian kembali membaca.

Naruto tak sekalipun menghiraukan layar komputernya yang masih menyala yang dimana disana sedang terpampang seorang reporter wanita yang sedang meliput kepanikan yang terjadi disana.

"...Dikabarkan bahwa kejadian ini terjadi karena tersebarnya sebuah virus yang sedang di teliti oleh..."

Dan, awal mula sebuah kehancuran telah datang.

~o~

Chapter 1: Harapan yang menjadi nyata.

.

"Jadi ini novel yang kau janjikan kemarin?"

"Ya, kau bilang yang kau butuhkan hanya bacaan bukan? Aku memang tidak tahu bagaimana seleramu tentang zombie, tapi hanya itu yang kupunya."

Sasuke kemudian merebahkan tubuhnya, mengangkat novel yang berada di tangan kanannya lalu mulai membaca. Naruto yang melihat hal itu hanya bisa angkat bahu, dia tahu kebiasaan membaca Sasuke yang sudah masuk level parah, dengan sekalinya temannya itu memegang sebuah buku, maka dunia nyata tak akan dia pedulikan. Kecuali saat lapar, dia akan bergerak untuk itu.

Untuk hari ini kedua remaja itu sedang membolos pelajaran dari jam pertama sampai keenam di atap sekolah, biang keladinya adalah Sasuke. Angin dari hari yang menjelang sore, menerpa dan menyegarkan setiap penat, membuat orang yang merasakannya pasti terasa lepas dari semua masalah yang terjadi. Sangat menenangkan.

"ARRGGHHH..."

Kini ketenangan itu telah berakhir.

Teriakan itu langsung membuat Sasuke bangkit dari posisi santainya, "Ada apa!?" Remaja itu menoleh kearah sahabatnya.

Naruto yang di pandang seperti itu mengangkat sebelah alisnya, "Jangan tanya aku bodoh, dari tadi aku ada disini."

Sasuke berkata 'ohh' beberapa saat sebelum kembali berkata, "Ingin memeriksanya?"

Yang ditanya mengedikkan bahu, "Tentu, kenapa tidak? Aku berharap ada suatu hal yang menarik sedang terjadi."

Kedua siswa yang sedang membolos itu berdiri dan kemudian berlari kearah pintu masuk atap Sekolah, dengan cepat kedua kaki mereka menuruni setiap anak tangga yang menghubungkan lantai tiga dengan atap Sekolah.

Saat kedua remaja itu baru menapak pada lorong lantai tiga Sekolah, mereka langsung dibuat tercengang oleh adegan kanibalisme dari dua siswa di Sekolah mereka.

"Tolong aku..." Siswa yang menjadi korban kanibalisme tersebut menjulurkan tangan kearah Naruto dan Sasuke, berniat untuk meminta tolong.

Sasuke yang tersadar lebih dahulu langsung berlari kearah dua siswa itu, dan dengan tak segan-segan kaki kirinya langsung ia lesatkan kearah kepala siswa yang menjadi pelaku perbuatan menjijikkan itu. Darah merah langsung membekas di sepatu kiri Sasuke, begitu juga di lantai porselen lorong itu.

"Kau tidak apa-apa?" Naruto melihat miris kearah luka gigitan di bahu kanan siswa itu. Ia alihkan pandangannya kearah wajah kesakitan yang jelas-jelas tak bisa disembunyikan, "Hei, kau tidak apa-apa?"

"Naruto."

"Apa?" Saat Naruto kembali menghadap ke lorong, pemandangan tak biasa langsung membuatnya membatu. "A-Apa yang sedang terjadi?"

Sasuke yang masih berdiri mendengus pelan, "Heh, jangan tanya aku bodoh, dari tadi aku berdiri disini."

"SIAPA JUGA YANG –" Melihat satu gerakan kepala yang mengarah kepadanya dari siswa-siswi yang sedang melakukan aksi kanibalisme, Naruto langsung nyiut nyalinya, "...bertanya padamu...?"

"Bodoh."

~o~

"Hah, hah, hah, sampai kapan kita harus terus berlari seperti tadi?" Setelah bertanya, Naruto langsung merebahkan bokongnya di atas lantai ruangan klub memasak. Sambil terus mencoba meredam debaran jantung karena habis berlari selama hampir lima belas menit tanpa jeda, kedua mata birunya masih berfokus melihat gerak-gerik sahabatnya yang mulai membuka satu-persatu laci disana.

Saat laci tersebut berisikan pisau, Sasuke langsung mengambilnya dan meletakkannya di atas meja. Tak hanya pisau kecil saja yang ia kumpulkan, pisau pemotong daging juga ia ambil dari lemari penyimpan peralatan klub tersebut.

Naruto yang sudah mulai normal nafasnya, sejenak memandang ke arah pintu masuk yang telah ia kunci terus menerus di gedor oleh kumpulan mayat hidup yang tadi telah mengejarnya. Sempat terpikir oleh Naruto tentang bagaimana cara dirinya keluar dari ruangan ini hidup-hidup? Pintu yang terhalangi oleh tubuh mati itu adalah satu-satunya jalan masuk dan jalan keluar di ruangan ini, ada satu lagi jalan keluar dari ruangan ini, jendela.

Naruto menggeleng. "Tidak mungkin. Ini lantai tiga, pasti tidak akan selamat." Dia bergumam.

"Naruto,"

Yang di panggil menoleh.

"Apa kau sudah mulai gila?"

"Hah?"

"Kau meracau sendiri tadi."

"Aku tidak sengaja."

"Tidak sengaja? Apa maksudmu?"

"Lupakan." Naruto kembali berdiri dan kemudian menghampiri Sasuke, "Apa yang berhasil kau dapatkan?"

Sasuke mengedikkan bahu, "Tidak banyak, hanya sepuluh pisau, dua golok, satu celurit, satu kapak, satu combat machette, satu amok kukri, dan satu tabung pemadam api."

Alis Naruto berkedut, "Tunggu sebentar! Untuk apa celurit, kapak, combat machette, dan amok kukri...? Soal tabung pemadam api, itu masih wajah berada di ruangan klub memasak, tapi benda yang kusebutkan tadi...?"

Sekali lagi Sasuke mengedikkan bahu, "Mungkin, untuk memasak...?"

Naruto bergeleng, "Berat-berat-berat..."

~o~

Brak! Brak! Brak!

Pintu terus di gedor oleh tangan-tangan berlumuran darah milik para siswa yang sudah menjadi mayat hidup. Tapi hal itu tak sedikitpun membuat kedua remaja yang sedang menyisipkan berbagai pisau ke dalam saku mereka tergerak merasakan takut oleh ancaman dari makhluk-makhluk yang sebenarnya sudah tak bernyawa, terlebih bagi Sasuke yang seakan terlihat tak peduli.

"Naruto,"

"Hm?"

"Saudarimu juga bersekolah disini 'kan?"

Pertanyaan itu langsung membuat Naruto berhenti bergerak. Dia baru teringat kalau sepupunya juga bersekolah disini, lalu bagaimana keadaannya sekarang?

"Aku akan mencoba mengirim pesan,"

Sasuke hanya menatap datar sahabatnya yang sedang mengetik sebuah pesan di ponselnya, "Kau yakin kalau saudarimu itu sedang membawa ponselnya? Jika tidak, usahamu itu sia-sia. Atau yang paling buruk –"

"Diamlah."

Bantahan itu seketika membuat Sasuke terdiam, dirinya tahu kalau bertanya lebih lanjut hanya akan membuat pikiran sahabatnya itu tak fokus, dan itu sangat membahayakan untuk kali ini.

Setelah selesai mengetik pesan yang akan di kirimnya, ada sedikit rasa ragu yang Naruto alami ketika jempol tangannya hendak menekan tombol kirim pada layar ponselnya. Berbagai spekulasi kini sedang meracuni pikirannya, dan itu membuatnya takut serta khawatir.

Naruto menarik nafas dan menghembuskannya, "Tuhan, Kuharap tidak terjadi apa-apa pada Yukata." Tanpa ragu lagi, Naruto menekan tombol itu.

.

.

Klink!

Yukata tersentak saat ponsel yang berada dalam saku jersey-nya tiba-tiba berbunyi. Ia ambil benda berbentuk persegi panjang yang biasa ia buat sebagai alat komunikasi tersebut, untuk beberapa saat matanya melebar karena harapannya beberapa saat yang lalu telah hilang kini telah di kabulkan. Tak ingin mengulur waktu lagi, segera ia tekan nomor milik sepupunya untuk ia panggil.

Di saat yang bersamaan, Naruto yang telah menanti-nanti sebuah balasan langsung saja bergerak cepat mengambil ponselnya sendiri seperti pencopet saat layar ponselnya tiba-tiba saja menyala dan menampilkan sebuah panggilan masuk.

"Sasuke, panggilan dari Yukata!"

"Cepat angkat bodoh, jangan mengulur waktu."

Cklek!

"Yukata! Kau dimana, Yukata!?"

Ada rasa senang yang Yukata rasakan saat mendengar panggilan khawatir itu, saking leganya dia kini sudah menangis tanpa sadar. "Naruto-kun, aku takut."

"Cobalah untuk tida menangis, ini bukan saat yang tepat untuk melakukan hal itu. Sekarang jawab, kau ada dimana?"

Yukata menghapus aliran air matanya, "A-Aku sekarang ada masih ada di kelas, aku bersembunyi di dalam loker."

Tidak ada jawaban lagi setelah ia mengatakan hal itu, namun Yukata tetap menunggu dalam diam dan tak sadar bahwa di luar lokernya sudah ada tiga mayat hidup yang sedang menghampirinya.

Inilah awal dari segalanya.

"Sasuke, kita harus menjemputnya."

Sasuke menimbang-nimbang permitaan yang Naruto ajukan padanya. Semua ini rumit, bertahan hidup adalah tujuan utama dalam hidup kali ini, namun menyelamatkan nyawa yang tersisa itu juga penting, apa yang harus ia lakukan? Ini tidak mudah.

"Naruto-kun! Naruto-kun! Tolong aku!"

Sasuke melihat kalau sahabatnya kembali mengarahkan ponselnya yang masih dalam panggilan ke telinganya kembali, ia tak ingin berbohong kalau telinganya juga mendengar teriakan itu.

"Yukata! Ada apa!?" Mata Naruto melebar saat telinga yang ia pakai untuk mendengarkan panggilan itu mendengar suara pukulan keras yang menghantam besi.

"To-Tolong aku... tolong... tolong..."

BRAKK!

"KYYAA~!"

"SASUKE! Kita harus cepat-cepat menolongnya!"

Sasuke memejamkan matanya dan berpikir keras beberapa saat, lalu dia membuang nafas, "Kita pergi! ...kita pergi menyelamatkannya!"

Dunia ini sudah berakhir. Namun manusia tetap akan memulainya dari awal lagi, lagi, dan lagi, karena manusia memiliki kebebasan, dan tak ingin di kekang oleh sesuatu, terutama oleh mayat hidup.

Hidup di kelilingi oleh manusia tak bernyawa yang bergerak juga bukan kehendak manusia, namun manusia yang ingin tetap hidup juga tak pasrah begitu saja.

Hidup dan mati bukan berada di genggaman mayat hidup, namun ada pada pilihan yang di ambil.

[To be Continued]

A/N: Yah, pengen ambil setting cerita yang sedikit extrim buat fic yang satu ini.

Extrim? Alasannya? Karena suatu yang bertema'kan zombie itu gak akan bisa di nikmati secara penuh kalau gak ada gambarnya, bener gak? Jadi, yah, aku usahain biar bisa di gambarin pakai tulisan.

So, ini adalah awalnya, ambil inspirasi dari anime [Highschool of The Dead] yang melegenda karena Ecchinya, tapi buat jauh kedepan, settingnya akan berbasis internasional atau mendunia, bukan hanya di Jepang.

Ok, see you later on the next chapter.

.

Ramiel de Ancient.