Ketika kau tak tahu lagi kemana harus melangkah, aku ingin menjadi mata bagimu. Tangan dan seluruh tubuhku kuberikan padamu. Karena sejak awal, kau sudah memiliki hatiku

Declaimer © Masashi Kishimoto

Story : Blind

Enjoy

Pemuda itu berdiri di depan calon majikannya. Perusahaan yang begitu dielu-elukan ayahnya tengah berada dalam guncangan. Beberapa 'orang' di dalamnya korup dalam jumlah yang tak bisa dikatakan sedikit. Sebisa mungkin berita tak mengenakkan ini tidak sampai media. Itulah mengapa, Fugaku, selaku direktur perusahaan dan juga ayah pemuda itu terpaksa mempekerjakan anaknya pada rekan kerjanya.

Inoichi, dengan adanya peristiwa tak mengenakkan dalam tubuh Uchiha Corp itu, otomatis menduduki posisi sebagai pemegang saham terbesar. Di samping ia yang tak bisa tinggal diam saja menyaksikan pertarungan dalam tubuh perusahaan itu, putrinya, Ino, mengalami kebutaan sejak berusia delapan tahun, tidak bisa ia biarkan begitu saja pada tangan yang salah. Ia sengaja tak menyewa pembantu atau pengasuh atau tutor bagi putrinya. Ia ingin putrinya berada di tangan yang tepat selama musibah itu menimpa penglihatan putrinya.

Lima tahun lalu, adik perempuannya melahirkan seorang anak. Dengan terpaksa, Inoichi mengambil putrinya dan menyerahkannya ke tangan orang lain, keluarga Nara. Dan tiga tahun adalah waktu yang cukup bagi Inoichi untuk merasa tidak enak menitipkan anaknya pada orang lain, walaupun itu adalah sahabatnya sendiri yang dengan senang hati membantu. Akhirnya, di sisa dua tahun terakhir ini, ia hanya bisa meninggalkan putrinya di rumah. Dengan uangnya, ia membeli berbagai barang yang setidaknya mampu menghibur putrinya dalam kesendirian. Tidak ada seorang ibu dan dia tak ingin orang lain menempati posisi itu bagi putrinya. Baginya dan bagi Ino, seorang ibu tetaplah satu, yang telah meninggalkan mereka pergi ke tempat yang lebih baik.

Dan yang membuat Inoichi bangga serta menyesal di saat bersamaan adalah tak sekalipun gadisnya itu mengeluh akan keadaannya. Ino selalu berusaha tegar, membuat Inoichi menyesal karena tak bisa menemani putrinya itu sepanjang waktu. Hanya empat jam sehari (setelah dikurangi waktu tidur) menemani putrinya dan baginya itu jauh dari kata 'cukup'.

Dan sekarang, serasa ia harus bersujud syukur dengan adanya gangguan dalam perusahaan dimana ia menaruh sahamnya. Putra bungsu Uchiha Fugaku terpaksa menjadi teman sekaligus pembantu bagi putrinya. Ia sama sekali tak menganggap pemuda berumur sembilan belas tahun itu, satu tahun lebih tua dari putrinya, sebagai pembantu. Ia hanya ingin pemuda itu menemani putrinya dalam kesendiriannya, walaupun ia tak mengatakannya terang-terangan.

Akhirnya, perjanjian disepakati. Mulai hari ini, Uchiha Sasuke adalah pelayan khusus serta teman bagi Yamanaka Ino. Dan Yamanaka Inoichi akan membantu Uchiha Fugaku mengembalikan kestabilan perusahaan.

"Ini tidak akan lama. Ayah janji," kata Fugaku pada putranya yang hanya ditanggapi dengan anggukan kecil.

"Jaga Ino baik-baik ya?" pinta Inoichi dengan senyum tulusnya. Ia sangat berharap akan hal ini. Semoga sesuatu yang baik akan terjadi. Rencana mereka berjalan lancar itu sudah cukup.

Dan kedua orang tua itupun pergi, meninggalkan Sasuke di hari pertamanya bekerja.

Seorang gadis berbalut pakaian terusan panjang selutut berwarna ungu keluar dari balik dinding penghubung ruang tamu dengan ruangan lain di rumah itu. Ia berjalan pelan dengan lihai seolah tak ada keluhan buta pada matanya. Mungkin karena ini rumahnya sendiri, makanya Ino hafal di setiap langkahnya.

Gadis itu berdiri tepat tiga meter di depan Sasuke yang tengah duduk di salah satu sofa di ruangan itu. "Uchiha-san, senang bertemu dengan Anda."

Sebagai orang yang sama sekali tak ada gangguan penglihatan, Sasuke dibuat kagum dengan sikap gadis itu. Ino seolah tahu benar dimana posisinya duduk dan gadis itu tepat membungkuk ke arahnya. Kalau saja Sasuke tak tahu bahwa gadis itu buta, tentu ia akan menganggap Ino sehat-sehat saja. Mungkinkah gadis itu sudah berlatih sebelum berhadapan langsung dengannya?

"Ada apa? Apa ada yang salah?" pertanyaan itu membuyarkan lamunannya. Ia pun segera berdiri dan membungkuk sekilas.

"Tidak, tidak ada."

Ino tersenyum kecil. "Syukurlah."

Baru kali ini Sasuke berhadapan langsung dengan tuna netra. Ternyata memang seperti dalam tayangan tv pada umumnya, bola mata itu terlihat kosong. Redup, tak terlihat ada cahaya sedikitpun. Walaupun iris matanya adalah onyx yang paling kelam pun, tak bisa menandingi kekosongan di bola mata blue-sky itu. Benarkah hal itu karena ketidakmampuan gadis itu melihat atau karena refleksi kekosongan dari hatinya?

Sasuke menggeleng. Ia tak bisa membedakannya.

Dan baru kali ini ia bertemu putri Yamanaka itu. Gosip yang beredar di kantor semua benar. Bahkan, sempat ia dengar juga beberapa 'orang' ingin memanfaatkan kondisi fisik Ino demi mendapatkan saham sang ayah. Pasti berat bila sampai gadis itu mengetahui kenyataan ini. Ia bisa paham dengan tindakan Inoichi yang over-protective itu.

Seorang gadis cantik yang tak tahu apa-apa, yang kehilangan penglihatannya di umur yang masih dini. Sasuke tak bisa membayangkan bila dirinya berada di posisi Ino.

"Bukankah lebih baik Uchiha-san mengenal‒"

"Sasuke."

"Maaf?"

"Panggil aku Sasuke!"

Ino mengangguk dan tersenyum sekilas. "Baiklah. Sasuke, bukankah lebih baik kau tahu seluk beluk rumah ini lebih dulu?"

Dan pembicaraan pun berubah informal.

"Hn."

Ino berbalik dan Sasuke mengikutinya di belakang. Gadis itu tetap berjalan santai. Tak ada rabaan tangan yang biasa dilakukan orang buta umumnya. Membuatnya menjadi bertanya-tanya.

"Ini adalah dapur. Kau pasti tahu karena banyak alat-alat memasak di tempat ini. Ada sebuah pintu di salah satu sudut ruangan ini. Pintu itu menuju halaman belakang rumah ini."

Mereka kembali berjalan dengan Ino yang masih memimpin. "Ini adalah ruang santai, ruang keluarga, terserah apa itu namanya. Aku dan ayah selalu bermain di sini. Bahkan ini sudah menjadi kamarku yang kedua." Ino tersenyum untuk yang kali ini.

Sasuke mengangguk paham. Ruangan ini memang terkesan seperti kamar. Hanya saja untuk disebut suatu kamar tidaklah pas melihat ruangan ini sangat luas dan ada di tengah-tengah rumah, banyak pintu penghubung ke ruangan lain dimana pintu-pintu itu tidak ada daun pintunya sama sekali. Bila menengok ke kanan, ia akan menemukan sedikit isi ruang tamu dan di sampingnya posisi dapur. Bila ia menatap depan, akan ada tv, stereo, dan macam-macam benda elektronik serta boneka yang bertebaran ke sana kemari di atas karpet yang begitu lebar. Ada sebuah sofa panjang di tengah-tengah. Dan bila ia menengok ke kiri, ada berbagai pintu-pintu yang tertutup.

"Ruangan paling pinggir itu adalah kamarku." Ino menunjuk ruangan berpintu itu. "Di sampingnya adalah kamar ayah, di sebelahnya lagi adalah lorong menuju kamar mandi. Dan di belakangmu adalah kamar tamu. Ayah sengaja tidak menjadikan rumah ini dua lantai karena keadaanku."

Sasuke lantas menatap Ino, mengamati ekspresi yang mungkin muncul dari gadis itu begitu menceritakan keadaan fisiknya.

Namun, dugaannya salah. Gadis itu tetap mengangkat kepalanya seperti biasa. Tidak ada ekspresi sedih, kepalanya tidak menunduk yang menandakan kalimat barusan menusuk hati gadis itu. Mungkin karena sudah sepuluh tahun Ino tidak bisa melihat, membuat gadis itu tak lagi terpengaruh kata-kata menyakitkan itu.

Ino berbalik, tepat menghadap Sasuke yang sedari tadi ada di belakangnya. "Kau bisa tidur di kamar tamu bila ingin menginap. Bagaimana perjanjianmu dengan ayahku?"

"Aku harus menginap."

Senyum menghiasi bibir Ino. Walaupun manik mata Ino menunjukkan kekosongan, Sasuke tahu Ino merasa senang. Tidak heran, gadis itu hampir dua tahun tinggal sendiri di rumah ini ketika ayahnya bekerja.

"Begitukah? Kau tidak keberatan?"

Keberatan? Sebenarnya, ia keberatan. Tentu saja. Siapa juga yang mau menjadi pelayan di umur dimana ia harusnya bersenang-senang dengan teman-temannya.

Mungkin karena bujukan sang ayah yang membuatnya mengatakan 'ya' dengan perjanjian itu. Bujukan bahwa ia akan menjadi pewaris perusahaannya nanti, bujukan bahwa ia bisa sedikit bebas dari bisingnya suara teman-temannya, dan bujukan bahwa Itachi takkan lagi mengganggunya. Yah, bukan rahasia keluarga kalau kedua Uchiha bersaudara itu tak pernah akur, padahal dulunya Sasuke selalu nempel pada Itachi. Dan itu bukan suatu hal penting yang harus dibahas di cerita ini. #plak#

Sasuke menghela nafas, mungkin ia akan merindukan kejahilan kakaknya nanti.

"Tidak. Aku tidak keberatan."

Ino membungkuk sekali lagi. "Aku ingin minta maaf lebih dulu. Maaf kalau nanti aku merepotkanmu."

"Hn. Anggap saja aku sebagai pelayan. Itu sudah tugasku."

Ino mengangguk. "Apa kau haus? Akan kuambilkan minum dan kita bisa bicara sambil minum."

Sasuke mengerutkan alis. "Bukankah sebaiknya aku saja yang melakukannya?" Ia pelayan dan mana bisa ia membiarkan Ino yang tidak bisa melihat melakukan hal itu, pun ini rumahnya sendiri.

Ino menggeleng. "Tidak apa-apa. Mungkin ini sedikit aneh, tapi aku bisa merasakan keberadaan benda lain tiga meter di sekitarku. Termasuk dirimu. Aku akan berhati-hati." Dengan begitu, Ino beranjak pergi ke dapur. Sasuke penasaran dengan ucapan Ino barusan, akhirnya ia mengikuti Ino empat meter di belakang gadis itu. Dan tampaknya memang benar, Ino tak menanyakan apa-apa kepadanya. Dan langkahnya tanpa alas kaki di rumah ini menambah kelakuannya tak disadari gadis itu.

Ia bersandar di ambang pintu, melihat gadis yang baru saja disadarinya adalah seorang gadis yang begitu cantik, tengah menuangkan jus jeruk dari kulkas ke dalam dua gelas minuman lalu menaruhnya di nampan beserta gelas-gelas itu. Begitu gadis itu berbalik, tepat tiga meter di depan Sasuke, Ino berhenti. Ia sedikit mendongak kaget.

"Sasuke? Kau di situ?"

Dan Sasuke mengangguk, walaupun tidak diketahui gadis itu. Ia berjalan mendekat dan meraih nampan itu dari tangan Ino. "Biar aku saja." Lalu ia berbalik mendahului gadis itu ke ruang tengah.

Tanpa disadarinya, Ino terdiam menunduk dengan kepalan tangannya. Lagi, untuk ke sekian kalinya, ia tak bisa membawa nampan itu bahkan hanya sampai ke ruang tengah.

Perasaan yang selalu dipendamnya sepanjang kebutaannya. Ia selalu dianggap tidak bisa apa-apa.

%Blind%

"Boleh aku menyentuh wajahmu?" tanya Ino tak lama setelah mereka duduk bersampingan di ruang tengah itu. Pertanyaan pertama yang Ino tanyakan setelah insiden di dapur tadi yang tak disadari Sasuke.

Sasuke, tentu saja tidak suka dengan ide itu. Pasalnya, ia hampir setiap hari dikerumuni para gadis di sekolahnya, bahkan sampai di universitasnya, banyak yang berusaha menyentuhnya. Entah lengan, bahu, dada, dan parahnya ada yang berusaha mencuri ciuman bibirnya. Kheh! Fan-girls gila. Untungnya, gadis di depannya ini buta. Dan sekarang, gadis itu meminta izin untuk menyentuh wajahnya? Dalam keadaan normal, tentu ia akan menjawab 'tidak'. Tapi, mengingat ini adalah perintah, bagaimanapun ia terpaksa melakukannya.

"Hn."

Seolah mengerti bahwa 'hn' adalah 'iya', Ino lantas menjulurkan kedua tangannya dan meraih wajah Sasuke yang sebisa mungkin menahan keinginan untuk menutup mata akan sentuhan halus Ino. Sentuhan lembut yang membuatnya sedikit geli.

Pertama, pipi. Lalu dahinya, alis, kelopak mata, hidung, bibir, dan terakhir dagunya. Setelah menelusuri setiap inci wajahnya, Ino menarik kembali tangannya dan tersenyum. "Kau tampan. Pasti banyak yang memujimu di luar sana."

Ya, itu memang benar. Ia tampan dan berhasil menarik mata setiap yang melihatnya.

"Apakah itu keahlianmu selanjutnya?"

"Tidak. Aku hanya menyentuh dan membayangkannya saja. Dengan begitu, aku bisa tahu rupamu seperti apa walaupun tak bisa melihatmu."

"Lalu, bagaimana bila kau salah membayangkannya?"

Ino hanya tersenyum. "Tak apa. Setidaknya, aku bisa membentuk wajah di benakku ketika berhadapan dengan seseorang."

Ino kembali mengambil minum sementara Sasuke mengamati wajahnya dalam diam. Wajah putih halus, mata yang lebar, bulu mata panjang, bibir merah tipis, semua tampak pas dan sempurna. Baru kali ini ia mengamati seseorang dengan lekat seperti ini. Rupawan. Gadis buta yang sangat cantik.

"Sasuke tidak kuliah?" Untuk kedua kalinya, Sasuke terkesiap oleh gadis itu.

"Aku istirahat untuk semester ini."

Tampak Ino dengan wajahnya yang menunjukkan tanda tanya.

"Enam bulan ke depan, aku tidak kuliah."

"Apa kuliah itu seperti itu? Apa kau tidak dihukum?"

"Tidak. Kau harus memberi keterangan izin tidak masukmu."

Ino mengangguk-angguk paham. "Bagaimana kehidupan di universitas?"

"Biasa."

"Benarkah? Aku sering dengar di tv banyak yang bilang kuliah itu menyenangkan."

Sasuke menghela nafas. Gadis di depannya tampak begitu penasaran. Bahkan, Sasuke sempat dibuat terpaku saat melihat wajah polosnya itu. Dan ia semakin tak tega bila mengatakan perasaannya sebenarnya. Ehem, maksudnya, perasaannya tentang dunia mahasiswa.

"Bagiku biasa saja. Tapi, di kebanyakan orang mereka menganggap kuliah menyenangkan."

Baginya, kuliah sangatlah membosankan. Ia harus bertemu teman-teman lamanya dan parahnya lagi, fan-girls-nya bukannya berkurang tapi justru menjadi-jadi.

"Aku tetap tak tahu kalau tidak merasakannya. Sasuke, ayo kita keluar?"

Ino semakin sumringah. Ide ini sudah sejak lama ingin ia lakukan. Tapi, mengingat kelainannya ia hanya bisa berdiam diri di rumah demi keselamatannya.

"Kau yakin?"

Ino mengangguk antusias. "Ayah pulangnya selalu malam. Aku tak berani meminta ayah mengajakku keluar malam-malam."

Sasuke semakin dalam mengamati gadis itu. "Kenapa tidak dengan teman-temanmu?" tanyanya. Entah perasaan apa, tapi Sasuke semakin ingin tahu tentang kehidupan gadis itu. Sebagian besar ia tahu dari cerita ayahnya, tapi ia akan lebih tahu bagaimana perasaan gadis itu bila mendengarnya langsung.

Ino menunduk. Bibirnya sedikit turun ke bawah. Dan Sasuke sadar, itu adalah pertanyaan yang tidak bagus untuk diutarakan. "Aku tak punya teman," katanya, "hanya Shika dan Chouji, tapi mereka hanya datang setiap minggu dan tiduran di sini. Mereka bilang terlalu lelah karena kuliah dan kerja sambilan."

Sasuke berpikir sejenak, menimang-nimang pilihan terbaik dari keputusan yang akan dibuatnya nanti. "Aku tidak bisa."

Tampak Ino yang kecewa. "Kenapa?"

"Ini hari pertamaku bekerja. Aku harus membuat ayahmu percaya padaku sebelum bisa membawamu keluar."

Wajah kecewa itu perlahan menghilang, digantikan mimik pengertian. Walaupun buta, Ino sangat mengerti perasaan ayahnya. Bahkan ketika dengan sengaja ia mencuri dengar pembicaraan mereka tadi, ia bisa memastikan nada suara ayahnya yang begitu serius. Ayahnya tak main-main dengan hal seperti ini. Lebih tepatnya, ayahnya tak bisa main-main bila hal itu menyangkut diri putrinya. Itulah yang membuatnya semakin menyayangi sang ayah.

Dan sunyi pun mengambil alih. Tak satupun dari mereka bicara. Bagi Sasuke, hal ini sudah biasa. Tapi, bagi Ino ia justru merasa gugup. Ia hampir tak punya teman. Tak ada yang bisa diajaknya berinteraksi kecuali Shikamaru dan Chouji, selaku putra sahabat-sahabat ayahnya. Itulah mengapa, di saat seperti ini ia tak tahu harus berbuat apa.

Perlahan, dia turun dari sofa dan merangkak. Tangannya meraba kesana kemari. Sebuah boneka panda kecil didapatnya lalu dibuang dan meraba benda lain.

"Apa yang kau cari?"

"Kau tahu dimana boneka beruang besarku?" tanya balik Ino.

Pemuda itu lantas mengedarkan pandangannya mengitari ruangan. Dan bukan hal sulit untuk mencari boneka yang dimaksud. Boneka itu berukuran besar, bahkan lebih besar dari tubuh kurus gadis itu. Posisinya yang memang agak jauh membuatnya yakin akan butuh waktu agak lama bila Ino mencarinya sendiri.

Ia pun berdiri dan mengambil boneka itu. Didekatkannya boneka itu pada Ino yang langsung disambar dalam sebuah pelukan.

"Kau bilang kau bisa merasakan benda-benda di sekitarmu, tapi kau masih kebingungan dengan posisi beruang itu?" tanya Sasuke sambil kembali duduk di sofa.

Ino pun mengikuti Sasuke dan kembali duduk di sofa dengan sedikit meraba-raba. "Aku merasakan posisi benda itu, tapi aku tak tahu ukuran benda itu. Tinggi, pendek, besar, maupun kecil aku tak bisa merasakannya."

Dan Ino senyum-senyum sendiri sambil memeluk boneka jumbonya, seolah ia barusaja memberi jawaban yang paling dinantikan penanya.

"Boneka itu terlalu besar untukmu. Aku tak bisa melihatmu." Bukannya ia berniat memberi komentar. Hanya saja, wajah Ino yang hampir sepenuhnya tertutup badan boneka itu memang sedikit menghalangi pandangannya.

"AH!" Ino tiba-tiba melonjak berdiri. Boneka itu masih dipeluknya. "Bagaimana kalau kita main petak umpet?"

Mendengar itu membuat Sasuke sempat ingin tersedak. Petak umpet dengan tuna netra? Yang benar saja.

"Bagaimana?" tanya Ino lagi.

Sasuke berdehem. Setelah dipikir-pikir, dicoba mungkin akan menyenangkan.

"Baiklah. Siapa yang akan mencari?"

Ino tampak semakin bersemangat. "Aku yang akan mencarimu lebih dulu. Kau boleh sembunyi dimanapun asalkan tidak di kamarku, kamar ayah, atau kamar mandi."

"Hn. Kapan kita mulai?" Sasuke sudah berdiri, bersiap untuk sembunyi kapan pun waktu yang ditentukan.

"Jangan terburu-buru! Kita harus memasang bel."

Ino tersenyum kemudian kembali melangkah melewati Sasuke yang saat itu menghadap ke kamar dan lorong kamar mandi. Ino berhenti di tengah perjalanannya.

"Eerrr..apa kau tahu dimana kamarku?" tanya Ino pada akhirnya. Bertanya lebih cepat daripada harus mengelilingi ruang tengah mencari posisi kamarnya, iya kan?

"Di sebelah kirimu."

Ino tertawa kikuk lantas beranjak ke kiri sesuai petunjuk Sasuke. Sasuke pun menghela nafas dan memutuskan mengikuti gadis itu, persiapan kalau Ino mungkin membutuhkannya untuk ditanyai sesuatu lagi.

Mereka pun sampai di kamar Ino. Nafas Sasuke sempat terhenti saat melihat ke dalamnya. Kamar yang dikiranya rapi karena kamar itu milik seorang perempuan, ternyata jauh dari dugaannya. Tak jauh beda dengan ruang tengah, kamar itu sama berantakkannya. Dan ia tak lagi bertanya-tanya mengapa bisa seperti itu.

"Sasuke, bisa membantuku mencari belnya? Kalau tak salah, aku dulu pernah meletakkannya di sekitar .. sini. Dimana ya?" Ino sudah agak jauh di depannya. Gadis itu tengah meraba-raba laci serta menggeledah isi di dalamnya.

Sasuke pun memutuskan untuk ikut membantu. Ia mengamati tempat di sekeliling kamar itu, juga ikut menggeledah setiap inci kamar itu. Bahkan, ia sempat menemukan kaos dalam gadis itu di dekat ranjang tidurnya namun dihiraukannya.

Sasuke berbalik. Sekali lagi ia mengamati isi kamar itu dan ia pun menghela nafas. Entah rasa apa, tapi ia tak nyaman melihat kamar yang berantakkan ini.

"Ino!"

"Ya?" Ino terus mencari, tak sedikit pun memberi perhatian pada Sasuke.

Merasa gadis itu akan terus menghiraukannya, Sasuke pun terpaksa menarik bahu gadis itu dan memaksanya duduk di kasurnya.

"Duduk saja di sini. Aku akan mencarinya."

"Ta-tapi aku juga harus membantu."

"Tidak perlu. Kamarmu sangat berantakkan. Aku akan membereskannya, kau diam saja di sini." Saat dirasakannya sebuah boneka diberikan padanya, Ino hanya bisa diam. Ia menunduk sambil mengelus-elus boneka yang tak seberapa besar itu di tangannya. Sementara tak jauh di depannya, ia bisa mendengar dan merasakan benda-benda yang bergerak.

Selama hampir setengah jam ia menunggu, dirasakannya tepat sesuatu bergerak ke arahnya kemudian ranjang di sampingnya bergerak turun.

"Sasuke?"

"Hn."

"Sudah selesai?"

"Sudah. Aku hanya merapikan isi kamar ini. Aku tidak menggeledah lemarimu sama sekali."

"Ya, aku mengerti itu. Apa kau menemukan belnya?"

Klinting

Sasuke menyodorkan belnya, tanpa sedikitpun berniat memberikannya pada Ino.

"Letakkan di kakimu. Kau harus bersembunyi dan saat kau lari dari tempat persembunyianmu aku bisa mendengar suara bel itu."

Sasuke pun hanya menurut. Diikatkannya lonceng itu di kakinya dan ia pun berdiri. Tangannya meraih sebelah tangan Ino dan menariknya ikut ke ruang tengah.

"Kau siap?"

Ino mengangguk. "Hm." Ia berputar-putar di tempat dan Sasuke tahu itulah tandanya ia harus bergerak. Ia pun berjalan menuju dinding penghubung ruang tamu dan bersandar di sana. Sebisa mungkin ia berjalan dengan sangat pelan, mengurangi bunyi yang dikeluarkan dari bel di kakinya.

Agak jauh di depannya, Ino tengah mengendalikan keseimbangannya akibat berputar-putar. Gadis itu mulai meraba-raba sekitarnya dan mencari. Tak ada sedikitpun khawatir di hati Sasuke. Ia tak perlu bersembunyi. Ia tahu Ino hanya bisa merasakan benda-benda di sekitarnya, oleh karenanya ia tak khawatir bila keberadaannya dirasakan Ino. Belum tentu gadis itu tahu kalau itu dirinya. Selama tak bergerak, Ino takkan menyadarinya. Kecuali bila gadis itu meraba-raba dirinya, tentu saja.

"Sasuke?" Ino terus berjalan sambil meraba-raba. Gadis itu sempat akan memasuki kamarnya sesaat setelah membuka pintu kamarnya, namun tidak jadi. Ino berbalik dan berjalan mengitari dinding. Dan bila gadis itu terus seperti itu selama satu menit ke depan, sudah dipastikan Sasuke akan tertangkap.

"Sasuke?"

Mungkin tak seharusnya ia meremehkan gadis itu. Gadis itu boleh saja buta, tapi bagaimana bila ia tahu kau tidak bersembunyi dan malah bersandar dengan santainya di dinding saat main petak umpet karena kau tahu si Pencari adalah buta. Akan menyayat hati tentunya.

Sasuke menghela nafas. Gadis itu kini tepat berada tiga meter di depannya dan dia mulai melangkah.

Kling

"Sasuke?"

Bunyi bel serta jarak, ia harus segera berlari sebelum Ino mengikuti pergerakannya.

Mangsa sudah terdeteksi. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir saat suara bel sudah didengarnya. Ia pun konsentrasi pada kemampuannya dan mengikuti sebuah objek yang terasa bergerak. Ia yakin itu Sasuke. Benda itu terus bergerak dan semakin cepat. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Ino berlari tepat ke benda itu.

Cring

Cring

Dan terjadilah kejar-kejaran di ruang tengah itu.

"Sasuke! Jangan lari!" Ino terus berlari sambil meraba-raba. Wajahnya menunjukkan kekesalan karena tak sanggup menangkap pemuda Uchiha yang konsisten selalu berada tak sampai dua meter di depannya. Andai Ino bisa melihat, ia pasti akan menemukan seringaian manis di bibir pemuda itu.

"Sasuke, jangan main-main! Kalau ingin kabur, larilah yang kencang. Atau kau ingin tertangkap?" Ino terus berceloteh sambil memfokuskan pikiran pada gerakan di depannya. Namun, Sasuke tetap tak mau bicara. Suara bel masih terus mengalun di ruangan itu. Dan Ino semakin tak tahan untuk segera menangkap pemilik bel itu.

Seringaian Sasuke putus saat tanpa sadar, ia telah berjalan mundur dan di belakangnya sofa ruang tengah tepat menghalanginya. Bila tidak segera menghindar, dalam hitungan detik ia akan—

Bruk

‒jatuh tepat di atas sofa itu.

"Ha! Aku akan menangkap‒"

Bruk

Tapi Ino lebih dulu jatuh di atasnya sebelum berhasil menyelesaikan kalimatnya.

"‒mu."

Tak ada yang bicara setelah itu. Sasuke jatuh dalam hening memandangi gadis yang begitu dekat dengannya itu. Mata aquamarine yang indah, helai rambut pirang yang jatuh lembut mengenai pipinya, dan bagaimana gadis itu bisa terlihat begitu cantik dilihat dari dekat, Sasuke tak bisa bersuara.

Sementara itu, Ino yang menyadari posisi mereka sepertinya tidak baik, mencoba untuk melepaskan diri dari pelukan tangan Sasuke di pinggangnya. "Sasuke?"

Pemuda itu tersentak dari lamunannya dan melepas pelukan tangannya seketika. "Maaf." Ia membantu Ino turun dari atasnya.

"Aku menangkapmu," seru Ino sambil bertepuk tangan. Kentara sekali ia senang karena berhasil menangkap sasarannya.

"Yaah, kau menang." Sasuke tersenyum sekilas. Mungkin memang tak begitu buruk jadi pihak yang kalah.

"Sekarang giliranku yang bersembunyi."

Sasuke sudah akan melepas bel di kakinya ketika suara Ino kembali terdengar. "Tapi kau tetap memakai bel itu."

Sekilas memang terkesan tak adil, tapi akan terlihat adil bila dilihat dari sudut pandang Ino.

"Baiklah, cepat bersembunyi."

"Eit! Tapi kau harus tutup mata sambil berputar-putar."

"Ya, aku tahu. Cepat sembunyi!" Sasuke menutup mata dan mulai berputar-putar. Bel di kakinya ikut berbunyi seiring dengan gerakan berputarnya.

Lima kali berputar pelan, ia pun berhenti. Matanya terbuka lalu meneliti setiap inci tempat di sekitarnya. Kakinya mulai melangkah sambil tetap memutar pandangannya kesana kemari. Lumayan sulit kalau harus mencari di rumah sebesar ini, tapi tidak akan sulit lagi bila matanya sudah menangkap beberapa laci di dekat tv yang digeser dari tempatnya semula. Bibirnya membentuk seringaian lembut. Kakinya berbalik ke arah yang berlawanan. Mungkin membuat gadis itu sedikit tegang akan menyenangkan.

Toh, itu juga tugasnya.

"Ino, dimana kau? Aku datang."

%Blind%

Sasuke's POV

Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku aku akan bekerja seperti ini. Menjaga, melayani, dan menjadi teman seorang yang mengalami gangguan penglihatan. Setelah tahu ketidaksetujuan Itachi memimpin perusahaan, saat itu aku sudah sangat senang karena dengan kata lain, aku akan menempati posisi sebagai pimpinan perusahaan ayah. Tapi, satu hal yang kulupa, hidup tidak selalu berjalan seperti apa yang kita pikirkan. Perusahaan ayah mendapat cobaan. Sekarang, tengah berada dalam pertarungan merebutkan posisi kepemimpinan juga masalah kekorupan yang umum terjadi di dunia bisnis. Hanya saja, aku tak menyangka, perusahaan ayah juga terkena virus korupsi itu.

Kemungkinan aku akan menjadi pimpinan Uchiha Corp semakin tidak menentu. Satu-satunya cara untuk mengembalikan posisi perusahaan seperti semula adalah membujuk atau menjadikan pemegang saham terbesar untuk bekerja sama mengembalikan nama Uchiha Corp. Beruntung aku tahu dunia bisnis, terimakasih pada ayah yang memberiku makan berbagai pengetahuan berbisnis. Sekarang aku jadi mengerti mengapa ayah tak bisa berbuat apa-apa di depan Yamanaka Inoichi. Menurunkan sedikit harga diri demi mengambil kembali apa yang dimilikinya. Lagi, aku maupun ayah merasa beruntung karena Yamanaka Inoichi adalah orang yang baik. Seorang yang dapat dipercaya untuk menjadi sekutu.

Pun begitu, darah seorang pebisnis tentu saja mencari imbalan. Menjadikan diriku ini yang notabene pewaris perusahaan untuk mengasuh putrinya. Tapi, dari matanya jelas aku melihat ketulusan dan harapan yang diberikan padaku untuk menjaga putrinya. Bukan rahasia umum lagi bahwa seorang pebisnis besar Yamanaka Inoichi mempunyai putri dengan gangguan penglihatan, membuatku semakin siap menjalani pekerjaan sementaraku ini.

Kehidupanku pun berubah. Paling tidak, aku bisa jauh dari fan-girls gila di universitasku. Naruto dkk juga tak bisa menggangguku dengan alasan pekerjaanku ini. Bising dan cerewet sudah tergantikan dengan riang ceria yang tak terlalu berlebihan milik Yamanaka Ino.

Sedikit demi sedikit, aku belajar darinya. Harapan, kesendirian, kasih sayang, pengertian. Terkadang juga penyesalan, keputusasaan, dan kekesalan, semua ada pada diri Yamanaka Ino.

Bagaimana gadis itu memberiku kasih sayang yang lebih pada seorang pelayan, bagaimana gadis itu selalu bertanya pendapatku, berusaha mengerti diriku padahal ia tak bisa melihat ekspresiku .. semua karena harapan yang tersimpan di hatinya. Harapan untuk bisa menghapus kesepian yang bertahun-tahun mengisi hatinya. Aku bisa melihatnya.

Tak jarang juga, aku mendapatinya duduk di pinggiran ranjang tidurnya sambil mengelus-elus boneka di tangannya dengan pipi yang basah karena air mata. Saat kutanya kenapa, dia berusaha tersenyum sambil menggeleng. Sayang sekali dia tak bisa melihat, kalau tidak ia pasti sudah memergokiku yang menatapku sedari tadi dan berusaha sekuat mungkin menyembunyikan perasaannya.

Berbeda dengan duniaku sebelumnya. Semua normal. Bahkan Naruto yang kelewat cerewet pun kuanggap normal. Dan semua itu hanya berisi kesenangan. Masalah yang ada pada dunia seperti itu hanyalah pacar, uang, popularitas. Semua hanya masalah kecil yang terlalu dilebih-lebihkan.

Berbeda dengan gadis di depanku ini, entah masalahnya dilebih-lebihkan atau tidak, takkan ada yang berubah. Penglihatannya. Setidaknya itulah mengapa aku bisa melihat keputusasaan dalam kedua manik matanya.

Tak dapat dipungkiri. Dari tingkahnya yang kekanak-kanakan dan manja itu, semua hanya demi menutupi rasa sakit karena tak lagi menemukan harapan akan penglihatannya.

"Sampai sekarang, ayah belum bisa menemukan donor kornea untukku. Lagipula, siapa yang mau dirinya buta untukku? Walaupun aku menjadi pahlawan pun, belum tentu ada yang mau memberiku mata." Dia kembali menunduk menyembunyikan wajahnya di balik helaian rambut yang jatuh. Tangannya berhenti mengelus bonekanya dan semakin mengepal. "Jadi .. aku sudah tak apa-apa lagi."

Ino kembali mendongak dan tersenyum ke arahku. Senyum yang siapa saja yang melihatnya akan tahu kalau senyum itu palsu. "Ayo kita jalan-jalan! Kau bilang akan mengajakku keluar setelah mendapat kepercayaan ayah?"

Memang sudah tiga hari aku bekerja dan semua berjalan lancar. Aku bisa mengikuti permainan aktif Ino dan tidak ada pertengkaran sama sekali. Senyum sering ditunjukkan Inoichi padaku setiap kali melihatku melayani putrinya. Dan kurasa .. itu cukup menunjukkan kepercayaannya padaku.

"Aku akan minta izin lebih dulu," kataku yang langsung disambut pekikan senang dari bibirnya.

"YAY!"

Tanpa sadar, aku sudah tersenyum melihat tingkahnya. Namun, tak kusangka keputusanku kali ini akan membawaku mengetahui kenyataan lainnya dari Yamanaka Ino.

%Blind%

How is it, Minna? Sebenarnya, ide ini dari salah satu fic Sasuino yang pake bhs inggris. Karena menarik jadi kepikiran mau buat. Tapi, tentu saja ceritanya nanti beda. Inspirasinya sama, itu saja.

Riview

wa

naze?