Naruto © Masashi K.

Genre : Romance. Satu lagi enakan apa ya?

Rated : T+ ?

Warning : AU, OOC, Crack Pairing, tapi saya harap anda baca cerita saya dari segi alurnya bukan pairingnya hehehe. Oh iya, ada yang kenal A, Killer Bee n Darui? Kalo belum coba kalian cari di Naruto (dot) wikia (dot) com atau di google. Keywordnya nama mereka. Di sini mereka saya munculkan sebagai pagawai toko, yah jadi mereka bukan OC. Kecuali suster yang di Klinik itu.

Summary: Sebuah kecelakaan, sandiwara, dan perasaan yang aneh, atau mungkin ... semuanya hanya kebetulan? Yang jelas mereka bertemu. Saling membutuhkan satu sama lain, tanpa mereka sadari.

xxXXxx

Why Did I Know You?

xxXXxx

CHAPTER 1 : Car Accident, and Play

Malam hari. Angin berhembus lebih kencang dari biasanya, tetapi tetap saja udara sangat lah panas. Bulan menampakkan wujudnya jelas sekali. Jalanan telah sunyi senyap. Hanya saja tidak di Pub milik Mr. A *1) itu –Bar 69 namanya– yang kerap ramai pada malam hari.

Musik Hip Hop berdengung dari rumah kayu itu. Lampu berbentuk huruf "69" yang dipasang di atas pintu rumah itu berkedap-kedip –karena sudah berdiri terlalu lama dan belum sempat diservice. Meskipun begitu, orang sudah mengenali nama tempat itu. Konon tempat itu sudah terkenal sejak 50 tahun tang lalu. Maka dari itu, Pub itu tidak didesain modern seperti Pub-Pub pada umumnya.

Hiruk pikuk terdengar dari sana-sini. Candaan, tawaan, obrolan, musik beradu jadi satu. Lampu berbagai warna menyala di sana-sini. Alunan lagu "Simon Says" mengiringi suasana nan riuh malam itu. Beberapa orang –terutama pria setengah baya– sibuk menegak alkohol pesanan masing-masing. Wanita-wanita muda, cantik –karena make up pastinya– dan berpakaian seminim mungkin sibuk melayani para pengunjung dalam segi apapun. Mereka mulai dari mengantarkan minuman hingga menemani sang pengunjung mengobrol dan tentu saja, menghibur para pengunjung.

Hyuuga Hinata termaksud dalam sekumpulan para perempuan tersebut, hanya saja ia masih tau norma dan nilai. Meskipun ia mengenakan pakaian yang sama –kemeja putih dan rok mini hitam 15 centi di atas lutut. Meskipun hidupnya susah, ia tidak akan membiarkan tubuhnya disentuh oleh orang lain –tidak seperti wanita-wanita lain kebanyakan yang membiarkan tubuh mereka dibelai dan dinikmati oleh para pengunjung.

Gadis pemilik rambut indigo itu kini sedang mengantarkan white wine ke salah satu pelanggannya. Ia membungkukkan badannya sedikit untuk meletakkan wine di atas meja pendek itu.

Tanpa sadar, pria paruh baya yang mungkin gemar menggoda wanita-wanita cantik itu mengamatinya dari atas hingga bagian bawah tubuh Hinata. Matanya jelalatan. "Hey cantik." Ujarnya seraya membelai paha Hinata yang putih mulus itu pelan, membuat gadis yang berdiri di sebelahnya mendelik. Tubuhnya bergetar. "Temani aku di sini dong ..." rayu pria itu sambil terkekeh.

Hinata kontan menepis tangan besar yang membelai pahanya itu. "Ma-maf. Kalau anda mau selamat dari Pub ini, jauhkan tangan anda." Ucap Hinata tegas sambil memandang pria itu tajam. Ia segera membalikkan badannya dan berjalan ke arah dapur.

Namun sebelum ia membuka pintu, seseorang memanggilnya. "Yo, Hinata! Yo!" panggilnya ala rapper. Pemuda berkulit hitam dan berbadan atletis itu duduk di dekat Bar. Selain pemilik, Mr. A juga bekerja sebagai bartender di Pub itu.

Hinata menoleh dan segera menghampiri orang yang memanggilnya tadi –bosnya– "Ya-ya, Mr. A? Ada yang bisa sa-saya bantu?" ucapnya gugup.

Mr. A –pemilik Bar 69– hanya terkekeh, "Kau ini ... bekerja di sini itu harus pede, jangan malu-malu gitu." Ucapnya seraya menggelengkan kepalanya. Meskipun begitu, Hinata adalah karyawan kesayangannya. Yah ... seperti guru yang menyayangi muridnya. Hinata sudah bekerja lumayan lama di Pub itu. Kalau bukan karena uang untuk menghidupi dirinya, Hinata pasti tidak akan menerima pekerjaan murahan itu –Pelayan Pub–. Hanya saja, selain membutuhkan uang, Hinata juga memiliki alasan yang membuatnya menerima pekerjaan itu. Alasan yang terus dipendamnya, entah apa ...

Meskipun begitu, melihat para karyawan yang ternyata ramah dan bersahabat membuat Hinata betah. Tidak sangka ia bisa bertahan cukup lama di tempat itu.

"Go-gomene ..." Hinata menundukkan kepalanya.

Mr. A yang entah siapa nama aslinya hanya menggeleng. "Tidak apa, yo! Lagipula sepertinya aku melihat laki-laki yang menggodamu tadi, hmm ..."

"O-oh i-itu ..."

"Oh ya sebenarnya aku tidak mau membahas mengenai itu."

"Eh?"

"Kau bisa bantu aku sebentar?" tanya Mr. A sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"A-apa?" tanyanya ragu.

"Antarkan pesanan beberapa botol alkohol ke kediaman Sabaku." Ujarnya. Kini Mr. A mulai menggerakkan tangannya untuk menyediakan beberapa gelas chapagne yang dipesan seseorang beberapa waktu lalu.

"Se-sekarang? Jam 12 malam?" tanya Hinata tidak yakin.

Mr. A menganggukkan kepalanya. "Ya. Kau kenal Gaara kan? Pengusaha terkenal dari Kota Suna?"

Hinata mengangguk. Ia kenal Gaara. Namanya sering terpampang di majalah dan koran-koran. Lagipula, Gaara memiliki tempat tinggal di Kota Iwa –kota kecil yang Hinata tempati sekarang–. "Dia sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-25. Di kota ini. Sepertinya ia merayakannya dengan mabuk-mabukkan dan persediaan alkohol yang baru aku antarkan beberapa jam yang lalu habis, jadi dia minta diantarkan alkohol lagi." Jelas Mr. A yang masih sibuk dengan gelas-gelasnya.

"Ke-kenapa harus aku?" tanya Hinata heran. Hinata tau, ia punya mobil. Ia bisa menyetir. Hanya saja, ada Mr. Bee *2) –adiknya Mr. A– dan Darui *3), salah satu karyawan di situ.

Mr. A hanya tergelak. Entah apa yang lucu. "Sudah lah, antarkan saja! Bee sedang sibuk, dan Darui tidak masuk hari ini."

"Umm ... Souka. Kalau be-begitu, ba-baiklah." Ucap Hinata seraya membalikkan badannya.

"Eh, Hinata. Alkoholnya sudah aku masukkan ke mobilmu. Semuanya aku bungkus dengan kardus. Berhubung pesanannya banyak jadi tidak aku masukkan ke garasi mobilmu."

"Na-nani?" Hinata menatap bosnya itu tidak percaya. "Ma-maksudnya, kardus-kardus di-dimasukkan ke jok bagian belakang?"

"Ya, tepat sekali. Oh ya tambah lagi. Jok depan juga aku isi dengan kardus-kardus itu. Lagipula, kau hanya sendiri kan?" tanya Mr. A tanpa nada rasa bersalah sedikitpun.

Hinata hanya bisa melongo untuk beberapa saat, menggelengkan kepalanya pelan, dan menghela nafas pasrah. "Ba-baiklah."

"Bagus!" Mr. A mengacungkan jempolnya. "Oh iya, ini kuncimu!" Mr. A melemparnya ke arah Hinata yang berdiri agak jauh darinya.

Hinata menangkapnya dengan tepat lalu menundukkan badannya sekilas. Sungguh cara berpamitan yang sangat tradisional, dibandingkan dengan Mr. A yang sangat kebarat-baratan. Mr. A menjawabnya dengan satu lambaian tangan.

Hinata lekas bergegas keluar dari Bar 69 itu. Menghampiri mobilnya yang diparkirkan di belakang tempat itu. Setelah itu, ia segera menyalakan mesinnya. Sekilas ia memandang mobilnya yang dipenuhi oleh kardus.

Hinata menghela nafas berat, "Mr. A ada-ada saja." Setelah itu, Chevy Bell Air*4)-nya pun melaju kencang.

xxXXxx

Kota Iwa, kota yang kecil namun tentram. Kebanyakan dihuni oleh orang-orang luar –bukan penduduk asli–. Kota ini jarang terekspos oleh media. Jarang pula disebut-sebut oleh orang. Tempat ini luasnya tidak sebesar kota-kota besar biasanya. Kota ini juga jarang dihuni, andai saja tidak ada yang berkunjung. Kebanyakan kota ini dikunjungi oleh orang-orang yang senang bersinggah di Pub, karena kota terdapat banyak Pub. Apalagi wanita-wanita cantik pelayan Pub yang menjadi pusat perhatian para kaum adam. Selain itu, kota ini adalah penghasil alkohol dengan kualitas paling top.

Jangan salah, malam itu jalanan nan luas itu sepi senyap. Hinata bisa menghitung berapa mobil yang berpas-pasan dengan Chevy Bell Air merah-nya. Keadaan sunyi senyap itu membuat Hinata dengan bebas melajukan Chevy-nya dengan kecepatan angin. Tanpa perlu konsentrasi yang tinggi, Hinata yakin bahwa alkohol-alkohol dan dirinya bisa selamat dan sampai ke tempat tujuan.

Tanpa sadar, ia sudah sampai di kediaman Sabaku. Setelah menurunkan kardus-kardus berisi alkohol kepada salah satu pelayan di rumah itu dan memasukkan kardus-kardus berisi botol alkohol kosong –yang mengembalikkan mobilnya menjadi padat akan kardus–, Hinata bergegas kembali ke bar.

Seperti biasa, Chevy-nya melaju kencang. Jalanan masih sunyi senyap.

Drrr ... Drrrr ...

Cell phone-nya yang kini terletak di kursi sebelah bergetar. Hinata segera mengambil dan mengangkat telpon itu. "Konbawa ..." ucapnya sopan.

Tinggal di kota seperti itu sama sekali tidak merubah kepribadiannya yang sopan. Kepribadian yang ia bawa dari kota asalnya ...

"Eh? Su-sudah Mr. A ... Ya, se-semuanya sudah kuturunkan ... Iya iya, yang red whine juga ... Hmm? Or-orderan lagi? ... Kenapa tidak Da-Darui-san saja yang mengantar ... Oh kalau begit—" tanpa sadar Hinata menjatuhkan cell phone-nya tatkala ia sadar bahwa seseorang berdiri tidak jauh dari dirinya. Sebelah tangannya yang lepas setir langsung menggenggam setir mobil itu kembali.

CKIIIIIIIIIIITTT

Hinata hanya bisa menahan nafas sembari menekan rem sekuat mungkin, hanya saja Chevy-nya yang melaju kencang tidak bisa berhenti mendadak sehingga ia berhasil menabrak orang yang berdiri di tengah jalan itu.

Hinata menghentikan mobilnya paksa, membuatnya sedikit terlonjak ke depan. "Ka-Kami-sama, Kami-sama, Kami-sama, Kami-sama..." Hinata menahan nafasnya. Ia baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Jantungnya berdegup cepat. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya.

Hinata turun dari mobilnya, mendekati seorang pemuda yang tergeletak agak jauh dari mobilnya. Mungkin karena saking kencangnya, pemuda itu terhempas jauh. Lampu mobil Hinata biarkan menyala sehingga ia dapat melihat jelas siapa orang yang ditabraknya itu. Tangannya bergetar selama ia mendekati pemuda itu. "O-oh, ti-tidak ..." Hinata menutup mulutnya.

Ia baru saja menghilangkan nyawa seseorang.

Rasanya dirinya ingin berteriak saat itu juga.

Pemuda di depannya bersimbah darah. Tubuhnya tergeletak pasrah di atas aspal. Kedua matanya terpejam. Dan tentu saja, banyak luka di sana-sini.

"To-tolong!" Hinata berteriak. Meminta pertolongan. Hanya saja ini jam 1 malam. Tidak ada kendaraan. Tidak ada orang. "To-tolooong!" Hinata kembali berteriak, tetapi tidak membuahkan hasil.

Akhirnya ia lebih memilih untuk jongkok di dekat pemuda itu. Menggerakkan tangannya. Mungkin saja pemuda itu masih sadar? "He-hey." Ucap Hinata setelah menelan ludahnya, "Ka-kau ti-tidak a-apa-apa?" tanyanya dengan bodoh. Tentu saja pemuda itu tidak sadarkan diri dan terluka berat.

Hinata hanya bisa menghela nafas pasrah. Orang asing di depannya ini adalah tanggung jawabnya sekarang. Dengan paksa ia menyeret pemuda itu tanpa perasaan dan memasukkannya ke dalam bagasi *?* –berhubung jok depan dan belakang diisi oleh kardus-kardus yang berisi botol alkohol yang kosong–. "Go-gomene ..." ucap Hinata seraya menutup pintu bagasi.

JLEB!

Hinata melajukan mobilnya kembali. Kali ini tujuannya adalah Klinik. Klinik lah yang paling dekat sehingga tidak ada waktu untuk membawa korbannya ke rumah sakit.

Selama perjalanan, jantungnya berdegup kencang. Berharap orang yang tergeletak di dalam bagasinya itu masih hidup. Setidaknya masih bernafas lah! Yang penting Hinata tidak dituduh bahwa ia lah yang membunuh pemuda itu. 'Lagipula, siapa suruh berdiri di tengah jalan?' Hinata membatin.

Akhirnya Hinata menghentikkan Chevy-nya tepat di klinik itu, tanpa memarkirkannya. Klinik itu sepertinya sepi?

"To-tolong!" teriaknya dari luar sembari mendobrak pintu kaca itu.

Seseorang yang tengah tidur di atas kursi resepsionis tiba-tiba terbangun. Pemuda berambut coklat itu mengacak-acak rambut. "Hmm?" ucapnya malas-malasan setelah mendapati seorang gadis bermata lavender menatapnya cemas.

"To-tolong ..." Hinata berkata lemah.

Pemuda itu yang ternyata adalah seorang suster bangkit dari duduknya lalu menghampiri Hinata. "Ada apa? Dokter sudah pulang semua." Jawabnya acuh.

Hinata masih menatap suster itu. "Sa-saya menabrak seseorang."

Suster itu langsung mengerjap-ngerjapkan mata. "A-apa?!"

"Sa-saya me-menabrak se-seorang ..."

"What?!!!" suster itu langsung bergegas mengambil kursi rodak dan berjalan ke luar pintu. "Lho? Mana orangnya?" tanyanya bingung setelah mendapati bahwa hanya ada beberapa kardus di Chevy milik Hinata.

Hinata yang berdiri di sebelahnya hanya sanggup menunjuk garasi Chevy-nya yang berhasil membuat suster muda itu tambah panik. "Di bagasi?!!!" dengan lekas suster itu membuka bagasi.

Tergeletaklah seorang muda tidak bersalah yang bersimbah darah. Nafasnya tidak jelas masih ada apa tidak. Apalagi jantungnya, masih berdegup apa jangan-jangan sudah meninggal? Posisinya juga mengenaskan karena badannya yang panjang tidak muat di bagasi Chevy milik Hinata.

Hinata bak seorang pembunuh yang meletakkan korbannya di bagasi. Hanya saja Hinata tidak sepintar pembunuh-pembunuh lainnya sehingga ia membawa korbannya itu ke klinik, bukan dikubur atau dibuang ke sungai.

Setelah melongo sejenak, suster itu langsung mengangkat tubuh si korban. Meletakkannya di atas kursi roda, dan membawanya ke dalam klinik. "Kau, ikuti saya!" Hinata pun mengikuti suster itu.

xxXXxx

Hinata menggosok-gosokkan tangannya –Panik–. Pemuda di depannya yang kini berbaring di atas ranjang itu masih bernafas. Masih hidup. Jantungnya masih berdetak. Luka-lukanya sudah diobati suster barusan, meskipun hanya dengan pengetahuan yang pas-pasan, tapi suster itu cukup membantu. Setidaknya pemuda itu masih hidup. Lagipula suster tersebut sudah memanggil dokter secepatnya untuk mengobati pasien yang satu itu. Hanya saja ... Ia takut ketika pemuda itu bangun. Apa ia akan memarahi Hinata? Apa akan menjadi zombie? Atau bahkan balas membunuh Hinata? Hey ... Hinata tidak membunuh, hanya saja teledor!

Hinata memperhatikan setiap lekuk pemuda di depannya itu.

Tampan.

Itulah kesan pertama Hinata. Ia bisa melihat kulit pemuda itu yang putih dan mulus bak porselen. Hidungnya yang sedikit mancung. Bibirnya tipis. Rambutnya yang hitam jabrik dan sepertinya halus jika dibelai.

Hinata ingin sekali menyentuhnya. Ingiiin sekali. Ingin sekali meminta maaf. Tapi apa daya? Pemuda di depannya itu tidak sadarkan diri.

"Sepertinya kau bukan orang asli sini." Hinata bergumam percuma. Percuma, pemuda di depannya itu tidak akan mendengar.

Hinata menghela nafas. Memilih untuk menemani pemuda di depannya ini hingga ia sadarkan diri.

Tanpa sadar ia tertidur di sisi ranjang hingga matahari terbit di sebelah barat sana.

xxXXxx

Uchiha Sasuke terus melajukan Ferari-nya. Tanpa arah. Tanpa tujuan. Hanya emosi yang mengendalikkan dirinya. Matanya memandang kosong ke depan.

Kejadian beberapa tempo lalu terus menghantuinya. Menganggunya. Bahkan menghancurkannya.

Pemuda berusia 24 tahun itu sedang kacau. Tidak karuan. Hatinya terus dilukai oleh rasa nan perih. 'Sakura ... Kenapa? Kenapa kau khianati aku?' Nama Haruno Sakura terus terngiang di kepalanya.

Nama itu ... Nama yang selalu mengisi pikirannya. Yang selalu membuatnya tersenyum. Membuatnya bahagia. Membuatnya nyaman ketika berada di sisinya. Hanya saja ... beda kali ini.

Nama itu ... seolah-olah seperti pedang yang jika diingat terus, maka ia akan merasakan perih di dadanya. Merasakan sakit yang tidak karuan.

Nama itu ... Nama itu ...

Sasuke tidak sepenuhnya kosentrasi dalam perjalanan.

Berulang kali memorinya kembali ke kejadian itu. Kejadian yang membuat kepercayaannya hilang sudah. Dimana ia melihat calon tunangannya sendiri, bercumbu dengan lelaki lain di atas tempat tidur kamarnya. Ya! Kamar yang seharusnya menjadi milik Sasuke dan Sakura seorang! Hanya saja malam itu, ia melihat Sakura bersanding dengan lelaki lain! Berbagi kehangatan dengannya.

"Persetan!" Sasuke terus mengutuk. Menggerutu. Ia tidak menyalahkan Sakura, ia tidak menyalahkan siapapun. Yang ia tau, dunia ini tidak adil!

Tanpa sadar matanya panas, dan basah. Hatinya terus terbakar. Terbakar oleh rasa cemburu yang mendalam.

Sasuke menghentikkan Ferari-nya paksa. Membuatnya berhasil menabrak tiang yang berdiri di pinggir jalan itu. Ia terlonjak ke depan. Kepalanya hampir beradu dengan kaca mobil.

Hari sudah malam. Tidak ada kendaraan. Tidak ada orang. Hanya dirinya dan Ferari yang tengah rusak itu.

Ia keluar dari mobilnya, berjalan ke tengan jalan. "Tuhan! Kenapa kau tidak biarkan aku mati saja?!" teriaknya sekencang-kencangnya.

Ia benar-benar lemah. Rasanya hanya dengan mati, dirinya bisa bebas kembali. Tapi dia salah. Mati bukanlah jalan yang benar.

Ia hanya berdiri sendiri di sana. Menundukkan kepalanya. Melihat genangan air yang memantulkan rupa dirinya.

'Menyedihkan. Uchiha Sasuke, kau itu menyedihkah!'

Tanpa ia ketahui, sebuah Chevy Bell Air tengah melaju kencang ke arahnya.

Sepersekian detik kemudian ia merasakan rasa sakit yang nyata.

Kesadarannya pun hilang.

xxXXxx

Sasuke membuka matanya pelan. Kepalanya yang terasa sangat sakit membuatnya mengurungkan niatnya untuk bangun. Tangannya, kakinya, semuanya terasa nyeri. Ia akhirnya memilih untuk mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

Putih. Kosong.

'Apa aku sudah di surga?'

"Kau sudah bangun?" sebuah suara yang berhasil membuyarkan lamunannya pun bergaung di telinganya.

Sasuke kontan menjauhkan tubuhnya sedikit, menyadari seorang wanita berambut indigo dan bermata lavender tengah memandangnya. "Ka-kau ..."

"Kau sudah sadar? Syukurlah ..." Wanita itu, Hyuuga Hinata, mengelus dadanya. "Aku kira kau sudah mati ..." ucapnya polos.

Sasuke mengangkat sebelah alisnya. "Mati?"

"Ya-ya, ke-kemarin se-seorang ... eh, se-sebenarnya a-aku. Ya, a-aku menabrakmu. A-aku tidak melihatmu ja-jadi ..."

"Sudahlah." Sasuke memotong ucapannya. Ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit, "seharusnya kau biarkan aku mati saja."

Hinata merasa kecewa setelah mendengarnya. Membiarkannya mati? Yang benar saja! Kalau tau begitu, Hinata pasti sudah melemparnya ke sungai waktu itu. "A-apa? Oh, se-setidaknya kau u-ucapkan terimakasih karena a-aku sudah menyelamatkan nyawamu!" ujarnya setengah berteriak.

Sasuke kembali menatap Hinata tajam. "Hidupku hancur! Hidupku sudah tidak ada gunanya! Hidupku ..." tiba-tiba Sasuke menghenti kalimatnya. Mendapati Hinata yang masih memandangnya penuh tanda tanya.

Sebuah ide terlintas di otaknya.

"Maaf, kamu siapa?" tanyanya dengan raut wajah yang dibuat sepolos mungkin.

Hinata menatap pemuda di depannya itu bingung. "Eh? A-aku? A-aku yang menabrakmu. Bu-bukannya aku sudah bilang?"

Sasuke memijit-mijit kepalanya. "Souka? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya–? Akh, kepalaku sakit!" ringisnya dibuat-buat.

"Eh–? Ta-tapi baru saja ku-kukatakan tadi." Jelas Hinata tambah panik.

"Aku tidak ingat. Sungguh. Lagipula ... Aku ini siapa?" Sasuke memandang Hinata dengan tatapan yang dibuat sepolos mungkin. Air mukanya terlihat bingung. Padahal jelas sekali sebelumnya Hinata bisa mendapati wajah pemuda di depannya ini begitu putus asa, begitu hampa, begitu ... seperti tidak ada semangat hidup.

'Kami-sama ... apa orang ini amnesia–?' Hinata menelan ludahnya. "A-aku tidak tau. Kartu namamu. HP-mu. Semuanya hilang. Mobil Ferari-mu sepertinya juga sudah dicuri orang."

'A-apa?' batinnya. Semua barangnya dicuri? Semua identitas dirinya? 'Sial!' ia hanya bisa meruntuk dalam hati. Ingin rasanya ia berteriak namun ia menahannya dan berusaha membuat air mukanya polos seperti tadi. "Ferari? Aku punya mobil Ferari? Aku pasti orang kaya." Ujarnya pede. Masih dalam sandiwaranya.

Entah angin apa yang membawanya untuk bersandiwara seperti itu. Pura-pura hilang ingatan.

"Oh, Kami-sama ... bagaimana mungkin aku mengenalimu jika semua identitasmu menghilang? A-aku harus bagaimana?" air muka Hinata terlihat panik. Hinata bingung, setelah ini apa yang akan ia lakukan? Merawat pemuda asing ini?

Sasuke menatap Hinata lama. Ia kembali memandang langit-langit. "Tinggalkan saja aku di sini." Ujarnya dengan nada putus asa. Tapi dibalik itu ia berharap bahwa Hinata akan berbesar hati, mau megurusi dirinya yang (pura-pura) amnesia hingga pulih kembali.

"Hmm ..." Hinata berpikir sejenak. Ia bimbang. Mau dikemanakan orang ini jika ia benar-benar amnesia? Tidak ingat apapun. Parahnya lagi, bagaimana jika orang ini amnesia selamanya? Ia pasti akan menderita di jalanan. Mengemis untuk mengais uang. 'Oh Kami-sama ... seandainya aku tidak menabraknya, ia pasti tidak akan menderita.' Batinnya penuh penyesalan. Ia tidak tega untuk meninggalkan pemuda di hadapannya itu. Naluri kemanusiaannya pun kembali muncul *?* "Ka-kau bisa tinggal bersamaku, se-setidaknya hingga ingatanmu pulih ..." ucap Hinata pelan. Masih ada keraguan di nada bicaranya.

Namun Sasuke tidak memperdulikannya. Ia hanya tersenyum tipis. "Souka? Aku terima." Ucapnya mantap.

Hinata membalas senyumannya tipis. Meskipun jauh di lubuknya yang paling dalam, ia merasa senang –entah kenapa–. "Ka-kalau begitu ki-kita tentukan namamu, hmmm ... Sinichi? Seichi? Taichi? Atau ..."

"Sasuke saja." 'Oops.'

"Eh?"

"Aa, Sasuke itu tokoh favoritku dalam sebuah game*5)." Ujar Sasuke asal sembari berusaha menghilangkan raut wajahnya yang terlihat panik.

Entah Hinata yang bodoh atau Sasuke yang berhasil membodohi Hinata, Hinata pun menganggukkan kepalanya. "Sasuke–? Na-nama yang bagus. Mulai sekarang na-namamu Sasuke." Hinata mengulurkan tangannya. "Na-namaku Hi-hinata."

Sasuke diam sejenak, lalu membalas uluran tangan Hinata. "Baiklah, Hinata."

tobikontinyu

xxXXxx

Catatan:

*1) *2) *3) Seperti instruksi di atas, cari di narutopedia atau google. Mereka itu penduduk di Iwagakure kalo gak salah kalo di verse animenya. Yang kulitnya item kaia rapper itu loh ...

*4) Chevy Bell Air : Nama mobil model lama. Coba googling deh, saia suka banget mobilnya XDD

*5) Emang ada game yang nama karakternya Sasuke. Kalo pernah main Sengoku Musou atau Samurai Warrior pasti tau deh hehehe

Terkahir ... Read and review ya semua!