Dibawah rembulan, lonceng kematian berbunyi
Tidak ada satupun tersisa di kegelapan ini
Jiwa busuk, memenuhi seluruh boneka di dunia ini
Tangisan pilu, menjadi pengiring lagu kematian
.
Aku sadar, tiap langkah menuju kegelapan
.
Jiwa yang tak pernah tenang, menuai benang merah
.
Dari peti kematian.
Dia keluar.
Mengejarmu, Mengejarku
.
~oOoOo~
.
Fanfiction
.
Kuroko no Basuke (c) Tadatoshi Fujimaki
.
.: Another :.
By: REiN to Aihara and Suki Pie
.
~oOoOo~
.
[Prolog]
.
Aku tidak ingat, sejak kapan aku berada disini.
Semilir angin masuk menyelinap lewat jendela, dan menyentuh permukaan kulitku. Dingin rasanya, apalagi aku hanya mengenakan kaus oblong. Namun aku tidak memperdulikannya. Di pikiranku hanyalah, kenapa aku berada disini, ruangan yang tidak familiar dimataku.
Mataku melihat detail seluruh ruangan ini. Kamar ukuran 6x5 meter dengan karpet merah sebagai alasnya. Meski penerangan ruangan ini hanya menggunakan sinar rembulan, aku melihat banyak sekali boneka antik yang terjejer setiap sudut lemari. Menurutku, boneka itu lebih memberi kesan horor dibandingkan kesan ceria layaknya anak-anak.
Aku berdiri dan merapikan pakaianku. Jantungku daritadi berdegup kencang, tidak berirama. Aku tidak kenal tempat ini, tidak ada satupun alat yang bisa kugunakan membela diri. Sungguh, kalau ini memang ulah iseng temanku yang membuatku berakhir disini entah bagaimana caranya, ini benar-benar tidak lucu.
Saat kubuka pintu kamar ini, aku melihat koridor dengan lukisan-lukian menyentel di dinding ini. Sekali lagi, lukisan ini hanya menambah rasa takutku. Setiap lukisan ada saja warna merahnya (aku yakin warna itu menggunakan darah) dan jika ada hewan atau manusia, matanya tajam, seolah bisa melihat orang didepannya—aku.
"Halo," Aku terus berjalan. "Ada orang?"
Sayangnya tidak ada yang menjawabku. Hanya gemerisik angin yang terus menyertai suaraku.
Lima belas detik menegangkan itu berakhir, ketika aku melihat pintu yang terbuka dan cahaya dari ruangan itu keluar. Aku diam sejenak disamping pintu itu.
Apakah ada orang disana?
Jujur, aku juga takut kalau ada orang disini, meski aku mengharapkan ada yang menemaninya. Aku takut, orang di dalam ruangan itu bukanlah orang baik-baik. Terutama, aku ada disini tanpa tahu apa-apa dan tanpa pertahanan sedikitpun.
Tapi, jika tidak mengambil resiko, aku tidak akan pernah maju. Dengan keberanian yang ada, aku akan membuka pintu ini.
Tok, tok, tok
.
Eh—suara pisau?
.
Sekarang keraguan menjalar keseluruh tubuhku. Sungguh, tidak apa-apa aku membuka? Aku takut, jika aku membuka, orang yang ada di dalam itu (aku tidak yakin aku mengenalinya) tiba-tiba menerjangku, dengan benda tajamnya.
Haruskah kubuka?
Aku coba hitung jari—dan berakhir harus membuka. Oke, setidaknya daripada terus berdiri tanpa tahu apa-apa, lebih baik membuka. Harapan atau sial, semuanya sebanding. Tergantung pada lucky-ku.
Baiklah, aku akan membuka.
.
.
.
Tok, tok, tok,
.
.
.
Satu. Aku makin dekat dengan pintu.
.
.
.
Tok, tok, tok
.
.
.
Dua. Tanganku sudah memegang kenop pintu.
.
.
.
Tok, tok, tok
.
.
.
Aku menutup mataku, tubuhku langsung gemeteran. Hah ... hah … hah ...! Ti—tiga!
.
.
.
.
.
Kosong. Tidak ada satupun orang disini.
Aku mencelos, rasanya jantungku copot, langsung lemas seketika. Bukan masalah ada tidaknya orang disini. Tapi darimana asal suara pisau itu? Sumpah! Aku yakin suara ini asalnya dari sini.
Mataku mengerjap, memperhatikan seisi ruangan ini, atau bisa dikatakan dapur. Berbeda dengan kamar dan koridor yang kulalui, dapur ini begitu terang, dengan lilin menyala setiap penjuru. Dapur ini menurutku kuno dengan alat – alat masak tradisional yang kulihat di buku sejarah.
Aku mendekat ke meja dapur. Sepintas, aku melihat daging yang dipotong dan satu baskom berisi potongan daging, tapi tidak ada satupun pisau di pandanganku.
Apa o—?!
.
Kriieett...
.
—siapa?!
Aku langsung berbalik, melihat pintu dapur ini.
Kakiku langsung lemas, setelah itu jatuh ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa ...! Apa tadi hanya angin? Tidak! Aku yakin itu bukan angin.
Ini terlalu menakutkan. Bunuh aku sekarang juga daripada menghadapi ini semua. Terserah kalian ingin mengatakan aku pengecut atau apa.
Rasanya aku ini bersiap-siap mati.
Aku menggeleng kencang. Aku tidak boleh mati. Aku harus menghadapi ini semua. Cari orang itu dan berharap tidak akan membunuhku. Lalu minta orang itu, siapa saja, untuk mengantarku pulang (atau minimal ke stasiun atau halte bis terdekat). Tidak peduli jam berapa ini—aku ingin pulang sekarang juga.
Aku berdiri lagi, dan kembali melihat potongan daging yang tadi kutemukan. Aku memegang daging itu, dan memperhatikan seksama. Daging ini sudah dihilangkan kulitnya, namun belum dibersikan bekas darahnya dan untuk tulang masih ada di dalam daging ini. Aku tidak tahu ini dibagian mana.
Konyol. Aku berpikiran daging ini mirip jari manusia. Eh? Jari?
Aku langsung memeriksa isi baskom. Tidak peduli dengan darah yang akan mengotori tanganku nantinya. Aku butuh kepastian. Tidak mungkin ini daging manusia. Tidak mungkin kalau ada pembunuhan di rumah ini. Jika itu benar, aku pasti akan menjadi korban selanjutnya dari tindak keji ini.
Kumohon...
Namun, harapanku sirna sudah. Tanpa berbekas di pikiranku, hatiku, maupun tubuhku. Aku melihat betul, dan merasakannya dengan tanganku. Ada dua jari ditanganku, terpotong dengan sempurna dari tangan.
Setiap jari itu memiliki cincin untuk pria yang pernah kulihat sebelum. Aku melepaskan cincin itu, dan melihat cincin tersebut. Dan saat itu juga, aku yakin, jantungku rasanya berhenti.
Setiap cincin ada tulisan. Ya, tulisan itu ... Tatsuya dan Taiga.
"Ke—kenapa?" aku memegang erat cincin itu. Tangisanku sudah tidak bisa dibendung. "Kagami-kun ... Himuro-kun."
Bohong kan? Mereka sudah mati. Kenapa ... ini bisa terjadi?
Tidak, sebenarnya apa yang terjadi sekarang? Ini terlalu cepat dan menakutkan. Aku takut sekali. Kalau seperti ini, artinya sebentar lagi aku mati kan? Orang itu pasti kanibal, pasti akan membunuhku dalam waktu dekat.
"Tetsuya."
DEG!
Tiba-tiba saja, aku merasakan hembusan nafas bersamaan suara yang memanggil nama kecilku. Aku yakin, pernah mendengar suara ini. Familiar. Tapi aku terlalu takut mencari tahu siapa pemilik suara ini. Tidak, aku terlalu takut melihat belakang.
"Tetsuya."
Aku merasakan dinginnya lempengan besi tipis dan tajam itu menyentuh leherku. Hebatnya, pisau itu tidak menciptakan goresan darah di sana.
Apa dia ingin membunuhku pelan-pelan?
Orang itu, yang menyebutkan namaku dua kali dan terus menunjukan pisau itu dihadapanku, memelukku dari belakang. Aku sulit bergerak. Ah, lebih tepatnya aku tidak bisaa bergerak. Entah itu tubuhku takut dengan pisau, orang itu, atau kedua jari temanku yang kini kugengam.
"Tetsuya."
Selanjutnya, aku melihat kegelapan yang tidak berdasar.
.
.
.
.
.
.
Hei, apa ... aku akan mati disini?
.
Prolog - End
~To be Continued~
.
~oOoOo~
.
Author Note!
Ai: Yosh! Selamat datang di project baru kami~ *ngelupain fanfic - fanfic yang sudah menjamur*
Suki: Astaga, Ai. Ini kan fanfic collab pertama kita X'D dan ya, jangan ingatkan Suki tentang fanfic yang sudah menjamur /terjun/
Ai: Aku ngerti *pundung dipojokan* Yang penting enjoy aja deh nulisnya! O ya, Sukicchi... Enaknya nanti siapa yg mati duluan ya~ *smrik*
Suki : OwO! Udah ada yang mati duluan lagi lah /gelindingan/ Ya, mungkin dia yang tak boleh disebut namanya *emangnya voldemort* Yang jelas, nanti dijelaskan (?) Oh, ya. Untuk chapter prolog ini ditulis sepenuhnya dulu sama Ai XD Suki bagian edit dulu /apaan/
Ai: Nanti selanjutnya... Tanda tanya /dilempar sendal/ XD Sukicchi~ Sukicchi~ apa ada kemungkinan jadi Rated - M? Apakah nanti lime? /tepar/
Suki : Limee? Ng ... sepertinya bisa /enggak/ tapi sepertinya tidak /digiles/ Yosh! Terima kasih buat yang sudah baca yaa~~ Ne, ne, Ai, ayo kita kembali ke peradaban (?)
Ai: Oke, aku mau kembali guling - gulingan untuk menenangkan kokoro ini yang doki-doki pengumuman besok. Kurang horor, kurang sadis, kurang romance?! Silakan review di kotak paling cantik itu /guling - gulingan/
Suki : Sekali lagi, terima kasih yaaaa~~~ *kecupin satu-satu* /nak/ Ditunggu kritik dan sarannya XD Adioss!
