A Naruto Fanfiction : Far Reaches of Hopes

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto and I don't take any profit from this Fanfiction

Crime, Mystery, Suspense, Hurt/Comfort, hit a lil bit Romance ^^

AT, AR, AU, Multi Chap, OOC, OC, crackpair, Typo(s), miss type, harsh word!, bahasa frontal, kata-kata kasar tidak untuk ditiru, dan lain-lain

Part 1 " The Threat "


Gadis berambut pirang itu telah memutari kamar apartemennya selama 30 menit. Semua jendelanya tertutup rapat. Nyaris tak membiarkan cahaya masuk. Tangannya beberapa kali mengusap rambutnya. Sorot kekhawatiran terpancar dari wajahnya. Ia duduk di tepi ranjang, bangkit kembali sambil meringis.

Suara bel menyentaknya dengan paksa. Kepala gadis itu tertoleh ke pintu. Segera ia menarik lacinya, menyelipkan sebuah pistol tipe Colt 1911 di dalam jaket dan pisau lipat dibalik kaus kakinya. Ketika suara bel semakin mendesak, ia pun melangkah sembari mengatur nafas. Memberikan sugesti kepada dirinya sendiri untuk bersikap seperti biasa. Keep natural.

Senyum sumringah menyambut kedua petugas berwajah tegas itu. Maniknya bergulir, menatap satu persatu lelaki berseragam itu.

"Can I help you, Sir?"

Berbasa‒basi adalah pondasi untuk meredam kecurigaan. Melontarkan untaian kata‒kata ramah dan menciptakan kesan baik. Mengulur‒ulur waktu. Yugito sudah khatam akan hal‒hal itu. Namun tampaknya, dua orang di depannya itu tak punya waktu untuk dihabiskan dengan percakapan konyol warga sipil.

"May I see your passport, Madam?"

Rahang Yugito jatuh kebawah. Apa‒apaan yang barusan ia dengar itu? Memangnya tampangnya seperti wanita yang sudah menikah? What the fuck are you saying, Man?! Are you crazy? Ingin sekali Yugito melontarkan umpatan kasar itu. Namun ia tahu bahwa tindakan tanpa otak itu hanya akan semakin memperkeruh atmosfer yang tengah panas itu.

"For what?"

Kedua polisi itu saling berpandangan sejenak, kemudian salah satunya menjelaskan kepada Yugito bahwa mereka sedang melakukan penjaringan imigran ilegal yang menyusup di kota New York. Tapi bagi Yugito, itu malah terdengar seperti alasan yang tentunya just another fucking bullshit in the morning. Perempuan yang kini menginjak usia di penghujung 20-an itu menghela nafas.

"Wait for a minute, Sir," ujarnya sambil melengang masuk tanpa menyuruh kedua orang itu masuk untuk sekedar minum teh. Bung! Ini New York, bukan Britania Raya! Tata krama semacam itu sudah basi di kota yang penuh dengan kebebasan ini.' Ya, kurang lebih kata‒kata semacam itulah yang akan dilontarkan Yugito padamu jika kau berani mengkritik ketidaksopanannya. Sebelum dia menendang salah satu anggota tubuhmu, actually.

Yugito kembali mengacak lacinya. Mengambil paspor dan beberapa kelengkapan lainnya. Kurang dari dua menit, ia kembali berhadapan dengan kedua polisi itu. Mereka mengangguk dan mengembalikan paspor itu kepada Yugito.

"Sorry for the inconvenience, by the way, don't you see anything strange around this place?"

Bung, jika kau tahu pekerjaanku, kau akan yakin aku tidak punya waktu untuk menghitung populasi tikus di apartemen ini, bodoh! Mana aku punya waktu memperhatikan sekitar?

Terus saja wajah Yugito menyampaikan ekspresi yang sangat kontradiksi dengan suara batinnya. Bagaimana tidak? Kedua polisi ini sudah membuang waktunya yang sangat berharga. Dan ketika ia melirik ke ujung lorong, matanya membelalak melihat dua orang yang berjalan ke tempatnya.

"No. I don't see anything like that. Um ... excuse me, I have to ..." Yugito memperagakan gerakan bahwa sekarang ia harus mengakhiri percakapan ini. Namun, respon sang polisi malah membuat Yugito menendangnya hingga menabrak tembok dan mengunci pintu. Ia berlari dan menyambar ransel di atas ranjangnya. Kemudian, ia mengikat tambang pada perut dan pengait pada jendelanya lalu terjun bebas dari lantai lima. Berhasil mendarat dengan mulus, gadis itu langsung memasuki Porsche hitam yang terparkir tak jauh kemudian melajukan mobil buatan Jerman itu dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota New York dengan bunyi klakson yang bersahutan.


Satu hal yang Kakashi impikan di hari Minggu adalah tidur sampai matahari beranjak dari singgasananya hingga menempati puncak klimaks di mana suhu mulai meningkat dan lampu menjadi tak berguna selama berkas cahaya masih mampu menembus ke dalam. Namun, hal itu hancur ketika ia mendengar suara gendoran tak sabar di depan. Dan tentu saja umpatan kasar.

Jika Kakashi mengabaikannya, maka pintu apartemennya akan hancur kurang dari lima menit. Tentunya ia tak jauh‒jauh datang ke Los Angeles hanya untuk membayar ganti rugi atas apa yang bukan perbuatannya. Maka dengan malas, lelaki itu bangkit dari tempat tidurnya dan memakai kaos lengan pendeknya asal‒asalan. Dan, ketika ia membuka pintu, seorang gadis berambut pirang langsung menghambur, mendorongnya hingga terlentang di lantai karena terlalu kaget dengan serangan dadakan itu juga nyawanya yang masih ada di tempat tidur. Seenaknya, gadis itu mengunci pintu apartemennya lalu berbalik.

"Hei, Kakashi! Kenapa kau tidur di sini?"

"Menurutmu? Ah, tidak. Seekor singa baru saja datang, menerjangku hingga terjatuh di sini."

Yugito berjalan melewatinya. Langsung membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Kakashi mendengus.

"Kau tidak akan menolongku? Halo, kau baru saja mencuri Nona," sindirnya keras. Namun Yugito seolah menulikan telinganya. Berselonjor santai di atas sofa nyaman. Hell! Jika saja Yugito bukan perempuan, maka Kakashi pasti sudah menendangnya keluar lima menit yang lalu.

Kakashi bangkit dan duduk di sofa yang berseberangan dengan Yugito.

"Mereka datang kemari," ujar Yugito pelan. Ia meletakkan botol kosong itu di meja.

"Itukah alasanmu datang ke tempatku dan membuat kekacauan kurang dari sepuluh menit?"

Yugito tak mengidahkan pertanyaan retoris Kakashi yang sejujurnya tengah menyindirnya itu. Ia melah mengeluarkan sebuah peta dan membentangkannya di atas meja. Dengan pulpen, ia menandai lokasi New York dengan titik. Kedua matanya menatap tempat‒tempat yang telah ia tandai sebelumnya.

"Mereka terus berpindah‒pindah. Dari kota kecil di pedalaman Spanyol hingga kota besar seperti New York."

"Kau melintasi negara‒negara itu?!"

"Tidak, ini laporan yang lainnya. Tugasku hanya di Amerika Serikat dan Australia. Tapi Australia steril."

Kakashi memajukan tubuhnya, menatap peta yang terbentang itu dengan seksama.

"Semuanya negara‒negara dari blok barat, kecuali Amerika Serikat."

Yugito membeo, "Blok barat?"

Kakashi merespon dengan anggukan. "Pada perang dunia pertama dan kedua, negara‒negara memisahkan diri dan bergabung dalam dua kubu besar sebelum gerakan non blok dipelopori. Blok barat dan blok timur. Kedua blok ini memiliki andil besar dan tentu saja memiliki persenjataan yang kuat di antara negara‒negara lain. Mereka juga turut campur tangan dalam percaturan politik dunia saat ini. Yang artinya, menguasai mereka, berari hampir menguasai seluruh dunia."

"Lalu ... apa tujuannya? Mereka hanya terdeteksi di kota‒kota yang bahkan tidak terkenal sama sekali. Bahkan di dalam pedalaman. Yang mereka lakukan hanyalah akan memancing perhatian, bukan menguasai. Kecuali ..."

Yugito mengangkat kepalanya. Atmosfer mulai berubah menegangkan. Mata Yugito kembali meniti tanda‒tanda yang ia bubuhkan di atas peta.

"Mereka juga sepertinya menambahkan Amerika Serikat ke dalam daftar mereka. Negara stabilisator," tambah Kakashi yang semakin memperkuat argumen liar yang tak pernah dibayangkan oleh Yugito.

"Kakashi ... ini ..." Suaranya tercekat di tenggorokan.

"Kita perlu mengadakan briefing secepatnya. Hubungi yang lainnya. Kita berangkat ke Paris malam ini."

Yugito mengangguk mengerti.


"Kenapa kita ke bandara?" Yugito bertanya.

Kakashi memutar bola matanya bosan. "Agar kita bisa sampai di Paris dengan selamat."

"Tidak pakai jet?"

"Dan mengundang perhatian orang?"

Yugito mendengus kesal. Bukannya ia benci naik pesawat atau bandara. Hanya saja tempat itu terlalu terekspos. Mudah menemukan seorang yang kau temui beberapa jam lalu.

"Shit! Shit! Shit!" umpatnya kesal. Kakashi menoleh bingung.

"Oh hey. Do you remember me?"

Yugito mendengus kesal untuk kedua kalinya. Kenapa New York harus sesempit ini sehingga memungkinkan baginya untuk bertemu kembali dengan polisi yang ia tendang perutnya beberapa jam yang lalu. Kadang Yugito berpikir bagaimana hal‒hal kebetulan yang menyebalkan atau yang orang awam sebut kesialan itu terjadi di saat yang tidak tepat.

Well, kalau terjadi di waktu yang tepat namanya pasti berubah menjadi keberuntungan.

"Hey, how are you, Sir?"

Polisi itu mengangguk‒angguk.

"Very good. Before you kick my stomach, actually."

Langsung saja Kakashi memelototi gadis itu. Tatapannya seolah bertanya seberapa gila gadis itu hingga tak segan menendang perut seorang polisi. Tapi sejujurnya, ia lebih khawatir tentang masalah merepotkan yang akan masuk dalam daftarnya.

"Apa? Apa yang kau lakukan?" desis Kakashi.

"Dia datang memeriksa pasporku pagi ini dan kau tau apa yang dikatakannya? He said 'let me touch your foxy ass' you damn it! Itu termasuk pelecehan, kau tahu?"

Kakashi memijit batang hidungnya. "Ok, berikan aku waktu."

"Excuse me, Sir. Maybe we have to talk in privacy area."

"Why? Do you wanna kill me? Then, do it now," tantang polisi tersebut.

Yugao mengumpat kesal. "Seharusnya aku membunuhnya tadi."

Kakashi mendesis memperingatkan. Meminta agar gadis itu itu diam dan membiarkan ia menyelesaikan masalah tanpa harus ada kekacauan yang akan semakin memperkeruh suasana. Ia lalu merangkul polisi tersebut dan mengajaknya menuju ke tempat yang lebih nyaman untuk berbicara. Sempat ia menoleh pada Yugito. Melemparkan isyarat bahwa ia selalu mengawasinya.

Gadis itu mendecak dan menghempaskan bokongnya di atas kursi tunggu dengan wajah menekuk. Ada jdda waktu 15 menit sebelum Kakashi datang dan menarik gadis itu.

"Hei, hei, ada apa?"

"Kita naik jet sekarang. Aku sudah menghubungi Yahiko," ujar Kakashi cepat.

"Apa? Kenapa tiba‒tiba? Mereka ada di sini?"

Kakashi terdiam sebentar. "Yugito Nii, bekerja samalah denganku untuk sementara ini. Jangan bertanya apapun sebelum kita sampai di Paris."

"Baiklah," jawab Yugito.


Lanskap kota New York sangat estetis dengan bulan yang bersinar dan gedung‒gedung pencakar langit yang meneriakkan kesombongannya. Angin malam bertiup lirih, mengutarakan ironi yang menimpa New York yang berkembang pesat diikuti dengan hilangnya budaya‒budaya lama. Dan pria itu berdiri di sana. Menyaksikan keindahan yang fana itu.

Seorang lelaki berjas hitam masuk dan berlutut di belakangnya. Menunjukkan sifat loyal kepada sang pemimpin.

"Pak, Amerika Serikat sudah berada dalam jangkauan kita."

Helaan nafas mengalir dari pria itu. Senyum seringai itu berkembang.

"Baguslah. Lanjutkan kerja bagusmu, Obito. Sampai kita menguasai dunia dalam genggaman kita."

"Saya mengerti, Pak."

Ancaman itu telah datang. Dan kini, semuanya dalam bahaya.


To Be Continue