Hisashiburi da na.

Lama ngilang! Saya penuhin request satu-satu termasuk ini, karena sahabat saya sendiri ulang tahun tanggal 9 kemarin minta kado nih fanfic yang plotnya berdasar film thai : Jandara. Sorry ya Yamakamimoocchi, kalo jelek. Nih buat kamu semoga suka.


"Tunggu, Akashi-kun"

Setelah beberapa ciuman yang menyalurkan nafsunya dari mimpi ke lelaki bersurai merah itu, ia tersadar dan langsung mencegah sang tuan melanjutkan lebih jauh.

"Ada apa Tetsuya? Aku sudah menginginkanmu sejak pertama kali melihatmu"

Tipu dayanya menggema, jemarinya membelai surai biru langit yang tengah ia tindih. Tetsuya kemudian menghela nafas, membuat sebuah raut memohon yang amat dalam.

"Berjanjilah satu hal kepadaku, Akashi-kun"

Mata biru bulat itu bertemu dengan sepasang merah-emas yang menatapnya seolah-olah mampu dan mau.

"Sebesar apapun kau membenci Taiga-kun... jangan pernah kau sakiti dia sampai mati. Peganglah janji ini dan kau akan mendapatkan seluruh hidupku.. Akashi-sama.."

Ia mengakhirinya dengan sebutan –sama, pertanda ia begitu mengharap janjinya untuk ditepati. Yang dimaksudnya Taiga adalah makhluk kecil dalam keranjang yang tengah tertidur pulas disampingnya. Akashi kemudian mengangguk dan tersenyum, memberikan sebuah kecupan ringan pada bibir Tetsuya.

"Apapun itu, Tetsuya.."

Sang Iblis merah mencerabut sisa kain yang membalut tubuh Tetsuya, melanjutkan apa yang sempat dihentikan. Melampiaskan benci yang terpendam terhadap sesosok makhluk mungil yang menjadi saksi bisu perbuatan bejatnya.

.

.

.

Borderless

[#AKAKUROXYGEN]

[Based on Movie : Jandara]

[Slight : Aokise, Akakise, Aokuro, Murahimu(ch 2), Parents!Akakuro (ch2)]

[Genre : Smut, Yaoi, Mpreg, H/C]

[Warning : Absurdness]

.

.

.

Kyoto, 2 Agustus 19xx

Mansion Akashi

"Minggir! Minggir!"

Seorang wanita tua menjinjing gaun putih pasihnya, melaju cepat diatas tongkat jati melewati para pelayan yang bersembah sujud menyambutnya. Ia berjalan cepat menaiki tangga, dengan jantung berdebar-debar ia menuju sebuah ruangan yang terdengar jerit – jerit lemah.

"Selamat datang, Nyonya Alexandra"

Seorang lelaki membungkuk polit kepadanya. Berbalut kemeja putih sambil menenteng sebuah dhamar ia tersenyum.

"Dimana?! Dimana Ryota ku? apa sudah selesai?! hah? katakan padaku!"

"Masih di dalam, aku tak sabar menanti kelahiran anak pertamaku"

Dengan nada yang seolah-olah begitu kalem dan yakin akan perkataannya, lelaki itu kembali mengakhiri perkataannya dengan senyuman. Wanita tua bernama Alexandra itu hanya mendecih kemudian segera melangkah cepat menuju ruangan dihadapannya.

"Aaaaargghh...aaarggghh...!"

Ia sempat terkejut dan tak percaya apa yang dilihatnya ketika ia membuka pintu ruangan itu. Dihadapannya, seseorang diatas ranjang tengah bertaruh nyawa melawan pedihnya memberikan kehidupan.

"Terus.. dorong lagi, tarik kainnya, sedikit lagi.."

Alexandra tua mendekat, menyandarkan tongkat yang biasa menitihnya berjalan disamping ranjang. Ia duduk di tepian sambil mengelap kucuran keringat yang terus meninggalkan seseorang disampingnya.

"Kau pasti kesakitan Ryota.. bertahanlah Ryota! sedikit lagi sayangku.."

"Nnngghhhaarrrgghh... nggghh..."

Sesosok makhluk pirang yang tengah memperjuangkan dua nyawa itu menggenggam erat sebuah kain merah yang melayang bebas diatasnya. Ia cengkram dengan kuat, mengambil beberapa nafas kemudian mengerang keras. Sebuah suara lain kemudian terngiang, suara sebilah nyawa yang baru saja dilahirkannya di dunia. Perlahan jemari pucat si pirang terlepas dari kain merah yang menemaninya, tanpa sedikitpun kelopak berteras bulu mata lentik itu terbuka, ia terbaring lemah.

"Laki-laki... nyonya Alexandra.. bayinya laki-laki.."

Dukun yang sama keriputnya itu menyerahkan sesosok makhluk mungil yang tak terbalut apapun kecuali darah segar kepada Alexandra. Si nyonya tua tersenyum, bermaksud menunjukkan bayi mungil itu kepada seseorang yang baru saja melahirkannya,

"Ryota, ini dia anakmu...seorang.."

Perkataannya terhenti kala ia mendapati sebuah wajah pucat yang terpejam disampingnya. Ia kemudian mengembalikan bayi itu kepada si dukun, menepuk nepuk kecil wajah si pirang yang tak memberikan respon apapun.

"Ryota.. Ryota sayang..? Ryota..!"

Harta benda satu-satunya yang berharga untuk si nyoya tua itu tak menjawab sepatah apapun, atau bahkan sekedar berkedip. Alexandra mendekatkan telinganya, tak satupun detak jantung terdengar olehnya.

"Ryota... hiks.. hiks.. Ryota.."

Seorang pelayan kemudian keluar dari ruangan itu, mendatangi seorang pria yang tadi menyambut Alexandra.

"Akashi-sama, bayinya telah lahir... seorang laki-laki... dan.."

Belum lanjut pelayan itu berbicara, Akashi sudah menyambar lampu yang dibawa si pelayan dan bergegas menuju ruangan tempat istrinya melahirkan. Tepat setelah derit pintu kayu jati terbuka, ia melihat si nyonya tua yang tampak bersimpuh disamping ranjang, menangis terisak sambil menggenggam erat istrinya yang sudah tinggal mayat pucat semata.

"Ryota telah meninggal.. hiks..hiks.."

Sepasang manik heterokrom merah emas itu mendekat tak percaya, melihat hamparan sprei putih yang langsung dirembesi air merah segar. Ia mendekat ke ranjang yang menopang tubuh tak bernyawa sesosok makhluk pirang pucat. Perlahan ia mengangkat pinggang Ryota, merasakan tangannya yang langsung basah. Ia memangkunya, menyandarkan Ryota pada pelukannya, membelai wajah pucat yang tak akan lagi bersinar itu dan tak terasa ia menjatuhkan air matanya. Ia peluk erat jasad mentari pucat itu, tenggelam dalam tangisnya.

Namun ada sebuah isak tangis yang terdengar lebih jelas diantara isak tangis yang lain kala itu. Sebuah isak tangis dari seorang bayi mungil yang baru saja lahir. Bagi Akashi, ini sebuah penghinaan. Bagaimana mungkin makhluk sekecil itu bisa merenggut nyawa kesayangannya?. Sebuah raut murka terpampang di wajahnya, kemudian ia sambar tongkat Alexandra dan menodongkannya kedepan.

"Serahkan anak biadab itu kepadaku!"

Akashi melayangkan tinggi tongkatnya ke udara, bersiap menuntut balas nyawa atas kehilangannya. Beberapa pelayan laki-laki yang mengetahuinya kemudian menahan Akashi. Saat itu juga Alexandra dan dua orang pelayan memanfaatkannya dengan kabur keluar ruangan dan naik ke lantai selanjutnya. Ia mengambil senapan yang terpajang di dinding dan membidikannya kearah seorang laki-laki berambut merah yang memburu bayi mungil yang baru saja lahir itu.

CKLIK CKLIK

Alexandra membidikkan senapannya kepada Akashi.

"Letakkan tombak itu! sekarang! kau tak mendengarkanku?!" Sentak Alexandra.

"Minggirlah nyonya! akan kubunuh bedebah kecil itu!" Akashi tetap teguh dengan sebilah tombak tajam yang juga disambarnya dari dinding.

"Jangan kau kutuk rumah ini dengan kematian lagi! Tolonglah.. relakan Ryota pergi dengan damai.."

Setelah mendengar nama itu, setetes air mata terjatuh dari sebelah mata emas Akashi. Ia kemudian membuang tombaknya, berjalan menuruni tangga dan melangkah keluar. Hujan deras mengguyurnya, menyaksikannya melampiaskan kutukan.

AAAAAARRRGHHHHHHH

Ia mengerang keras, mengepakkan kedua tangannya dan merobek kemeja putihnya,

"Aku! Tuan besar Akashi Seijuro! Aku mengutuk atas hilangnya Ryota dariku! Biarlah anak biadab itu membusuk di neraka! untuk sekarang dan selamanya..!"

Langit bergemuruh keras, Alexandra hanya bisa menatap pasrah akan kutukan yang baru saja dilampiaskan pada cicitnya. Hanya segelintir doa yang memperkuat hatinya, semoga dewata tak mengabulkan apa yang baru saja diucap seseorang yang harusnya menjadi ayah.

.

.

[2 minggu kemudian]

Mansion Akashi masih kental akan warna hitam. Seluruh pelayan memakai warna tersebut untuk menghormati kepergian nyonya besar Akashi. Sang tuan besar sendiri masih duduk diam tersimpuh, tiada lelah mendongakkan kepalanya menatap sesosok wajah manis dan cantik tiada dua dalam bingkai berpita. Seharian ia berada disana, hanya berteman asap dupa dan semerbak wangi kamboja hingga Alexandra dan para tamu bangsawan datang.

Dari sekian banyak orang yang melayat, keluarga dan kerabat Alexandra pun akhirnya datang. Diantara keluarga yang datang dari Tokyo, ada seseorang yang memiliki paras anggun nan menawan. Seorang laki-laki dengan surai biru langit yang mendamaikan datang bersimpuh memberi hormat pada mendiang Ryota.

"Ini adalah Tetsuya, sepupu dari Ryota. Ryota sangat menyayanginya"

Dengan suara yang agak serak Alexandra memperkenalkan sesosok lelaki tadi kepada para tamu. Lelaki bersurai secerah langit itu menunduk hormat pada Akashi dan mendapatkan balasan dari sang tuan. Setelah semua tamu pulang, Tetsuya meminta Alexandra untuk diperkenankan melihat putra dari sepupu yang ia sayangi.

"Nenek, bolehkah aku melihat bayi Ryota-kun?"

"Tentu saja! Tentu saja Tetsuya!"

Alexandra kemudian menuntun Tetsuya keluar dari rumah utama. Mereka menuju sebuah rumah atau terlebihnya terlihat seperti gubuk yang terletak di kebun belakang mansion. Ini semua tak lain adalah perbuatan Akashi, yang seolah-olah menjadi penjara bagi bayi yang merenggut nyawa istrinya.

"Salam, Tetsuya-sama"

Seorang pelayan berambut coklat terang bersimpuh dihadapan Tetsuya. Dia adalah Furihata Kouki, pelayan yang selama dua minggu ini merawat dan membesarkan bayi Ryota bersama dengan anaknya sendiri bernama Teppei yang masih berumur satu tahun.

"Salam"

Tetsuya membalas salam tersebut lalu melangkah mendekat sebuah ayunan bayi yang terbuat dari rajutan benang putih. Di dalamnya terbaring sesosok bayi mungil dengan surai merah bershading hitam dengan sepasang mata merah kelam. Ia kemudian mengangkat bayi itu, menimangnya dan menciumnya sesaat lalu tersenyum tulus.

"Jangan khawatir, ne.. aku akan membesarkanmu.. dengan sepenuh hati..." Ujar Tetsuya.

"Tetsuya... apakah.. aku tidak salah mendengar perkataanmu...?" Tanya Alexandra terkejut.

"Aku akan tinggal disini.. aku akan menggantikan Ryota-kun untuk membesarkan anak ini seperti anakku sendiri" Balas Tetsuya sambil tersenyum.

"Syukurlah ya tuhan.. aku sangat beruntung Tetsuya" Gumam Alexandra sambil membelai kepala Tetsuya.

"Ano.. nyonya besar, kita jadi memberinya nama.. apa?" Tanya Kouki.

"Hmm.. apa ya..? Tetsuya, menurutmu apa yang cocok?" Tanya Alexandra.

"Taiga.. aku rasa adalah nama yang cukup gagah untuk bayi laki-laki sepertinya.." Jawab Tetsuya.

"Taiga.. ah ya, betul sekali, nama yang sangat gagah! dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang berani dan gagah! Taiga! kita akan memanggilnya Taiga!"

Sejak hari itu, Tetsuya tak pernah kembali ke Tokyo dan menetap di gubuk kecil tempat Akashi memenjarakan bayi yang telah merenggut nyawa istri kesayangannya itu. Setelah seratus hari kematian Ryota, Nyonya tua Alexandra harus kembali ke amerika untuk menjalankan bisnisnya.

"Kouki"

"Iya, Nyonya?"

"Katakan pada seluruh pelayan laki-laki untuk menjaga ketat Tetsuya dan Taiga siang dan malam. Kau mengerti?"

"Wakarimashita"

Si nyonya tua kemudian melangkah masuk kedalam mobilnya. Kouki si pelayan menyerahkan bingkisan bekal kemudian membungkuk hormat. Ia lantas memberitahu beberapa pelayan laki-laki untuk berjaga ketat di sekitar gubuk tempat Tetsuya dan Taiga tinggal. Namun hal itu sia-sia saja ketika hari beranjak malam.

PLAAAAAAAKKKKKKKK

"Kau berani memerintahku, Kouki?"

Seorang landlord berambut merah nyala itu baru saja mengibaskan keras lengannya kearah wajah Kouki hingga ia jatuh tersungkur.

"Hiks.. a..ampun Akashi-sama.. tapi ini adalah perintah dari nyonya Alexandra.. hiks.." Gumam Kouki sambil memegangi pipinya yang merah padam karena tamparan keras dari Akashi.

"Ini adalah rumahku dan tanahku. Sudah beruntung aku membiarkan anak keparat itu tinggal disini dan tak membunuhnya. Kau tau benar kan, Kouki?" Sang majikan mendekat sambil mencengkram tangan si pelayan.

"Ta..tapi tuan.."

"Jika kau membantahku sekali lagi, aku akan membunuh bayi sialan itu. Aku hanya ingin Tetsuya, tidak lebih"

Merasa terpojok dan tak punya pilihan lain, Kouki akhirnya mengangguk pasrah dan membimbing tuannya itu menuju gubuk kecil di belakang mansion. Akashi tak lupa membawa beberapa kantong kecil berisi uang untuk menyuap para penjaga agar meninggalkan gubuk kecil itu. Segera setelah semua penjaga pergi, ia menelusup masuk. Hidung belangnya mengikuti semerbak aroma wangi yang menguar dari dalam.

Sementara itu,

Dihadapan sebuah cermin tua, seseorang tengah menyisir lembut helaian rambutnya yang cerah. Sesekali ia menengok kearah keranjang bayi disampingnya, tersenyum dan melanjutkan ritual tradisionalnya sebelum tidur. Ia menggosokkan kelopak bunga sakura ke lengan dan leher pucatnya yang putih mulus.

"Mmmm..."

Ia mengendus wangi sakura yang kuat dari lengannya dan tersenyum manja. Setelahnya ia ambil sebuah kimono berwarna biru cerah yang terbuat dari sutra dan membalutkannya pada tubuhnya. Ia lantas kembali menatap cermin dihadapannya sejenak lalu tidur diatas futon kecil disamping keranjang bayi. Ia terpejam dengan senyum manja di bibirnya, sesuatu tengah diputar dalam mimpinya.

[Dalam mimpi Tetsuya]

Nada – nada gemericik air mengalun indah seraya siulan angin kecil ikut menerbangkan kelopak pohon legendaris jepang, sakura. Di samping sebuah sungai yang jernih, jauh dari pandangan mata sesaknya ibu kota, sebuah pohon sakura tumbuh. Pohon itu begitu tinggi, satu-satunya yang terindah diantara pepohonan lain didalam hutan tak dikenal itu.

"Keluarga kita saling bermusuhan, kau tahu cinta kita ini terlarang"

Sebuah tubuh kecil putih terbaring lemah di bawah pohon itu, hanya beralaskan kain kimono dan berbalut selembar kain syal. Ia berbicara menatap langit yang tertutup cabang-cabang sakura yang mulai berguguran.

"Aa, kau benar Tetsu"

Sebentar saja ia melihat awan cerah yang tertutup rindang kala itu. Segera setelah sebuah suara berat menjawab perkataannya, yang ia lihat hanya gelap. Namun ia merasakan kehangatan juga kelembutan yang mendalam di bibirnya.

"Ini tak adil untuk kita.."

Sesekali ia membuka kelopak matanya, namun segera tertutup lagi. Langit cerah yang dilihatnya bukanlah langit yang dipandang orang-orang,

"Pergilah denganku, Tetsu.."

Suara berat terdengar lagi, tapi kini ia melihat langit yang sama seperti orang-orang. Diatas terlihat rindang, tapi yang ia rasakan adalah kehangatan tubuh seseorang.

"Tunggulah sampai aku siap.."

Ia menjulurkan tangannya hingga meraih sebuah wajah diatasnya. Tak lama kemudian wajah itu tersenyum, terjatuh dalam pelukannya. Kehangatan itu begitu mencandu, ia tak akan pernah melepaskannya. Detik-detik yang terlalui setelahnya menjadi ukiran memori yang takkan pernah terlupa, dimana ia harus melintasi garis takdir yang kejam untuk mempersatukan cintanya yang terlarang. Ia menikmati semua hari – hari yang ia jalani dengan seseorang yang terlarang baginya, melampiaskan semua rindu, nafsu juga rasa yang dulu rasanya mustahil diwujudkan.

Pohon sakura itu adalah saksinya.

[Yang sesungguhnya terjadi]

Akashi yang mengikuti wangi kuat yang menguar dari dalam gubuk itu akhirnya menemukan sumbernya. Ia berhenti tepat dihadapan sebuah kamar yang hanya berpintukan sehelai kain tipis. Ia melihat Tetsuya yang terbaring defenseless, kemudian menelesap masuk kedalam. Seringaian tipis sempat terpampang di wajahnya, namun segera memudar ketika ia melihat makhluk mungil yang ada disamping Tetsuya. Dendam akan kematian Ryota hampir tersulut lagi tapi,

"Mmmnnhhh..."

Mata merah – emas itu langsung memutar arah pandang setelah mendengar erangan tipis yang keluar dari bibir mungil Tetsuya. Kelaparan akan nafsunya, ia segera menanggalkan pakaiannya dan merebahkan diri disamping Tetsuya. Menjelajah sebuah tubuh yang mempunyai keanggunan mendalam itu ia mulai dengan kecupan-kecupan tipis di pundak dan leher Tetsuya. Mengejutkannya, Tetsuya yang tengah tertidur itu tak merasa risih akan perbuatan Akashi. Awalnya Akashi hanya berpikiran bahwa Tetsuya sedang melalui masa birahinya.

Tapi sebenarnya mereka berdua tak tahu, siapa dengan siapa yang tengah bercinta.

TO BE CONTINUED


Karena ini adalah hadiah ulang tahun sahabat saya, Yamakamimoocchi tercinta, saya berikan sedikit spoiler untuk CH 2. Rating akan meningkat tiap chapter. See ya!


[BONUS SPOILERS]

"Anak siapa ini?! Apa ini tuan besar ?! Lintah darat itu menggodamu?! katakan padaku Tetsuya!"

"Bibi Tetsuya.. kenapa kau menangis?"

"Ayahmu menyuratiku, dia berkata bahwa dia akan pulang dengan cinta lamanya.."

Kami tak tahu dia, yang kami tahu hanyalah namanya yang terkenal seantero Kyoto. Perabotannya bahkan sudah datang berminggu-minggu sebelum kedatangannya. Ayah yang sudah tak berjumpa dengannya selama 20 tahun tetap mengejarnya walau sampai ke Singapura. Aku terpukul melihat wajah muram bibi Tetsuya, aku juga tak pernah tahu bagaimana rasanya di duakan seperti itu, tapi aku ingin memeluknya.

"Kau manis sekali Tatsuya-chan, seperti ibumu. Semoga bisa berteman akrab dengan Atsushi, ne.."

"Si bodoh Taiga bukanlah kakakku! dia juga bukan anak ayah! kau selalu saja membelanya lebih dari aku! Aku ini anak kandungmu!"


Mind to review? arigato

#Alessana