0o0
FRAME
Rated M/Melodrama/Friendship/Slice of Life/OC/Modern AU/Multichapter
Warning! Content smut and dirty language!
Shingeki no Kyojin own Hajime Isayama.
Frame own Tateishi Nachika
Author note: Chapter 1 telah di Revisi, selamat membaca.
0o0
Chapter 1— Frame
.
.
.
Dalam kehidupan ini, manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan dan takdir. Dimana takdir tidak selalu sepadan dengan pilihan. Terkadang pilihan yang dianggap benar terlalu jauh dengan harapan baik hingga derita demi derita terjadi. Penderitaan yang mengiris dan meremas hati yang sudah rapuh hingga memeras air mata. Itulah yang terjadi pada Petra Ral, wanita cantik namun nasibnya tak secantik rupa-nya.
Ia kini sedang terengah-engah dihadapan pintu apartemen sahabatnya karena berlari. Ia berulang kali menekan bel apartemen namun sedikitpun pintunya belum terbuka.
Sampai akhirnya suara bel apartemen sampai ke telinga wanita berambut panjang, Rachel Gin. Ia menarik gagang pintu menuju gravitasi dan membukanya dari dalam. Atensi Rachel menuju seseorang yang kini dihadapannya. Ia wanita yang tidak terlalu tinggi dan memiliki rambut sebahu berwarna cokelat madu senada dengan iris matanya. Ya dia adalah sahabatnya. Sampai Petra mendengar seseorang muntah-muntah dari dalam apartemen dan ia sangat mengenali nada suaranya. Kemudian tanpa persetujuan Rachel, ia berlari menuju sumber suara.
"Ulrich!" seru Petra memasuki kamar mandi dan mengusap punggung anak laki-laki yang sedang muntah di westafel.
Kemudian Petra bertanya pada sahabatnya yang mengikutinya dari belakang, "Rachel dia sakit apa?"
"Dia salah makan di sekolahnya, ditambah antibodinya yang sedang lemah..." kata temannya penuh ke khawatiran. Sedangkan yang mendengarkan menautkan wajahnya cemas, "Aku akan membawanya ke dokter"
"Tunggu Petra, dia sudah ku bawa kesana. Obatnya seharusnya diminum setelah makan, tapi saat makan Ulrich malah muntah-muntah. Jadi belum sempat ku beri obat."
"Begitu ya... terima kasih Rachel, aku akan membawanya pulang sekarang. Maaf aku jadi merepotkanmu, Rachel." wanita berambut sebahu itu menuntun anak laki-laki itu pulang.
"Hati-hati Petra, Ulrich cepat sembuh ya?" sahut Rachel, walaupun kenyataannya apartemennya saling bersebelahan.
Petra Ral. Ia adalah wanita single parent yang lima tahun lalu bercerai karena alasan yang dirinya pun belum menemukan titik lurusnya.
Ia sekarang di dapur, ia mengaduk-aduk bubur yang sebentar lagi matang, di tambah irisan jamur shitake dan daun bawang lalu diberi garam secukupnya, di racik sedemikian rupa untuk makan anaknya yang sedang sakit.
Setelah semuanya selesai, ia menghampiri anak laki-lakinya yang sedang berbaring lemah dan pucat di atas kasur, "Ulrich bangun… makan dulu, nanti mama suapi, setelah itu kau minum obat ya?" Petra membaringkan Ulrich di kepala ranjang berbentuk mobil Tamiya. Namun anak itu menggeleng-geleng tidak mau makan sambil membungkam mulutnya.
"Ulrich sayang, kalau tidak makan, nanti kau tertinggal pelajaran di sekolah..." tukas Petra cemas sambil menyeka peluh keringat yang membasahi keningnya seusai kerja yang melelahkan.
"A-aa... buka mulutmu." tangan Petra mengudara meyuapi anak semata wayangnya. Awalnya Ulrich menolak namun akhirnya anak itu menyerah. Ulrich pun mau makan. "Pintar anak mama." setelah makanan itu habis, Petra memberi Ulrich obat.
Petra membaringkan Ulrich kembali untuk tidur dan memasangkan kompres instan modern berbentuk kotak isi gel untuk menurunkan demamnya. Menyelimutinya dan menemaninya hingga tertidur pulas.
Kali ini dia membiarkan kaki jenjangnya menekuk karena ranjang anaknya yang bersurai hitam legam itu tidak cukup panjang untuk melonjorkan kaki untuk menemani anaknya tidur dan berjaga-jaga jika membutuhkan sesuatu. Petra sangat menyayangi Ulrich.
Esoknya.
"Mama..." sapa anak kecil berumur lima tahun sambil meraih wajah cantik mamanya yang masih tertidur pulas. Kemudian Petra membuka matanya perlahan saat mendengar nama gelar ibu rumah tangganya di panggil. Ia meraih tangan putranya lalu mengusapnya dengan ibu jarinya."Ulrich, kau butuh apa sayang, hn?"
"Mama ini sudah pagi, mama tidak pergi kerja?" Tanyanya. Petra tersenyum bak malaikat. "Uhm tidak nak, mama berniat untuk menjagamu sampai sembuh..."
"Maafin Ulrich ma, ini salah Ulrich..." katanya sedih.
"Sudahlah sayang, yang penting sekarang Ulrich cepat sembuh. Mama ingin melihat kau berlari dan bermain dengan temanmu lagi." Petra mengusap surai hitam yang terbelah bagian pinggirnya. Ulrich pun mengangguk. Petra mengecup kening putranya "Cepat sembuh Ulrich."
0o0
Wanita single parent bersurai cokelat madu itu setia menunggu anaknya di taman yang sedang bermain baseball bersama temannya. Ia sangat senang melihat anaknya yang sudah sembuh dari sakitnya. Kemudian ia melihat Ulrich melambaikan tangan kearahnya sambil berteriak dari kejauhan, "Mama!"
"Iya!" Petra menyahut melambaikan tangan balik. Pandangan Petra teralihkan menuju pakaian Ulrich, ia sangat bersih dibandingkan dengan teman-temannya. Dan hal itu mengingatkannya pada lelaki clean freak yang tersegel jauh dari lubuk hatinya.
Bocah itu menghampiri Petra dan memeluknya sambil mendongak, "Mama aku mau parfait. Kita pergi ke café yang biasa ya, ya?" pinta Ulrich dengan mata puppy eyes setelahnya.
Mamanya hanya tersenyum kecil, "Baiklah, kita berangkat sekarang." kata Petra menghimbau sambil menggandeng tangan mungil Ulrich menuju audi hitamnya.
Saat di perjalanan, pandangan Ulrich menuju keluar jendela dari dalam mobil, ia mengerutkan kening, "Cih anak itu belepotan, menjijikan!" Ulrich menggerutu melihat anak kecil seumurannya memakan ice cream yang belepotan di area mulutnya.
Lagi - lagi anak itu mengingatkan tata bahasa khas seperti mantan suaminya sekaligus ayah biologisnya. Petra melepas satu tangannya dari setir kemudian mengusap rambut hitam anaknya "Ulrich, lain kali atur tata bahasamu yang baik, ya."
"Iya ma" katanya datar sambil menyilangkan tangan di dada. Ulrich benar-benar gambaran mantan suaminya, semuanya persis hanya saja bentuk bola dan manik matanya seperti Petra.
Sesampainya di halaman kafe, Petra memarkirkan mobilnya. Ia menuntun Ulrich masuk kafe dan mencari tempat duduk berkapasitas dua orang lalu memesan parfait kesukaan Ulrich dan secangkir green tea latte kesukaannya.
Di sudut lain, sisi sepasang mata melihat adegan romance antara putra dan ibunya. Matanya tak lepas fokus pada anak kecil yang sangat mirip dengannya dan makanan yang sedang di makannya, sama seperti dirinya. Ibunya yang cantik mengalahkan para model hanya saja tinggi badannya tidak terlalu tinggi seperti dirinya, cuma beda dua sentimeter.
Petra mencondongkan tubuhnya ke depan karena terhalang meja untuk me-lap mulut Ulrich dengan ibu jarinya yang belepotan karena ice cream parfait. "Kau tadi mencaci maki seseorang karena belepotan, sekarang kau sendiri malah yang belepotan."
"Tapi, kan itu tidak di sengaja ma..." Ulrich membantah sambil memalingkan wajahnya. Petra menyentil kecil hidung mancung Ulrich "Itu sama saja."
"Tch tidak mama! Itu berbeda!" sergah Ulrich tidak mau kalah.
"Iya, iya, mama akan kalah pada pangeran kecil mama." Petra mengalah lalu menyesap cairan green tea latte di cangkirnya. Setelah semuanya selesai mereka kembali pulang.
Sejauh mata memandang, mata kelamnya mengikuti kepulangan kedua orang itu hingga menghilang dari pandangan. Yang ia ketahui wanita itu adalah mantan istrinya dan anak itu, apakah anak itu darah dagingnya? Tapi jika orang lain melihatnya dengan anak itu, semua pasti tahu jawabannya, bahwa dirinyalah ayah biologisnya.
0o0
Sekitar jam 12 siang, Petra turun dari mobil audi hitam untuk menjemput Ulrich. Pandangannya menyusuri seluruh tempat dan wajah-wajah anak mungil lain keluar dari gerbang sekolah TK. Tiba-tiba pandangannya berubah menjadi tajam untuk memburu panorama jelek yang selama ini ia takutkan.
Kenyataan merealisasikan visual imajinasi dirinya akan ketakutan dan kebencian. Petra mempercepat langkah kaki jenjangnya di atas high heel setinggi tujuh cm berwarna coklat terang menghampiri panorama jelek itu.
Petra buru-buru menggendong Ulrich dari percakapannya dengan seorang pria. "Ulrich kita pulang sekarang. Sudah mama bilang jangan pernah bicara dengan orang yang tidak kau kenal, mengerti?!" himbaunya dengan nada tinggi.
"Tapi mam—" Petra tidak memberi kesempatan untuk Ulrich berbicara.
Kemudian tangan kekar berurat pria itu menahan tangan Petra namun di tepisnya. "Petra tunggu!"
Mata Petra memerah, air mata menguar dari dalam sudut matanya, "Aku harap ini adalah terakhir kalinya kau menghadapkan wajahmu pada kami!" kata Petra geram lalu berlari kecil menuju audi hitamnya tanpa menoleh sedikitpun pada lawan bicaranya. Ulrich melingkarkan tangannya pada leher Petra sambil melambaikan tangan pada pria yang baru saja di kenalnya. "Bye bye om." sahutnya sambil tersenyum, sedangkan pria itu tersenyum tipis.
Sepanjang perjalanan pulang, debar jantung Ulrich tidak beraturan, ia mencengkeram sabuk pengaman mobil. "Tch mama! Kau ingin kita mati?" Ulrich berteriak karena Petra terus-terusan menancapkan gas mobil dengan kecepatan 80 sampai 90 km/jam. Petra tak mengubrisnya.
"Mama awas!" teriakan Ulrich kali ini makin keras saat petra hampir saja menabrak palang peringatan untuk perbaikan jalan. Samar-samar Ulrich menangis, "Mama… Ulrich takut..." ujarnya sendu, "Mama kenapa?" sambungnya di tengah sesegukan tangisnya.
"Maafkan mama sayang, pikiran mama sedang kacau..." keluhnya kemudian Petra memelankan kecepatan mobilnya menuju normal menjadi 50 km/jam. Setelah menstabilkan emosinya, Petra memulai mewawancarai anaknya, "Ulrich, tadi... orang itu berbicara apa saja denganmu?"
"Om itu bilang kalau Ulrich mirip dengannya, makannya dia senang melihatku." Jawaban Ulrich berhasil membuat Petra sedikit miris.
"Dengar Ulrich, kau tidak boleh bertemu dengannya lagi." kata Petra, pandangannya tetap fokus ke jalanan.
"Kenapa ma?" Ulrich mengerutkan keningnya sambil menoleh, "Kau belum mengenalnya Ulrich." Petra menghimbau.
"Tapi dia baik ma..." ucapan Ulrich makin membuatnya sedih, "Baik katamu nak, kau tidak tahu perlakuannya pada kita dulu" kata batin Petra.
0o0
Anak lima tahun bernama Ulrich berusaha mendorong kursi menuju meja telpon. Ia berusaha menaiki kursinya dan mengambil gagang telpon lalu menekan nomor telpon mamanya.
"Hallo Ulrich, ada apa sayang?" Ulrich mendengar suara Petra dari sebrang sana, "Mama, Ulrich mau makan parfait di café om Erd. Boleh ya?"
Petra menarik napas berat, "Boleh, tapi kau pergi dengan siapa?"
"Dengan tante Rachel ma."
"Yasudah hati-hati di jalan."
"Hn, terima kasih ma." Ulrich mengangguk dan menutup telpon rumahnya. Senyumnya sumringah menatap kartu nama orang yang ia kenal waktu lalu. Levi Ackerman nama yang terpampang manis di kartu nama tersebut.
Ulrich mendorong kembali kursi menuju meja makan kemudian pergi menuju taman. Tempat pertemuannya dengan pria bernama Levi yang baru saja dikenalnya.
Sesampainya di taman, Ulrich gelisah menunggu seseorang yang memiliki janji dengan dirinya karena sudah hampir 15 menit ia menunggu namun belum menemukan sesosok orang yang dikenalnya. Kemudian tangannya tergerak untuk mengambil ranting pohon yang jatuh dan menulis namanya di pasir.
Anak itu mengukir namanya, "Ulrich, Ul-rich" bisiknya pelan menyebut namanya dalam hati. "Aku tidak tahu nama lengkap asli margaku, temanku bilang aku anak haram..." guman hati Ulrich, sampai seseorang memanggil namanya dengan suara baritone.
Bocah itu menoleh, "Om!" Ulrich berteriak kegirangan. Ia merindukan figure seorang ayah. Rambut hitam legamnya meliuk-liuk berbarengan badannya yang berlari menuju seseorang yang bernama Levi Ackerman.
"Ulrich pelan-pelan nanti kau jatuh" ucap Levi saat Ulrich meloncat dan bergelayutan padanya.
"Dame! dame! Pokoknya Ulrich kangen sama om Levi! Kenapa om Levi terlambat?" kesahnya kecewa.
"Maaf, tadi om sedang ada urusan mendadak di kantor. Sekarang ayo kita berangkat." Levi menuntun Ulrich menuju audi hitamnya menuju café yang di sarankan Ulrich.
Saat diperjalanan, tidak ada percakapan yang serius. Hanya perbincangan kecil yang menurut kedua orang di dalam mobil itu sangatlah penting. "Om, aku nyaman sekali di mobil om Levi. Sangat bersih" sahutnya senang.
"Om tidak suka ada debu sedikit, pun." kata Levi sambil menyetir.
"Benarkah? Aku juga sangat membenci debu!" Ulrich menyahut setuju.
Sesaat setelah sampai kafe, mereka langsung memesan menu, kemudian pelayan membawakan pesanan. "Ini silahkan," pelayan itu menyajikan dua parfait.
"Om, om juga memesan parfait? Kita sama lagi!" Ulrich sangat antusias, lalu mengambil sendok kecil untuk menyantap cream parfaitnya.
"Ya, kita memiliki kesamaan lagi." balasnya.
"Om aku mau tanya" kata Ulrich tiba-tiba sambil terus makan potongan strawberry parfaitnya
"Tanyakan saja,"
"Apa itu anak haram?" tanya Ulrich, membuat orang yang di tanyanya tergugu. "Kenapa kau tanyakan itu Ulrich"
"Temanku bilang aku anak haram..."
"Kenapa begitu?"
"Karena nama margaku mengikuti mama, bukan papa." ujar Ulrich lalu mengangkat alis, "Tch om, kenapa kau yang malah bertanya padaku? Jawab saja pertanyaanku!" gerutu Ulrich. Lagi Levi merasakan dirinya makin mirip dengannya, anak yang blak-blakan.
"Anak haram itu anak yang terlarang, anak yang lahir tanpa ikatan pernikahan. Tapi dengar, aku yakin anak pintar sepertimu bukan terlahir sebagai anak haram dan ibumu pasti wanita yang baik-baik"
"Benar, mama Petra memang wanita baik-baik, dia seperti malaikat" ucap Ulrich bangga.
Levi memperbaiki posisi duduknya. "Ngomong-ngomong... kemana ayah-mu?"
Mendengar ucapan Levi, Ulrich menghentikan makan parfaitnya kemudian menunduk. "Ulrich tidak punya ayah... tiap kali Ulrich bertanya pada mama tentang ayah, mama selalu bilang kalau ayah Ulrich pergi."
Levi menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. "Kalau suatu saat ayahmu datang kembali, apa yang akan kau lakukan?" tanya Levi.
Ulrich mendongak beradu mata dengan Levi. "Kalau ayah datang, Ulrich mau bertanya dengan ayah. Kenapa ayah meninggalkan mama dan Ulrich, apa Ulrich punya salah? Kalau memang Ulrich punya salah, Ulrich ingin minta maaf..."
DEG—
Levi memalingkan mukanya di depan Ulrich karena kehabisan kata. Sampai seorang pria dengan sepasang mata biru, berambut pirang dengan ikatan dibagian belakangnya menghampiri Ulrich dan Levi. "Permisi, bisa bicara sebentar." Kata pria berambut pirang pada Levi.
Levi dan Ulrich menoleh ke arah sumber suara, "Om Erd, kau mengenal om Levi?" Tanya Ulrich terkejut.
"Kau tunggu disini Ulrich, om butuh bicara dengan orang ini." Erd menghimbau sambil menunjuk Levi.
Sekarang kedua lelaki itu menautkan wajah seriusnya di ruang sang pemilik café, Erd Gin. "Sudah lama kita tidak berjumpa, Levi Ackerman." ujar Erd penuh penekanan.
"Erd Gin, langsung saja apa yang mau kau bicarakan." tukas Levi tanpa basa basi.
"Jauhi Ulrich!" Erd berkacak pinggang.
"Apa hak-mu melarangku?!"
"Aku memang tidak berhak, tapi perlakuanmu dulu pada Petra tidak bisa di maafkan! Aku bicara begini sebagai sahabatnya, aku yakin Petra juga sependapat denganku."
"Apa kau mau memisahkan ikatan antara ayah dan anak kandungnya!" ujar Levi keras.
"Cih, Kau pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu? Kau sendiri yang dulu ingin memisahkan ikatan itu. Lalu apa pedulimu pada anak yang ingin kau buang, eh? Aah... aku sudah melupakannya, mengingatnya saja aku ingin mati. Aku akan mengantarkan Ulrich pulang, jadi jangan menunggunya." Erd pergi tanpa menunggu balasan Levi dan menyenggol bahu lawannya dengan sengaja .
"Brengsek!" Levi menggertakan giginya.
Erd menghampiri Ulrich dan mengajaknya pulang "Ulrich, ayo kita pulang."
"Eeh? Ulrich akan pulang bersama om Levi."
"Tidak Ulrich, om Levi sedang sibuk jadi tidak bisa mengantarmu pulang." Erd langsung menggendong Ulrich pergi untuk pulang.
Erd dan Ulrich tiba di apartemen. Petra sudah menunggu Ulrich di depan pintu dengan wajah datar menandakan sesuatu terjadi, sedangkan Ulrich menunduk merasa bersalah. "Ulrich, semenjak kapan kau mulai berbohong pada mama?" Tanyanya datar dan Erd hanya melihatnya bingung.
"...U-Ul-rich..." Jari Ulrich misuh-misuh tidak jelas.
"Tadi mama tanya pada tante Rachel, dia tidak merasa mengantarmu pergi ke kafe om Erd." kata-kata Petra mulai di cermati oleh Erd.
"Sebentar Petra," kata Erd. "Ulrich apa ini ada hubunganmu dengan om yang tadi?" sambung Erd pada Ulrich, dan Ulrich mengangguk.
"Siapa maksudmu Erd?" Petra mengerutkan keningnya. Erd bungkam karena tidak mau Petra akan terluka mengingat nama orang yang membuatnya memiliki kenangan buruk pada masa lalunya.
"Ulrich, jangan-jangan kau bertemu dengan lelaki itu lagi, hn?!" Tanya Petra agak keras. Erd curiga Petra pernah bertemu Levi sebelumnya. Sampai Samar-samar Ulrich menangis kecil.
"Mama apa Ulrich salah betemu dengan om Levi, Ulrich tidak punya papa untuk bermain. Teman-temanku bilang aku anak haram..." Ulrich menangis menjadi tidak terkendali. Petra dan Erd menatapnya sendu.
Tangisan yang mulai mengeras membuat pintu kamar apartemen sebelah Petra terbuka. "Ulrich kenapa kau menangis, hn?" Tanya Rachel membungkuk sambil menepuk kedua bahu mungil Ulrich.
"Tante Rachel…." Ulrich memeluk Rachel.
"Mama dan om Erd jahat, tidak boleh membiarkan Ulrich bertemu om Levi yang baik..." mendengar nama Levi yang di ucapkan Ulrich, Rachel ikut miris.
Rachel mencoba bersikap tenang. "Iya tante mengerti Ulrich, ayo kita masuk ke dalam. Kita makan coklat saja ya? Tante baru saja selesai membuat coklat. Sekarang Ulrich tidak boleh menangis lagi..." Rachel menghibur Ulrich dan mengajaknya ke dalam apartemennya.
Erd menoleh pada Petra yang merasa sedih. "Petra, biarkan hari ini Ulrich menginap di tempatku. Rachel pasti akan menghiburnya" pinta Erd dan Petra hanya mengangguk letih menyetujui.
Sekarang Ulrich duduk di sofa, "Tante Rachel, apa tante tahu papa Ulrich itu bagaimana?" ucap Ulrich masih di sendunya. Rachel menoleh pada Erd yang baru saja ikut bergabung dengan mereka, jujur saja Erd juga bingung harus menjawab apa.
"Ulrich... papamu persis sepertimu. Sifatnya, tata bahasanya, rambutnya, dan dia baik..." kalimat terakhir suara Erd mengecil.
"Benarkah?" Ulrich sumringah, "Lalu papa Ulrich dimana? Kenapa papa meninggalkan mama dan Ulrich?"
DEG—
Rachel terkesiap mendengar ucapan Ulrich dan memutuskan untuk pergi ke belakang untuk mengambil coklat buatannya. Dan Erd berpura-pura mengantuk dan tiduran di sofa. Ulrich menunggu jawaban Rachel dan Erd dengan sangat antusias.
Rachel membawa nampan berisi cokelat. "Ulrich makan coklatnya, lihat ini ada bentuk kelinci, bentuk mobil juga ada." Rachel mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tidak mau! Ulrich ingin tahu jawaban om dan tante!" Ulrich menyilangkan tangannya di dada, "Setidaknya Ulrich ingin tahu nama margaku tante..." sambungnya berharap.
"Ackerman! Ulrich Ackerman!" seru Rachel, Ulrich tiba-tiba berhenti menangis. Membuat Erd yang berpura-pura tidur meloncat bangun dan menyeret Rachel pergi ke kamar mereka.
"Rachel apa yang kau lakukan, eh?" gumam Erd pelan agar tidak terdengar Ulrich.
Rachel menggigit bibir bawahnya, "Aku tidak tega Erd, apa yang akan kau lakukan jika Ulrich anakmu, eh? Aku tahu kau kecewa padaku karena aku tidak bisa memberimu anak, kan? Rahimku sudah di angkat..." kata Rachel sedih.
"Hei, hei, Rachel… itu tidak ada hubungannya. Aku sudah bilang, aku menerimamu apa adanya... jadi tolong, jangan ungkit lagi oke..." Erd ikut sedih dan semuanya makin rumit.
Sementara itu Petra termenung diruang tengahnya dengan keadaan gelap, hanya sedikit penerangan dari lampu ruangan dapurnya. Kemudian ponsel Petra bergetar yang tergeletak di meja. Ia mencondongkan badannya kedepan meja untuk mengambil ponsel.
Rachel mengirimkan video pendek Ulrich dengan catatan 'Maaf aku lupa belum mengirimkan video ini, ini adalah acara peringatan hari ayah di sekolah Ulrich beberapa waktu lalu.' Petra ingat beberapa waktu lalu ia meminta Rachel menggantikannya pergi untuk acara sekolah Ulrich karena ia sedang sibuk.
Petra kemudian mendownload video pendek Ulrich lalu menontonnya. Beberapa anak tengah membaca puisi buatannya sampai ketika giliran buah hatinya menaiki panggung. Ulrich tampak berdiri di atas panggung sambil memegang secarik kertas. Kemudian ia mulai membacanya.
Papa...
Papa dimana...
Ulrich rindu bersama bertiga dengan mama...
Papa...
Ulrich ingin melihat wajah papa...
Jika Ulrich salah, maafkan Ulrich...
Petra tidak pernah menyangka Puisi singkat sederhana buatan Ulrich bisa terasa begitu menyakitkan. Petra menutup mulut dengan sebelah tangan kemudian dengan agak lemas ia menyandarkan punggung di sandaran sofa. Otaknya tergerak untuk melakukan kilas balik kenangan menyakitkan beberapa tahun yang lalu meskipun ia sangat ingin melupakannya.
Flash back on
Levi Ackerman membuka pintu kamar yang menjadi istana dengan istrinya, Petra Ral. Yang sekarang sudah menyandang sebagai Petra Ackerman. Kemudian kedatangan Levi disambut oleh Petra sambil mengambil tas kantornya. Levi menarik kepala Petra pelan dan membawa bibirnya untuk mengecup kening istrinya, sedangkan yang di kecup menggoreskan senyumnya seindah mentari terbit.
Petra membukakan jas hitam milik suami tercintanya. "Sayang, kau pulang terlambat. Apa di kantor semakin sibuk, eh?"
"Tidak juga, hanya mampir sebentar ke rumah teman..." kata Levi singkat.
"Baiklah... kau pasti lelah. Sekarang mandi dulu lalu makan malam. Mama sudah menyiapkan makan malam untuk kita."
"Maaf Petra, bilang pada mama aku sudah makan." kata Levi shirtless sambil mengambil handuk lalu pergi mandi.
"Yasudah kalau begitu." Petra berlalu keluar kamar.
Semua sudah berkumpul di meja makan. Petra, Kuchel dan Kenny mertua Petra. Kecuali Levi. "Petra mana suamimu? Bukankah ia sudah pulang?" tanya mama Kuchel Ackerman.
"Kata Levi dia sudah makan ma..." ujar Petra sambil mengambil nasi dan lauk ke dalam piringnya.
"Lagi?" Kuchel mengerutkan keningnya.
Petra hanya tersenyum tipis, "Lain kali aku akan memaksanya makan malam bersama kita ma..." Petra berusaha meyakinkan mertuanya.
"Petra dan Levi kapan mau memberikan kami cucu? Kalian sudah menikah dua tahun lho..." pernyataan papa Kenny membuat Petra tersedak saat meminum air putih.
"Jika Tuhan mengijinkan pa." Petra tersenyum tipis. Sebenarnya mungkin dari dulu ia bisa memberikan cucu. Tapi tiap kali selesai berhubungan intim, Levi selalu menyuruhnya meminum pil KB, katanya belum siap jika memiliki anak.
"Begitu ya... kalau begitu berikan kami cucu laki-laki, tapi aku berharap sifatnya tidak seperti Levi," Kenny menghimbau, "Tapi cucu perempuan juga tidak masalah."
"Jangan dengarkan papa, Petra. Menurut mama, mau cucu laki-laki atau perempuan sama saja yang penting lucu." Kata Kuchel dengan suara pelan.
Petra tersenyum. "Akan kami usahakan. Pa, ma..." kata Petra meski tak yakin. Tapi ia akan mencoba membicarakannya dengan Levi.
Sekembalinya Petra ke kamar. Levi tengah tertidur pulas. Kebiasaan tidur Levi yang selalu shirtless membuat Petra rajin menyelimutinya. "Selamat tidur sayang," Petra mengecup kening suaminya, lalu ia pergi ke ruang kerjanya melanjutkan desainer-desainernya yang belum rampung. Sesekali Petra menatap ruang kerja Levi yang kosong didepannya yang hanya di batasi oleh dinding kaca tebal transparan.
.
.
.
Drt drt drt
Petra mendengar ponsel Levi bergetar diatas nakas. "Levi ponselmu bergetar," gerutu Petra serak dari tidurnya, masih memejamkan mata.
"Um biarkan saja..." Levi kembali tertidur dan menarik selimut. Getaran ponsel Levi bergetar lagi.
"Levi…" Petra menggerak-gerakkan badan shirtless Levi, tapi Levi tidak mau bangun. Akhirnya Petra mengambil ponsel Levi yang terus bergetar.
"Um Levi, siapa FAITH3025?" Tanya Petra sadar tidak sadar. Levi terkesiap, lalu mengambil cepat ponselnya dan pergi ke ruang kerja. Awalnya Petra heran dengan tingkah Levi tapi ia memilih kembali tidur.
Levi sempat memeriksa ruang kerjanya kalau tidak ada seorang pun yang mengikutinya. "Eh bocah. Ada apa malam-malam begini menelpon, eh?" Tanya Levi.
"Levi-san... password apartemen-mu apa?" Tanya seorang lelaki di seberang sana keliyengan.
"Hei, kau mabuk Eren. Aku pergi kesana oke!" kata Levi khawatir.
"Tidak usah Levi-chan he, he, he..." Eren tertawa kecil tidak jelas di seberang sana, "Cepat mana password-nya" sambungnya.
"Tanggal ulang tahunmu dan aku bocah ditambah 11," kata Levi pelan takut terdengar oleh Petra. Kemudian telepon terputus. "Dasar bocah sialan, tidak bilang terima kasih..." Levi tersenyum tipis lalu kembali ke kamar untuk tidur.
Sedangkan ditempat lain, "Eeh... dia bilang tanggal ulang tahunku kalau begitu 30, ulang tahunnya 25, ah dua angka lagi apa ya lupa..." Eren meremas kepalanya yang pusing, "...Waktu itu dia pernah bilang tapi lupa. Aah… aku tahu, aku tahu... 1 1 artinya kau dan aku." Eren berhasil membuka password apertemen Levi. Kemudian pemilik manik mata hijau itu tersungkur karena tersandung undakan pintu lalu mengesot menuju kamar dan tertidur pulas.
0o0
Petra, aku ada urusan mendadak di kantor. Maaf tidak bisa sarapan bersamamu dan juga mama dan papa. Salamku pada mereka—Levi.
Petra membaca catatan yang terpampang manis didepan cermin riasnya lalu pergi ke kamar mandi. Ia memaklumi Levi yang kadang pergi pagi-pagi sekali untuk bekerja.
Setelah mengeringkan badannya, Petra bersiap-siap dan pergi menuju dapur untuk sarapan. "Petra, dimana Levi?" Tanya Kuchel.
"Dia sudah pergi pagi-pagi sekali, bahkan sebelum aku bangun." kata Petra sambil mengoleskan roti dengan selai kacang kesukaannya.
Alis Kuchel terangkat, "Apakah dia benar-benar sibuk?"
"Sepertinya begitu, tadi malam saja ada yang menelponnya." kata Petra, "Kalau begitu aku pergi dulu ma" Petra melambaikan tangannya setelah memakan rotinya.
"Hati-hati nak." Kuchel tersenyum lebar pada menantu kesayangannya.
.
.
.
Levi menepuk keras bokong lelaki yang tertidur di kasur apartemennya, membuat pemilik manik hijau dengan poni depan belah tengah v terbalik itu terduduk dari tidurnya sambil mengucek matanya.
Levi kemudian duduk disamping Eren, "Eh bocah, sudah ku bilang kalau ingin mabuk bilang padaku. Kalau terjadi sesuatu bagaimana, eh?"
"Aku sudah dewasa Levi-chan..." Eren menggerutu kemudian menguap puas.
"Ya, ya, terserah kau saja bawel. Sekarang makanlah. Aku sudah membelikan makanan cepat saji." Levi mengintruksi.
"Kau baik sekali Levi-chan..." goda Eren.
"Masih terlalu pagi untuk menggodaku burger keju." Levi mengusap pucuk kepala Eren dan mengecup bibirnya sekilas, "Setelah sarapan dan mandi, pergi ke kantor bersamaku." lanjutnya.
Eren mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya merasa malu atas ciuman 'Morning kiss' dari seme-nya.
.
.
.
"Levi-san jangan ngebut-ngebut!" Eren berseru ketakutan ketika Levi menyetir mobil seperti pembalap. Kemudian Levi semakin menancap gas audi hitamnya dan menangkap wajah Eren yang sudah memerah karena ketakutan setengah mati sambil meremas sabuk pengaman.
"Itu yang ku inginkan bocah. Wajah merahmu..." gumam Levi menyeringai.
"Levi-san itu tidak lucu sama sekali!" Eren memalingkan wajahnya kesal masih dengan rasa ketakutan.
Tidak lama kemudian ponsel Levi berdering dan Levi segera menurunkan kecepatan mobilnya menjadi normal. Lalu sebelah tangan Levi menekan tombol earphone bluetooth ditelinga kirinya. "Halo Petra?" kata Levi sambil menoleh pada Eren, untuk mengintruksi agar Eren tidak bersuara. Tapi entah mengapa membuat dada Eren menjadi sesak.
"Iya aku sudah sarapan tadi. Iya kau juga. Hn..." Levi kembali menekan tombol earphone bluetooth untuk menutup teleponnya.
"Petra-san?" tanya Eren, menyebutkan nama perempuan itu saja dada Eren menjadi sakit.
"Hn. Kau cemburu?" Levi balik bertanya sambil menyetir.
"Tidak, justru aku kasihan dengannya. Dia hanya bingkai untuk semua orang agar hubungan kita tidak terbongkar." Eren tersenyum tipis.
Levi menarik bibirnya ke atas, menampilkan seringaian, "Kalau begitu kau harus berterima kasih padanya."
"Ya, seharusnya begitu." Eren tersenyum miring.
.
.
.
"Eren kau mau pergi kamana?" Tanya wanita berambut hitam pendek sebahu yang selalu memakai syal merah walaupun sudah lusuh.
"Ke ruang Levi-san. Aku mau mengantarkan berkas-berkas." kata Eren.
"Kalau begitu, bisakah kau menemaniku pergi belanja sore ini?" pinta Mikasa, wanita yang memakai syal merah lusuh itu.
"Aku sibuk Mikasa." jawaban Eren membuat wanita itu kecewa, "Tapi akan aku usahakan." sambungnya. Pernyataan Eren membuat Mikasa seperti terbang ke langit ke tujuh.
Kemudian Eren sampai pada ruangan sang direktur dan mengetuk pintunya.
Suara ketukan pintu sampai ke telinga Levi, "Masuk."
Eren membuka Pintu dan menghampiri direkturnya, "Levi-san tanda tangani map yang berwarna merah dan biru, lalu ini laporan perusahaan bulan ini."
Levi membuka map dan melihat kertas laporan halaman demi halaman, "Baiklah. Bocah temani aku disini, aku kesepian." Eren mengabulkan permintaan Levi dan duduk di sofa sedangkan Levi sibuk menandatangani berkas-berkas dan membaca laporan bulanan dan berhasil membuat Eren merasa bosan.
"Perlu ku bantu Levi-san? Sebentar lagi jam makan siang." Kata Eren sambil menghampiri direkturnya. Kemudian Eren berdiri dekat kursi panas Levi dan ia membungkuk untuk ikut mengamati berkas-berkas, sampai dada bidang Eren menyentuh bahu Levi. Levi tidak membiarkan kesempatan itu terbuang secara cuma-cuma, sebelah tangan Levi tergerak untuk melingkarkan tangannya pada pinggul Eren, sontak membuat Eren tersipu malu.
Gagang pintu kantor tiba-tiba bergerak, "Selamat siang! Kejutan!" Eren dan Levi terkesiap dan saling menjauh. Nyaris saja jantung Eren mencuat keluar.
"Eh kalian sedang apa?" Tanya wanita memakai blouse coklat dan rok span hitam dengan high heel setinggi tujuh sentimeter.
"P-Petra-san!" seru Eren terkejut.
"Dia hanya sedang membantuku, tidak lebih." sergah Levi dengan cepat.
"Benarkah?" Petra terlihat sedikit bingung lalu mengabaikannya.
Levi menghimbau, "Petra, lain kali ketuk pintu dahulu, sebelum masuk."
Petra menyadari kesalahannya, "Maafkan aku, aku hanya ingin memberikan kejutan. Ah iya ini... aku membawakan pizza, sudah lama kita tidak makan bersama."
"Kalau begitu aku keluar dulu." ujar Eren.
"Kenapa kau tak bergabung saja, Eren." ajak Petra, "Kebetulan aku memesan banyak. Ini!" Petra menunjukkan dua kotak datar pizza.
Levi bersuara, "Kau ikut bergabung saja Eren, lagi pula sekarang sudah masuk jam makan siang."
"Uhm baiklah, kalau begitu aku ikut bergabung..." mendengar persetujuan Eren, pun Petra senang.
Akhirnya mereka duduk di sofa kantor. "Eren, bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berjumpa." kata Petra setelah menelan pizza.
"Aku baik-baik saja Petra-san, anda sendiri?" Eren balik tanya.
"Aku juga baik-baik saja Eren. Oh iya, saudarimu Mika—" ucapan Petra terpotong karena suara ketukan pintu.
"Masuk." Levi mengintruksi dengan cepat.
Perawakan yang baru datang itu seorang wanita tinggi dengan syal khas merahnya, "Mikasa!" seru Petra, "Bergabunglah bersama kami." Lanjutnya.
Mikasa mengangguk setelah menyimpan laporan-laporan lain di meja Levi, "Maaf aku mengganggu makan siang kalian..."
"Tidak perlu sungkan, Mikasa. Makanlah selagi hangat." kata Petra setelah Mikasa duduk dihadapannya.
"Baik, Petra-san."
Baru saja Mikasa akan memakan pizza namun sisi matanya melihat Eren, "Eren, di mulutmu ada saus..." Mikasa buru-buru melapnya dengan tisu.
"Mikasa, aku bisa sendiri." kata Eren sambil menjauhkan tangan Mikasa dari mulutnya. Dan Levi menatapnya dengan tajam.
Kemudian Levi menarik badan Petra mendekat, "Petra, sepertinya nanti sore aku akan pergi ke sauna. Apa kau mau ikut? Sepertinya kita sudah lama tidak jalan bersama." kata Levi, namun sisi matanya ke arah Eren.
"Aku mau Levi." sahut Petra senang.
"Baguslah kalau begitu," Levi mengecup pucuk rambut cokelat terang Petra.
Eren memandangnya kesal, "Mikasa, nanti sore aku akan menemanimu belanja, nanti aku traktir makan." kali ini mata Eren mengarah ke Levi. Mikasa tersenyum tipis di balik syalnya, ia tahu aksi itu untuk membuat saling cemburu antara keduanya. Mikasa mengetahui rahasia mereka.
.
.
.
"Mikasa kau sudah belanja semua yang kau butuhkan?" Tanya Eren, Mikasa mengangguk. "Kalau begitu bagaimana kalau kita ke sauna? Otot-otot ku butuh rileks..." kata Eren sambil memukul-mukuli pelan bahunya.
"Kau ingin merileks-kan otot-ototmu atau bertemu dengan Levi-san, eh?" Tukas Mikasa tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya.
"A-apa Mikasa, tentu saja aku ingin merileks-kan badan!" Eren mendengus.
"Kau tidak bisa membohongiku Eren..." gumam Mikasa pelan, "Mulai berkencanlah dengan wanita lain, asal jangan dengan lelaki." Sambungnya.
"Sshh... Mikasa jangan keras-keras!" Eren cemas sambil membungkam mulut Mikasa dengan tangannya.
Mikasa melepas paksa tangan Eren yang membungkam mulutnya, "Eren berubahlah, kasihan Petra-san kalian bohongi..."
Aura wajah Eren mendadak kesal, "Mikasa aku akan pulang duluan, kau membuatku badmoodhari ini." Eren bergegas pergi dengan langkah besar.
"Eren…" Mikasa memandang punggung Eren yang mulai menghilang dari pandangan.
.
.
.
"Levi, ini milik siapa? Eh Eren?" sahut Petra membuka bagasi mobil berisi koper bernama Eren. Kemudian Levi menghampiri Petra dengan tergesa menuju belakang mobil yang terparkir di area sauna.
Levi mencoba bersikap tenang, "Iya itu miliknya, tertinggal karena kemarin terburu-buru pulang..."
"Memangnya kemarin dia pergi kemana sampai membawa koper?" Tanya Petra penasaran.
"Kita lupakan masalah si bocah ingusan itu. Kau tahu sendirikan sifatnya, eh?" Levi mencium bibir ranum Petra cepat, membuat Petra melupakan tentang koper. Sepanjang perjalanan dari sauna, tidak ada topik lain yang dibicarakan. Dengan sikap Petra yang lain dari biasanya, membuat Levi penasaran.
Levi memulai pembicaraan ditengah menyetirnya, "Petra, kenapa kau diam saja. Biasanya kau ingin pergi ke kafe temanmu setelah pergi ke sauna."
"Aku sedang malas saja..." kata Petra datar, matanya melirik keluar menuju lalu lintas.
"Apa ada yang membebani pikiranmu, eh?" ucap Levi hati-hati.
Petra menoleh dan melihat suaminya pelan, "Levi..."
"Hn,"
"Papa dan mama ingin segera memiliki cucu dari kita, aku bingung harus bilang apa pada mereka."
"Bilang saja aku belum siap untuk memiliki anak. Dan jangan lupakan untuk selalu minum pil KB." Ujar Levi mengalihkan perhatiannya dari jalanan untuk sesaat menuju Petra.
Petra menghela napas berat, tidak ada 'kata tidak' bagi Levi. Kemudian Petra bertanya lagi pada Levi, "Levi, aku ingin bertanya padamu."
Levi menoleh sekilas pada Petra, "Tanyakan saja."
"Kau dan Eren dekat sekali, tidak mungkin kalian memiliki hubungan khusus, kan?" Petra tertawa kecil menebak. Levi terkesiap dan mengerem mendadak. Membuat mobil audi hitam Levi memaksa berhenti, kemudian Levi dan Petra membentur dashbor mobil.
Levi buru-buru menoleh, "Petra kau baik-baik saja, eh?" Levi mengangkat dagu Petra yang duduk di sebelahnya.
"Aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja." Petra tersenyum tipis.
"Kau tidak baik-baik saja, bibirmu berdarah." kata Levi cemas.
"Kau yang seharusnya dikhawatirkan, kepalamu berdarah Levi." sahut Petra khawatir sebelum akhirnya dia tumbang sendiri, Petra pingsan dan hidungnya mimisan.
.
.
.
Levi merangkul Petra dan menuntunnya berjalan, "Kami pulang." sahut Levi sambil mengetuk pintu. Tidak sampai lima menit, pintu itu pun terbuka. "K-kalian kenapa?" Kuchel cemas anak dan menantunya beberapa bagiannya di perban.
"Tadi ada kecelakaan kecil ma."
"Tapi kalian berdua baik-baik saja, kan? Tidak ada yang parah, kan?" Kuchel sangat khawatir.
"Untungnya tidak ada." singkat Levi.
Kemudian Levi membawa Petra ke kamar. Ia membaringkan Petra di atas ranjang dan menyelimutinya. "Istirahatlah..." Petra mengangguk, "Kau juga, Levi."
Levi duduk disamping Petra, ia menghela napas berat. "Petra maaf aku tidak bisa merawatmu, besok aku akan pergi ke Prancis. Ada beberapa pekerjaan disana."
"Tidak apa-apa. Kalau memang penting bagi pekerjaanmu, pergilah..." Petra tersenyum sambil menahan sakit. Levi tersenyum balik walaupun sangat tipis sekali
"Berapa lama?" Tanya Petra.
"Seminggu."
0o0
Tiga hari berlalu.
Petra penasaran pada hari kecelakaan kecil beberapa hari yang lalu. Padahal dirinya hanya bercanda tentang hubungan Eren dengan suaminya, tapi ekspresi Levi waktu itu sangat serius hingga membuatnya mengerem mendadak. Levi kali ini cukup ceroboh tidak menghapus data rekaman black box mobil miliknya.
Petra memasukan memory card black box mobil Levi ke laptopnya yang ia ambil tadi. Dari sekian banyak folder, ia memilih folder tahun, bulan dan tanggal yang menjadi kecurigaanya. Petra mengira-ngira tanggal seminggu yang lalu dimana ia menelponnya untuk tidak lupa makan.
Setelah menekan touch pad laptopnya, layar laptop Petra menampilkan isi video black box tanggal yang ia pilih. Black box milik mobil Levi dual camera front dan rear, dua kamera yang berlawanan. Memungkinkan kronologi didepan maupun didalam mobil dapat terekam.
"Iya aku sudah sarapan tadi. Iya kau juga. Hn..." Levi kembali menekan tombol earphone bluetoothuntuk menutup teleponnya.
"Petra-san?" tanya Eren, menyebutkan nama perempuan itu saja dada Eren menjadi sakit.
"Hn. Kau cemburu?" Levi balik bertanya sambil menyetir.
"Tidak, justru aku kasihan dengannya. Dia hanya bingkai untuk semua orang agar hubungan kita tidak terbongkar." Eren tersenyum tipis.
Levi menarik bibirnya ke atas, menampilkan seringaian, "Kalau begitu kau harus berterima kasih padanya."
"Ya, seharusnya begitu." Eren tersenyum miring.
Seketika kedua tangan Petra membungkam mulutnya sendiri. Tubuhnya menjadi gemetaran. Dadanya menjadi sesak, seolah-olah lupa bagaimana caranya bernapas. Mata lebarnya memerah dan nanar memandangi kosong dilayar laptopnya dengan beberapa bulir air mata yang jatuh bergulir di pipinya.
"Kalian semua jahat!" Petra berteriak sambil meremas dadanya hingga buku jari-jarinya memutih, "Aku… hanyalah sebuah bingkai..." setelah sekian lama ia menjalani hidup bersama Levi dengan suka duka. Kini ia baru tahu bahwa semuanya hanya sandiwara. kemudian Petra mencoba menelusuri satu per satu folder isi black box itu.
Levi sedang menindih Eren di kabin belakang mobil. Ia beberapa kali mencium bibir Eren dengan nafsu hingga suara erangan mengiringi hujan lebat di luar mobil. Sampai Levi melepaskan ciumannya dan meminta Eren untuk mengemut penisnya yang sudah mendesak dibalik celana bahannya.
Eren menyeringai, "Oh, benarkah?" kata Eren sambil menggoda.
"Cepat lakukan! Puaskan aku bocah!" Levi terengah-engah sambil membuka gesper dan ritsleting. Kemudian menarik paksa kepala Eren menuju selangkangannya, untuk sesuatu dia hisap.
Petra langsung mengganti tanggal lebih jauh ke belakang dua tahun lalu, ia jijik melihat dan mendengar erangan pasangan yang menyimpang itu. Terlebih suaminya sendiri dan seseorang yang sudah Petra anggap sebagai adik laki-lakinya. Rasanya sakit sekali. Air mata tak henti-hentinya jatuh dari mata amber Petra.
Eren membuka suara, "Wanita mana yang akan kau jadikan bingkai keluargamu Levi-san, agar hubungan kita tak terbongkar. Kau tidak mau 'kan orang tua mu curiga kalau kita selalu bersama. Terutama CEO, ayahmu. Dia benar-benar orang yang sangat tegas, bisa-bisa aku ditendang menghilang dari dunia ini.
Levi mengusap lembut pucuk kepala Eren dengan sebelah tangannya, sedangkan tangan lainnya untuk menyetir. "Kau tenang saja Eren, akan ku pastikan semua itu tidak akan pernah terjadi. Ada wanita yang mengagumiku, dia seorang desainer. Cantik, pintar masak dan tahu standar kebersihanku, mungkin dia pernah menguntitku hingga tahu standar kebersihanku.
Eren menghela napas panjang, "Lalu setelah menikahinya apa kau akan melupakanku?"
"Entahlah, kau tahu aku bukan gay seutuhnya, tapi bisexual."
Eren mengangkat alisnya kesal sambil mencibir, "Dasar menyebalkan!Berjanjilah kau tidak melakukan seksual dengannya."
"Mungkin aku melakukan seksual dengannya kalau kau membuatku marah, wanita itu yang akan menjadi pelampiasanku. Jadi jangan buat aku marah."
"Akan aku usahakan untuk tidak membuatmu marah, Levi-san."
"Brengsek! Jadi selama ini kau hanya melakukan seksual denganku, karena kau sedang marah dengan Eren! Aktingmu bagus sekali Levi Ackerman!" kata Petra geram. Ia tak mau lagi melihat adegan menjijikan dan percakapan yang begitu menyakitkan.
Kemudian Petra menuju ruang kerja Levi untuk menemukan fakta-fakta lain. Ia menemukan berkas-berkas penyewaan apartemen. Apartemen itu bernama Shigansina. Tidak jauh dari mansion keluarga Ackerman yang sedang ia tinggali.
Petra ingin sekali pergi kesana mumpung Levi sedang keluar negeri, tapi percuma jika tidak ada password-nya. Petra berpikir keras. Ia memijit-mijit dahinya dan melihat sekeliling ruangan. Ia menyadari kalau ruangan kerjanya memiliki cctv kemudian segera pergi mengecek di ruangan khusus kontrol cctv.
Petra mengecek tanggal ketika malam-malam ada yang menelpon Levi di layar kontrol. Ia mengingat saat itu yang menelpon adalah FAITH3025.
Sebagai bagian dari keluarga Ackerman yang berada. Semua teknologi sudah mumpuni menjadi pelengkap rumah besar mewah mereka, salah satunya cctv yang sudah dilengkapi dengan audio rekam, berwarna tidak hitam putih dan bisa terhubung lewat ponsel. Namun Petra mengurungkan diri untuk menghubungkan cctv dengan ponselnya. Tidak ada sesuatu yang perlu di awasi. Tapi, setelah kejadian seperti ini, Petra ada niatan untuk menghubungkan cctv ruang kerjanya ke ponselnya.
"Apa jangan-jangan itu Eren?" sambung Petra menebak. Sampai akhirnya ia menemukan rekamannya.
Levi memeriksa ruang kerjanya kalau tidak ada seorang pun yang mengikutinya. "Eh bocah, ada apa malam-malam begini menelpon, eh?" Tanya Levi.
"Levi-san... password apartemen-mu apa?" Tanya seorang lelaki di seberang sana keliyengan.
"Hei, kau mabuk Eren. Aku pergi kesana oke!" kata Levi khawatir.
"Tidak usah Levi-chan he, he, he..." Eren tertawa kecil tidak jelas di seberang sana, "Cepat mana password-nya" sambungnya.
"Tanggal ulang tahunmu dan aku bocah ditambah 11," kata Levi pelan takut terdengar oleh Petra. Kemudian telepon terputus. "Dasar bocah sialan, tidak bilang terima kasih..."
Petra mengerutkan keningnya dan berpikir, "Ulang tahun Levi tanggal 25, ditambah 11, apa mungkin 'ulang tahunmu' yang di maksud Levi adalah tanggal ulang tahun Eren..." pikir Petra.
"FAITH3025, apa angka 30 itu tanggal lahir Eren ya, besok aku coba ke apartemen Shigansina." lanjutnya. Hari ini Petra bagaikan stalker.
0o0
Esoknya Petra mendatangi Apartemen Shigansina. Ia menekan tombol bel apartemen milik Levi tapi tidak ada jawaban. Petra berpikir dengan kepergian Levi ke Prancis ada Eren yang tinggal di Apartemennya.
Dua kali... tiga kali... Petra menekan bel tapi tidak ada respon. Ia berdiri dengan kebingungan di depan pintu. Ia memikirkan untuk nekat apa tidak untuk menekan tombol dial yang tersedia. Petra menguasai dirinya, kemudian dengan keberanian besar ia menekan tombol dial dengan mengingat percakapan antara suaminya dan Eren lewat cctv.
"Ulang tahunmu [30], ulang tahunku [25] di tambah angka [11]" ujar Petra pelan sambil menekan tombolnya. Mata Petra melebar saat suara digital tanda pintu berhasil terbuka.
Petra menghirup oksigen banyak-banyak sebelum masuk. Ia melepaskan high heel-nya sambil menatap nanar seluruh ruangan apartemen yang terkutuk baginya. Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau Petra tengah mengunjungi, hanya perabotan yang menjadi saksi bisu atas kehadiran Petra.
Kemudian langkahnya menuju kamar, dibukanya lemari yang berisi baju Levi dan bocah burger keju. Ia hanya menatap kosong beberapa kemeja yang tergantung didalam lemari. Tangannya tergerak untuk mengambil salah satu kemeja Levi dan membawanya kedalam pelukannya sambil mencium aroma khas Levi.
Tapi ia harus menerima kenyataan. Levi bukanlah seorang suami yang setia, bukan lagi Levi yang selalu memberi kejutan yang mengesankan dan bukan lagi Levi yang memberikan seluruh cintanya untuknya.
Kemudian ia menaruh kembali kemeja yang ia ambil tadi ke dalam lemari. Ia memilih untuk duduk di sisi ranjang yang kosong dan bersih. Petra termenung dan tiba-tiba sebutir air mata jatuh bergulir di pipinya. Dengan pelan Petra menghapus air mata itu dengan punggung tangan.
Petra merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Ia menelpon Mikasa mengingat Levi pergi ke Prancis dan menemukan koper Eren di bagasi mobil Levi waktu lalu. "Halo Petra-san." sahut Mikasa dari sebrang sana.
"Mikasa, apa Eren ada di rumah sekarang?" Tanya Petra tanpa basa basi.
"Eren pergi ke Prancis Petra-san, ada ap—" Petra segera memutuskan jaringan telponnya. Bulir-bulir air mata membasahi pipinya lagi. Di sudut kamar itu ada bingkai foto Levi dan Eren. Levi seperti biasa dengan wajah datarnya sedangkan Eren tersenyum lebar dengan jari huruf v di depan mata bulatnya.
"Aku tahu Levi sebagai lelaki dan Eren sebagai perempuanya. Entahlah... aku bingung, aku bukan jenis menyimpang seperti mereka. Aku memiliki suami menyimpang..." batin Petra sambil tertawa miris di tengah tangisannya.
Pikiran pertama yang Petra pikirkan adalah bercerai. Tapi rasa cintanya terhadap Levi enggan untuk berpisah dengannya. Otak dan pikirannya sekarang sedang kacau dan ia memutuskan untuk pulang ke rumah dan beristirahat sejenak untuk menenangkan diri dari kepahitan kisah hidup dan cintanya. Ia tidak tahu pilihan apa yang ia pilih nantinya. Memilih untuk bertahankah atau berpisah.
.
.
.
Tiga hari berikutnya.
"Levi, kau sudah pulang..." sapa Petra datar. Seperti biasa Levi mengecup kening Petra jika sudah datang kerumah dari pekerjaannya. "Kau pintar sekali berakting Levi..." gumam hati petra sambil tersenyum tipis mengabaikan yang biasa ia ucapkan untuk mandi, makan bersama keluarga dan menyuruhnya beristirahat.
"Petra kau kenapa?" tanya Levi menyadari sesuatu yang aneh dengan Petra sambil mengusap sisi rambut cokelat terang sebahu wanitanya.
"Tidak apa-apa..." jawab Petra seadanya sambil memalingkan wajah dengan orang didepannya. Tapi di sisi lain, Petra juga menyalahkan diri sendiri karena mengabaikan Levi dan membuatnya sakit. Ia masih belum mau menerima kenyataan itu. Petra masih mencintai suaminya.
0o0
Hari sabtu dan minggu adalah hari senggang bagi pekerja kantoran tapi Levi tidak ada di rumah. Petra memberanikan diri untuk pergi ke apartemen Shigansina, ia yakin Levi berada disana. Petra sudah memikirkan matang-matang untuk merebut Levi kembali dari orang yang ia anggap menjadi orang ketiga di rumah tangganya. Ia ingin Levi kembali ke jalan titik lurus, bukankah itu tugas seorang istri meluruskan dari yang menyimpang walaupun ia seperti orang konyol. Orang ketiganya adalah seorang lelaki.
Sekarang Petra sudah berdiri didepan kamar apartemen milik suaminya. Ia menekan bel dan menunggu untuk beberapa saat.
Kemudian suara bel apartemen sampai pada dua pasang telinga, Levi dan Eren. Mereka tidak peduli dan melanjutkan apa yang sedang mereka lakukan di atas ranjang king size-nya.
Eren baru akan mengemut puting seme-nya tapi, suara bel apartemen berbunyi lagi. "Oh damn shit! Siapa yang datang di saat nikmat seperti ini!" Eren kesal, "Levi-chan, kau tidak lupa 'kan membayar semua tagihan listrik, eh?"
"Tentu saja, bahkan aku sudah membayar tagihan listrik untuk beberapa tahun kedepan. Kau tunggu disini, aku akan melihatnya." Kata Levi sambil menurunkan kaos abu-abu yang tersingkap tadi. Levi tersentak ketika matanya melihat layar digital yang terpampang di sisi pintu dalam apartemennya. Orang yang menekan bel pintu itu ternyata Petra, wanita yang dijadikan alat sebagai istrinya.
Levi menoleh pada Eren dengan panik, "Burger keju sembunyilah! Istriku datang."
Eren terkejut, "A-Apa! Darimana dia tahu kalau kita ada disini, eh?"
"Bawel cepat sembunyi! Lalu cepat keluar!" Levi mengintruksi, sisi mata Levi melihat Eren berlari menuju dapur sambil memakai celana dari telanjang bulatnya. Kemudian Eren terhenti, ia melupakan kaosnya. "Ah tidak! Kaos-ku ketinggalan!" Eren kembali lagi ke kamar untuk mengambil kaosnya.
Levi merasa Eren sudah pergi ke dapur untuk sembunyi tanpa melihat Eren kembali ke kamar. kemudian Levi membuka pintu apartemennya.
"Shit, shit, damn shit! Bagaimana ini?!" Eren tak henti-hentinya berseru kata-kata kotor. Ia benar-benar panik sekaligus bingung memikirkan tempat persembunyian yang aman. Akhirnya ia memilih sembunyi di kolong ranjang king size tapi, sebelumnya ia menyembunyikan foto selfie-nya dengan Levi.
Levi mencoba bersikap wajar dan tenang saat ia membuka pintu, "Petra... bagaimana kau tahu aku disini, eh?"
"Eren yang memberitahuku," Petra berbohong. Lalu didalam hati Levi bergumam bahwa, Eren tidak mungkin melakukan hal bodoh untuk memberitahu apartemennya tanpa sepengetahuannya. Itu sama saja dengan bunuh diri. Petra tidak cukup pintar untuk berbohong. Yang ia lakukan saat ini adalah mengikuti alur skenario yang dimainkan oleh Petra.
Eren mendengarnya dan alisnya menyatu dibawah kolong sana, "Dia berbohong!" bisik Eren pelan di bawah ranjang.
Kemudian Levi menyuruh Petra untuk masuk dan duduk di sofa. "Levi, mengapa kau tidak bilang kalau kau menyewa apartemen, apa kau bosan dengan rumah kita, eh?" gerutu Petra setelah duduk.
"Aku ingin memberimu kejutan Petra. Selain itu, apartemen ini untuk tempat aku lembur kerja." Levi mengarahkan matanya ke tempat lain. Kemudian menawarkan minuman, "Kau mau minum apa Petra?"
"Seperti biasa, air putih." Tiba-tiba saja mereka bertingkah kaku.
Levi pergi ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih lalu duduk disofa. Petra mengambil gelas berisi air putih dan meminumnya. Ia meminum air sambil melirik Levi, sampai Petra tidak menyadari bahwa tetesan air putih mengalir dari sudut bibirnya dan mengenai dada. Petra buru-buru mengelapnya dengan tisu dari tasnya. Jujur saja Levi sedikit tergoda.
Petra mengedarkan pandangannya menuju seisi ruangan apartemen, tidak ada ciri-ciri orang lain selain Levi. Dan ia tergerak untuk pergi menuju kamar. "Levi, apa kamar ini untuk kita?" tanya Petra basa basi.
"Oh, ya... untuk kita..."
Kemudian Petra berjalan menuju lemari. Ia ingin tahu ekspresi apa yang akan ditunjukkan oleh Levi ketika dia ketahuan berselingkuh. Petra baru akan membuka lemari tapi segera di tahan oleh Levi karena banyak baju Eren. "Tidak ada sesuatu yang penting didalam sini, Petra..."
Petra kemudian memeluk Levi erat sambil menempelkan kepalanya di dada besar Levi. "Levi, aku rindu padamu,"
Levi menggerakkan tangannya untuk mengusap kepala Petra, "Aku juga sangat merindukanmu, Petra."
Petra melepaskan pelukkannya dan mendongak, "Benarkah? Jujur saja aku meragukanmu Levi..." kata Petra dan membawa tubuhnya untuk duduk di sisi kasur king size-nya.
Levi sedikit tersentak lalu menyusul Petra untuk duduk di sisi kasur. "Kenapa kau merasa ragu padaku, eh?"
"Entahlah, aku merasa kau semakin menjauh dari sisi-ku."
"..." tidak ada ucapan yang berarti dari Levi.
Petra menoleh lemah pada lawan bicaranya, "Temani aku tidur sebentar sampai sore nanti. Lalu aku akan pulang..." Petra membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan meminta Levi untuk berbaring disampingnya. Levi menurut dan menarik tubuh Petra untuk mendekat, sampai hidung Petra bisa mencium aroma maskulin Levi. Kemudian ia memejamkan mata meskipun ia tahu, tubuh Levi mungkin disampingnya sekarang, tapi hatinya untuk orang lain.
Sekitar tiga jam Levi sudah menemani Petra tidur. Posisi tidur mereka tidak berubah, masih saling berhadapan. Levi yang pertama membuka mata, sedangkan mata Petra masih terpejam tidur. Kemudian Levi tergoda untuk mengamati wajah damai yang katanya istrinya. Jari telunjuknya bergerak untuk menelusuri setiap lekuk wajah Petra dalam diam. Lalu mata kelamnya melihat Petra yang meneteskan air mata dalam tidur.
"Iya aku sudah sarapan tadi. Iya kau juga. Hn..." Levi kembali menekan tombol earphone bluetoothuntuk menutup teleponnya.
"Petra-san?" tanya Eren, menyebutkan nama perempuan itu saja dada Eren menjadi sakit.
"Hn. Kau cemburu?" Levi balik bertanya sambil menyetir.
"Tidak, justru aku kasihan dengannya. Dia hanya bingkai untuk semua orang agar hubungan kita tidak terbongkar." Eren tersenyum tipis.
Levi menarik bibirnya ke atas, menampilkan seringaian, "Kalau begitu kau harus berterima kasih padanya."
"Ya, seharusnya begitu." Eren tersenyum miring.
"Terima kasih..." ucap Levi pelan nyaris tak bersuara untuk mewakilkan Eren, ia tidak bisa memberikan keadilan apapun untuk wanita dihadapannya. Kemudian ia melangkah pergi menuju dapur untuk memasak. Satu jam lamanya Levi memasak dan menyiapkan makanan. Sampai Eren yang ikut tertidur tadi di kolong ranjang terbangun dan ikut mencium bau aroma makanan, ia juga lapar. Dia terjebak indahnya dunia milik orang lain yang menguras emosinya.
Levi kembali menuju kamar untuk membangunkan Petra. Ia menyentuh bahu kecil istrinya dan dia pun terbangun. Petra mengucek matanya dan duduk dari baringannya.
"Pergilah ke dapur, aku sudah masak." Kata Levi kemudian pergi ke dapur. Lalu Petra segera menyusulnya setelah membasuh wajahnya.
Selama mereka makan tidak ada percakapan yang berarti di antara mereka. Tidak ada topik pembicaraan yang menjadi bahan obrolan. Hanya suara sendok yang sesekali menyentuh piring.
Setelah Petra selesai makan, ia pun bersiap pulang. Mengambil tas dan memakai sepatu high heels coklatnya. Sebelum Petra keluar apartemen, ia berharap Levi akan menghentikannya. Dan ia pun berbalik dan bertanya, "Apa kau yakin tidak mau pulang bersamaku?"
"Kau pulang saja duluan, pekerjaanku masih menumpuk disini." Kata Levi dusta.
"Baiklah kalau begitu... jaga kesehatanmu." Levi mengangguk lalu Petra keluar dari apartemen.
Levi menutup pintu dan duduk di kursi dapur. Kemudian mendadak Eren keluar dari kamar dan menyahut "Aku juga lapar." Levi terkejut dan berdiri dari duduknya sampai kursinya terseret kebelakang.
"Jadi selama ini?!"
"Yah, begitulah..." kata Eren rileks, "Asal Levi-san tahu, aku tidak pernah memberi tahu tentang apartemen ini." Eren meneguk air putih yang ia tuang dari dispenser.
"Aku tahu, jika kau memberitahunya sama saja dengan kau bunuh diri. Semenjak kembali dari Prancis, tingkah Petra berubah... seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Mungkin Petra sudah tahu hubungan kita..." kemudian Levi membuka minuman berkarbonasi dan meneguknya.
Mata Eren melebar, ia tidak siap jika hubungannya terbongkar secepat ini. Walaupun ia tahu, sepintar-pintarnya ia menyembunyikan sesuatu, akhirnya akan ketahuan juga. "B-Bagaimana bisa Petra-san tahu, eh?"
"Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahuinya... dan aku berharap dia tidak membocorkannya pada kedua orang tua-ku."
Eren meremas kepalanya penuh dengan kepanikan. "Lakukan sesuatu, Levi-san! Jangan diam saja!"
Levi menaruh keras kaleng minuman karbonasi yang ia minum tadi di atas meja, "Kau pikir aku tidak panik, eh?! Jika memang hal itu terjadi, akulah orang yang akan lebih menderita daripada kau! Ayahku akan menarik semua sahamku! Kau tahu, betapa kedua orang tua-ku menyayangi wanita jalang itu, eh?!"
Mulut Eren menganga, air mata mulai menyeruak dari dalam sudut matanya, "Kalau begitu, apa hubungan kita berakhir begitu saja, eh?! Kau pilih aku atau wanita jalang kemarin sore?!"
Levi berteriak, "Tentu saja aku memilihmu bocah! Kita tidak perlu berpikir keras memikirkan apakah Petra akan membocorkan hubungan kita atau tidak. Kita tidak tahu apakah Petra sudah mengetahui hubungan kita atau belum yang sesungguhnya."
Eren menggigit bibir bawahnya, "Jika benar Petra-san tahu, ak—"
"Jangan pernah membuat keputusan tanpa pikir panjang, Eren. Sebaiknya kau pulang dan tenangkan dirimu." Levi berusaha menguasai emosinya, "Aku juga akan pulang."
"Baiklah. Oh ya satu lagi, aku lupa memberitahumu. Selama sebulan aku dipindah tugaskan ke perusahaan cabang di Prancis, dan selama itu aku tidak ingin berbicara denganmu dulu untuk menenangkan pikiran."
Eren bisa melihat gestur Levi yang menunjukkan penolakan atas keputusannya untuk tidak menghubunginya, tapi Eren tetap tidak peduli dan pergi ke kamar untuk bersiap-siap pulang ke rumahnya.
.
.
.
Levi kembali ke rumah mewahnya malam-malam. Disana begitu sepi, biasanya ada ayahnya sedang menonton acara berita dan ibunya memasak untuk cemilan malam. Dan sekarang malah terkesan kosong.
"Levi, kau pulang..." Levi mendengar nada suara Petra tiba-tiba.
Levi menoleh ke arah sumber suara, "Hn. Dimana papa dan mama?"
"Kau tidak tahu?" tanya Petra heran, kemudian ia berpikir kembali bahwa Levi jarang sekali ada di rumah. "Mereka sedang pergi ke acara reuni di Shibuya, jadi kemungkinan mereka tidak pulang malam ini." Lanjutnya. Kemudian Petra pergi untuk mengunci pintu lalu ke kamar untuk tidur.
Sedangkan Levi menuju dapur untuk mengambil cola di lemari pendingin. Kemudian ia menyalakan televisi mencoba mengalihkan emosi yang teredam tadi di apartemen dengan Eren. Sudah beberapa kali ia mengganti channel televisi tapi sedikitpun tidak ada yang menarik minatnya. Levi mendengus kesal lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
Atensinya sekarang teralihkan menuju jam dinding. Ia melihat sudah pukul 23.30 waktu setempat. Tapi matanya tidak ada minat untuk memejamkan mata menyusul Petra. Sisi mata kelam Levi menuju minuman kaleng cola-nya, dan ia meneguknya lagi. Tapi setetespun tidak ada yang bergulir dari kalengnya dan membuatnya semakin kesal. Kemudian dengan tangan kuatnya ia meremas kaleng sampai ringsek lalu mematikan televisi.
Dengan perasaan yang masih kesal, Levi menyeret kakinya kedalam kamar. Hanya lampu tidur yang menerangi kamarnya. Lalu Levi melihat Petra yang sedang tidur membelakanginya. Levi menarik napas lalu membalikkan tubuh Petra menghadapnya.
Petra terkejut tiba-tiba saja badannya seperti dipaksa berbalik dan mendapati bibir Levi bertemu dengan bibirnya. Petra bisa merasakan rasa cola di setiap lumatan dari lidah Levi yang menciumnya dengan membara. Petra tidak bisa menjamin Levi melakukannya dengan sadar atau tidak. Tapi jujur saja Petra sangat merindukan moment yang saat ini ia hadapi sampai matanya mengembun.
Petra kemudian mengalungkan tangannya di leher Levi ketika suaminya itu memperdalam ciumannya. Levi meraih kedua tangan Petra yang merangkul dan menempelkannya di tempat tidur. Ia membisikkan sesuatu di telinganya, "Akulah yang memandu permainan ini, jadi... patuhilah." Suara berat Levi yang dingin membuat Petra berubah ekspresi dari haru menjadi takut.
Levi merangkak ke atas tubuh Petra untuk menindihnya. Bibirnya kembali melumat bibir ranum Petra dengan menggebu-gebu, lalu lidahnya melesak menerobos celah bibir mungil wanitanya. Ciuman itu menghasilkan decakan nikmat dari mereka berdua. Levi kemudian membenamkan wajahnya di leher Petra dan menghisapnya dengan kuat hingga menimbulkan bercak merah disana.
Tangan Levi menggerayang sepanjang sisi tubuh Petra untuk menyingkap baju tidurnya yang sepanjang paha, dan ia menariknya ke atas melewati kepala dan menyisakan bra berwarna hitam. Jari Levi menelusup ke punggung Petra untuk mencari pengait untuk dilepaskan. Setelah berhasil pengaitnya dilepaskan, pun Levi segera menariknya untuk membiarkan tergeletak dilantai.
Perlakuan Levi tadi, menyisakan dua gundukan payudara yang tidak begitu besar dengan puting berwarna pink sedikit kehitaman. Petra menelan ludah sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, karena Levi terus saja memandangi payudaranya tanpa kedip. Lalu Levi menurunkan kepalanya.
"Ahh! Mnn! Ahhn!" Petra meracau ketika lidah basah Levi menghisap puncak payudara secara meluap luap sambil memainkan puting di dalam mulutnya dan sekarang ia menjadi limbung.
Berhenti menghisap, dengan wajah emosional kedua tangan Levi meremas kasar payudara Petra yang tak ia hisap. "Ah! Sakitt!" Petra berdesis berusaha menyingkirkan tangan berurat Levi. Tapi Levi terus melakukannya lagi.
Kini tangan bebas Levi perlahan menuruni perut, lalu mengusap-ngusap di belahan kemaluan Petra untuk memancing keluar cairan lendir beningnya. Sementara itu Levi terus mengecup-ngecup kedua payudara Petra bergantian. Levi memang penyuka payudara, seandainya payudara Petra berisi air susu mungkin akan berlipat nikmatnya. Tapi itu semua tidak mungkin karena Levi tidak akan membiarkan Petra hamil. Ia tidak ingin memiliki anak, baginya mempunyai anak hanya akan merepotkannya saja.
"Levi—ah!" Petra tersentak dan merapatkan pahanya yang bergetar saat jari Levi mencolek dan mencubit klitorisnya. Levi mencium Petra lagi, sedangkan tangan beruratnya terus memainkan kemaluan Petra. ketika Levi merasa cairan Petra sudah keluar, dengan dua jari Levi melebarkan lipatan kemaluannya terbuka dan memasukkan jari telunjuk dan tengahnya sekaligus.
Petra mengerang, sedangkan jari Levi terus menerus meregangkan lubang milik Petra sambil menarik dan memasukkan jarinya dengan tempo cepat dan berulang-ulang. Membuat pangkal paha Petra mengkilat oleh keringat cinta sepihak. Cairan lendir itupun keluar lebih banyak. Levi segera membuka gesper dan menarik ritsletingnya terbuka lalu menurunkan celana dan boksernya ke tengah pahanya dan menyuruh Petra untuk berbalik badan.
"Menungginglah!" perintah Levi.
"T-Tapi Lev," Levi malah memukul kaki Petra. Ia tidak tahu semenjak kapan Levi menjadi seorang masokis. Dengan ragu dan malu Petra pun menunggingkan tubuhnya membelakangi Levi.
"Levi! Ah, ah, ah," Petra meremas bantal saat penis Levi menusuknya dari belakang dan menyentaknya keras berulang kali agar penisnya tertanam sempurna di kemaluan Petra. ia terus memompa penisnya yang sudah keras di bawah sana sambil menumpu-kan tubuhnya pada punggung Petra. Sedangkan tangan kuat dan ber-urat Levi meremas-remas payudaranya dari belakang.
Petra tidak kuat dengan posisi ini, karena rasanya begitu menyakitkan. Ia meminta Levi untuk pelan-pelan, "Lev—ah, ku mohon... Pelan-pelan—ah."
"Seperti ini, eh?!" namun balasan Levi malah menambah pergerakkannya menjadi membabi buta. Memancing Petra untuk orgasme. Wanita itu kemudian meremas bantalnya kuat-kuat, "Aahh!" Petra menjerit orgasme, kemudian Levi menyusulnya dengan meremas pantat Petra dan memuncratkan jutaan benih sperma dimulut rahimnya. Ia segera melepas penisnya dan sebagian cairan sperma itu mengalir di paha dalam Petra.
Petra ambruk sangat lemas, sedangkan Levi segera beranjak dari ranjang mengambil tisu di atas nakas untuk membersihkan lendirnya dengan Petra. Levi memakai celananya kembali, lalu ia menyuruh Petra segera meminum pil KB, "Cepat minum pil-nya"
Petra masih lemas, "Nanti saja..." katanya lemah.
"Apa kau mau membantah suami-mu, eh? Aku ingin melihat kau meminumnya sekarang."
Dengan lemah dan rasa linu di kemaluannya Petra memungut baju tidurnya lalu memakainya. Kemudian ia mengambil pil di laci dan meminumnya dengan air putih yang sudah tersedia di atas nakas. Sedangkan Levi merapikan kemejanya yang sempat berantakan tadi dan pergi tanpa menjawab pertanyaan Petra 'mau pergi kemana'.
TBC...
Author note:
Black box atau cctv yang biasa ada di pesawat kini sudah bisa digunakan untuk mobil (atau yang biasa kita tahu cctv mobil). Dimana Black box atau cctv ini dapat merekam kegiatan apa saja, dimulai merekam gambar, merekam percakapan, merekam posisi gigi mobil dan lainnya. Jadi jika terjadi apa-apa bisa terdeteksi penyebabnya. Kartu memorinya sama seperti kartu memori pada umumnya tapi, ukurannya sama seperti kartu memori kamera DSLR.
Black box mobil milik Levi adalah dual camera front and rear, dengan kamera berlawanan. Dimana lensa depan merekam kegiatan didepan mobil dan lensa belakang memiliki sudut yang lebar. Maka dapat merekam kegiatan dari tempat duduk supir, tempat duduk depan hingga belakang, sudut kiri dan kanan mobil serta belakang mobil melalui kaca jendela. Selain itu ada sebuah mic sensitivitas tinggi yang merekam suara dalam kabin mobil.
Cctv yang ada diruang kerja Levi dan Petra adalah jenis cctv smart IP camera. Dimana kameranya dilengkapi perekam suara dan mengeluarkan alarm. Selain itu dengan kamera cctv ini juga bisa dipantau dengan smartphone dan gambar berwarna.
Masokis adalah kesenangan yang berasal dari rasa sakit fisik atau psikologis yang ditimbulkan pada diri sendiri baik oleh diri sendiri atau orang lain.
Semoga Revisi chapter 1 ini lebih baik dari sebelumnya, dan semoga Revisi chapter-chapter berikutnya cepat terlaksanakan.
Salam hangat, Tateishi Nachika. silahkan meninggalkan jejak readers ^^
