Suara hujan, gadis yang tidak dikenal, sore berpetir, ingatan tentang kegagalan, halte yang dingin, dan perasaan yang ketinggalan.
Disclaimer : ハイキュー! punya Hairuichi Furudate-sensei, kuhanya pinjam Oikawa sebentar untuk membuatnya bertemu seseorang.
MENUNGGU HUJAN
© Nopembermu, 2019
Hujan rintik. Sedikit.
Bus belum datang, Kapten voli SMA Aoba Johsai disana. Di sebuah halte, ada siswi lain disana. Seperti menunggu bus juga.
Karena merasa lumayan dikenal, penuda dengan jersey warna toscanya itu memberanikan diri mengatakan sesuatu, "Hujan ya?"
Perempuan berambut hitam yang dikucir kuda itu mendengus, sepertinya ia juga dari anak kelas tiga sehingga bisa berucap seenaknya, "Apa tidak kelihatan? Jelas saja ini hujan."
Oikawa Tooru—nama pemuda sok tampan ini—sampai kaget dengan jawaban gadis super ketus dihadapannya ini, baru kali pertama ada cewek yang tidak nge-fans padanya. Benar-benar mebuat badmood di hari yang basah seperti hari ini.
"Kau tidak mengenalku ya?"
"Memang kau siapa mesti kukenal segala?"
"Oikawa Tooru."
"Siapa yang tanya namamu?"
"Kau."
Gadis itu menatap Oikawa tidak percaya, lalu dengan sebal mengalihkan pandangannya lagi pada rintik hujan yang sialannya malah makin besar, ia harus mundur beberapa langkah.
Kapten klub voli ini tidak puas hanya diam dan menunggu dalam keterdiaman, lagi pula rasanya agak aneh menemukan gadis yang tidak histeris padanya, seperti ada yang salah. "Kau kenapa baru pulang?"
"Aku tidak berbicara dengan orang yang tidak dikenal." Jawab perempuan itu tanpa mengalihkan pandangannya dari hujan.
"Tadikan kau sudah tahu namaku."
"Tidak ingat." Ia berkata lebih ketus, "Dan tidak peduli."
Oikawa menghela napas, "Bagaimana kalau kita mengobrol?"
Hening.
Masih hening.
Oikawa gagal mendapatkan jawaban.
Gadi itu memilih pura-pura tidak mendengar dan menatap kosong kearah jalanan yang sepi karena sudah sore. Anak baik tidak akan ada kegiatan klub di pekan ujian, hanya yang maniak ekskul yang masih melakukan kegiatan di situasi seperti ini.
"Kau pernah gagal pergi ke kejuaraan nasional?" suara Oikawa memecah keheningan, tiba-tiba ia ingin merancau, tidak peduli siapapun yang mendengarnya.
"Aku—ah maksudku timku, selama tiga tahun di SMA tidak pernah sekalipun tembus di final prefektur, jadi tidak pernah tembus nasional." Oikawa mengenang, titik hujan makin lama menjatuhkan intensitas semakin besar, "padahal kami sudah latihan sekuat tenaga. Kami mengatur strategi sebaik mungkin, dan kami adalah terkompak seprefektur, kau tahu?" Oikawa tertawa mendengarkan ucapannya sendiri. Kenapa terasa seperti mendongengkan sesuatu yang menyedihkan kepada orang lain?
Gadis itu menoleh kearah Oikawa, merasa tertarik untuk mendengarkan meski memilih tidak menjawab apa-apa.
"Mereka bilang aku setter terbaik."
Pandangan gadis itu terkunci di Oikawa, yang rambutnya sudah basah karena menerobos hujan dari gedung olahraga sampai ke halte. Ia terkunci, tidak bisa kemana-mana. Terkunci pada pemandangan itu.
"Setter terbaik katanya." Oikawa tertawa kecut mendengar ucapannya sendiri, "Terbaik apanya? Membawa tim sampai ke kejuaraan Nasional saja tidak mampu."
Dua tahun kalah di final dengan hadangan sekolah kuat Shiratorizawa, dan gagal di tahun terakhirnya karena kemunculan adik kelasnya di sekolah yang seharusnya tidak bisa terbang—karasuno. Apanya yang hebat? Oikawa merasa ia pecundang, sangat pecundang.
"Apa aku berhenti saja di voli?"
Suara hujan menjeda mereka, dalam diam dan sunyi yang tidak sudah-sudah.
"Kau mungkin nggak percaya, tapi aku pernah merasakan itu." Gadis itu akhirnya bersuara, "Berkali-kali."
"Apa aku terdengar seperti mendramatisir?" Oikawa tertawa cengengesan sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Ya, sedikit." Perempuan itu mengganguk, "Tapi menurutku orang yang gagal lalu mecoba lagi, itu keren."
"Kau juga keren, nona."
"Aku?"
"Ya."
"Kenapa?"
Oikawa tertawa tulus, "Kau bilang kau sudah pernah merasakan kekalahan berkali-kali. Artinya kau selalu bangkit kan?"
Oikawa menunggu jawaban si gadis, yang akhirya dijawab hanya dengan anggukan.
"Berarti kau jauh lebih keren."
"Aku memang keren, sih."
"Kalau begitu aku fans-mu." Jawab Oikawa.
"untuk apa orang yang dikerumuni perempuan sepertimu ngefans padaku?"
"Kau tahu aku, berarti."
"Tidak." Gadis itu tetap bersikukuh, "Tidak mau tahu, lebih tepatnya."
Oikawa tertawa, sesaat kemudian gadis itu ikut tertawa juga. Mereka tertawa bersama diikuti latar tetesan hujan yang semakin besar.
"Kenapa kau baru pulang?" Oikawa mengeratkan jaketnya, udara semakin dingin.
"Melatih anak kelas satu, mereka junior yang akan menggantikanku." Si gadi menyapu ujung sepatunya, "Kau?"
"Sama." Oikawa mengganguk, "Aku harus bertanggung jawab atas kekalahan selama aku disini. Setidaknya, aku berharap aku bisa merasakan ke nasional sih, meskipun sekarang sudah nggak mungkin juga padahal." Ia tertawa menutupi rasa sedih.
Mereka saling tatap. Lama. Sudut pandang mereka sekitar 30 derajat, Oikawa sedikit lebih tinggi dari pada gadis ini. Ada perasaan berkecamuk didalam hati, bagaimana keras kepalanya orang ini untuk menang, sudah di anugerahi julukan setter terhebat, tapi jalanan panjangnya masih terjegal.
"Siapa namamu tadi?"
Oikawa membulatkan matanya tidak percaya, "Kau masih tidak mau ingat namaku?"
"Siapa?" ulang gadi itu.
Si kapten voli menyerah ia berdehem sebentar, "Oikawa. Oikawa Tooru."
Sayup terdengar dari kejauhan bus datang, semakin mendekat, "eh itu bukan busku." Gerutu Oikawa.
"Oikawa-san, sepertinya aku menyukaimu," Gadis itu menatapnya lurus, dengan kalimat yang juga sangat datar diucapkan oleh gadis itu, wah.
"HAH?"
"Kalau di universitas nanti kau berhasil ke nasional, aku menyukaimu." Lanjutnya, lalu dengan tiga langkah ia mendekat kearah bus, "itu busku. Selamat tinggal."
Pemuda yang dipenuhi pertanyaan di kepalanya seketika tidak bisa mengatakan apapun sementara kepalanya dipenuhi pertanyaan, "Hei!"
Gadis itu berhenti.
"Apa?"
"Kau..." Oikawa menelan ludahnya, apa boleh? "...siapa?
"Kapten Basket Putri, dari kelas 3-6." Perempuan itu tadinya memberikan ekspersi jutek, namun sepersekian detik kemudian tersenyum, "Kau harus berhasil di universitas nanti."
Ia menaiki bus, meninggalkan Oikawa yang masih terdiam dalam lamunannya—juga karena menunggu busnya datang.
Basket putri ya? Ah iya, Oikawa baru ingat kalau basket putri memang masuk nasional tahun ini, dan kapten mereka... bukannya cidera?
Seingat Oikawa dari gosip yang tidak sengaja ia dengar, kaptennya cidera di angka-angka terakhir di sebuah pertandingan di perempat final, dan mimpi mereka kandas disana.
Bukannya itu hebat? Perempuan itu tetap bangkit lagi dan lagi. Berkali-kali.
Oikawa mengepalkan tangannya, lalu tersenyum penuh ambisi, "Ya, aku harus mencobanya lagi di universitas..."
Suara hujan, gadis yang tidak dikenal, sore berpetir, ingatan tentang kegagalan, halte yang dingin, dan perasaan yang ketinggalan.
"...dan memenangkannya."
Note:
Gua bikin apaan lagi ini wkkw. Iseng ngetik terus jadi wkwk. Ga kepikiiran plot. Oh iya, kayaknya kapan-kapan mungkin bisa dilanjut hehe. Terimakasih banyak sudah menyempatkan diri untuk membaca, kusayang kalian dan Oikawa. Hehehe.
