Malam baru saja turun. Cahaya samar dari matahari yang baru saja beranjak dari singgsananya masih menyisakan sedikit semburat merah di langit. Lampu kota berkelip bergantian, saling berlomba untuk menggantikan cahaya hangat sang raja langit yang baru akan kembali saat pagi menjelang. Orang-orang berjalan dengan bahu melengkung turun karena beban lelah setelah beraktifitas seharian, tak sabar ingin segera kembali ke rumah dan menikmati istirahat yang tenang. Namun tak sedikit yang justru baru memulai kegiatan mereka di hari itu.
Boboiboy melangkah tenang menyusuri trotoar yang dipenuhi hiruk-pikuk kota. Yaya, sahabat —tidak—pacarnya, berjalan di sebelahnya dengan mulut yang tak henti mengoceh sejak tadi. Boboiboy hanya menanggapi dengan senyum, sesekali mengangguk atau menggeleng jika Yaya menanyakan sesuatu padanya. Pandangannya tak terlalu fokus, sesekali ia terlihat seperti tengah melamun. Saat Boboiboy hampir menabrak serang pejalan kaki —untuk ke lima kalinya malam itu— Yaya akhirnya menghentikan langkahnya. Boboiboy baru menyadari Yaya tak lagi berada di sebelahnya setelah ia berjalan cukup jauh. Ia kemudian berbalik dan memandang sang kekasih bingung.
"Ada apa?" tanya Boboiboy.
"Harusnya aku yang bertanya begitu," kata Yaya. Iris karamelnya menatap Boboiboy lekat, berusaha mencari tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. "Ada apa denganmu hari ini?"
"Eh?" Boboiboy memandang Yaya bingung, sama sekali tak mengerti apa maksud perkataannya.
"Kau bertingkah aneh sejak tadi. Kau nyaris tidak bicara apa pun saat kita makan malam tadi. Dan kau juga tidak mengucapkan sepatah kata apa pun selama kita berjalan pulang."
Boboiboy menundukkan wajahnya. Tak ada kata apa pun yang meluncur keluar dari mulutnya, hanya sebuah desahan pelan.
"Apa kau sakit? Kau terihat pucat," Yaya berujar khawatir. Tangannya menyentuh wajah Boboiboy yang terasa dingin terkena angin malam.
Boboiboy memejamkan matanya menikmati sentuhan lembut Yaya. Ia menggenggam tangan Yaya dan tidak mengucapkan apa pun selama beberapa lama, hingga akhirnya kedua matanya kembali terbuka.
"Yaya, aku ..." Boboiboy kesulitan menemukan kata-kata yang ingin diucapkannya. Maka ia hanya berdiri diam memandang Yaya yang terus menunggu kelanjutan ucapannya.
"Ya?" ucap Yaya akhirnya, tak tahan dengan keheningan di antara mereka.
Boboiboy menghembuskan napas panjang. Ia kembali menundukkan kepala, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan apa yang sedari tadi ingin dikatakannya.
"Yaya ... ayo kita menikah."
Mata Yaya melebar, sama sekali tak menyangka kata-kata itu yang akan terucap dari bibir Boboiboy.
Boboiboy menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku tahu kita sudah sepakat untuk menikah saat kehidupan kita sudah lebih mapan. Kau baru saja bekerja sebagai guru beberapa bulan yang lalu, dan aku baru diterima bekerja dua minggu yang lalu. Kita sama sekali belum bisa dianggap mapan, tapi ... kupikir tak ada salahnya untuk segera memulai hidup baru kita. Kita bisa membangun rumah tangga kita pelan-pelan. Tak perlu terlalu mewah, yang penting kita bisa menjalaninya dengan bahagia. Bagaimana menurutmu?"
"Boboiboy ..." Yaya terlihat tak sanggup berkata apa-apa.
Boboiboi tersenyum tipis. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak hitam mungil yang kemudian dibukanya di depan Yaya. Gadis itu terperangah melihat apa yang ada di dalamnya.
"Aku baru membeli ini tadi siang," kata Boboiboy. "Aku sedikit terburu-buru memilihnya, jadi aku tidak tahu apa ini sesuai dengan seleramu. Aku juga tak sempat menyiapkan bunga, lilin, atau balon. Tidak ada musik romantis dari orkestra mahal. Aku hanya bisa menawarkan cincin ini dan juga ketulusanku. Maukah kau menikah denganku, Yaya Yah?"
Yaya berusaha mengucapkan sesuatu, namun suaranya seolah tercekat di tenggorokan. Sia-sia ia menahan air matanya agar tidak tumpah, tapi cairan bening itu tetap mengalir turun saat Boboiboy menyematkan cincin di jari manisnya.
"Aku mencintaimu, Yaya Yah. Maukah kau menjadi satu-satunya pendamping hidupku?"
Yaya menyeka air mata di wajahnya dan mengangguk. "Ya, aku mau."
.
.
.
A Little Braver
By : Fanlady
Disclaimer : Boboiboy © Monsta
Warning(s) : AU, BoboiboyxYaya, marriage!life, adult!chara(s)
A/N :
mungkin baca ini bisa sambil dengarin lagu A Little Braver dari New Empire, siapa tau bisa lebih menghayati /plak
.
.
.
Mobil yang dikendarai Boboiboy meluncur mulus memasuki pekarangan sebuah rumah mewah berlantai dua dengan banyak kaca yang membatasi setiap sisinya. Boboiboy memarkirkan mobilnya di garasi, kemudian melangkah turun dan membukakan pintu untuk Yaya.
Yaya memandang takjub rumah di hadapannya. Ia kemudian menoleh pada Boboiboy yang tersenyum lebar di sebelahnya.
"Ini rumah siapa?" tanya Yaya.
"Tentu saja rumah kita," jawab Boboiboy. Yaya ternganga mendengarnya. Boboiboy kemudian berdiri di depan Yaya dan merentangkan tangan lebar. "Tadaaa~! Selamat datang di rumah baru kita! Bagaimana, kau menyukainya?"
"Ini ... rumah kita?"
"Yap."
"Kapan kau membelinya?"
"Hmm ... seminggu yang lalu. Aku menghabiskan setengah dari uang peninggalan orangtuaku untuk membeli ini. Kau tahu, aku selalu memimpikan punya rumah seperti ini. Sekarang aku akhirnya bisa mewujudkannya. Dan tentu saja aku ingin tinggal di sini bersamamu," Boboiboy berujar, masih dengan senyum lebarnya.
"Apa menurutmu ini tidak terlalu berlebihan? Kita bisa membeli rumah yang biasa sa—"
"Sudah, sudah. Tak ada gunanya kalau kau ingin protes. Aku sudah terlanjur membelinya dan bahkan sudah membayar lunas biaya asuransinya. Jadi mau tak mau kita akan tinggal di sini mulai sekarang. Kecuali kalau kau tidak ingin tinggal bersamaku dan membatalkan pernikahan kita."
"Jangan bodoh. Mana mungkin aku melakukan itu."
Boboiboy tersenyum. "Nah, kalau begitu lebih baik kita segera masuk ke rumah baru kita, istriku sayang," katanya.
Yaya mendesah pelan, tapi akhirnya bibirnya ikut menyunggingkan senyum. Ia menerima uluran tangan Boboiboy dan bersama-sama mereka melangkah masuk ke dalam dengan tangan bergenggaman erat.
.
.
.
"Wah, aku masih tidak menyangka kalian akan menikah secepat ini," Gopal mengunyah kentang gorengnya sambil tak henti memandang Boboiboy dan Yaya bergantian. "Bukankah kita sudah berjanji akan menikah bersama-sama saat masing-masing sudah memiliki pasangan?" Ia menudingkan garpunya ke arah Boboiboy dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf, Gopal. Aku benar-benar lupa kau masih belum punya pacar," kata Boboiboy dengan ekspresi penyesalan yang tidak terlalu meyakinkan. "Yah, bukan salahku kalau sampai sekarang belum ada yang mau menjadi pacarmu."
"Enak saja! Ada banyak gadis di luar sana yang mengantri ingin jadi pacarku, tapi sayangnya belum ada yang benar-benar sesuai dengan tipeku. Aku ini orang yang pemilih tahu!"
"Iya, iya, terserah kau saja," Boboiboy mengangkat bahu pasrah. Yaya hanya tertawa kecil di sebelahnya.
"Tapi," Ying yang duduk di seberang Yaya ikut berkomentar. "Aku juga kaget, lho, mendengar kabar pernikahan kalian. Kupikir kalian akan menunda pernikahan sampai beberapa tahun lagi. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
Fang, yang sedari tadi duduk tenang tanpa mengucapkan apa pun, dan juga Gopal, ikut menunggu jawaban dari kedua sahabat mereka.
Boboiboy dan Yaya saling berpandangan. Yaya lah yang akhirnya lebih dulu membuka suara.
"Aku ... juga sebenarnya sedikit terkejut saat Boboiboy tiba-tiba melamarku," Yaya melirik Boboiboy ragu, yang dibalas dengan senyum samar. "Tapi kurasa tak ada salahnya juga untuk segera menikah. Lagipula kami sama-sama sudah merasa mampu untuk membangun keluarga, jadi untuk apa terus menunda?"
Yaya menoleh pada Boboiboy dan tersenyum. Boboiboy membalas senyumnya dan menggenggam tangannya erat.
"Kalian selalu saja membuatku iri," kata Gopal sambil berdecak sedih. Ia menggigit kembali kentangnya dengan wajah muram.
"Makanya cari pacar sana, jangan kelamaan jomblo," komentar Fang. Ia ikut memegang tangan Ying dan memamerkannya pada Gopal yang semakin terlihat jengkel.
"Benar, Gopal, cepatlah cari pacar. Tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang kita punya di dunia ini. Kau tidak akan pernah tahu kapan akan mati," kata Boboiboy. Ia menyeruput jus jeruknya dan menyadari empat pasang mata kini tengah memandangnya. "Apa?" tanyanya.
"Kenapa kau tiba-tiba bicara seperti itu?" tanya Ying hati-hati.
"Memangnya kenapa? Kata-kataku benar, kan?"
"Tapi nada bicaramu terdengar aneh. Aku sampai merinding," timpal Gopal. Ia bergidik sedikit dan buru-buru meneguk minumannya.
"Kalian berlebihan sekali. Aku bicara sepert biasa kok," kata Boboiboy santai. Ia menggigit sepotong pizza dan memalingkan wajah ke luar jendela, membiarkan teman-temannya saling bertanya-tanya di belakang punggungnya tanpa suara.
Yaya terus memandang Boboiboy, namun tak mengucapkan apa-apa. Namun ia bisa merasakan tangan Boboiboy yang menggenggam tangannya sedikit bergetar.
.
.
.
"Yaya, apa kau punya waktu luang akhir minggu ini?"
Yaya yang tengah mencuci piring bekas makan malamnya dengan Boboiboy sedikit tersentak saat sang suami tiba-tiba muncul di sebelahnya. Boboiboy berdiri di samping Yaya dan membantu mengeringkan piring-piring yang telah dicucinya.
"Ah, ya. Aku tidak punya jadwal apa-apa akhir minggu nanti. Memangnya kenapa?" tanya Yaya.
"Aku ingin mengunjungi makam kedua orangtuaku. Kau mau ikut?" Boboiboy balik bertanya.
"Tentu saja. Kapan kita akan pergi?"
"Sabtu ... ah, tidak, hari Minggu saja, bagaimana?"
"Baiklah."
"Terima kasih," ucap Boboiboy. Ia menunduk dan mencium kening Yaya lembut.
"Kau tidak perlu berterima kasih untuk itu," balas Yaya. Ia sedikit berjinjit untuk menyamai tinggi Boboiboy, kemudian mengecup bibir pemuda itu.
Boboiboy tertawa kecil. Ia menarik tubuh Yaya hingga menempel padanya. Mereka kemudian berciuman dan mengabaikan tumpukan piring kotor yang menanti dengan sabar untuk dicuci.
.
.
.
Jari-jari Boboiboy bergerak tanpa henti di keyboard laptopnya, mengetik sesuatu yang terlihat seperti laporan hasil penjualan. Yaya berjalan menghampiri sang suami dengan membawa dua cangkir cokelat panas dan meletakkannya di meja di sebelah Boboiboy.
"Istirahatlah dulu. Nanti kalau terlalu kelelahan kau bisa sakit," ujar Yaya lembut.
"Sebentar lagi aku selesai. Kau tidur saja duluan, Yaya. Kau sering bergadang akhir-akhir ini, nanti kau bisa sakit," balas Boboiboy tanpa mengangkat wajah dari laptopnya.
"Yang sering bergadang itu kau, bukan aku," omel Yaya. Ia menarik layar laptop Boboiboy hingga setengah tertutup, membuat sang suami mau tak mau menghentikan kegiatan mengetiknya. "Lihat, matamu sudah hampir seperti mata panda. Ke mana perginya suamiku yang tampan?" Yaya meletakkan kedua tangannya di wajah Boboiboy dan mengamati raut lelah yang tertera jelas di sana.
Boboiboy menghela napas panjang. "Yaya, aku ..."
"Harus istirahat," Yaya segera memotong ucapan Boboiboy. "Kau harus istirahat, Boboiboy. Aku tidak mau kau benar-benar jatuh sakit."
"Ya, baiklah," ujar Boboiboy akhirnya. Bagaimanapun ia tidak akan bisa menolak perkataan Yaya. Boboiboy menutup laptopnya setelah sebelumnya menyimpan semua dokumen laporan yang telah dikerjakannya. Ia kemudian membiarkan Yaya menyeretnya ke kamar dan menyelimutinya di tempat tidur sambil mati-matian menahan sakit yang sedari tadi menggerogoti kepalanya.
.
.
.
"Maaf, Yaya. Hari ini aku akan pulang terlambat. Aku harus lembur sedikit di kantor."
Yaya mendesah pelan. Ia memandang makanan di meja yang telah susah payah disiapkannya untuk dimakan bersama sang suami.
"Apa kau akan pulang larut lagi?" tanya Yaya.
"Tidak. Aku hanya sedikit terlambat, kok. Aku akan berusaha pulang sesegera mungkin," balas Boboiboy dari seberang telepon.
"Baiklah kalau begitu," ucap Yaya. "Jangan terlalu memaksakan diri ya."
"Hm, tenang saja. Kau makan malam duluan saja, tak usah menungguku."
"Oke."
Yaya meletakkan kembali ponselnya di meja setelah panggilan berakhir. Ia menarik semangkuk sup yang sudah nyaris mendingin, kemudian menghabiskannya dalam diam.
.
.
.
Boboiboy masih terus menatap layar ponselnya setelah memutuskan panggilannya dengan Yaya. Ia menghela napas panjang dan menyenderkan kepalanya di setir mobil. Entah berapa lama Boboiboy bertahan dalam posisi itu, sebelum akhirnya ia mendongak. Boboiboy memandang gedung rumah sakit yang berdiri tak jauh darinya dan menarik napas dalam.
Butuh usaha keras bagi Boboiboy untuk memaksakan diri turun dari mobil. Ia kemudian melangkah masuk ke dalam gedung rumah sakit sambil merapatkan mantel untuk melindungi diri dari udara dingin.
.
.
.
Yaya baru saja kembali setelah menghabiskan waktu sorenya bersama Ying saat ia mendengar suara isakan dari arah dapur. Ia bergegas melangkahkan kaki ke sana dan menemukan Boboiboy tengah menangis sambil menggenggam erat ponsel di tangannya.
"Boboiboy, ada apa?" Yaya segera menghampiri Boboiboy dan bertanya khawatir.
"Tok Aba ..." Boboiboy nyaris tak bisa berbicara dengan benar di antara tangisannya. "Tok Aba ... meninggal ..."
Yaya menekapkan tangan di mulut, terkejut mendengar berita itu. "Innalillahi wa innalillahi rajiun ..." Ia langsung memeluk Boboiboy yang masih terisak dan ikut menangis bersamanya.
.
.
.
Upacara pemakaman sang kakek berlangsung singkat. Hanya diisi dengan iringan doa dan ucapan belasungkawa dari teman dan juga kerabat jauh, yang wajah dan namanya tak terlalu diingat Boboiboy. Kakeknya adalah satu-satunya keluarga terakhir yang dimiliki Boboiboy, setelah kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat tiga tahun lalu.
Boboiboy mengurus segalanya seorang diri. Ia melarang siapa pun membantunya, termasuk istrinya, Yaya. Tak ada lagi air mata yang tumpah setelah tangisannya saat mendengar kabar kepergian sang kakek. Boboiboy membiarkan rasa letih dan juga penat menutupi duka yang nyaris tak sanggup dibendungnya.
Orang-orang yang datang melayat satu-persatu beranjak pergi setelah acara pemakaman selesai. Beberapa menepuk punggung Boboiboy, mengucapkan kata-kata penyemangat. Sementara yang lain hanya mengangguk singkat dan melangkah pergi. Hingga yang tersisa di tempat itu hanyalah Boboiboy dan Yaya.
"Kau masih ingin di sini?" Yaya bertanya lembut. Ia sedari tadi tak melepaskan genggamannya dari tangan Boboiboy, berusaha memberinya kekuatan di tengah semua kesedihan ini.
Boboiboy mengangguk pelan. Ia menggenggam erat tangan Yaya dan memejamkan mata rapat, berusaha mengusir rasa sakit karena kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya.
"Tak apa ..." kata Yaya. Ia mengusap pelan pundak Boboiboy dan menyenderkan kepala di sana. "Kau bisa menangis sekarang ... Tak ada siapa-siapa lagi di sini selain kita berdua ..."
Tubuh Boboiboy bergetar. Ia membiarkan Yaya mendekapnya lembut saat pertahanannya akhirnya runtuh. Boboiboy menangis dan menangis sampai akhirnya ia merasa lega dan tak ada lagi air mata yang keluar.
.
.
.
Malam itu hujan turun cukup deras, disertai angin yang berhembus hingga menusuk tulang. Boboiboy dan Yaya melangkah bersisian di bawah sebuah payung merah jambu, berusaha berjalan serapat mungkin agar tak terkena dinginnya guyuran air hujan.
"Ah, harusnya kita pergi naik mobil saja tadi," keluh Boboiboy. Ia mendongak sedikit ke balik payung untuk melihat langit yang tak henti menumpahkan hujan.
"Supermarket-nya dekat dari rumah. Buang-buang waktu dan juga boros bensin kalau kita pergi naik mobil," balas Yaya.
"Ah, kau ini benar-benar perhitungan sekali. Aku tidak mengerti kenapa aku mau menikah denganmu," Boboiboy menggelengkan kepalanya.
"Mungkin karena kau terlalu mencintaiku, sampai kau tidak peduli dengan semua kerugian yang akan kau dapatkan saat menikahiku."
Boboiboy tertawa mendengar jawaban Yaya. Ia merangkul sang istri erat dan mencium puncak kepalanya yang tertutup hijab merah muda.
"Kau benar. Aku memang terlalu mencintaimu sampai aku buta dengan semua hal lain," katanya.
"Aku juga sangat mencintaimu, suamiku sayang~" Yaya berjinjit dan mencium pipi Boboiboy.
"Aww~ Kau manis seka—" Ucapa Boboiboy terputus saat ia meringis seraya memegangi salah satu sisi kepalanya. Langkahnya yang mendadak terhenti membuat Yaya ikut berhenti berjalan.
"Boboiboy, ada apa? Kau baik-baik saja?" tanya Yaya cemas.
"Tidak apa-apa ... Aku—Aku cuma sedikit pusing ..." gumam Boboiboy. Ia berpegangan pada Yaya untuk menyeimbangkan tubuhnya yang sedikit limbung.
"Kau masih bisa jalan? Kita cari tempat berteduh saja dulu untuk istirahat—"
"Tidak apa, aku baik-baik saja," kata Boboiboy. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali. Boboiboy lalu menoleh pada Yaya dan tersenyum. "Ayo kita lanjutkan perjalanannya."
"Kau yakin bisa berjalan?" tanya Yaya was-was.
"Tentu saja. Sudah kubilang aku cuma sedikit pusing. Sekarang sudah hilang kok," kata Boboiboy menenangkan.
Yaya akhirnya mengangguk. Ia melanjutkan kembali langkahnya bersama Boboiboy sambil tak henti mengawasi sang suami dengan raut wajah khawatir.
.
.
.
"Hari ini salah satu muridku mendapat medali emas di olimpiade nasional," cerita Yaya. Ia menusuk sepotong apel dari piring di atas meja dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Benarkah? Itu hebat," kata Boboiboy. Ia mengubah posisinya yang semula tiduran menyamping dengan kepala di pangkuan Yaya menjadi terlentang.
"Hm-mm," Yaya mengangguk. "Aku merasa sangat bahagia saat ia membawa medalinya pulang dan menunjukkannya padaku dengan bangga. Rasanya seperti kebanggaan saat melihat anakku sendiri sukses."
"Mereka 'kan memang anak-anakmu. Kau selalu bilang kau mengangga[ semua muridmu itu adalah anak-anakmu."
"Memang benar. Tapi aku ingin tahu seperti apa rasanya memiliki anak sendiri. Anak kandung maksudku. Pasti akan terasa sangat berbeda ..." Yaya mendesah pelan.
Boboiboy tersenyum kecil. Ia menyentil hidung Yaya pelan, membuat sang istri menggerutu sebal. "Kita pasti akan mendapatkannya nanti kalau sudah waktunya," ujar Boboiboy.
"Hm, semoga saja," desah Yaya.
"Bagaimana ... kalau kita mencobanya sekarang?" Boboiboy menyeringai jahil.
"Mencoba apa?" tanya Yaya bingung.
Seringai Boboiboy semakin lebar. Ia bangkit dari posisinya dan secepat kilat menarik Yaya hingga jatuh terlentang di sofa. Kedua mata Yaya melebar dan wajahnya merona melihat posisi Boboiboy yang kini menindihnya.
"Mencoba ... ini."
Yaya memejamkan mata saat Boboiboy mencium bibirnya lembut yang kemudian berubah menjadi lumatan panas dan berlanjut sepanjang malam.
.
.
.
"Kau lembur di kantor lagi?" Nada suara Yaya terdengar sarat kekecewaan dan juga khawatir saat Boboiboy menghubunginya melalui telepon.
"Ya, aku benar-benar minta maaf, Yaya. Karena aku mengambil cuti beberapa hari, pekerjaanku jadi menumpuk dan aku harus lembur untuk menyelesaikannya. Aku mungkin akan pulang larut, jadi kau tak usah menunggu dan tidur duluan saja," ujar Boboiboy.
"Tapi, Boboiboy ..."
"Maaf, Yaya. Aku harus segera melanjutkan pekerjaanku. Aku akan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, jadi jangan khawatir. Aku mencintaimu."
Boboiboy segera memutuskan panggilan setelah mendengar balasan dari Yaya. Ponselnya jatuh berkelotak di lantai mobil saat ia mencengkeram erat dada sambil mengerang kesakitan. Tangannya meraba dashboard, mencari botol obat yang selalu dibawanya ke mana-mana dan juga disembunyikannya dari Yaya. Boboiboy sudah nyaris tak bisa bernapas saat ia akhirnya menemukan botolnya dan segera menelan dua butir obat.
Rasa sakitnya sedikit berkurang, tapi sama sekali tak membuatnya merasa lebih baik. Boboiboy duduk dengan kepala bersender ke kursi mobil dan napas terengah-engah. Keringat dingin membuat kemeja yang dipakainya basah. Ia mencoba sebisa mungkin untuk bernapas dengan normal, walau terasa sulit karena dadanya seperti ditikam ratusan jarum sekaligus.
Saat rasa sakit itu akhirnya mereda, Boboiboy menghela napas berat. Ia menopang dahinya di setir dan memejamkan mata. Ia membukanya kembali beberapa lama kemudian dan menatap layar ponselnya yang memperlihatkan wajah Yaya tengah tertawa. Air mata mengalir pelan dari kedua sudut matanya.
"Maafkan aku ..." bisiknya lirih. "Maafkan aku, Yaya ..."
.
.
.
Yaya baru saja hendak memasukkan sesendok bubur ke mulutnya saat wajahnya menunjukkan ekspresi mual dan ia buru-buru berlari ke toilet dengan tangan menekap mulut.
Boboiboy muncul dari arah kamar dengan setelan rapi bersiap untuk pergi ke kantor. Ia melihat Yaya yang berlari ke toilet dan bergegas mengikutinya.
"Masuk angin lagi?" Boboiboy bertanya begitu ia melihat Yaya berlutut di depan kloset dengan wajah pucat.
"Sepertinya begitu," balas Yaya lemah.
"Kau selalu saja menceramahiku tentang menjaga kesehatan, tapi kau sendiri malah sakit begini," kata Boboiboy. Ia mengusap tengkuk Yaya lembut dan memijat pundaknya perlahan.
"Ah… aku tidak tahu kenapa aku terus-terusan merasa tidak enak badan. Padahal aku selalu makan teratur dan istirahat yang cukup, kok."
"Mungkin kau kecapekan. Hari ini tak ada jam mengajar, kan? Istirahat saja di rumah, ya?"
Yaya mengangguk. Ia membiarkan Boboiboy membantunya berdiri dan menggiringnya kembali ke ruang makan.
"Aku akan minta izin ke kantor supaya bisa mengantarmu ke dokter hari ini," kata Boboiboy.
"Tidak, tidak usah. Aku bisa pergi sendiri, kok. Tidak apa-apa," tolak Yaya halus.
"Kau yakin?"
"Hm, jangan khawatir." Yaya tersenyum menenangkan.
Boboiboy akhirnya mengangguk. "Baiklah kalau begitu."
Yaya melirik jam di dinding, kemudian mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goring untuk sarapan Boboiboy.
"Ayo, kau harus cepat sarapan agar tidak terlambat ke kantor."
.
.
.
CKIIITT!
Boboiboy menginjak pedal rem mobilnya tepat waktu sebelum ia menabrak dua anak kecil yang tengah menyeberang jalan. Kedua anak itu terlihat kaget, kemudian segera berlari ke seberang jalan dan menghilang di antara kerumunan pejalan kaki.
Butuh waktu beberapa menit hingga Boboiboy akhirnya tersadar dari rasa shock-nya. Ia nyaris saja menabrak orang. Ia nyaris menabrak dua anak kecil. Boboiboy tak pernah melakukan kesalahan seperti ini sebelumnya. Ia seorang pengemudi yang selalu berhati-hati. Terutama dengan memiliki Yaya sebagai istrinya, Boboiboy selalu diwanti-wanti agar tidak ngebut-ngebutan di jalan.
Tapi yang baru saja terjadi bukan karena Boboiboy melaju melebihi batas yang diizinkan. Boboiboy tidak melihat lampu lalu lintas yang menyala merah, pertanda para pengendara harus berhenti dan orang-orang yang berjalan kaki bisa menyeberang. Pandangan Boboiboy memburam hingga ia bahkan nyaris tak menyadari dua anak kecil yang tengah menyeberang jalan. Untunglah ia berhasil mengnjak rem teepat waktu.
Boboiboy mengulurkan tangannya yang gemetar ke depan matanya, namun yang terlihat hanya bayangan samar yang timbul-tenggelam. Ia mengerang frustasi dan menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya.
"Apa yang harus kulakukan …" Boboiboy bergumam putus asa. "Aku tak boleh membiarkan Yaya sampai tahu …"
Suara klakson nyaring di belakangnya membuat Boboiboy terlonjak. Ia baru menyadari lampu hijau kini telah menyala, dan beberapa pengemudi di belakangnya mulai protes karena ia tak kunjung beranjak.
Boboiboy kemudian bergegas menginjak pedal gasnya dan melaju membelah jalanan kota yang padat.
.
.
.
"Assalamualaikum, aku pulang."
Wajah Yaya langsung terlihat sumringah begitu mendengar suara Boboiboy dari arah pintu depan. Ia bergegas berlari menghampiri dengan masih mengenakan celemek merah mudanya yang ia gunakan untuk memasak makan malam.
"Waalaikumsalam. Selamat datang, Boboiboy," ucap Yaya dengan bibir tersenyum lebar. Ia langsung menghambur ke arah Boboiboy dan memberinya pelukan erat, membuat Boboiboy sediit terkejut.
"Ada apa, Yaya? Tumben kau langsung memelukku begini," kata Boboiboy heran. Biasanya Yaya hanya menyalami tangannya dan juga membantu membawakan tasnya setelah ia pulang dari kantor.
"Aku punya kejutan untukmu!" kata Yaya ceria. Kedua tangannya masih melingkari tubuh Boboiboy dengan wajah yang didongakkan untuk memandang sang suami. "Coba tebak apa?"
"Umm …" Boboiboy berlagak memasang pose berpikir. "Kau baru membeli perabotan baru?" tebaknya.
"Bukan," Yaya menggeleng, "tebak lagi.
"Kau baru dapat bonus dari pekerjaanmu?" Yaya kembali menggeleng. "Muridmu dapat medali emas lagi?" Lagi-lagi ditanggapapi dengan gelengan kepala. "Kau … tidak menyiapkan biskuit special buatanmu untukku, kan?" tanya Boboiboy takut-takut.
Yaya menggembungkan pipi cemberut. "Bukan," katanya.
"Kalau begitu apa, dong? Ayolah, aku tidak jago main tebak-tebakan," ujar Boboiboy akhirnya menyerah.
Senyum Yaya kembali merekah, kali ini lebih lebar. Ia mengeluarkan secarik kertas dari saku celemeknya dan menunjukkannya di depan Boboiboy.
"Tadaaa~!" serunya riang.
Boboiboy menyipitkan mata berusaha membaca apa yang tertulis di sana, tapi huruf-huruf itu terlihat seperti berenang di depan matanya.
"Err … pandanganku sedikit kabur, jadi aku tidak bisa membacanya," kata Boboiboy dengan wajah meringis.
"Kenapa? Setahuku matamu baik-baik saja," kata Yaya curiga.
"Bukan apa-apa kok, aku cuma kecapekan. Itu saja," ujar Boboiboy buru-buru. "Bagaimana kalau kau langsung beritahu saja apa isi surat itu?"
Yaya terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berseru. "Aku hamil, Boboiboy!" Ia melontarkan kata itu seolah sudah tak sabar ingin mengucapkannya sedari tadi.
"Kau … apa?" Boboiboy melebarkan matanya tak percaya.
"Aku hamil!" ulang Yaya dengan air mata berlinang bahagia.
"Yaya …" Boboiboy terlihat begitu terharu hingga tak mampu berkata-kata. Ia meraih Yaya ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat. "Yaya, syukurlah … Syukurlah …"
Yaya balas memeluk suaminya tak akalah erat. "Aku pergi ke rumah sakit sepulang mengajar untuk mengambil hasil pemeriksaankesehatanku kemarin, dan dokter bilang aku positif tengah mengandung empat minggu," ujarnya dengan suara bergetar karena bahagia. "Allah mendengarkan doa kita. Aku benar-benar hamil, Boboiboy! Kita akan jadi orangtua!"
"Benar, kita akan segera jadi orangtua. Syukurla—"
Tubuh Boboiboy merosot dalam pelukan Yaya. Kedua tangannya yang mendekap Yaya terlepas saat ia terhuyung jatuh dan nyaris saja menghantam lantai kalau Yaya tak segera menahannya. Ekspresi Yaya terlihat ketakutan mendapati wajah Boboiboy yang pucat pasi dan dibanjiri keringat dingin.
"BOBOIBOY!"
.
.
.
to be continued
A/N :
Maaf untuk alur yang berantakan dan terlalu terburu-buru. Aku lagi sedikit frustasi sebenarnya, pengen banget nulis tapi nggak bisa. Aku harus maksain diri untuk nulis ini karena kalau nggak aku mungkin bakal beneran jadi gila.
Seharusnya ini cuma one-shot, tapi aku cuma sanggup nulis segini setelah nggak tidur semalaman. Mungkin ini bakal jadi two-shot aja, jadi sampai jumpa di chapter depan.
Ah, dan untuk fanfik-fanfik yang lain, aku mungkin nggak bisa update kilat tapi aku bakal berusaha update sebisa mungkin. Jadi semoga bisa sabar menunggu.
Makasih banyak buat yang udah menyempatkan diri membaca. Aku bakal sangat berterima kasih kalau ada yang mau ninggalin jejak di kotak review juga. Sampai jumpa lagi~
