.
.
.
Naruto milik Masashi Kishimoto
Story by Swinysoo
AU, Ooc, Typo(s)
Uchiha Sasuke, Haruno Sakura, etc
.
.
.
Happy Reading
Senyum tidak ada hentinya mengembang diwajahku seakan menggambarkan suatu hal yang kini tengah aku rasakan. Sambil memejamkan mata aku menikmati udara disekitar tempat yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Begitu segar dan menenangkan hingga rasanya sangat rugi apabila aku sia-siakan, karena aku tak yakin bisa kembali ke tempat ini lagi nanti.
Jika disuruh memilih untuk tetap tinggal dan pergi, maka jawabanku adalah pilihan yang pertama. Karena aku sangat menyukai tempat yang tengah menjadi perbincangan hangat khalayak umum, terutama kalangan remaja masa kini. Oh ayolah, tak ada seorangpun yang mampu menolak pesona tempat dimana aku berpijak sekarang. Bisa ditebak betapa bahagianya aku, seseorang yang mendapat keberuntungan langka disini.
Ada beberapa alasan yang membuatku sangat betah berada di tempat asing nan jauh dari tempat asalku. Salah satunya adalah keindahan yang dapat ku jumpai hampir di setiap penjuru kota di Negara yang terkenal dengan nama Negara ginseng ini. Perlahan aku mulai menyadari keinginan orang-orang kebanyakan yang tak segan-segan meninggalkan Negara kelahirannya hanya karena ingin menetap disini, tepatnya di salah satu kota yang telah menjadi favorit ku beberapa hari, yaitu Seoul. Kota yang membuatku tak berhenti berdecak kagum sejak pertama kali tiba. Kota dari sekian kota yang ada di Korea Selatan, menurutku kota inilah yang terbaik. Kota yang lain pun sama, tapi Seoul adalah yang pertama bagiku.
Aku menghembus napas panjang merasakan ketenangan di areaku berdiri, menghirup udara sebanyak yang aku bisa dan membuangnya kembali. Bahkan sedikit bersuara, seperti beban yang ada dipundak ku menguap bersamaan dengan hembusan napas itu. Aku bukanlah tipe orang yang suka melebih-lebihkan sesuatu, keindahan dan kenyamanan yang kurasa ini memang nyata terjadi padaku. Aku tak tahu pasti penyebabnya apakah aku yang terlalu mengagumi atau bagaimana, yang pasti aku tak membual dengan apa yang kurasa. Ini murni, apalagi dengan keadaan yang lumayan sepi ditaman tempat ku sekarang berada.
Sebagai seseorang yang baru di Negara orang, aku sempat kebingungan dan juga hampir tersesat beberapa hari lalu. Berkunjung seorang diri apalagi untuk yang pertama kali memang buka pilihan yang tepat sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi resiko. Dan kupikir tak sesulit ataupun semudah yang dikatakan teman-temanku yang pernah kesini sebelumnya. Dalam artian, jika kau bisa menyesuaikan diri, maka kau pasti bisa menjalaninya.
Akupun tidak sembarang berkunjung atau asal liburan semata. Sebelum berangkat dan meminta izin kedua orang tuaku yang pada saat itu sangat menentang namun pada akhirnya menyerah pada keinginanku yan bisa dibilang nekad ini, mengingat aku seorang gadis berumur 17 tahun bukanlah tanpa pertimbangan sama sekali. Bukan seperti gadis lain yang hanya memikirkan hal yang akan terjadi tanpa memikirkan kemungkinan akan terjadi lainnya. Aku tentu kebalikan dari mereka.
Sebelum yakin akan berlibur, aku terlebih dulu menghafal kosakata umum yang sering digunakan dalam percakapan Korea, lokasi sekitar Seoul yang sekiranya akan ku kunjungi, beserta tanggal pemberangkatan dan pemulangan ku nanti.
Tak perlu heran dengan barang-barang yang ku bawa. Aku sengaja tidak menyebutkannya karena memang tak ada yang perlu kusebutkan. Aku sekedar mengisi koperku dengan beberapa lembar pakaian, make up seadanya, serta paling utama dan wajib terdeteksi didalamnya adalah handycamp. Jangan lupa pula ponsel yang selalu menemani sekaligus mengarahkan langkah kakiku pada tujuan tertentu selama disini. Cukup matang bukan pertimbangan berliburku?
Hari ini merupakan hari terakhirku di tempat ini. Tinggal menunggu waktu penerbangan sekitar tiga puluh menitan lagi dari sekarang. Dan anehnya, kenapa aku tiba-tiba merasa tidak tenang? Dan mengapa aku gelisah tak karuan? Aku sama sekali tak mengerti dengan tubuhku yang bereaksi tanpa kuketahui penyebabnya. Kali ini aku mendengus kuat, kaki-kaki ku terus menghentak pada permukaan tanah. Perasaan tak enak mulai menghinggapiku, menyadari hal itu aku berusaha menetralisirkannya, mencoba menguasai tubuh dan pikiranku. Beberapa kali aku bergumam, semuanya akan baik-baik saja?
Entah apa yang membuatku berkata seperti barusan. Kata-kata penenang itu dengan atau tanpa sadar keluar begitu saja dari mulutku.
Ku lirik jam tangan warna biru langit yang melingkar dipergelangan sebelah kiri ku, kurang lebih lima belas menitan lagi hingga pesawat pembawa tubuhku kembali ke Negara kelahiran lepas landas, sedangkan aku masih duduk santai di taman-yang sebenarnya aku tak tahu namanya.
Ku tengokan kepala ke kiri dan kekanan, menunggu taksi atau bus yang dapat mengantarku menuju bandara, karena letak ku mendudukan diri sekarang ia lah ditepi jalan yang masih dalam area taman. Sekilas aku melihat gedung bertingkat di depanku, jika tak salah hitung kurang lebih tiga puluh tingkat,
"H-HA! Uhuk... uhk.."
Aku tersedak ludah sendiri saat terakhir menghitung, gedung itu nyatanya lebih dari tiga puluh tingkat. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala seperti orang idiot, mungkin begitu kalau saja ada yang melihat tingkahku. Padahal ada berpuluh-puluh bangunan yang bertingkat dan juga kelewat banyak ditempatku, tapi melihat bagaimana bangunan ini entah mengapa feel-nya berbeda. Abaikan, mungkin hanya perasaan-SIALAN!
Aku baru saja melewatkan taksi yang melaju.
"Cih, bagaimana taksi itu bisa mendapat penumpang jika jalannya cepat begitu!"
Tanpa sadar aku mengumpat siapa saja yang mengendarai taksi tadi. Meski pada kenyataannya aku yang salah karena kebanyakan melamun di siang bolong begini. Oh tidak, salahkan saja bangunan keparat di depanku ini yang telah menyita perhatianku, sehingga aku lupa kalau sedang menunggu taksi.
Sialan,
Saat aku sudah mencoba tidak memperhatikan apapun lagi selain jalan dan jalan, tidak ada satupun taksi yang lewat. Aku heran, bagaimana bisa tempat seperti ini tak ada taksi yang beroperasi. Bukankah tempat ini terlihat bagus untuk mereka, lihat saja, aku berani bertaruh kalau orang-orang yang berada di dalam bangunan itu adalah orang-orang berdompet tebal. Terlihat dari beberapa mobil yang aku tak yakin berjenis apa saja-karena sebelumnya aku tak terlalu tahu mengenai jenis mobil- disana. Yang jelas, mereka terlihat trendi dan mewah dalam berbagai bentuk. Lagi-lagi aku tak fokus karena hal itu.
Semakin lama aku semakin gusar ditempat duduk. Aku yakin, jika ada seseorang selain diriku ditempat ini yang bernasib sama denganku, menunggu taksi atau apapun asalkan kendaraan, yang dapat mengantarnya kesuatu tempat, orang itu pasti akan lebih memilih pergi dan mencari tempat lain untuk menunggu.
Bodohnya, aku tak ingin melakukan itu. Bukan karena aku malas berjalan atau lelah, melainkan waktu yang hampir habislah yang masih menahanku. Entah mengapa aku merasa kalau seseorang akan lewat di jalan ini dan akan membawaku ke bandara. Yah, meski terdengar seperti doa untukku, tapi berhubung aku punya feeling yang bagus kadang-kadang, aku mengabaikan prasangka buruk didalam hatiku.
Tanpa peduli kalau prasangka itu juga terjadi kadang-kadang.
Bosan, bosan, bosan. Aku mulai mondar-mandir disekitar kursi tempat duduk sambil menggigit-gigit kecil jari-jari tanganku sampai akhirnya duduk kembali. Karena bingung harus berbuat apa, aku mulai merogoh tas dan mengambil handycamp disana. Aku tersenyum menyadari kalau daya batrei-nya masih ada, padahal sudah aku gunakan berulang kali dan terakhir charger dua hari yang lalu. Wah, handycamp kesayanganku, kau yang terbaik.
Setelah puas mengelus-elus dengan sayang handycamp dan menciuminya, aku mulai mengatur pencahayaan dan fokus kamera. Setelah dirasa cukup, aku mulai dengan gaya jari telunjuk dan tengah kutempelkan pada permukaan wajah, membentuk v lalu...
Ckrek
... foto pertama berhasil ku ambil dan hasilnya cukup membuat puas diriku. Kini dengan gaya yang berbeda dan ditempat yang berbeda dari sebelumnya, jari telunjuk dan ibu jari menyilang seperti membentuk love yang merupakan gaya foto trendi masa kini. Dan,
Ckrek
Foto kedua membuatku sumringah, "Ini terlihat lebih baik," gumamku tak jelas.
Ketika mulai bingung ingin bergaya seperti apa lagi, aku mulai berpikir dan menemukan sebuah ide. Dengan sengaja aku berdiri di tepi jalan, handycamp-nya ku arahkan padaku yang sedang membelakangi jalanan. Aku mulai mengatur pose yang sekiranya akan terlihat bagus. Setelah siap dengan sebelah mata yang ku kedipkan akupun menekan tombolnya dan...
"Cheers" aku terdiam, mengigat kata-kata yang baru saja ku lontarkan, apakah benar begitu?
Ah, persetan dengan itu aku kembali keposisi tadi, dan...
"Eh, Siapa itu," lirihku amat pelan. Setelah menyadari ada seseorang yang tertangkap oleh handycamp, orang itu berada dibelakangku. Aku mengernyitkan kening mencoba melihat siapakah gerangan orang dengan setelan serba hitam di seberang jalan sana. Sepertinya orang itu baru keluar dari bangunan tadi.
"Akhirnya, Hei!" Teriakku pada seseorang yang mengendarai motor di jalan. Yes, aku akan pulang sekarang, sorakku dalam hati.
Tidak butuh waktu lama sampai orang yang mengendarai motor itu mendekat, melihat itu aku semakin berbinar. Tapi,
"Hei! Aku yang memanggilmu! Kenapa kau... Hei!"
Aku tersentak menyadari kendaraan beroda dua itu tak mendekat kearahku, tapi menuju orang berbaju serba hitam yang tengah menyeberangi jalan dengan santai. Aku bersumpah, tubuhku kini bergetar hebat, bingung harus berbuat apa.
Apa motor itu mengincar orang berbaju hitam? Atau tidak? Apa orang berbaju hitam itu tuli sehingga tak mendengar ada kendaraan yang sedang melaju dijalan? Apa dia menggunakan headset ditelinganya? Apa-
BRUK... Shittt..
"AKH!"
Terlambat
Aku sudah tahu apa yang akan terjadi dan aku menolong orang itu. Aku meringis mendapati bahuku serasa ingin lepas dan kepalaku mulai nyeri dan pening seketika. Perlahan ku usap puncak kepalaku dan menemukan bercak darah melumuri tanganku. Dalam keadaan ini, aku masih mencoba mencari tahu keberadaan seseorang itu. Ah, dia terbaring sama sepertiku, aku bersyukur setidaknya orang itu tidak apa-apa. Sampai dunia mulai menggelap dan gelap terlihat.
"Hei! Nona?! Kau tak apa?! NONA?!"
.
.
.
Hal pertama yang berhasil tertangkap oleh indera penglihatanku, yaitu sebuah ruang dengan aroma khas alkohol dengan warna putih mendominasi. Beberapa kali ku kerjapkan mata, guna membiasakan cahaya yang menerobos masuk dari balik jendela disamping kiri aku terbaring.
Aku meringis, dengan cepat menggapai puncak kepala yang amat menyakitkan sehingga rasanya ingin pecah saat ini juga. Setelah kurasa mampu menyesuaikan rasa sakit itu, aku menoleh kesamping dimana jendela itu terbuka lebar. Masih dengan wajah sendu khas bangun tidurku.
"AKH! S-siapa kau?"
Aku melotot melihat seseorang yang dengan santai duduk disamping kananku. Bagaimana bisa aku tak menyadari ada orang lain diruang ini selain aku. Oh ya, aku 'kan baru bangun, pikirku kemudian.
Dia memasang muka seakan bertanya kenapa padaku. Tapi, aku lebih memilih diam dan terus menatapnya, entah sekarang bagaimana kah ekspresiku hingga ia mendengus mendapati aku terus menatap ke arahnya. Ia melempar sebuah buku yang tadi mungkin ia dibaca, dan balik menatap ke arahku.
"Kau baik-baik saja? Tidurmu lumayan lama, aku sudah hampir satu jam disini menunggumu."
Aku masih diam, menunggu kalau-kalau ia akan melanjutkan perkataannya.
"Sepertinya aku benar... Oh ya, aku adalah orang yang kau tolong beberapa saat lalu. Kau masih ingat 'kan?" tanyanya.
Apa-apaan orang ini.
Aku berusaha mendudukan diri dan bersandar dikepala kasur ruang ini. Sial, untuk bergerak saja tubuhku serasa tak mampu.
"Jangan terlalu memaksakan diri." Ucap lelaki itu lagi, kemudian bergerak membantuku untuk duduk.
Aku masih belum sepenuhnya sadar ternyata. Beberapa detik setelah orang asing itu membantuku, aku mulai mengigat segalanya. Apa yang telah ku perbuat, aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Aku bergedik ngeri, saat ingatan itu mulai kembali dan memenuhi otak. Aku ingat hampir kehilangan nyawa hanya karena orang itu.
"Akh.." aku merasa ada yang salah dengan tubuhku, terutama pada bagian bahu yang sakitnya lebih mendominasi. Ketika aku melihanya, bahuku telah terbungkus rapi. Terbungkus? Bahuku? Aku mulai merasa takut. Apapun itu, semoga bukan hal seperti yang aku pikirkan.
Sedang lelaki asing tadi, ia masih menatapku. Alisnya bertaut, mungkin ia bingung melihat tingkahku. Dengan tidak elitnya aku bertanya, "Apa bahuku patah? Atau tulangnya geser? Retak? Atau semacamnya?" bertubi-tubi saking paniknya. Perlu diingat, bahwa aku adalah gadis penakut apabila menyakut hidup dan mati. Aku bahkan biasanya tak bisa menahan sakit berlebih dan dalam waktu lama sehingga aku terus memilih hidup dalam zona aman selama tujuh belas tahun ini. Kumohon katakan tidak untukku.
Alih-alih menjawab dia malah mentertawaiku, meski sangat tipis terlihat, tapi aku bisa mendengar samar-samar suaranya.
"Mana mungkin itu terjadi. Kau hanya terserempet motor bukannya ditabrak truk." jawabnya dengan nada sedikit mengejek.
Brengsek, dasar tak tahu terima kasih. Aku mengumpat mendapati ia terus menutupi mulut. Apanya yang lucu? Aku tidak sedang melawak sekarang. Apa pertanyaanku terdengar konyol ditelinganya.
Masa bodoh! Aku lebih memilih melempar pandangan ke tempat lain daripada harus melihat wajah menyebalkannya. Aku berada dirumah sakit, ya. Bodoh sekali aku baru menyadari ini. Mataku tak berhenti menelusuri setiap inci sudut ruang yang amat luas ini dengan teratur. Sampai sesuatu berhasil menyita dan menghentikan pergerakan mataku.
"TIDAK! AKU TERLAMBAT!"
Bersamaan dengan itu,
BRAK
"Kau mau kemana? Kau belum sembuh total, bodoh." lelaki itu mencegahku membuka pintu ruangan dan mengeplak pintunya cukup keras mendahuluiku. Cepat sekali, jelas-jelas tadi dia masih duduk disana.
"Aku sudah merasa lebih baik. Aku harus pergi sekarang-"
"Apa maksudmu ingin pergi. Tidak bisa! Kau harus kembali ke kasurmu!" lelaki menyebalkan itu kini berani dan dengan lancang memberi perintah kepadaku. Dia pikir dia siapa, bahkan kami tak mengenal satu sama lain. Heh, jangan harap aku akan menurutimu, brengsek!
"Aku tidak mau! Minggir kau!"
Aku membanting tangannya yang menghalangi jalanku. Aku tidak peduli dengan keadaanku sekarang, dan entah mengapa rasa sakitku tidak terasa lagi.
Sialan, dia masih bersikeras untuk mencegatku tenyata. Lihatlah apa yang ia lakukan kini, membiarkan tubuhnya yang sempurna itu untuk menutupi pintu dan memblokir akses jalanku keluar. Tangannya ia silangkan di depan dada dengan wajah tak berdosa dihadapanku.
"A-apa yang k-kau lakukan..."
Sekuat tenaga aku mencoba menyingkirkan tubuhnya dari pintu, namun beberapa kali aku tetap saja gagal. Dengan kondisiku dan juga kekuatannya, doronganku bukanlah apa-apa. Ekspresinya masih sama, berlagak tak tahu menahu dengan yang baru saja ku katakan.
"Percuma saja, kau tak seharusnya pergi dalam keadaan seperti-"
"AKU INGIN PULANG KE NEGARA ASALKU, BODOH!"
Aku sampai menitikan air mata hanya karena mendebati lelaki brengsek ini. Bagaimana bisa ia tak mengerti dengan apa yang ku katakan. Aku memincing, sungguh muak dengan sikapnya.
Aku bisa melihat ia terkejut dengan teriakan ku barusan. Memang seharusnya itu terjadi, apalagi bulir bening yang mulai turun menelusuri pipiku terlihat olehnya.
Aku memutuskan untuk menyerah dan berlutut sambil mulai terisak. Melawan lelaki tak berhati ini sangatlah bodoh untuk dilakukan. Aku bahkan bisa menebak lelaki ini tak berhati karena setelah melihatku terisak dia bahkan tak melakukan apa-apa. Lelaki itu masih pada posisinya, ekspresi itu nampak bodoh terlihat olehku di wajah yang setengah tertutupnya.
Semenjak kejadian tadi, aku memutuskan untuk tidak melihat wajahnya dengan terus memandang lurus kesamping kiri dimana jendela terbuka lebar. Ku eratkan genggamanku pada selimut yang ada dan menutupi hampir seluruh tubuhku. Panas yang sejak tadi serasa membakar tubuh ku abaikan, karena pikiranku yang sedang berkecamuk sekarang.
Apa yang lelaki itu perbuat dibalik punggungku aku tak tahu, dan mungkin tak mau tahu. Jujur, aku masih sangat marah padanya.
Sedetik kemudian mataku mulai memanas, kurasa sebentar lagi air mataku akan keluar. Bibirku bergetar karena berusaha menahan air yang mengenang di kelopak mataku.
Menyedihkan sekali bukan?
Aku menangis bukan karena lelaki brengsek itu, juga bukan karena tingkahnya yang dingin padaku. Melainkan, nasib dan takdirku sekarang. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kejadian seperti ini akan aku alami. Bukan aku cengeng atau apa, tapi peristiwa semacam ini adalah yang pertama di hidupku. Wajar kalau aku sedikit sensitif dan merasa takut. Fakta bahwa aku adalah remaja yang labil di umurku memang sering terjadi kadang kala. Aku tak terlalu peduli dengan hal-hal tersebut, yang aku pedulikan hanyalah bagaimana caranya nanti aku bisa pulang.
"Apa kau marah padaku?"
Masih bernyali rupanya kau bertanya, batinku.
"Hn, kau ingin aku membantumu?"
Aku terkejut dengan reflek berbalik, mataku menatap tak percaya melihat lelaki itu menggenggam tiket pesawat. Tiketku ada padanya, kini ada ditangan kanan yang sedang mengacung ke arahku.
Aku merebut paksa tiket itu. Melihat-lihat sesuatu yang tertera dikertasnya, yang setelah itu berhasil membuatku sedih kembali. "Huh, sudah terlambat." gerutuku. Benda persegi yang beberapa saat lalu sangat berarti bagiku kini menjadi tak berlaku. Bahkan jauh sebelum aku tak sadarkan diri di tempat ini. Aku hanya bisa menatap kosong dengan keputusasaan terpampang di wajahku. Persetan dengan orang disampingku ini, aku sudah tak bisa menahan diri.
"Aku akan mengantinya, kau tak perlu khawatir."
Kedua mataku mengerjap berkali-kali ketika tawaran itu ia lontarkan. Sorot mataku berubah sedikit cerah, bisa diperkirakan kini aku tengah tersenyum mengerikan padanya. Kalau sudah begini, aku tak seharusnya memikirkan gengsi dan egoisme 'kan?
"Serahkan saja padaku, aku yang akan mengurus segalanya setelah kau diperbolehkan pulang nanti." ucapnya yang mulai beranjak dari tempat duduk.
Bersamaan dengan itu, aku melompat dari kasur dan menyambar pintu keluar sebelum lelaki itu sempat meraihnya. Aku bisa melihat raut terkejutnya sekilas saat dengan sengaja aku menyeringai licik padanya sebelum benar-benar menarik knop pintu.
Sebentar lagi aku akan bebas. Dasar, seenaknya saja bicara, aku tak akan sudi menerima uluran tangan bajingan gila itu, tidak akan. Kabur mungkin lebih baik.
Sayup-sayup aku mendengar ia berkata, "Kau akan menyesal, gadis bodoh."
Heh, tidak akan, bajingan!
Baru beberapa detik aku keluar dari ruangan itu, tubuhku malah terdorong untuk masuk kembali dengan sendirinya. Aku mengumpat pada semua orang yang berdiri di depan pintu diluar sana.
"Sudah kubilang 'kan.." gumam lelaki tadi yang sedang berkutak dengan sebuah buku. "Masih ingin pergi sekarang, nona?" lanjutnya kini beralih menatap kearahku.
Apa maksudnya?
Untuk kesekian kali dihari ini aku terkejut. Lelaki itu telah memperlihatkan wajahnya yang kini jelas di mataku. Entah dapat dorongan dari mana aku telah melangkah mendekatinya, rasa penasaranku pada sosok itu memuncak.
"K-Kau?"
Ia tersenyum aneh padaku, "Kurasa kau sudah mengenaliku."
Kini aku sadar mengapa segerombolan wartawan berada di depan pintu. Ternyata dia penyebabnya. Meski masih tak percaya dengan apa yang kulihat, tapi itulah kenyataannya. Dia, Uchiha Sasuke.
"Apa kau sekarang menerima tawaranku?"
"Heh, tidak semudah itu. Kau pikir aku ini siapa?"
"Ya sudah, kau ingin aku bagaimana?" tanyanya frustasi.
Aku mengambil napas panjang kemudian menjawab setelah berpikir, "Berikan aku pekerjaan."
Saat itu pula ia membelalakan matanya mendengar permintaanku.
Jangan salah paham, aku hanya tak ingin mendapat sesuatu secara percuma. Karena sungguh itu bukanlah gayaku.
.
.
.
TBC
Catatan:
Aku kembali lagi dengan fict absurd. Tiba-tiba mau nulis aja lalu sebuah ide muncul dan jadilah fict ini. Maaf kalo belum bisa maksimal dalam menulis, namanya juga masih belajar, tolong maklumilah keamatiranku.
Untuk yang baca, jangan lupa tinggalkan kritik dan saran kalian! Karena kritik yang membangun akan sangat membantu.
Sekian dan terima kasih,
Swinysoo
