What The Matter

A Fiction by

Ahmad Tobi

From A story

"Now We're Friends"

by

shirruetto

Disclaimer

Original character "NARUTO" by Masashi Kishimoto

Warning

Super OOC

"Hinata."

Sesosok pemuda tubuh tinggi berpakaian SMA berjalan sambil menggumam. Bukan pada dirinya sendiri, karena namanya adalah Sabaku no Gaara. Tetapi ia berkata-kata pada punggung seorang gadis yang tengah memilah-milah buku di perpustakaan. Gadis itu menoleh, menatap Gaara tanpa ekspresi, "ada apa?"

Gaara menunduk dan menjitak kepala gadis itu tiba-tiba, "baka janai no ka? Kau pikir berapa lama aku menunggumu di kantin? Berhenti membaca sekarang juga!" hardiknya pelan. Tetapi Hyuga Hinata hanya mencibir sambil mengusap-usap benjol di kepalanya, "aaargh, Gaara, aku lagi sibuk nih." Keluhnya, "bisa ga-…"

Kata-kata Hinata terhenti saat matanya beradu dengan pelototan maut Gaara, dan detik itu juga gadis itu mengembalikan buku-buku yang hendak dibacanya secepat kilat.

"Oke. Kita makan." Akhirnya Hinata menyentuh lengan Gaara dengan jemarinya, lalu menarik pemuda berwajah tirus itu ke arah kantin dengan hati berdebar-debar.

Mereka tinggal bersebelahan flat. Hinata adalah orang daerah yang mendapat beasiswa ke Perguruan Higashino, sedangkan Gaara sedang belajar untuk mandiri, makanya ia keluar dari Rumah Besar Sabaku di Distrik Chiba, dan menetap di Distrik Higashiyama. Gaara lebih tua satu tahun, meski mereka kini sama-sama kelas 2. Mereka selalu bersama, karena mereka memilih begitu. Mungkin karena sayang, mungkin juga karena terbiasa. Mungkin juga bagi keduanya sendirian sangatlah menyakitkan. Yeah, aku juga setuju.

"Gaara…"

"Hmm…"

Sore itu keduanya berjalan beriringan di pertokoan Higashiyama. Hinata melirik wajah tanpa ekspresi Gaara, lalu meraih tangan besarnya dan bergelayut manja di samping pemuda itu. Membuat Gaara sampai menoleh dan balas menatap gadis itu heran.

"Kenapa kau?"

Hinata tersenyum manis, tanpa ragu-ragu menampakkan rona di pipinya, "he he he, Gaara, aku senang sekali nih!" serunya.

Gaara mengerinyitkan dahi, "karena tanganku?" tanyanya asal.

Hinata manyun sekali, lalu mengeratkan pelukannya di sekeliling lengan Gaara, "yee, bukan, dasar Gaara piktor! Hari ini aku ditembak cowok! KYAAAA!" lalu dengan energi yang entah muncul dari mana Hinata melepas lengan Gaara dan malah memeluk pemuda itu erat-erat. Membuat beberapa gadis menoleh dengan iri. Membuat sepasang suami istri menatap dengan sinis.

"Hi-Hinata!" Gaara berusaha menjaga keseimbangan tubuh raksasanya, "oi,oi! Baka-onna! Dasar ga tahu malu! Lepaskan aku!"

Hinata tak menggubrisnya. Ia malah mendongak, berkata sambil tertawa, "ne, ne, aku harus jawab apa dooong, Gaara? Ini pertamakalinya sih, hi hi hi…" gadis itu lalu melepaskan Gaara, memberi ruang bagi sahabatnya.

Gaara garuk-garuk kepala. Ia tak tahu lagi harus bicara apa. Sebenarnya di dalam hati ini ada perasaan tak rela. Tetapi tentu saja Gaara tak mampu mengungkapkannya. Jadi ia hanya diam saja…

Pertanyaan kenapa muncul di benak Hinata. Ketika ia berendam di dalam bak mandinya malam itu, perasaan bahagia karena senior kelas 3 menyatakan cinta padanya ternyata tak sebanding dengan rasa penasaran yang menghantuinya.

Mengapa Gaara diam?

Padahal biasanya komentarnya lebih pedas dari sambal. Ia yang selalu tersenyum mengejek kalau Hinata menceritakan impian-impiannya, kali ini memilih untuk diam. Membuat hati ini semakin penasaran, apa yang sebenarnya direncanakan pemuda itu?

"Bodoh…" Hinata bangkit dan mengeringkan tubuhnya, " gara-gara Gaara moodku rusak…"

Pemuda itu bernama Uzumaki Naruto. Anggota kelas 3 klub drama, dimana biasanya orang-orang aneh berkumpul. Tetapi tidak bagi Naruto yang menawan. Ia yang digosipkan memiliki dua kepribadian, karena ketika ia dipentas begitu atraktif dan bersinar, di luar panggung ia hampir-hampir tak bicara apa-apa. Sangat tenang, sangat misterius, sangat menarik perhatian.

Ya, Naruto adalah pemuda yang menyatakan cinta pada Hinata. Di salah satu sudut perpustakaan saat Hinata tengah membaca. Memang tidak kentara, tetapi selama ini perpustakaan yang dilewati Naruto apabila hendak menuju ruang klubnya membuatnya menikmati sosok Hinata yang duduk membaca.

Hanya saja, Naruto hampir-hampir tak pernah melihat kursi kosong di sebelah Hinata terisi oleh Gaara. Mungkin ini pula yang namanya takdir, agar ia tak ragu mengungkapkan perasaannya.

"Jadi, apa yang biasanya kau baca?"

Gaara merengut. Ia benar-benar merengut bagai kanak, karena ketika ditinggalnya Hinata sebentar untuk mengambil buku lain, di sebelah gadis itu kini duduk Narutoi. Di kursiNYA.

Hinata tersenyum sedikit, merasa tak nyaman karena pandangan menusuk Gaara yang terpaksa duduk di kursi lain menghantam punggungnya, "a-anu… sempai, bagaimana kalau kita bicara di tempat lain saja?" tanyanya. Naruto balas menatapnya heran, "eh, kenapa?"

Hinata bangkit dari kursinya, "tidak." Matanya melirik Gaara, tetapi segera berpaling karena yang bersangkutan balas memberikannya tatapan mematikan, "tiba-tiba aku ingin makan crepes di taman. Sempai mau ikut?" tanyanya riang.

Eksentrik.

Saking tidak pahamnya Naruto terhadap gadis aneh itu, dibiarkannya rasa penasaran menuntunnya bangkit untuk mengikut langkah Hinata. Sementara Gaara menatap mereka berdua yang pergi keluar perpustakaan sambil bercengkerama, lalu kembali menunduk menekuri buku yang dibacanya.

Padahal kegusaran memenuhinya. Padahal kecemburuan mengusiknya.

"Hn." Dari sudut bibirnya pelan terdengar umpatan, "baka onna…!"

"Waaah…." Hinata menatap crepe' choco-cheese-banana kesukaannya dengan mata berbinar-binar, "oishii…"

Naruto yang memerhatikan wajahnya kini tersenyum lembut, "darimana kau tahu itu enak? Kau hanya melihatnya, kan?" candanya. Hinata merengut ke arah Naruto, "jahatnyaaa…! Sempai, dimana-mana, makanan enak itu dilihat aja udah enak, tau!" Lalu ia menggigit ujung crepe-nya, "hwaaah, umeeei!"

"He he he… sori deh…" Naruto tertawa, sementara matanya tak lepas dari Hinata, "tapi kau benar-benar orang yang berbeda…"

Hinata menoleh, matanya balas menantang tatapan Naruto sementara bibirnya berucap, "memangnya sempai mengira aku ini seperti apa?" tanyanya.

Naruto mengangkat tangan, lalu dengan berani ia mengusap sedikit cokelat di ujung bibir Hinata, "kupikir kau orangnya anti-sosial-hey, jangan cubit aku- tapi setelah bicara denganmu, ternyata kau asik sekali." Ujarnya, kini mengusap lengannya yang dicubit Hinata.

Hinata tersenyum lebar, "benarkah?" sahutnya riang, "waah, sempai membuatku berdebar-debar nih, hi hi hi hi…" ia tertawa, dengan berani menampakkan rona di pipinya. Membuat Naruto ikut merasa jantungnya berdegup kencang.

Ia ingin memiliki.

Tidak tahu bagaimana bisa seperti ini, tetapi monster dalam diri Naruto terbangun karena senyuman Hinata. Benar-benar perempuan yang berbahaya, karena tiba-tiba saja Naruto ingin bercinta dengannya. Disini. Sekarang juga.

"Oh iya." Hinata bangkit, sementara tatapan Naruto terus-menerus menguncinya, "sempai, klub drama itu seperti apa sih?" tanyanya, "aku suka sih nonton klub drama kalau lagi tampil…" Naruto tersenyum saat gadis itu berdiri di hadapannya dan membiarkan Naruto menyentuh jemarinya, "…tapi Gaara kadang nggak mau nonton, padahal parodi di klub drama lucu-lucu…"

Naruto mengerjap sekali.

Gaara?

Apa gadis ini sedang bicara tentang Gaara yang itu? Sabaku no Gaara?

Kalau begitu…

"Kalau begitu, lain kali akan kukenalkan kau pada anak-anak klub drama…" Naruto ikut bangkit, kemudian mengajak gadis itu berjalan beriringan ke arah gedung perpustakaan.

"Eeh? Memangnya bisa ya, sempai?"

"Tentu saja." Naruto yang tadi hanya berani menggandeng Hinata, kini mengangkat tangan dan merangkulnya, "kau kan kocak, pasti mereka suka."

"Heeeh? Kok aku dibilangin kocak? Aku kan keren, sempai!"

"Hai, hai." Naruto tertawa renyah, "Hinata keren…. Boleh kupanggil begitu?"

Kali ini ia melihat wajah Hinata merona lagi, bahkan sampai gadis itu tak mampu berkata-kata. Ia hanya menunduk, menggerutu malu pada dirinya sendiri.

Naruto mengeratkan rangkulannya di sekeliling pundak Hinata. Wah, rasanya sulit sekali hanya bertahan agar tak lebih buruk dari merangkulnya. Membuat Naruto keheranan juga di dalam hati. Padahal dia sangat tenang, dia mampu mengendalikan emosinya.

Tapi kenapa gadis itu seperti meminta untuk disentuh?

"Gadis bodoh…"

"Heeh?" Saat Hinata mengangkat wajah, di depan meja belajarnya berdiri Gaara sambil berkacak pinggang, "Gaara, kok tiba-tiba…"

"BodohBodohBodohBodohBodoh…"

Kenapa dia? Pekik Hinata di dalam hati, "G-G-Gaaraaa…" lalu ia bangkit dan mengulurkan tangan untuk bergelayut manja di lengan sahabatnya, tetapi Gaara berkelit sambil terus bergumam.

"…BodohBodohBodohBodohBodoh…"

"Gaaraaa!" Hinata mengejar Gaara, yang terus saja berkelit apabila gadis itu hendak mendekat, "kamu kenapa sih?" hardik Hinata.

Gaara berhenti bergumam, juga berhenti bergerak. Ia hanya melemparkan pandangan mematikan yang biasa dilakukannya kalau sedang kesal. Ya. Ia kesal. Bukan karena ia ditinggal sendirian di perpustakaan sementara Hinata makan crepe, bukan karena saat kembali dari sana ia melihat lengan Naruto merangkul Hinata.…!

Emm, sepertinya yang kusebutkan diatas cukup jadi alasan mengapa Gaara kesal…

"Gaaraa…" Hinata melangkah sekali, hendak menyentuh dada bidang Gaara tempat dia selama ini bersandar, ketika pemuda itu malah beranjak pergi sambil berbisik pelan, "aku tidak ada perlu apa-apa lagi, gadis bodoh. Sampai jumpa besok."

EH! Hinata membelalak kaget. Apa sih yang sedang terjadi disini! Pekiknya pada hatinya lagi, kenapa Gaara menjadi begitu aneh?

"Kamu jadian sama Naruto-sempai?"

Sudah lama, sudah lama sekali Gaara ingin bertanya seperti itu, ketika ia keduluan Obito. Di kelas 2-1 itu Gaara yang duduk dibelakang Hinata diam-diam mendengarkan pembicaraan kedua temannya.

"Belum kok." Hinata tertawa malu, "Obito ini bicara apa sih, he he he…"

"Syukurlah…" Uchiha Obito menghela napas lega, saat matanya menangkap basah ekspresi lega tercermin di wajah Gaara sekilas. Dahinya mengerinyit dengan curiga.

"Tapi Obito…" Hinata menoleh ke arah Obito, "kira-kira kujawab apa ya, Naruto-sempai itu. Aku bingung nih…"

Obito mengangkat sebelah alis, "kamu suka ga sama dia?" tanyanya sinis.

Hinata berpikir sejenak, "emm, suka sih… dia baik. Trus joke-nya bagus. Tapi…" Hinata merebahkan kepalanya di atas meja, menerawang menatap kosong ke arah langit di luar jendela, "orangnya kayaknya serius banget. Bikin penasaran…"

Gaara bisa melihat wajah Obito merona. Pemuda itu tertunduk, pelan digelengkan kepalanya sambil menggerutu dalam hati, 'Hinataaaa, sampai kapan kau mau menjebak orang lain seperti itu~~~? Paling tidak mengertilah perasaan mereka yang tidak bisa menggapaimu, baka-onna!'

Obito tersenyum, lalu ikut merebahkan kepalanya di atas meja. Bedanya, ia menatap Hinata lekat-lekat, "waah, jadi kau menyukainya? Kenapa malah bingung?" tanyanya.

Hinata kini menatap Obito, tersenyum lebar bagaikan kanak, "he he he, soalnya Gaara saja lebih tua sebulan daripada sempai sih, he he he he…."

Apa? Pekik kedua pemuda yang mendengarkan itu di dalam hati masing-masing.

'Jadi aku passing grade-mu?' keluh Gaara. Kini ia bisa merasakan tatapan sinis Obito atasnya. Membuatnya pura-pura membaca agar tak ketahuan kalau ia jadi kikuk karena pengakuan Hinata.

Obito menghela napas panjang.

Ia sudah tahu kalau Hinata tak dapat dimiliki. Selama masih ada Gaara yang terus berada di sampingnya, Obito dan banyak pemuda lain takkan bisa memiliki Hinata. Sudah begitu, seolah tak sadar apa yang seharusnya tak ia lakukan, Hinata tetap saja memberikan perhatian. Seolah-olah ia memang ditakdirkan menjadi penggoda.

"Begitu ya…" Obito kembali tersenyum pada Hinata, "he he he, berarti beruntung sekali pria yang lebih tua dari Gaara…"

Hinata mengangguk-angguk riang, sementara Gaara di belakangnya ingin sekali menarik rambut gadis itu dan menghardiknya agar berhenti membuat Obito melirik dirinya dengan sinis.

Pada dasarnya Hinata menyukai lelaki yang lebih tua darinya. Sedikit rahasianya akan kubeberkan disini. Ketika baru masuk, Hinata pernah menyukai Ketua Murid yang saat itu sudah kelas 3. Ini tak diberitahukannya pada siapapun, karena Hinata adalah tipe gadis yang sangat hati-hati kalau soal perasaannya. Akhirnya, Ketua Murid itu lulus dan sampai sekarang, kenangan akan pemuda itu masih disimpan Hinata. Pertemuan pertama mereka di gerbang sekolah, berselisih di lorong, atau ketika Hinata duduk satu meja dengannya di perpustakaan, ia sudah begitu bahagia hingga tak mampu bersuara. Ia menikmati mencinta, karena cinta yang bertepuk sebelah tangan itu lebih indah, dimana kau harus memiliki kendali untuk tak mengungkapkannya-…

"Hhhh…."

Hinata menghela napas panjang, sementara di hadapannya terbentang buku pr-nya untuk hari esok.

Apa sih yang kurang darinya? Ia pintar, wajahnya juga tidak jelek, dan ia supel sehingga orang-orang susah membencinya. Dan yang membuatnya lebih sempurna, yaitu Naruto-sempai, yang selalu tersenyum dan selalu sabar menanti jawabnya.

Tapi ada yang kurang.

Hinata tak tahu mengapa, tetapi hati ini merasa tak puas hanya menerima segala keberuntungannya. Mungkin ia memang serakah, mungkin ia juga inginkan sedikit tantangan dari kisah cintanya. Hanya saja, dunia nyata bukanlah roman. Cinta yang dirasakan anak manusia bukanlah perasaan berdebar yang menyenangkan. Tetapi menyakitkan. Penuh rasa bersalah, penuh rasa gundah, penuh kewaspadaan. Apakah akan abadi, atau hanya rapuh bagaikan kaca?

"Aku tidak siap dengan ini semua…" Hinata merebahkan kepalanya, ketika tiba-tiba saja matanya bertatapan dengan wajah Gaara.

"G-G-Gaara….?"

"Tidak siap dengan apa?" tanya pemuda itu dengan nada datar.

Hinata mengangkat wajahnya, membiarkan rona menghiasi pipinya ketka ia menjawab sambil tergagap-gagap, "Gaaraaa! Apa yang kau lakukan? Jangan tiba-tiba masuk kamar cewek dong!" rengeknya sembari menarik sebelah pipi Gaara dengan gemas.

Gaara membiarkan pipinya ditarik Hinata. Matanya masih menatap gadis itu tanpa jeda, "apa, Hinata? Kau tidak siap dengan apa?" tanyanya.

Hinata menelan ludah. Ia tak bisa menjawabnya, hanya bisa menggerakkan bibirnya tanpa suara.

Sementara Gaara terus menatapnya, terus memojokkannya tanpa memberikannya kesempatan untuk memalingkan muka.

Tak ingin sendiri…

"G-G-Gaara, kamu bicara apa sih… aku tadi cuman ngelantur kok, he-he he-he…" Hinata menundukkan kepala, berbicara sambil tertawa canggung.

Karena tak ingin ditinggal sendiri, makanya memilih berdua…

Gaara tak bicara apa-apa. Matanya terus saja menyiksa, menyudutkan Hinata sekalian melampiaskan segala kekesalannya. Ia tidak suka gadis itu menggunakan dirinya sebagai tameng. Sebagai penghalang. Seolah-olah ia penjaga. Seolah-olah ia benteng. Ia manusia, ia bukan sebuah benda yang bisa dibanding-bandingkan Hinata dengan lelaki lain.

"Hei, gadis bodoh…"

Hanya ada satu cara untuk menghukumnya, begitu pikir Gaara di dalam hatinya, dan kali ini gadis itu sudah pasti akan menyesal karena telah berani memanfaatkannya.

Hinata kembali menelan ludah, menyadari kekelaman tanpa dasar yang mulai menerkamnya ketika mendengar kata-kata Gaara bergaung di telinganya. Ia tahu Gaara jengkel, tapi masa' karena ia tak ingin membicarakan apa yang sedang dibayangkannya?

"G-Gaaraaaa…" Hinata mendekat, kini tangannya pelan menyentuh kaos Gaara, "maaf-…"

Gaara mengambil napas, sebelum memotong kata-kata Hinata, "gadis bodoh…" matanya memicing, membuat Hinata berkeringat dingin, "jadilah pacarku."

Huh?

Hinata terpana, saat dari belakang ia merasakan dorongan yang membimbing tubuhnya agar merapat. Membuatnya terjepit diantara kedua lengan yang merangkulnya. Gaara mendekapnya, sementara pemuda itu menundukkan wajah, kini membisik di telinga Hinata, "jadilah pacarku, Hinata…" desahnya.

***To Be Continued***