Jimin tidak suka merasa kasihan. Dia merutuki rasa Simpati dan Empatinya yang tinggi terhadap semua hal yang membuat ia susah melupakan apa yang baru saja ia lihat. Ketika ia melihat bayi kucing yang mengeong kedinginan atau ketika ia melihat seorang anak kecil yang menangis sambil membawa tas sepulang sekolah seolah ia baru saja mengalami hari buruk disana. Rasa yang muncul di perutnya kemudian lari ke otak juga jantung Jimin membuat ia susah untuk bernafas lalu tiba tiba pipinya sudah basah akan likuid kesedihan.

Makanya ia juga menolak dengan keras ketika sang ibu mengajak dirinya mengunjungi keluarga Kim untuk menjenguk si putra tunggal yang mengalami depresi akibat di tinggal Tunangannya. Jimin belum pernah jatuh cinta, makanya ia tidak mengerti perasaan si putra tunggal. Tapi Jimin suka membaca. Dan akhirnya ia mengerti kesedihan apa yang akan ia alami jika sang ibu tetap mengajaknya.

"selamat datang minjoo.. ya ampun kau masih cantik saja setelah sekian lama.." Nyonya Kim menyambut Jimin dan ibunya di depan pintu lalu mereka bertukar salam sapa dengan manis yang pas. Tidak mengada ngada. Ibunya Jimin, Park Minjoo memang masih cantik di umurnya yang ke 42.

"Kau terlihat sangat pucat Soohyung, apa kau tidur dengan cukup?" Gurat khawatir pun muncul saat nyonya Park melihat kantung mata yang menebal juga kulit nyonya Kim yang memang sangat berbeda dari aslinya. Jimin baru menyadarinya karena Jimin tidak pernah bertemu dengan Nyonya Kim sebelumnya. "Ah.. kau tau kan ini mengapa, mohon di maklumkan" dan nyonya Park hanya mengangguk dengan senyum sedih.

"Omo! Apa ini anakmu? Jimin kan? Aduh.. dia tampan sekali" ujar nyonya Kim sambil Jimin membungkukkan badannya. "Ah... Tapi itu blonde ya?" Tambah Nyonya Kim membuat dahi Jimin sukses berkerut atas pertanyaannya. Saat ia melihat arah pandang wanita seumuran ibunya di depannya itu ke rambutnya, ia baru menyadari maksud tersebut.

"Ah, iya.. ini di izinkan di kampusku. Tidak apa apa. Saya suka bergaya"

"Ah bukan maksudku begitu Jimin-ah.." Jimin malah menaikkan alis tanda bingung dengan interupsi nyonya Kim. "Maksudku, Blonde adalah warna Seokjin"


"Silahkan diminum" Nyonya Kim menyuguhkan mereka 2 cangkir Jasmine Tea. Kata nyonya Kim stock teh tersebut adalah favorite Tuan Kim dan Namjoon (Jimin baru mengetahui nama anak mereka setelah Nyonya Kim bercerita). Dan itupun favorite Jimin juga. Dia memang penggemar sesuatu yang wangi.

"Seokjin adalah nama Tunangan Namjoon yang meninggal. dia itu lelaki yang cantik, tinggi dengan rambut blonde. Ia mirip sekali denganmu Jimin. Kau cantik dan rambutmu blonde. Hanya saja pipimu lebih lucu dari Seokjin" ujar Nyonya Kim lembut. Jimin dalam hati tersenyum karena Nyonya Kim tidak menyebut jika ia mempunyai tinggi yang sama dengan Seokjin. Tapi 173cm itu standar saat ia masih SMA. Kemudian nyonya Kim kembali bercerita tentang Seokjin dan Namjoon. Nyonya Kim mengatakan bahwa Namjoon selama 3 minggu di tinggalkan sudah melaksanakan percobaan bunuh diri kurang lebih 6 kali. Tapi selalu berhasil di hadang oleh suster pribadi yang menjaganya dari psikiater.

"6 kali?" nyonya Park membelalakkan matanya saat mendengar fakta tersebut.

"Ya, empat kali berhasil di cegah dan dua kali berhasil di rumah sakit" Jimin mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya karena mengerti jika kata "berhasil" menunjukkan kegagalan Namjoon untuk menyusul Seokjin.

"Jika sekali lagi ia memutuskan untuk melakukannya. Kami terpaksa membawanya ke rumah sakit jiwa" saat menyelesaikan kalimat tersebut, nyonya Kim langsung menutup mukanya seolah berat untuk mengeluarkan ultimatum yang ia dan suaminya buat. Bahunya bergetar menandakan pertahanan yang hampir runtuh. Nyonya park langsung berjalan ke arahnya dan mengusap punggung nyonya Kim.

"Yang Namjoon butuhkan adalah dukungan kalian Soohyung. Jangan bersedih seperti ini. Kau harus tegar dan membantu Namjoon dalam menapaki fase beratnya"

"Aku tau Minjoo. Tapi ia anakku. Ketika ia menangis, aku menangis. Ketika ia marah, aku marah. Dan ketika ia ingin mati, aku juga ingin ma.."

"AAARRRRRGGGHHHHH LEPASKAN AKU DASAR KALIAN BODOH! PERGI!"

Suara teriakan dari lantai atas spontan menghentikan semua aktifitas yang berada di ruang tengah. Nyonya Kim segera melepas pelukan ibunya Jimin dan sontak berlari menghampiri suara seorang pria yang berteriak seolah menyakiti pita suaranya. Dari teriakan yang Jimin dengar, intonasi kesedihan dan putus asa ikut berharmonisasi sehingga membuat Jimin memegang jantungnya yang mendadak sakit dan segera ikut berlari menyusul nyonya Kim ke atas.

Saat tiba di kamar berpintu coklat tua. Jimin berhenti di belakang sebuah kursi yang sudah terbalik dan melihat jika sang Ibu ditemani suster tengah menahan tangan Namjoon yang memberontak. Jika Jimin bisa menebak mungkin Namjoon ingin mengcancurkan jendela yang kuncinya di rantai (seolah olah menghindari Namjoon untuk berusaha kabur atau lompat dari lantai 2) dengan kursi lalu melompat menyusul kekasihnya. Jimin pun membalikkan kursi tersebut keposisi semula dan hampir terisak melihat adegan nyonya Kim memeluk anaknya yang meraung raung dengan tangisan yang menghancurkan Make up nyonya Kim. Baru saja Jimin ingin melangkah keluar dari ruangan tiba tiba seorang suster masuk sambil membawa sebuah suntikan dan berlari ke arah Namjoon.

"TIDAK! TIDAK ITU LAGI, TIDAK! AKU TIDAK GILA!" Rontaan Namjoon semakin kasar sehingga sukses mendorong nyonya Kim. Namjoon berlari ke arah pintu keluar dan bertatap muka dengan Jimin. Seketika Namjoon berhenti dan memandang Jimin lekat.

"S-seokjin?"

Jimin spontan mengatupkan bibirnya rapat mendengar ujaran Namjoon saat melihatnya. Air mata muncul di pipi Namjoon dan muka memerah akibat kemarahan yang menghiasi sebelumnya perlahan memudar seolah menampakkan wujud yang berbeda. Tangan Jimin bergetar dan ia tidak mengerti karena apa. Tapi ketika ia merasakan kehangatan dari Namjoon yang memeluknya erat. Ia mengerti arti getaran tubuhnya.


Nyonya Kim menyelimuti Namjoon yang tertidur dengan pulas lalu mencium keningnya. Akhirnya setelah 3 minggu terlewat, ini pertama kalinya sang ibu melihat Namjoon yang terlelap tanpa suntikan penenang. Nyonya Kim terus menangis akibat kelegaan yang di rasakan. Melihat Namjoon menangis di bahu Jimin dengan keras seolah memerintahkan seisi rumah untuk ikut merasakan kepedihannya membuat nyonya Kim terseyum ke arah Jimin yang balik memeluk Namjoon. Katakanlah ia sebagai seorang ibu yang buruk jika ia malah senang saat sang anak salah menyangka Jimin sebagai tunangan Namjoon yang meninggal. Tapi ibu yang buruk tersebut tersenyum akibat anaknya yang mau tidur tanpa pemaksaan.

Ini benar benar hadiah dari Tuhan. Maka nyonya Kim langsung berlutut dan mengatupkan tangan sebagai ucapan syukur. Saat nyonya Kim kembali ke ruang tamu, ia melihat Jimin yang sedang di peluk temannya dan mata pemuda itu terlihat membengkak akibat menangis sebelumnya.

"Anak ini memang gampang merasa terharu. Tadi ia cerita jika ia menangis akibat Namjoon bisa tidur dengan pulas"

Nyonya Kim pun tersenyum lalu mengelus rambut Jimin "kau merasakan apa yang aku rasakan Jimin" ucapnya pelan.

"Aku pikir jika Jimin sudah tenang, kami akan langsung pulang Soohyung" nyonya Park masih memupuk bahu anaknya.

"Ah! Secepat itu? Tapi kalian harus makan malam disini dulu" nyonya Kim memperlihatkan raut enggannya lalu dengan segera ia mulai berjalan ke arah dapur untuk menyuruh pelayannya memasak makan malam.

"Tidak apa apa Soohyung. Kami tidak ingin merepotkan" nyonya Park tersenyum dengan tujuan menolak. Tapi temannya itu langsung menghampiri dirinya juga Jimin dan dengan raut yang susah di artikan ia berlutut depan sofa yang di duduki nyonya Park serta Jimin lalu menggenggam tangan mereka.

"Kumohon kalian stay, Namjoon mengatakan ia ingin makan malam dengan Jimin. Ini pertama kalinya anak itu makan sesuatu dan bukan air infus. Aku mohon Minjoo, Kali ini saja

Dan raut memohon nyonya Kim sukses membuat Jimin menghela nafas pasrah


-tok tok tok

"Hm.. ini aku.. membawa makan malam" Ucap Jimin sambil membawa nampan berisi makan malam Namjoon. Ia dan ibunya sudah mengisi perut sebelum berkunjung ke kamar Namjoon. Ia bukannya terpaksa melakukan hal ini, tapi ia sedikit merasa setidaknya ia harus membantu.

Seorang suster membukakan pintu kamar Namjoon dari dalam dan mempersilahkan Jimin masuk. "Ia masih tidur, kau taruh saja di meja sana" kata sang suster sambil menunjuk ke arah meja kecil di sebelah kasur Namjoon. Jimin pun mengangguk dan menaruhnya.

"Ah! Kata nyonya Kim kau bisa istirahat dulu dan ia mempersilahkan aku yang menjaga Namjoon sementara" tawar Jimin dan di balas anggukan oleh sang suster.

"Panggil saja kami kalau kau membutuhkan, saya pamit dulu" mereka bertukar salam lalu sang suster meninggalkan ruangan tanpa menutup pintunya. Itu lebih mudah bagi Jimin untuk membuat teriakannya terdengar jika Namjoon kembali 'kambuh'.

Jimin pun mengitari ruangan Namjoon untuk sekedar melihat lihat sambil menunggu lelaki itu bangun atau si suster kembali dari waktu istirahatnya. Ia berjalan ke arah meja belajar Namjoon (entah belajar atau kerja karena Jimin tidak yakin jika Namjoon masih Kuliah) dan menemukan banyak buku buku tebal yang berserakan. Bisa ia tebak jika Namjoon seorang kutu buku. Tapi mungkin kutu buku yang tampan, Jimin bisa melihat hal tersebut dari sang ibu yang elegan dan rahang Namjoon yang tegas, Ia hanya tau itu.

"Siapa namamu?" Sontak Jimin berbalik kaget akibat mendengar suara berat yang tegas dari arah kasur. Namjoon telah terduduk di kasurnya, Jimin tidak merasakan itu.

"N-namaku?"

"Siapa lagi?" Jawab Namjoon retoris. Jimin merasa heran jika ternyata Namjoon sadar jika Jimin bukan tunangannya yang tadi ia peluk dan tangisi. Pemuda berambut blonde itu pun tergagap menjawab Namjoon.

"J-ji jimin, Park Jimin" jawab Jimin sambil masing masing tangannya memainkan ujung baju denggan pelan. Kebiasaan jika gugup.

"Aku memelukmu bukan karena kau Seokjin. Kau sangat berbeda dari segimanapun. Aku menyadarinya" tegas Namjoon sambil memandang Jimin dengan tatapan yang dingin.

"A-ah.." tapi si lawan bicara binggung menjawab ujaran Namjoon dan hanya menaikkan dahinya.

"Aku terpaksa melakukannya untuk menghindari suntikan penenang itu! Aku. Tidak. Gila."

Jimin hanya terbungkam seribu bahasa seolah merasa jika ia seharusnya tidak disini. Di kamar ini. Di depan Namjoon. Ia ingin segera berlari melihat tatapan Namjoon yang menusuk ke dadanya. Ia merasa seolah di tusuk pisau yang tajam.

"Kau harus segera menikah denganku"

Jimin tidak suka rasa kasihan. Dia merutuki rasa simpati dan empatinya. Jika saja ia tidak memiliki itu. Ia pasti akan segera kabur saat ibunya mengajak berkunjung menjenguk Namjoon. Ia pasti akan stay di ruang tamu saat mendengar raungan Namjoon yang menyayat hati. Dan ia pasti juga akan menolak permohonan nyonya Kim yang memaksanya stay untuk makan malam dengan Namjoon.

Dengan seperti itu ia tidak usah berada di situasi seperti ini.

Terpaku dan terdiam saat Namjoon mengeluarkan sebuah permintaan yang memerintah.

Jimin benci menjadi baik hati.

"apa maksudmu menikah?" Ucap jimin dengan mata yang membelalak. Dan di dalam hati dia berharap bahwa apa yang ia dengar hanyalah bualan saja atau mungkin halusinasinya. Tapi melihat Namjoon yang tersenyum sinis menunjukkan lesung pipinya dengan sombong. Jimin sadar jika senyuman itu membekukan seluruh ototnya.

Ia menjadi tegang.

"Kau mendengarnya. kita harus menikah!"

"Apa maksudmu? Coba katakan dengan jelas!" Sanggah Jimin dengan tangan yang gemetar. Ini adalah delusinya. Ia terjebak delusi, Jimin menaruh presentasi 99%.

"Aku mendengar semua... Ibuku akan membawaku ke rumah sakit jiwa jika sekali lagi aku mencoba bunuh diri. Dan aku sengaja melakukan drama barusan" ucapnya santai seolah akting yang ia perbuat barusan bukanlah hal yang besar untuk ibunya. Untuk nyonya Kim. Yang sudah menangis dengan keras melihat aksi Namjoon sebelumnya.

"Apa tujuanmu?" Jawab Jimin sambil mulai meninggikan nada suaranya.

"Kebebasan"

Hening

Jimin mengerutkan dahinya segera

"Apa?" Ujar Jimin memastikan

Dengan segera Namjoon pun berdiri dan menghampiri Jimin dengan cepat. "Drama barusan akan membukakan mata dia jika kau adalah harapannya" tegas pria tinggi tersebut dengan cepat sambil mengcengkram kedua bahu Jimin erat "dengan begitu aku bisa terbebas dari semua obat sialan itu.. Kita harus menikah! Kau harus menjadi milikku dan membebaskan aku dari semua ini" mata Namjoon yang berada tepat di depan Jimin sukses membuat ia mengkerut takut sambil menitikkan air mata.

Tapi saat ia memejam ketakutan, ia merasa ada air yang lain yang jatuh di dahi miliknya. Pria berambut blonde tersebut menyadari bukan hanya ia yang menangis.

Namjoon juga.

"Bantu aku bantu aku bantu aku bantu aku. Kita harus menikah.. bebaskan akuu..."

Untuk pertama kalinya. Jimin melihat apa itu yang namanya luka dari cinta setia.


2 minggu kemudian

"Jimin-ah.. jimin-ah terimakasih" nyonya Kim memeluk Jimin erat sambil menangis tersedu - sedu saat tirai di boutique yang mereka kunjungi terbuka dan menampilkan Jimin yang tampan dengan balutan tuxedo putih untuk pernikahan ia dengan Namjoon.

Ya... Jimin menyetujuinya.

Ini memang rumit untuk di jelaskan. Tapi yang pasti, Jimin mulai menghilangkan prinsip 'menikah dengan ia yang kucintai' menjadi 'aku harus membantu pria dengan raut terluka itu'.

Apa ia pernah bercerita tentang betapa muak ia dengan rasa simpatinya?

Pastinya sudah.

Makanya ia menyetujui hal tersebut lalu mulai bersiap meninggalkan semuanya saat janji suci terucap minggu depan.

Jimin memeluk balik badan nyonya Kim dan menangis dalam hati akan kebodohan yang tak bisa ia tolak

Ini harus baik baik saja


The day after the wedding day.

Untungnya saat Namjoon masih bertunangan. Ia sudah sempat menabung untuk sebuah rumah di daerah Seoul (jauh dari rumah Jimin dan Namjoon yang berada di pinggiran Seoul) yang sebelumnya akan ia tempati bersama Seokjin. Maka begitu mereka selesai dengan pestanya, mereka segera membawa koper ke rumah tersebut.

Jimin membuka pintu berwarna putih yang menghiasa dengan konsep minimalis tersebut dengan tenang dan takjub akan dekorasi interiornya yang cantik dan pas untuk beberapa kebutuhan. Kabarnya ini adalah dekorasi Seokjin.

"Warna putih gading memang terlihat pas" gumam Jimin pelan sambil melihat sekeliling. Ia merasa Namjoon melewati badannya cepat dan segera melemparkan koper miliknya ke sofa.

"Ini adalah rumahku dan Seokjin. Jangan pernah bermimpi untuk menganggap ini sebagai rumahmu" Namjoon mengatakannya dengan jelas sampai membuat pemuda yang lebih muda membelalakkan matanya.

"Apa maksudmu?"

"Dengar!" Namjoon menghampiri Jimin lalu menarik kerah tuxedonya kasar "kita menikah karena kau setuju membantuku. Jangan membantah! Walau aku tidak suka, tapi akulah sang Alpha disini! Aku. Su. .mu" gertak Namjoon sambil mendorong Jimin pelan dan berdengus geli. "Patuhi diriku atau kau akan menyesalinya"

Ya

Jimin sudah menyesalinya

TO BE CONTINUE


Hay.. saya aktif lagi dalam menulis.. udh bertahun tahun vakum 😂😂 tapi doain aku bisa ngelarin semua yaaa

Line : id = marchztttao

IG : marchxr_