SOFTLY RED
(sequel of Heavy Blue)
Cast: Byun Baek Hyun, Park Chan Yeol Support Cast: Kang Hye Bin, Oh Se Hun, Jung Soo Yeon, Kris Wu, Bae Joo Hyun Genre: SINETRON Rated: T Length: Chaptered
Warning: TYPO, SINETRON, MAINSTREAM
EVERYTHING HAS CHANGED
Jingga langit memayungi langkah Chanyeol memasuki rumahnya kembali. Hari telah beranjak malam selepas pekerjaan kantor menggunung ia selesaikan. Pria itu menghela nafas lelah berulang namun segera digantikan oleh senyum ketika retinanya menangkap sosok mungil di atas permadani.
"Da... Da!" Bayi itu terpekik senang melihat kehadiran Chanyeol. Tangannya melayang di udara dan Chanyeol segera tanggap membawa tubuh itu dalam gendongan.
"Hei Jagoan!" Ia bertubi menciumi wajah halus itu dalam ciuman juga pada perutnya sampai bayi itu terkikik keras. "Kau sudah mandi, eh? Harumnya~" Chanyeol menghirup dalam aroma yang menguar harum dari perut bayinya.
Chanyeol lantas mengalihkan pandangannya pada pengurus rumah yang tengah memberesi mainan di atas permadani dan bertanya, "Hyebin sudah pulang?"
"Belum Tuan," wanita paruh baya itu menjawab sopan.
Chanyeol tak sadar bagaimana ia menghela nafasnya kasar akan jawaban itu namun tak mengujarkan apapun membawa langkahnya masuk ke ke dalam kamar.
Chanhyun—atau kini yang memiliki nama resmi Jackson Park, diletakkan di atas tempat tidur sedang ia berganti pakaian.
"Da... Da!" Jackson berseru lagi dalam celotehan mengangkat tangannya di udara. Di umurnya yang menanjak 1 tahun, Jackson hanya mampu mengucapkan sepatah kata yang paling sering Chanyeol ujarkan padanya.
Da—atau kepanjangan dari Daddy adalah kata favorite-nya dan ia selalu bersemangat mengujarkan kata itu kepada Chanyeol. Kehadiran pria itu adalah hal yang selalu ia inginkan. Sore hari adalah waktu dimana Chanyeol kembali dari kantor dan selama itu pula waktunya dihabiskan dengan pengurus rumah.
Hanya Chanyeol tanpa peran Ibu yang Hyebin lakukan. Wanita itu masih bersama dengan dunianya. Ia pulang rutin malam setelah Chanyeol dan bertingkah seolah semuanya masih berjalan baik-baik saja.
Chanyeol merasa lelah untuk menegur dan memilih untuk mengabaikan—yang terlihat seperti membiarkan Hyebin melakukannya lagi dan lagi.
Keduanya tak lebih seperti dua orang yang berbagi status dalam atap rumah yang sama, hanya sebatas itu seolah ikatan pernikahan merupakan hal yang transparan terlihat.
Semuanya berjalan seperti itu. 6 bulan berlalu begitu saja. Chanyeol menjadi lebih sering berada di kantor dan Hyebin tetap berada pada kegiatan sosialitanya. Jackson Park hanyalah celah kecil baru dalam pasangan itu, nyatanya Chanyeol adalah satu-satunya yang peduli tanpa Hyebin atau basa-basi apapun yang wanita itu berikan.
Hyebin adalah ibunya secara hukum namun tak pernah melakukan tugasnya sebagai orangtua. Jackson menghabiskan waktunya sepanjang hari bersama pengurus rumah dan bersama Chanyeol ketika pria itu pulang. Hari bergulir sama, dengan kegiatan sama tanpa sisa kilasan berharga sama sekali.
Kecuali tumbuh kembang Jackson sedikit banyak memberikan warna baru bagi Chanyeol.
Pun dengan kepulangan Hyebin malam ini dan mendapati bayi berumur 1 tahun itu di atas ranjang, ia hanya melihatnya sekilas dan memilih duduk di atas sofa sembari melepas lelah disana.
Chanyeol keluar dari kamar mandi semenit kemudian dengan jubah mandi dan sebuah handuk kecil di tangan. Hyebin melihatnya dan menyapa pertama kali.
"Kau pulang?" Chanyeol melempar basa-basi pula sembari masuk masuk ke walk in closed dan mengambil acak pakaian rumahannya.
"Hm, aku lelah sekali." Wanita itu menjawab. Matanya memperhatikan Jackson di atas tempat tidur tanpa niatan menghampiri sekedar memeluknya. "Kapan kau pulang?" Hyebin melontar tanya lagi. Satu tangannya mengurut kakinya dan mengeluh tentang sepatu yang ia kenakan membuat telapak kakinya terasa keram.
"Tadi sore," jawab Chanyeol singkat. Ia menuju tempat tidur dan Jackson dengan suka cita menyambutnya dalam kikikan kembali.
Hyebin hanya memberikan gumanan lalu bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar mandi. Dua menit berselang, wanita itu keluar dari sana dengan penampilan serupa dan Chanyeol mulai menebak apa yang hendak wanita itu lakukan.
"Kau akan pergi lagi?" Satu alisnya berjengit pada kening.
"Sepertinya aku harus ke spa, sudah lama sekali sejak hari terakhir." Wanita Kang itu meraih tas tangannya lagi dan berjalan menuju pintu.
Chanyeol menatapnya dengan colosan tak percaya namun tak mencegah kepergiannya sama sekali. Fokusnya ia kembalikan kepada Jackson, naik ke atas tempat tidur dan berbaring disana. Jackson berbaring disamping Chanyeol dan pria itu lagi melarikan tangannya pada perut anaknya itu.
Bayi itu tertawa dengan dua gigi bawahnya yang baru tumbuh ketika Chanyeol menciumi perutnya berulang. Pria itu membuat suara aneh dari mulutnya dan bayi itu tertawa lebih keras sambil memukuli kepala Chanyeol.
Chanyeol pura-pura mengaduh dan berguling di atas tempat tidur lalu menarik Jackson ke atas perutnya. Matanya menyelami wajah bayi itu dan tak sadar bagaimana senyum terpahat tipis dari bibirnya.
"Kau sudah sebesar ini, ya Jagoan." Gumannya. Tangannya mengusap wajah Jackson dan merasakan dengan betul bagaimana halusnya kulit itu.
Semua orang mengatakan jika Jackson adalah replika Chanyeol. Terlebih matanya yang bulat itu,... namun semakin lama Chanyeol melihatnya, sosok lain selalu saja berbayang juga disana. Sosok yang memiliki separuh dari diri Jackson pula, seseorang yang tak lagi ia butuhkan... seseorang yang tak seharusnya ia pikirkan dalam tiap tidur malamnya.
Namun disinilah Chanyeol berada. Terjebak dalam detik ketika bersitatap dengan bayinya itu, maka selalu ada Baekhyun dan Baekhyun dalam paruh ingatan.
Bukan ingatan yang menyenangkan, semua adalah bentuk penyesalan tak berujung lain dan Chanyeol lumpuh untuk memikirkan bagaimana membebaskannya dari belengguan itu.
Bagaimana Chanyeol harus mengakui jika ia rindu. Tanpa alasan yang bagus ia rindu pada si remaja yatim piatu itu.
"Kau rindu Papa?" Chanyeol bertanya lebih kepada dirinya sendiri. Pusat perhatian Jackson berada pada kancing piyama Chanyeol dan memainkan benda kecil itu dengan penuh minat.
"Da... Da~" jemarinya menunjuk pakaian Chanyeol dan berseru dalam oceh bayinya.
"Daddy?" Chanyeol mengulang, seolah apa yang baru saja di ucapkan oleh bayi itu adalah pertanyaan balik untuknya.
Pria berumur 28 tahun itu menarik senyum palsu. "Aku seharusnya tidak boleh, 'kan?" ia berguman untuk dirinya sendiri. "Bagaimana jika kita bertemu dengan... Papa?"
Chanyeol terdiam setelah pertanyaannya itu menguar begitu saja. Ia tertegun dalam dirinya sendiri lalu tertawa pahit.
"Apa yang kukatakan."
…
Pagi adalah Chanyeol dan kantor. Pria itu selalu menampakkan batang hidungnya disana, duduk tenang di belakang meja dan mengekori Kris kemanapun pria itu melangkah.
Rapat adalah keharusan. Ia selalu menjadi pendengar yang baik tanpa ada satupun rancangan kerja yang ingin ia suarakan. Kris memperhatikan dan ia berdecak kesal dalam hati tentang betapa tidak produktif si sulungnya itu.
Chanyeol bahkan tak terlihat berusaha mempertahankan miliknya sedang Kris adalah satu-satunya yang sibuk menata silsilah warisan keluarga mereka.
Kehadiran Jackson bahkan tak memberikan pengaruh besar apapun, terlebih jika berbicara mengenai Hyebin... itu sempurna menghancurkan mood Kris hanya dengan memikirkan urusan rumah tangga anaknya itu.
"Hyebin masih suka kelayapan kemana-mana, eh?" Kris menyindir ketika pintu lift baru saja tertutup. Chanyeol berada di sampingnya, masih terpekur diam seperti di ruang rapat.
Chanyeol tak memberikan sahutan dan Kris dengan sengaja mendesah keras-keras disana.
"Jika kau menikah hanya untuk sebuah status setidaknya carilah yang tau diri siapa dirinya." Pria setengah baya itu menyindir terang-terangan. "Mengapa kau tidak ceraikan saja dia?"
Chanyeol menukik satu alis, mengalihkan pandangannya pada Kris dengan tak suka. "Pernikahan bukanlah permainan yang bisa diakhiri sesuka hati." Lelaki berumur 28 tahun itu menyahut, "aku tidak sepertimu." Sambungnya.
Kris di samping Chanyeol mendecih dengan satu sudut bibir terangkat, "Oh kalau begitu tetaplah hidup dalam angin kosong seperti ini. Siapa yg melarang, kau bahkan terlihat semakin mengerikan sejak punya anak."
Kesal hati Chanyeol menumpuk. Tentang Hyebin juga apa yang Kris ujarkan kepadanya benar membuat amarahnya berkembang di ubun. Chanyeol menggenggam kepalan tangannya pada sisi tubuh—mati-matian menahan emosi dalam dirinya untuk menyahuti pria yang lebih tua lagi.
Kris hanya melihat dengan tak peduli, ketika pintu lift terbuka ia masih bisa melangkah tenang meninggalkan Chanyeol yang kehilangan seluruh minatnya dengan pekerjaan. Chanyeol meninggalkan perataran gedung tanpa ijin, masuk ke dalam mobil dan mengemudikan kendaraan itu menuju kediamannya.
Ini bahkan belum memasuki jam makan siang dan Chanyeol tak seharusnya kembali ke rumah. Kesal hati menutup logika tentang kemarahan Kris yang ia tau akan memuncak seperti biasa.
Chanyeol tak ingin peduli. Daun pintu ia hempas keras, debumannya mengagetkan Hyebin di dalam sana dan nyaris membanting benda dalam genggaman.
"Apa yang kau lakukan disini?" Chanyeol berkerut kening tajam menilik kepada Hyebin yang berdiri dibelakang meja kerjanya. Hyebin membola, menatap Chanyeol seperti hantu dan berdehem panik tiba-tiba.
"A-aku-" matanya menatap sekitar dengan awas, pada apapun yang bisa ia jadikan alasan mengapa berada di dalam ruang kerja Chanyeol. "Mencari pulpen!" Ia menyergah tiba-tiba. Pulpen di atas meja Chanyeol ia sambar dan memperlihatkannya kepada pria itu. "Aku kehilangan milikku."
Chanyeol masih mempertahankan alis pada keningnya dan Hyebin tertawa hambar sedang kaki ia bawa mendekat kepada pria yang menjadi suaminya itu.
"Kau pulang lebih cepat?" ia bertanya sedang jemari berlari pada pundak Chanyeol memberikan pijatan ringan.
"Dan kau juga?" Chanyeol balik bertanya dalam ketusan. Tawa Hyebin menghilang perlahan digantikan rengutan atas sindiran itu.
"Aku sudah akan pergi lagi." Ia menjawab.
"Kau tak boleh pergi hari ini." Chanyeol menyela. Matanya menatap Hyebin penuh intimidasi sedang Hyebin mengerjab tak percaya.
"Apa?"
"Kau tidak dengar? Kubilang kau tak boleh pergi kemanapun!"
"Tapi aku sudah memiliki janji—"
"Aku tidak peduli!" Chanyeol menandas. Ia berbalik badan menuju pintu sampai Hyebin berteriak dibelakangnya.
"Ada apa denganmu Chanyeol? Aku tak suka kau melarangku seperti ini!" Teriaknya.
"Dan aku tak suka kau membantahku seperti ini," Chanyeol menimpal. Sinis tatapannya menghujami Hyebin lagi. "Kau pergi maka tak harus pulang lagi."
"Apa?!" Hyebin seperti mendapat petir dalam kepalanya. Ia hendak menyalak, namun urung ia lakukan dan mati-matian menahan gejolak emosi di atas kepalanya.
Wanita itu berakhir dalam desahan nafas pelan sebelum mendekati Chanyeol dan melingkari tubuh pria itu dengan lengannya.
"Sesuatu yang buruk terjadi hm?" Disana ia bertanya dalam bisikan. Jemarinya menari pada dada Chanyeol dan menggambar abstrak di atas bidang dada itu.
"Haruskah aku menghiburmu?"
Chanyeol memutar bola mata lalu menarik diri dari pelukan Hyebin. Wanita itu tercenung, menyadari betul bagaimana Chanyeol menolaknya berikut dengan pelipis berkedut menjalari sarafnya dalam ketidaksukaan.
"Sebaiknya kau mendengarkanku kali ini." Hanya sepenggal itu yang Chanyeol tinggalkan sebelum menarik kenop dan keluar dari ruang kerja miliknya.
Hyebin mengikuti dengan ujung mata dan mengerang marah disana.
"Sial!"
…
Ruangan favorite Chanyeol dalam kurun waktu beberapa bulan belakang adalah kamar Jackson. Ruangan luas dengan berbagai mainan tersebar tiap sudut itu, selalu menjadi tempat singgahan Chanyeol di luang waktunya.
Bayi yang akan beranjak umur 1 tahun itu berada di atas tempat tidur bayinya. Ia terlelap dan seharusnya Chanyeol tak mengacaukan mimpi tanpa dosa itu dengan mengangkatnya dalam dekapan.
Jackson menggeliat pada dada Chanyeol dan pria yang menjadi orangtuanya itu dengan sigap mengusap punggungnya—menenangkan dan membawanya keluar dari kamar.
Gesekan alas sendal rumahan yang Chanyeol kenakan mengiringi langkah menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai teratas kediaman itu. Pintunya berderit pelan kala terbuka, Chanyeol biarkan begitu saja sedang satu-satu tempat tidur disana lagi menjadi tujuan.
Chanyeol dengan hati-hati membaringkan Jackson di atas tempat tidur sebelum menempatkan dirinya pula berbaring di samping bayi itu. Ini masih siang dan Chanyeol berniat menghabiskan setengah harinya itu dengan tidur siang saja bersama dengan buah hatinya.
Chanyeol harap itu bisa menjadi obat untuk gundah hati yang merayap bagai parasit.
…
"Aku menyukai Paman..."
"Bahkan jika Paman tidak menyukaiku..."
"Biarkan aku tetap tinggal Paman, aku-"
"Paman..."
"Paman Chanyeol!"
Chanyeol tersentak dalam tidurnya bersama debaran jantung menggila diikuti suara tangisan Jackson yang memekakkan telinga. Pusing kepalanya ia abaikan, cepat-cepat bayi itu Chanyeol bawa dalam pelukan.
Chanyeol menyadari cepat jika popok Jackson dalam keadaan basah, lalu tanpa kata segera menuju kamar mandi dan mulai mengganti bawahan anaknya dengan luwes seperti biasa. Tangis Jackson menghilang sedang mata bulat serupa akan milik Chanyeol itu terpusat padanya.
"Ketika dewasa nanti kau tidak boleh menangis hanya karena tak sengaja pipis di celana, oke?" Chanyeol tertawa sendiri dengan apa yang ia katakan.
Popok itu ia buang pada keranjang sampah dibawah wastafel lalu membasuh pantat Jackson dengan air bersih. Chanyeol membawanya kembali ke dalam kamar dan menggantinya dengan popok yang lain.
Jackson berbaring tenang menatap Chanyeol dengan jempol berada di dalam mulutnya. Suara kecapannya terdengar pelan dan tak harus menangis lagi untuk sekedar menyadarkan Chanyeol jika bayi itu menginginkan susunya.
Kekehan lagi terdengar dari belah bibir pria dewasa itu. Ia bangkit dari duduknya, menuju dapur kecil pada ruang teratas kediamannya itu dan mengambil sebotol asi beku yang selalu siap siaga di dalam lemari penyimpanan. Chanyeol menghangatkannya terlebih dahulu, memastikan jika hangatnya sesuai sebelum memberikannya kepada Jackson.
Bayi itu menerimanya dengan suka cita dan menghabiskan seisi botolnya dengan cepat. Matanya memberat, perlahan terpejam dan jatuh tertidur kembali.
Chanyeol menyadari hari telah beranjak sore dan ponselnya yang dihujani panggilan tak terjawab dari Kris. Hela nafas berat ia buang seraya menyimpan ponselnya pada saku celana dan meraih Jackson dalam gendongan.
"Dimana Hyebin?" Chanyeol bertanya kepada salah satu pengurus rumah.
"Nyonya Besar sudah pergi lagi Tuan."
"Apa?" Sedetik yang Chanyeol butuhkan untuk merusak suasana hatinya lagi. "Wanita itu benar-benar." Ia berdesis pelan di antara desak langkahnya membawa Jackson masuk ke dalam kamar.
Bayi itu ia letakkan di atas tempat tidur bayinya lagi sebelum ponsel menarik perhatiannya dan menghabiskan seperkian detik melarikan jempolnya di atas layar itu pada kontak tersimpan.
"Cari Hyebin!"
…
"Kau harus pulang, Park mencarimu." Yunho setengah mengumpat menatap ponsel ditangan. Hyebin di depannya berdecak sebal namun tak juga beranjak dari duduknya.
"Dia itu kenapa? Tadi siang tiba-tiba marah tanpa alasan dan tak menginjinkan aku pergi. Dia sudah gila atau apa?!"
"Dia sudah mulai curiga." Yunho menjawab. "Ayo kita lupakan soal dokumen itu juga penggantinya, segeralah bercerai dengannya."
"Sayang kita sudah sejauh ini," Hyebin menyahut. "Sangat tanggung untuk pergi sekarang."
"Lalu apa?" Yunho menyergah kesal.
Hyebin menggidikan bahunya pelan.
"Tidak lagi," Yunho menggelengkan kepalanya tak percaya. "Biarkan saja penisnya itu berkarat!"
Hyebin tertawa keras. "Aku suka kau cemburu seperti ini. Omong-omong aku juga tidak mau melakukannya, aku tak sengaja melihatnya memperkosa carrier itu dan aku mendapatkan mimpi buruk setelahnya." Hyebin bergidik ngeri dengan lintasan ingatan itu.
Yunho tertawa keras melihat bagaimana raut wajah ketakutan Hyebin tiap kali berbicara tentang apa yang tak sengaja ia dapati di kamar lantai teratas rumahnya itu.
"Omong-omong, dimana carrier itu sekarang?"
…
Chanyeol tidak pernah tau Kris bisa sekekanak-kanakkan ini. Buntut dari kepergiannya tanpa pamit siang kemarin taunya berlanjut hingga esok harinya. Yunho tak berada di depan rumahnya—berada di balik kemudi siap mengantarnya pergi ke kantor. Chanyeol menghubungi dan sopirnya itu bilang ia diminta Kris untuk berada di kantor lebih cepat dan mau tak mau Chanyeol berangkat seorang diri dengan mobil pribadinya.
Lalu ketika ia berada di ruang CEO itu, Kris menyambutnya dingin bahkan untuk sapaan ramah tamah yang coba Chanyeol lakukan dengan setengah hati.
"Kau tak harus bekerja, hari ini, besok atau sampai kapanpun lagi."
Chanyeol terperajat. Jika saja tak ingat sopan santun dan dimana ia berada, mungkin meja Kris telah menjadi pendaratan sempurna untuknya.
"Ada apa ini?" Chanyeol bertanya dengan hati-hati. Ia melirik orangtuanya itu lamat-lamat, berusaha mencari celah amarah dari raut wajah setengah baya itu namun masihlah dingin tanpa ekspresi yang ia dapati. "Aku dipecat?"
"Kau ingin dipecat?" Kris balik bertanya sedang satu alisnya naik pada kening.
Chanyeol mengerjab. "Jika ini tentang kemarin, aku minta maaf. Aku berjanji takkan melakukannya lagi." Nada bicaranya diderai tawa hambar.
Kris menyambut dalam desisan pelan sedang tangan terjalin satu sama lain di atas meja. Matanya yang serupa elang itu memperhatikan Chanyeol penuh penilaian lalu berdecak dengan gelengan kepala dua kali.
"Lihat dirimu Chanyeol," ia memulai. "Satu-satunya mengapa kau masih bisa hidup adalah aku yang yang menanggung kehidupanmu. Kau bahkan tak berusaha melakukan apapun untuk dirimu sendiri, kau tidak serius dengan pekerjaanmu karena kau tau kau akan tetap bisa hidup dengan layak, 'kan?"
Chanyeol hilang kata, mematung konyol benar merasa dipermalukan oleh orangtuanya itu.
"Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan, hiduplah sesukamu. Aku takkan mencampurinya lagi."
Kris tak hanya memecat Chanyeol tiba-tiba di perusahaan, tapi juga mengusirnya secara tersirat. Kris takkan menaruh peduli lagi tentang Chanyeol dan bagaimana sulungnya itu mengatur hidupnya. Ia muak, tahun hanya berlalu begitu saja dan Chanyeol tetaplah si tak tau diri yang sama. Kris merasa cukup dan pikirnya hukuman merupakan sesuatu yang layak untuk ia berikan.
Chanyeol terpekur diam tanpa tau apa yang harus ia katakan. Mungkin ia harus mencium sepatu Kris, memohon maaf dan meminta pria itu membalik pikirannya kembali. Namun taunya yang ia lakukan hanyalah berdiri di depan meja itu, menghela nafasnya pelan lalu berbalik badan tanpa ucapan apapun.
Pintu ia tutup dalam bantingan kecil dan Kris lagi hanya mampu menghela nafas melihat kelakukan Chanyeol. Kepalanya meneleng dua kali diantara decakan dan berharap dalam hati jika tindakannya kali ini merupakan hal yang benar ia lakukan.
Kris hanya ingin Chanyeol berubah—sedikit saja peduli tentang dunia, bukannya tetap bersembunyi dengan nama Park yang ia miliki lantas dapat berbuat sesuka hatinya.
…
Bantingan pintu mobil Chanyeol terdengar bersamaan dengan dering ponsel miliknya. Kesal hati masih menumpuk tinggi atas apa yang Kris katakan dan nyaris meluap dengan nama Hyebin yang tertera sebagai pemanggil pada layar.
Chanyeol menerimanya dan ia belum memulai sapaan ketika lengkingan suara Hyebin terdengar pertama kali.
"Chanyeol kau membekukan semua kartu kreditku?!"
Chanyeol seharusnya terkejut karena itu bukanlah perbuatannya, namun yang menjadi responnya hanyalah putaran mata dan mengajukan pertanyaan yang lain.
"Aku memintamu untuk berada di rumah, dimana kau sekarang?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, aku bertanya mengapa semua kartu kreditku tak bisa digunakan!" Hyebin menyalak dalam teriakan.
Satu alis Chanyeol naik pada keningnya, menyergit dengan rahang tiba-tiba saja mengeras. "Apa kau baru saja berteriak padaku?"
Jeda terdengar selama beberapa detik sebelum cicitan pelan Hyebin terdengar kembali.
"Aku tidak bermaksud seperti itu, a-aku hanya terkejut dan bertanya mengapa—"
"Dan aku takkan menjawabnya sebelum kau pulang ke rumah!"
"Tapi aku sedang tak berada di Seoul sekarang."
"Apa?"
"Aku berada di… Jeju."
Chanyeol menahan erangan dalam hati. "Pulang sekarang."
"Tapi Chan—"
Chanyeol memutus sepihak panggilan itu. Sinyal ponsel Hyebin ia cari dan rahangnya lagi beradu di dalam mulutnya. Hyebin berbohong, sinyal ponselnya tak berada di Jeju seperti yang wanita itu katakan melainkan Gangnam yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari tempatnya berada.
Wanita itu!
Chanyeol tiba-tiba saja hilang dalam kesabaran. Ponselnya ia utak atik dan mencari satu nama dari kontak. Jemarinya terhenti pada nama Yunho namun berubah urung untuk panggilan mengingat Kris yang ikut menarik pria untuk tak bekerja padanya lagi.
Chanyeol lantas mencari kontak yang lain.
"Cari Heybin! Laporkan padaku dimana dia sekarang, bersama siapa dan apa saja yang dia lakukan!"
Lalu mengakhiri panggilan itu dengan bantingan pada ponselnya juga. Kesalnya meluap menjadi amarah. Emosinya naik dan kemudi menjadi tempat menampung semua kepalan tangannya. Pedal gas Chanyeol injak tanpa sempat mengingat kapan otaknya merencanakan gerak motorik yang menuntun ia berkendara pada Timur Seoul.
Pada pesisir Timur Seoul dengan alamat yang telah ia hafal di luar kepala. Sebuah tempat yang tak pernah ia kunjungi lagi sejak setengah tahun berlalu, sebuah tempat yang tak seharusnya ia datangi, sebuah tempat dimana seseorang tinggal yang tak seharusnya ia temui.
Baekhyun.
Cocot:
Hai semua, Softly Red nih hehe
Terima kasih untuk luangan waktunya di Heavy Blue dan yash seperti janjiku untuk sequel dan inilah dia.
Aku si penulis amatiran abal-abal ini hanya berusaha menuangkan apa yang ada di dalam otak sinetku; maaf untuk semua typo, eyd yang berantakan, diksi yang acak kabul. Aku masih belajar untuk menjadi lebih baik dan aku harap kalian menikmati dan sedikit terhibur dengan apa yang aku tulis :)
Sekali lagi terima kasih sudah membaca dan sampai ketemu di chap 2!
