Disclaimer © Tite kubo
(Bleach bukan punya saya)
…
Seri drabble :
Can I?
By
Ann
…
Warning : Au, Ooc, typo(s).
Tidak suka? Bisa klik 'Close' atau 'Back'
…
Ketika hati sudah menentukan pilihan.
…
a.n : fic ini bersetting di High Land (Sebutan untuk Skotlandia pada abad 12 M). Setiap sub-judul drabble adalah cerita yang terpisah, namun berkaitan dengan sub-judul sebelumnya, dan merupakan kelanjutan dari sub-judul sebelumnya.
...
A promise
Ketika Isshin Kurosaki, Laird* klan Sinclair membuka mata ia melihat bayangan putra sulungnya tengah menunduk dan menatapnya dengan pandangan khawatir.
"Ayah..." Suara yang memanggilnya itu pun diliputi kecemasan.
"Kau datang, nak." Isshin berusaha bangun dari posisi tidur namun ternyata ia tak cukup kuat dan hal itu dikuatkan oleh perkataan putranya.
"Berbaringlah, ayah belum cukup kuat." Ichigo membantu ayahnya agar kembali berbaring nyaman di tempat tidur.
"Dan sepertinya tak akan pernah cukup kuat lagi untuk bangun." Kelakar Isshin, yang disambut masam oleh putranya.
"Ayah akan sembuh dalam beberapa hari."
Isshin menggeleng. "Tidak, nak. Aku tahu waktuku akan segera tiba."
"Jangan berkata begitu!" seru Ichigo. Matanya tiba-tiba memanas dan ia hampir menangis. Ia tak terbiasa menangis, bahkan ia tak ingat kapan terakhir kali melakukannya, yang pasti itu sudah lama sekali. Tetapi ancaman kehilangan satu-satunya orang tua yang masih ia miliki membuatnya benar-benar sedih.
Isshin mengabaikannya. "Aku akan segera bertemu dengan ibumu, dia sudah menungguku di sana." Ia tersenyum. Matanya memandang ke ruang kosong di belakang putranya, seolah-olah ia sedang memandang mendiang istrinya yang meninggal sepuluh tahun yang lalu saat melahirkan putri kembar untuknya.
"Aku pulang bukan untuk mendengar omong kosong ini," Ichigo menggerutu. Ia meninggalkan pelatihannya di klan Maitland setelah mendengar kabar ayahnya jatuh sakit. Dan saat ia kembali ke rumah ia dihadapkan pada kondisi ayahnya yang amat sangat memprihatinkan.
"Kau benar, nak." Isshin setuju. "Kau pulang untuk memenuhi kewajibanmu. Kau di sini untuk mengambil alih apa yang menjadi tanggung jawabku."
"Ayah!"
Isshin memotong protes Ichigo dengan berkata, "Tanah Sinclair menjadi tanggung jawabmu sekarang, berikut semua orang yang hidup di atasnya. Kau berkewajiban memberi mereka perlindungan dan rasa aman, kau harus menjaga mereka."
Ichigo menatap sang ayah, pria itu terlihat begitu renta dan lemah. Semangat hidup yang selalu berkobar di mata pria itu menghilang entah kemana, dan kini mata itu menatapnya dengan sendu dan redup. Saat menatapnya, ia tahu tak banyak waktu lagi yang dapat mereka habiskan bersama. Ayahnya akan segera pergi, pria itu hanya bertahan untuk menunggunya kembali dari klan Maitland untuk mengucapkan pesan terakhirnya.
"Akan kulakukan," ia berjanji dengan suara serak. "Aku akan menjaga tanah Sinclair sebagaimana kau menjaganya. Aku akan memastikan semua orang yang hidup di tanah Sinclair terlindungi dan merasa aman."
Isshin mengangkat tangannya dan Ichigo segera meraihnya, menggenggamnya dengan kedua tangan.
"Jaga adik-adikmu, pastikan mereka menikah dengan pria yang baik dan bertanggung jawab, dan yang terpenting pria-pria itu harus mencintai mereka."
"Pasti." Ichigo mengangguk mantap. Meskipun tanpa ayahnya meminta ia tetap akan melakukannya.
"Dan putri ketigaku juga."
Kening Ichigo berkerut saat mendengar hal itu. ia tak pernah tahu ayahnya memiliki anak perempuan lain, selain kedua adiknya. Apa mungkin ayahnya sudah...
"Tidak seperti yang kau pikirkan, nak. Dia bukan anak haramku. Aku tak pernah bisa menggantikan ibumu dengan wanita lain," Isshi menjelaskan. "Dia bukan putri kandungku, tetapi aku sudah menganggapnya begitu. Namanya Rukia, putri seorang sahabat. Dia menjadi anak perwalianku semenjak orang tuanya meninggal lima tahun lalu."
"Ayah tidak pernah memberitahuku," ujar Ichigo.
"Maafkan ayah," ucap Isshin.
Ichigo mengangguk.
"Maukah kau menjaganya menggantikanku?"
Ichigo mengangguk sekali lagi, sambil terus mendengarkan dengan seksama perkataan ayahnya.
"Aku sudah berjanji padanya bahwa dia boleh memilih sendiri suaminya."
Itu janji yang tidak masuk akan bagi Ichigo, tetapi ia tidak memprotes karena itu adalah permintaan ayahnya, lagipula ia berencana melakukan hal sama untuk kedua adiknya. Meskipun hal itu agar bertentangan dengan peraturan dalam masyarakat, yang mengharuskan para gadis muda menikah dengan pilihan orang tua atau walinya.
"Aku berjanji akan menjaganya seperti aku menjaga Karin dan Yuzu, dan aku akan memperbolehkannya memilih suaminya sendiri, dan akan kupastikan pilihannya adalah orang yang tepat."
Tangan Isshin yang bebas terangkat untuk menepuk tangan putranya. "Aku tahu aku dapat mengandalkanmu," ujarnya bangga. "Sekarang aku bisa pergi dengan tenang."
...
Hari-hari berikutnya menjadi hari yang berat bagi Ichigo dan kedua adiknya. Kesehatan Isshin memburuk, pria itu lebih banyak tidur, dan ramuan-ramuan obat tak lagi memberi dampak baik bagi kesehatannya. Mereka secara bergiliran menjaga ayah mereka, berbicara dengannya meski pria itu tidak lagi bisa diajak berbicara. Mereka berharap ada sebuah keajaiban yang dapat membuat ayah mereka sehat kembali. Namun, harapan mereka pupus di hari kelima. Isshin Kurosaki, Laird Sinclair, menghembuskan napas terakhir saat malam menjelang.
...
*sebutan untuk pemimpin klan di wilayah High Land.
...
Rukia Kuchiki
Klan Sinclair memiliki tanah tang kaya akan sumber daya, danaunya dipenuhi banyak ikan, lahannya subur untuk ditanami, dan perbukitannya dipenuhi domba. Di tanah itulah gadis itu dilahirkan. Di sebuah keluarga kecil yang bahagia, ayahnya dulunya adalah panglima Laird Isshin, sebelum pria itu meninggal karena terjatuh dari jurang, dan ibunya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan berbudi luhur, yang sangat mencintai suaminya, wanita malang itu meninggal karena sakit enam bulan setelah suaminya meninggal. Gadis berambut hitam itu bernama Rukia Kuchiki. Cantik jelita, begitulah orang-orang menyebutnya, para pemuda mengejar-ngejarnya, ingin menjadikannya kekasih bahkan istri, dan para gadis berharap memiliki setengah saja dari kecantikannya. Namun Rukia tak terlalu memedulikan hal itu, bahkan ia sering berharap ia terlahir biasa-biasa saja, sebab memiliki kecantikan lebih sering membawanya ke situasi yang tak menyenangkan, seringkali para pemuda berkelahi memperebutkannya, dan ia juga harus menghadapi sikap bermusuhan dari gadis-gadis yang iri kepadanya.
"Rukia."
Suara bibinya membuat Rukia menghentikan pekerjaannya membuat adonan roti sejenak dan mendongak.
"Ya, bibi Rangiku, ada apa?"
"Ada surat dari Laird Ichigo," bibinya memberitahu.
Rukia mendesah. Itu adalah surat ketiga dari sang Laird untuknya. Dan ia sudah bisa menduga apa isi surat itu.
"Apakah kali ini kau akan menerimanya?" bibinya bertanya.
"Tidak," ia menjawab dengan tegas.
"Tapi..."
"Aku tidak bisa menerimanya, bibi Rangiku. Mereka... pemuda-pemuda itu... aku tidak mencintai mereka."
"Kau bisa belajar."
Rukia menggeleng. Ia tahu ia tak bisa, dan tak akan pernah bisa, karena hatinya sudah dimiliki seseorang.
"Bisakah kau menyelesaikan ini sementara aku membalas surat dari Laird Ichigo? Aku tak boleh membuat sang Laird menunggu lama jawabanku, bukan?" Rukia melepaskan tangannya dari adonan dan beranjak ke tempat cuci tangan.
"Ini ketiga kalinya, Rukia. Dan kurasa sang Laird tidak akan menyukainya. Dia mungkin akan marah padamu," ujar Rangiku sambil mengambil alih pekerjaan Rukia.
Rukia hanya mengendikkan bahu. "Laird baru kita harus memiliki kesabaran khusus untuk menghadapiku."
Rangiku hanya bisa menghela napas. "Kuharap dia memilikinya."
Rukia meninggalkan dapur dan menuju kamarnya. Ia menemukan sebuah amplop tersegel di atas meja di samping tempat tidurnya. Ia menarik kursi bulat tanpa sandaran dan duduk di depan meja. Dengan hati-hati ia meraih amplop dan membukanya. Melihat tulisan tangan sang Laird di atas kertas membuatnya begitu bahagia, ia sangat menyukai cara Laird-nya menuliskan huruf-huruf di atas kertas, begitu rapi dan elegan. Sayangnya, apa yang dituliskan pria itu selalu membuatnya kesal dan marah. Karena itu bukanlah surat cinta seperti yang ia harapkan, namun surat yang berisi pemberitahuan bahwa ia mendapat lamaran lagi dari pemuda yang tak dikenalnya. Rukia meletakkan surat itudi dalam sebuah kotak kayu, menempatkannya bersama dua surat terdahulu yang berisi hal yang sama. Ia mengeluarkan kertas kosong dari dalam laci dan mengambil pena bulu beserta tintanya, kemudian menuliskan surat balasan yang berisi penolakannya.
"Maafkan aku Laird Ichigo. Tetapi aku benar-benar tidak bisa menerima lamaran pria manapun kecuali darimu," ia menggumam sambil meletakkan kembali pena bulunya. Setelah memastikan tinta di atas kertas kering ia melipat kertas tersebut, memasukkannya dalam amplop dan menyegelnya dengan lilin.
...
Pertemuan
Festival musim semi adalah festival tahunan yang di selenggarakan di High Land. Tenda-tenda didirikan di sebuah tanah lapang, para pedagang mendirikan stand yang menjual berbagai macam benda, mulai dari kerajinan, kain, perhiasan hingga makanan, berbagai kompetisi dimulai, mulai dari kompetisi berpedang hingga kompetisi minum bir. Selama dua minggu permusuhan antar klan dilupakan, semua orang datang ke festival dengan hati riang dan meninggalkan rasa benci mereka, berkumpul sebagai satu keluarga. Festival musim semi adalah saat pertemanan yang usang diperbarui, rasa dendam dan iri hati disingkirkan, juga saat perjanjian pernikahan dibuat oleh para orang tua.
Ichigo baru saja menyelesaikan pertemuan dengan dua tetua dari klan Macperson, Jushiro Ukitake dan Shunsui Kyoraku, yang menawarkan penggabungan antar klan dengannya. Klan Macperson memang sedang dalam keadaan darurat, Laird mereka Sora Inoue baru saja meninggal dunia setelah jatuh dan terinjak kuda, dan sampai sekarang mereka belum menemukan penggantinya sebab Sora meninggal tanpa meninggalkan pewaris. Sora hanya meninggalkan seorang adik perempuan yang tentunya tidak bisa diangkat menjadi Laird. Ia menyambut baik baik tawaran itu, namun ia masih mempertimbangkan syarat yang diajukan oleh kedua pria paruh baya itu. Syarat yang diajukan mereka adalah pernikahan, Ichigo diharuskan menikahi Orihime Inoue.
"Kudengar Orihime Inoue sangat cantik," ujar Renji Abarai, sahabat Ichigo yang kini diangkatnya menjadi orang kepercayaannya.
"Pernah melihatnya?" Ichigo bertanya.
"Belum, hanya mendengar kabar yang beredar," jawab Renji.
"Berarti belum tentu dia secantik itu, kurasa mereka melebih-lebihkannya," sahut Ichigo. Kepalanya masih dipenuhi dengan pembicaraannya dengan Ukitake dan Kyoraku tadi. Ia ingin menolong mereka, membantu melindungi rakyat klan itu dari klan-klan lain yang ingin mengambil tanah mereka, namun syarat penggabungan itulah yang menjadi masalah. Jujur saja, ia belum mau menikah. Segala tanggung jawabnya sebagai Laird sudah cukup membuatnya pusing, dan ia tak mau menambahnya dengan tanggung jawab baru sebagai seorang suami. Ia memang berencana untuk menikah, namun bukan dalam waktu dekat.
"Mungkin saja, tetapi aku memilih percaya pada kabar itu," ujar Renji.
Sebelah alis Ichigo terangkat. "Kenapa?" ia bertanya.
"Aku punya pengalaman dalam hal seperti itu. Dulu aku juga berpikir sepertimu, kupikir orang-orang melebih-lebihkan tentang kecantikan seorang gadis, dan saat aku bertemu dengannya aku tahu aku salah, bahkan apa yang mereka katakan terlalu mengecilkan kecantikan gadis itu," jelas Renji.
"Dan gadis yang kau maksud adalah?"
"Rukia Kuchiki."
Ichigo langsung berpaling pada Renji. "Dia?"
Renji menyeringai. "Ya, gadis yang sudah membuatmu kesal karena harus menolak lamaran untuknya sebanyak tiga kali."
Ichigo memandang panglimanya itu dengan pandangan menilai. "Apa dia memang secantik itu?" tanyanya sangsi.
"Gadis paling cantik yang pernah kukenal," Renji menjawab tanpa keraguan. "Apa kau lupa kalau aku juga berada di barisan pria patah hati itu?"
Ichigo mengernyit, dan Renji yakin Laird-nya itu tak percaya pada ucapannya. "Aku heran kenapa kalian bisa langsung melamarnya padahal baru melihatnya sekali," ujar Ichigo.
"Kalau begitu kenapa kau tidak memastikannya sendiri?" tantang Renji. "Bukankah kau ingin bertemu dengannya untuk membicarakan lamaran yang diajukan Shuhei untuknya? Dan aku sudah meringankan pekerjaanmu dengan memanggil Rukia Kuchiki ke sini untuk menemuimu, bahkan dia sudah menunggu di luar tenda."
Ichigo berdiri. "Kalau begitu suruh dia masuk," ujarnya. Ia jelas merasa kesal. Ia tak menyangka permintaan ayahnya yang satu itu benar-benar membuatnya sakit kepala, karena Rukia ternyata benar-benar keras kepala. Terhitung sudah tiga lamaran yang gadis itu tolak, dan menurut Renji selama almarhum ayahnya hidup gadis itu sudah menolak empat lamaran. Tujuh lamaran? Gadis itu benar-benar keras kepala.
Renji melipat pintu tenda, sebelum memanggil Rukia ia bertanya, "Apakah kau pernah menolehkan kepala saat melihat seorang wanita?"
Ichigo segera menjawab, "Tidak, belum pernah."
"Kalau aku jadi kau, aku akan menguatkan diri. Aku bersumpah kepalamu akan berputar saat melihatnya."
Beberapa saat kemudian, ramalan Renji hampir menjadi kenyataan, ketika Rukia Kuchiki berjalan masuk ke tenda dan membuat laird-nya terkesima. Ia adalah seorang gadis muda yang sangat cantik jelita, dengan kulit putih, mata berwarna ungu berkilauan, rambut hitam panjang yang tergerai melewati punggung, dan Ichigo kaget karena hanya ada tujuh orang yang berniat melamarnya.
Rukia membungkukkan badan dengan hormat, tersenyum dengan manis kepada Ichigo, dan mengucapkan, "Selamat siang, Laird Ichigo."
Ichigo balas membungkuk. "Akhirnya kita bertemu, Rukia Kuchiki. Atas namamu, aku terpaksa menghancurkan hati beberapa pelamar dan tidak mengerti alasan kenapa mereka ingin menikahi gadis keras kepala sepertimu. Sekarang aku tahu kenapa para prajuritku itu sangat bersikeras."
Senyuman Rukia menghilang. "Tapi kita pernah bertemu sebelumnya."
Ichigo menggelengkan kepalanya. "Kalau aku pernah bertemu denganmu, pasti aku tidak akan lupa."
"Tapi benar, kita memang pernah bertemu," kata Rukia bersikeras. "Dan aku ingat pertemuan kita seakan baru terjadi kemarin. Kau baru saja pulang untuk menghadiri pernikahan sepupumu. Sementara orangtuaku menghadiri perayaan itu, aku memutuskan untuk berenang di danau di balik lembah. Kau menarikku keluar dari situ."
Ichigo melipat tangannya di belakang punggungnya dan mencoba berkonsentrasi terhadap apa yang diucapkan Rukia kepadanya. Renji tidak melebih-lebihkan. Rukia memang seorang wanita yang sangat rupawan, cukup sulit membuat pikirannya tetap normal di depan mata berwarna ungu itu.
"Dan kenapa aku menarikmu keluar?"
"Aku sedang tenggelam."
"Apa kau tidak bisa berenang, Lass*?" tanya Renji.
"Sedikit mengagetkan, ternyata aku tidak bisa berenang."
Rukia tersenyum lagi, dan jantung Ichigo mulai berdegup kencang. Ia sendiri tidak menyangka akan bereaksi seperti ini, karena ternyata ia tidak bisa memungkiri kecantikan Rukia. Ia tidak biasanya bersikap seperti ini—ia bukan seorang anak kecil dan yang jelas bukan pertama kalinya ia berhadapan dengan seorang wanita cantik. Ia berpikir pasti senyuman gadis itu yang membuatnya jadi begini. Senyuman itu sangat memesona.
"Kalau kau tidak bisa berenang, lalu kenapa kau berenang di danau?" tanya Renji, berusaha mencerna perbuatan yang tidak masuk akal itu.
Rukia mengangkat bahunya. "Berenang kelihatannya mudah, dan waktu itu aku yakin kalau aku bisa, tapi sialnya ternyata aku salah."
"Kau memang berani," komentar Renji.
"Ah, tidak, aku justru bertindak bodoh."
"Waktu itu kau masih muda," ujar Ichigo.
"Kau pastilah membuat orangtuamu cepat beruban," kata Renji menimpali.
"Banyak yang bilang seperti itu," balas Rukia sebelum berpaling lagi ke Ichigo. "Aku paham kenapa kau tidak mengingatku. Penampilanku memang banyak berubah, dan itu memang sudah lama sekali. Aku sudah dewasa sekarang, tapi aku tidak keras kepala. Sungguh."
"Seharusnya kau sudah menikah sekarang," ujar Ichigo. "Dan sepertinya kau memang berusaha mempersulitnya. Semua pria yang mencoba melamarmu adalah prajurit yang baik dan layak."
"Ya, aku yakin mereka adalah prajurit yang baik," kata Rukia setuju.
Ichigo melangkah maju mendekatinya. Rukia melangkah mudur, ia mendekati pintu keluar tenda sehingga jika laird-nya kehilangan kesabaran padanya ia bisa lari dengan mudah.
Ichigo mengerti jalan pikiran Rukia, dan hal itu membuatnya ingin tertawa. Apakah pernikahan adalah hal yang sangat menakutkan untuknya?
"Sekarang ada seorang lagi prajurit yang melamarmu," ujar Ichigo. "Namanya Shuhei. Apakah kau mengenalnya?"
Rukia menggeleng. "Tidak, aku tidak kenal."
"Dia seorang pria yang baik, Rukia, dan dia pasti akan memperlakukanmu dengan baik pula."
"Kenapa?" tanya Rukia.
"Kenapa apanya?" Ichigo balik bertanya.
"Kenapa dia ingin menikahiku? Apa alasannya?"
"Dia memujamu, dan menginginkanmu menjadi istrinya," Ichigo menjawab. "Dia berkata dia mencintaimu."
"Bagaimana bisa?" tanya Rukia. "Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi dia sudah berani menyatakan cintanya padaku?"
"Shuhei adalah pria yang baik," kata Renji kepadanya. "Dan aku yakin dia pasti bersungguh-sungguh dengan ucapannya."
"Dia jelas-jelas tergila-gila padamu," tambah Ichigo. "Apakah kau butuh waktu untuk mempertimbangkan lamarannya? Kau mungkin mau bertemu dengannya dulu, agar bisa mengenalnya."
"Tidak," sembur Rukia. "Aku tidak perlu bertemu dengannya. Aku ingin memberikan jawabanku sekarang. Bisakah kau memberitahu Shuhei bahwa aku berterima kasih atas lamarannya tapi..."
"Tapi apa?" tanya Renji.
"Aku tidak mau menerimanya."
Itu adalah kalimat yang selalu digunakannya untuk menolak tujuh orang lainnya yang telah melamarnya.
"Kenapa tidak?" tuntut Ichigo, jelas terlihat merasa jengkel.
"Aku tidak mencintainya."
"Kau bisa belajar mencintainya."
"Aku akan menikah dengan pria yang aku cintai atau tidak akan menikah sama sekali." Setelah mengucapkan pernyataan berapi-api itu, Rukia melangkah mundur. "Aku sudah memberikan jawabanku, sekarang aku ingin bergabung kembali bersama paman dan bibiku." Rukia membungkuk dengan cepat, kemudian berputar dan berlari keluar dari tenda.
Ichigo begitu tercengang dengan sikap tidak sopan yang ditunjukan Rukia sampai-sampai ia tak mampu berucap apapun. Ia menoleh pada Renji yang mengernyitkan dahi kepadanya. "Dia memang wanita yang sulit. Untung dia menolak lamaranku," ujar Renji. "Aku kasihan kepada pria yang menikahinya, karena dia pasti akan berperang setiap hari."
Ichigo tertawa. "Tapi pastinya peperangan yang menyenangkan."
Renji terkejut dengan komentar Ichigo. "Dan apakah kau tertarik untuk ikut bersaing mendapatkan cinta Rukia?" selidiknya.
Sudut bibir Ichigo terangkat membentuk senyum samar yang membuat Renji waspada. "Jika aku ikut, pastinya akulah yang akan menjadi pemenangnya."
...
*Panggilan untuk gadis muda.
...
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Ann *-*
...
