To The Moon.

Disclaimer by Masashi Kishimoto © Naruto


"Ini bukanlah cerita dari keberanian, ini bukanlah cerita dari keajaiban, ini adalah cerita sederhana tentang cinta."


London, 23 Maret 2010.

POV Ino

Dua puluh empat sen. Tinggal itu saja yang kau punya. Tidak lebih. Sesaat kau bertanya pada dirimu sendiri bagaimana caramu hidup lebih lama lagi dikota metropolitan seperti London jika hanya tinggal dua puluh empat sen ditanganmu? Kau menggeleng-gelengkan kepalamu putus asa seiring membenamkan telapak tangan yang berisi beberapa uang logam ke saku mantelmu. Tidak, Nona Yamanaka. Uang segini hanya cukup mengantarmu kerumahmu—tanpa makan malam. Tapi bukankah kau juga belum makan dari pagi? Ah, Sial! Kau baru ingat ternyata. Kalau saja kau tidak terlalu sibuk dengan tugasmu sebagai editor yang sedang magang disebuah perusahaan percetakan terkenal di kota ini, kantor bisa menyediakan menu makan siang gratis hari ini di kantin mereka. Dan tentunya kau tidak akan merana malam ini karena tidak makan. Menyedihkan.

Kau mulai mengutuki dirimu sendiri sekarang. Pikiranmu melambung ke kulkas mini di apartemenmu dan mencoba menjadi cenayang dadakan sekarang. Kira-kira apakah kau minggu lalu sudah membeli telur? Atau membeli beberapa kaleng daging giling? Minyak? Makanan instan? Belum jawabanya. Kau ingat waktu terakhir kalinya kau ke supermarket, kau hanya membeli satu dus obat maag—untuk jaga-jaga disaat peristiwa seperti ini terjadi dan juga persediaan air putih untuk sebulan. Ah, kau ingat juga kalau uangmu hampir habis karena itu.

"Kuso!" Kau mengerang agak kencang. Toh, orang-orang tidak mengerti kalau kau sedang mengumpat dengan bahasa Jepang. Memang, awalnya beberapa menoleh bingung kearahmu. Tapi tak lama mereka tidak peduli dengan itu. Kau menghela nafasmu, lalu kau berusaha tidak mengingat kalau kau sedang lapar dengan melanjutkan perjalanan menuju terminal perhentian bus.

Mungkin memang kau pasrah. Tapi sesekali hatimu meminta ada orang yang baik untuk memberi makannya kepadamu.

Bis malam terakhir kini telah berhenti di tempat dimana kau berdiri menunggu. Pintu bis terbuka otomatis dan kau langsung masuk kedalam. Sialnya bis malam itu sangat penuh. Rasanya kau ingin keluar lagi dan mencari bis lain. Tapi pintu sudah tertutup, kau tidak bisa keluar lagi. Ini juga adalah bis terakhir. Kau mendengus lalu mengedarkan pandanganmu untuk mencari-cari dimana bangku kosong berada. Kau tidak menemukanya. Awalnya sempat putus harapan dan memutuskan untuk berdiri. Tapi tunggu.. Kau melihat bangku untuk dua orang yang salah satunya sedang kosong saat itu. Disebelahnya ada seseorang yang duduk dan kelihatan misterius dengan hoddienya dan kacamata hitam yang sempat membuatmu ragu untuk duduk disampingya. Tapi saat ini tak masalah, lagipula hanya 15 menit itu tidak lama bukan? Saat ini yang harus kau lakukan hanya duduk tenang dan menunggu selama 15 menit saja.

Kau berharap Tuhan masih sangat baik kepadamu.

"Excuse me, sir." Sapamu tulus pada orang disebelahmu yang sedang duduk menatap malam dari jendela bus. Orang itu tidak menjawab dan tetap menatap lurus arah luar. Kau sempat kesal tetapi kemudian tidak mengubrisnya. Kau sudah cukup lelah untuk hari ini untuk memulai berdebat dengan seseorang. Jangan sampai hal sepele harus membuatmu membeli 1 strip obat darah tinggi dan asam urat karena sekarang uangmu habis Yamanaka Ino!

Kau duduk. Saat kau berhasil memindahkan ransel hitam beratmu ke atas pahamu, orang disebelahmu bergerak-gerak merogoh tasnya. Tampaknya dia berhasil mendapatkan yang dia ingin ambil, "Ini—" Orang itu menjulurkan kotak makanan merah yang tutupnya sudah terlihat berembun kehadapanmu. Kau mengedip-kedipkan matamu, tak mengerti soal ini. Orang itu menyadari ketidakmengertianmu saat ini. Untuk membuatmu mengerti, dia membuka tudung mantelnya lalu membuka kacamata hitamnya. "—Makanan untukmu, Yamanaka. Ambilah."

"Uchiha-senpai?"

Uchiha Sasuke? Kau kenal dia.

Dia orang Jepang—sama denganmu yang menjadi seniormu di kantor. Hanya kau dan dia yang merupakan orang Jepang disana. Itu membuat kalian menjadi satu divisi di bagian editor. Ya, sejak kau masuk keperusahaan percetakan itu, kau sering mendengar bahwa ada seorang Jepang yang bekerja di bagian editor—sama sepertimu. Kau pernah mendengar juga kalau senpaimu itu bekerja sebagai wartawan juga. Awalnya kau bahagia karena akan dapat rekan satu bangsa mengingat kau sangat kesepian dikota besar ini karena tinggal sendiri. Siapa tahu kau bisa berteman dengannya. Ya'kan?

Setelah kau tahu namanya dua minggu pasca kau bergabung, kau ditempatkan bersamanya di satu tim. Wanita-wanita diseluruh kantor itu tampak mencibirmu sesekali karena pria tertampan di perusahaan itu bisa satu tim denganmu dan ditambah melihat kalian yang tak jarang berkomunikasi dengan bahasa Jepang dan tentu tidak dimengerti wanita lain di tim kalian. Hal itu membuatmu sempat ingin keluar dari perusahaan itu karena merasa terkucilkan oleh omelan atau cibiran memuakkan dari mereka. Tapi suatu hari Uchiha itu menyuruhmu untuk jangan khawatir soal itu. Cukup pikirkan saja pekerjaanmu dan tetap berikan totalitas dalam bekerja saja. Itu sangat memotivasimu dan membuatmu mulai menyukai setiap dia berada disisimu, kau menyukai saat ia mulai tersenyum untuk mengapresiasi pekerjaanmu, dan terlebih sekali kau sangat senang saat-saat seperti ini hadir didalam hidupmu, dimana pria tampan itu memberikanmu sekotak makanan hangat padamu.

Sederhana. Tapi itu membuat rasa sukamu padanya bertambah setiap harinya.

Apa kau menyukainya? Oh, Ino. Kau jatuh cinta padanya! Tapi apakah benar?

Kau memandang wajahnya sekilas yang datar itu bergantian dengan sekotak makanan yang kelihatan lezat disana. Blush! Seketika hawa panas terasa menjalar diseluruh wajahmu. Kau mengambilnya ragu-ragu, takut merepotkan orang yang memberinya sekaligus tersipu."Ano, tidak usah repot-repot senpai."

"Hn. Aku tahu kau belum makan apa-apa dari pagi." Ucapnya lagi tanpa melihat kearahmu.

Oh Tuhan! Jantungmu meminta untuk loncat dari rongganya sekarang. Bertapa senangnya kau diperhatikan orang yang kau suka. Wajahmu tambah memanas dari sebelumnya. Telapak tanganmu menyentuh tepat dimana sebuah debaran kencang berasal, berharap debaranmu hanya kau saja yang dapat mendengarnya.

Tapi ngomong-ngomong..

Darimana dia tahu kalau kau sedang berada dimasa krisis sekarang? Pertanyaanmu itu muncul berulang-ulang. Tapi dia benar juga, pikirmu. Kalau kau tidak menerima sekotak makanan lezat itu kau akan mati kelaparan hari ini mengingat tidak ada persediaan makanan dan uangmu.. ah, iya bukankah dua puluh empat senmu itu akan menjadi milik supir bus didepan, Yamanaka?

Kau meringis mengingatnya. Tanganmu terangakat dengan canggung untuk menerima kotak merah itu. Matamu secara bergantian menatap kotak bento itu dan wajah tak beremosi milik Sasuke.

"Dari mana ka-kau tahu i-itu? Tapi, ba-baiklah. Arigatou gozaimasu, Uchiha-senpai!" Ucapmu sedikit tersendat karena gugup. Sasuke hanya menyeringai puas melihatmu menerima pemberiannya.

"Kau kedinginan Yamanaka?" Tanyanya setelah melihatmu kembali yang hanya memakai kaus biasa berwarna ungu. Kau tersenyum lalu menggelengkan kepalamu. Kau berbohong sekarang. Nyatanya, kau memang sangat kedinginan saat ini mengingat tadi kau sekelebat melihat berita cuaca yang menyatakan kalau suhunya sudah mencapai minus. Uchiha itu melihatmu dengan tatapan sedikit bingung seolah tahu kau memang sedang berbohong. Sedetik kemudian ia melepaskan mantel tebalnya dan memakaikan mantel itu pada bahumu.

Hangat.

Entah karena diberikan mantel itu, atau..

Karena perlakuanya padamu?

Argh, pikiranmu berkecamuk saat ini. Dan kau belum bisa mendapat jawabanya. Tanpa komando, kau berterima kasih pada sosoknya yang sedang bersiap-siap untuk turun diterminal selanjutnya yang sudah dekat rupanya.

"Aku akan mengembalikanya tepat waktu Uchiha-senpai. Arigatou gozaimasu."

Bus berhenti, Sasuke segera beranjak dari tempatnya dan mulai berjalan menuju pintu bus dibagian depan, "Hn. Kau bisa mengembalikanya sesuka hatimu. Pakai saja." Dia tersenyum padamu dan mulai meninggalkanmu yang masih menatapnya tak percaya. Kau menatap punggungnya yang berlalu keluar bus, lalu kedua aquamarinemu menangkapnya masih tersenyum lewat jendela besar di sisi seberang bus. Kini semburat merah di kedua pipi putihmu terlihat jelas disertai rasa panas menjalar di wajahmu yang elok.

Ternyata hari ini bukan nasib jelek saja yang menempel pada jiwamu, nasib baik juga berpihak padamu saat ini.

Kau tersenyum mengingat kejadian yang baru kau alami 2 menit lalu.

Itu nyata, Yamanaka. Itu nyata.

Blamm!

Kau menutup lalu mengunci pintu kayu apartemenmu sedikit tergesa. Lalu menghidupkan beberapa lampu kecil dengan sakelar yang berada disamping kanan pintumu. Ruangan seketika menjadi terang dan menampilkan kerapihan disetiap sudut ruangan itu yang kau jaga selama 4 bulan disana.

Kau melempar mantel hitam itu kearah ranjang kecilmu lalu berbalik badan untuk menggantung ranselmu dibelakang pintu apartemen. Kau kemudian berbalik lagi dan menarik mantel itu lalu kau gulung di lenganmu untuk nanti dicuci. Tunggu, ada benda kotak kecoklatan yang tertinggal setelah kau menarik mantel itu. Sebuah buku kecil yang jelas bukan milikmu. Ah, itu milik Uchiha Sasuke yang tertinggal dimantelnya. Kini kau prioritaskan dulu untuk menaruh cucian itu dan kemudian kau kembali untuk membacanya selagi memakan makanan yang Sasuke berikan tadi.

"Seperti sebuah diari. Aku baru tahu kalau Uchiha-senpai adalah tipe-tipe pendiam yang mencurahkan semua isi hatinya dikertas." Gumammu seiring meraba punggung buku itu dan berusaha mengamatinya. Kau mendengus geli. Tangan kirimu bersiap membuka tutup merah dari sekotak nasi hangat itu.

"Aa, teriyaki, takoyaki, salad!" Serumu begitu membuka sekotak makanan berisi nasi putih dengan makanan khas Jepang. Asap masih mengepul bersama dengan aroma harum yang menggoda seleramu dari sana, menandakan Uchiha itu membelinya belum lama.

Kau membuka sampul itu pelan-pelan, warna coklat keemasan sampul buku itu sangat menarik dan kau ingin menatapnya lebih lama. Ada sebuah halaman yang polos putih bertuliskan dengan tinta hitam "Uchiha Sasuke." Tulisan yang terlalu indah bagi taraf seorang pria. Bukan hanya nama saja disana, tanda tangan yang cukup rumit juga tertera disana. Kau tersenyum melihatnya,"Sudah kuduga. Ini milik Uchiha-senpai."

Rasanya ingin tahu apa yang Uchiha itu goreskan disana, tetapi rasa tidak enak padanya juga membuatmu ambigu sekarang. Tidak, kau terlalu sopan jika mengembalikan buku ini tanpa membacanya, Yamanaka. Lagipula tak ada tanda dilarang membaca disana, jadi tidak ada salahnya untuk membaca'kan?

Kini kau merasa idiot dengan alasan yang satu itu.

"Malaikat diatas salju? Uchiha-senpai adalah penulisnya?"


POV Sasuke

Aku masih benar-benar ingat bagaimana kami mengawali semuanya.

Secara tidak langsung aku berusia 19 tahun sekarang.

Tapi hidupku baru bermula pagi ini.

Hari pertamaku melihat salju.

Pertama kalinya aku melihat malaikat berlari diatas salju.

London, 2003.

Tes.. Tes

Aku menikmati setiap butiran mirip kapas ini terjatuh tepat di permukaan wajahku. Begitu lembut sampai aku lupa untuk membuka kedua kelopakku yang sejak tadi tertutup untuk ikut menikmati salju ini. Well, ini adalah kepertama kalinya aku menikmati salju di luar Konoha, sebuah desa api di selatan Jepang yang menjadi tempat aku lahir dan menghabiskan masa- masa remajaku. Aku benar-benar tidak ingin melewatkan 1 butir salju disini.

Aku berputar kecil dengan mengadahkan tanganku. Tapi pening dikepala membuat aktifitasku kuhentikan. Kemudian aku membuka kelopak mataku, seseorang sedang berlari menuju sebuah Gereja besar didepan. Sosoknya cukup menyita seluruh perhatianku dengan seluruh keanggunan yang ia miliki.

Aku dapat melihat gaun merah marunya berkibar membelah jalanan yang cukup bersalju hari itu, Helai-helai merah muda yang menjadi mahkotanya ikut berterbangan di atas punggungnya ditiup angin, mata hijau teduhnya berkilau. Membuat seluruh mataku tidak bisa melepas tatapan kearah emerlalnya. Bagian belakang gaunya ia biarkan menyapu salju yang bertebaran dijalanan dan sedikit berkibar karena ia dalam kondisi berlari kecil.

Awalnya dia tidak menyadari keberadaanku yang tertutup oleh pohon pinus muda dari arah depan, dan begitu ia berlari lebih jauh kedepan, dia bisa melihatku yang tersenyum padanya. Sontak pandangan kami bertemu pada satu titik, membuat kami masing-masing memperlebar senyum kami. Dia manis sekali.

Beberapa butir salju terjatuh di lekuk wajah elok sang pemilik, membuat ia harus memalingkan pandanganya dan kembali berfokus pada setiap langkahnya. Dadaku kurasakan sedikit berdesir kecewa melihat sepasang emerlald itu beranjak dariku. Oh Tuhan, Aku masih ingin memandangnya lebih lama.

Ia mendorong pintu Gereja besar didepan hingga terbuka seperempat. Tubuhnya yang ramping tenggelam dibalik gerbang kokoh Gereja besar itu. Aku yang sangat penasaran lantas menguntitnya dan bersembunyi dibalik tiang kokoh Gereja itu. Entahlah, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya pada seorang gadis mengingat aku hanya seorang mahasiswa jurusan musik yang hampir separuh waktuku aku habiskan untuk membaca atau berlatih alat musik. Kini aku sangat merasa minim pengalaman soal gadis, cinta, atau hal sejenis lainya. Ini membuat aku sedikit gugup untuk menguntitnya dan sesekali ingin kembali karena takut ketahuan. Aku hendak pergi, namun seluruh kontrol tubuhku rasanya diambil alih dengan perasaan yang baru beberapa saat seperti meletup didadaku.

"Maafkan aku terlambat. Badai salju sangat besar hari ini, membuat perjalananku sedikit terhambat." Dia bersujud di depan altar Gereja setelah menyalakan lilin dan meletakkanya di jejeran lilin yang ada di samping altar. Aku menatap punggungnya begitu dalam dari balik tiang, rasanya ingin duduk tepat di kursi jemaat belakangnya dan menatapnya lebih dekat saat dia berdoa.

Ia menautkan jari-jarinya dan meletakanya dalam posisi berdoa pada umumnya lalu mengambil nafas sebelum benar-benar memfokuskan dirinya untuk berbicara, "Ayahku akan berulang tahun besok. Dia telihat bahagia sekali saat aku melihatnya dikursi perusahaan sore ini.. Aku benar-benar ingin terus melihatnya begini. Dia sangat tampan diusianya yang sudah tua." Ia menatap lekat-lekat patung salib didepanya, dari nadanya berbicara aku bisa merasakan dia sedang tersenyum tulus.

"Ah iya, aku sudah tau sesuatu yang akan kuberi padanya. Dan aku harap, aku bisa mempersembahkan yang terbaik untuk Ayah nanti." Ia tersenyum puas seolah doa sebelumnya telah terjawab detik itu juga. Ia belum menunjukkan perangai akan beranjak dari tempatnya, dan kurasa, ia belum mengetahui kalau aku mengikutinya hingga kesini. Syukurlah, sekarang aku masih aman.

"Dan Kau tahu? Aku merindukan saat-saat dimana aku bisa meluangkan waktu untuk bernyanyi seriosa. Dan ya, aku ingin menyanyi untuknya. Kali ini tidak seriosa, Ayahku tidak suka itu." Sesaat aku sedikit terkejut kalau gadis muda seperti dia mampu bernyanyi seriosa yang kupikir sulit karena setahuku waktu aku mendapat seminar soal topik seriosa, kau harus banyak sekali meluangkan waktu lebih untuk berlatih mengingat teknik dalam bernyanyi seriosa sedikit lebih rumit dibanding bernyanyi biasa.

Aku kembali menolehkan kepalaku kebelakang—ketempat dia berada saat kudengar ia mendengus geli pada dirinya sendiri,"Kau tahu? Ayah selalu berkata kalau seriosa itu berlebihan. Aku selalu tertawa ketika Ayah bilang seperti itu. Entah, ribuan kali dia sudah berkata padaku kalau aku harus menyanyi sesuai dengan badanku. Badanku kecil jadi aku harus menyanyi seperti biasa. Jangan berlebihan. Haha." Aku ikut tertawa kecil. Menurutku Ayahnya benar. Badanya lumayan kecil. Tidak, tidak –menurutku dia mempunyai postur tubuh yang proposional. Sesuai rata-rata. Dan aku pikir, tidak ada yang aneh kalau gadis semanis dia bernyanyi seriosa. Itu menambah kesan manis padanya menurutku.

Tak lama, suara kekehanya berhenti. Dia menarik nafas untuk mengakhiri kekehan kecilnya.

"Dan.. Hari ini secara khusus ingin mendoakanya. Dia satu-satunya untukku. Kuharap Kau selalu jaga dia, aku dan kakakku sangat mencintainya. Semoga kami bisa membahagiakanya disisa umurnya." Ya Tuhan, kurasakan hatiku meleleh kali ini mendengar doa yang manis dari seorang gadis polos semanis dia.

Dia benar-benar polos. Lembar demi lembar kehidupanya rasanya belum pernah ternoda sekalipun. Pada siapapun Ayah dan kakaknya, aku ingin mengatakan kalau mereka telah berhasil mendidik seorang gadis hingga menjadi seperti ini. Kalau bagaikan sebuah opera, akulah penonton yang duduk di paling depan. Begitu pertunjukan selesai, akulah yang menepuk tangani mereka paling keras.

Kulihat ia mulai berdiri dari tempat semula ia berlutut. Aku diam-diam memperlebar senyum seiring dirinya mengeratkan mantelnya kemudian berbalik untuk kembali. Kaki jenjangnya melangkah menuruni tangga altar dan kemudian secara tiba-tiba berhenti. Sontak aku yang sedang mengikuti pergerakanya sedikit terkejut melihatnya begitu. Sepertinya ia melupakan sesuatu. Ataukah dia belum selesai bicara?

Ia berbalik badan lagi, sebuah senyum singkat terpatri tulus dari bibir merahnya. "Tuhan, dan ini yang terakhir, aku meminta seorang guru bahasa Jepang yang bisa mengajariku bernyanyi untuk pesta Ayahku nanti. Aku akan datang lagi besok. Ayah dan kakakku akan bersamaku disini." Kemudian ia menarik nafas beratnya dan benar-benar melangkah pergi dari sana.

Aku keluar dari tempat persembunyianku, sedikit maju kedepan dan menatap Salib yang penuh bias cahaya merah kekuningan yang berasal dari lilin remang Gereja, "Namaku Uchiha Sasuke. Bisakah aku meminta sebuah pertemuan dengan gadis merah muda itu kembali?"


"Hei, cepat bangun! Ini makananmu, dobe!" Seruku sambil menaruh sebuah ramen hangat di meja kecil kayu berwarna krem milik kami satu-satunya. Asap dari ramen itu mengepul bersama aromanya, membuat mahluk jabrik kuning yang masih bergelung dengan selimutnya itu langsung bangun dari tidurnya. Yosh, rencanaku untuk membangunkanya hari ini sukses.

"Hari ini aku akan membayar uang sewa, teme. Aku berdoa supaya kau terus meningatnya dan tidak sampai telat, aku tidak ingin melihat mayat kita ada di depan pintu. Uangnya ada di saku jaketku." Ucapnya sambil mengeliat lalu secara kilat duduk di meja dan meminum susu yang sudah kusediakan sebelumnya. Matanya belum sepenuhnya terbuka dan fokus. Tapi tak lama setelah matanya terbuka ia memandangku dengan tatapan menintimidasi tanpa alasan. Lantas, aku menaikan satu alisku. "Apa?"

"Ingat itu!"

Tanpa diingatkanpun aku ingat sekali kalau hari ini Bapak Tua pemilik apartemen ini akan datang dan menagih bayaran kami. Kalau tidak, ia akan mengetuk pintu kami pada pukul dua belas malam dan menunjukan wajah angker yang sudah keriput miliknya, dan satu yang aku tahu, dia berharap dua laki-laki dari Jepang yang dia tagih bayaranya akan takut dengan gigi ompongnya seperti bulan lalu. Ah, rasanya bila ia datang lagi nanti aku ingin bertanya apakah dia keseringan menonton film horror dewasa? Atau opera sabun? Atau bahkan pertunjukan sirkus dengan akhir menyeramkan? Maaf pak tua, kehidupan kami lebih seram dibanding kehorroranmu yang lebih ke lelucon itu. Aku mendengus kesal.

Aku tahu juga Naruto tidak suka sama sekali soal itu. Bahkan ia membencinya lebih dari laki-laki yang sering menguntit kekasihnya, Nona Hyuuga Hinata. Penakut.

"Aku saja. Bulan lalu kau sudah membayarnya. Aku jamin Uncle Jens tidak akan berani mengancam membunuh kita dengan sendok garamnya lagi. Aku berjanji padamu." Kataku yang membuat pandanganya berubah menjadi pandangan lega. Tentu, bulan kemarin bapak tua itu nyaris mengomel karena telat 3 jam untuk membayarnya. Mungkin karena batas emosinya terlewat, ia frustasi lalu mengambil sendok plastik garam kami didapur dan menodongkanya pada perut kami berdua. Membayangkan hal itu nyaris membuat Naruto bergidik ngeri. Kejadian itu sepertinya membuat trauma tersendiri baginya.

Ah sial, aku harus menahan tawaku sekarang.

"Padahal aku sudah mengumpulkan beberapa pounds —dan kuyakin itu cukup untuk membayar semua tagihan, teme. Tapi syukurlah. Setidaknya aku tidak mati secara konyol nanti malam karena dibunuh dengan sendok garam oleh pria tua yang telah kehilangan semua giginya itu." Kami mendengus geli. Lalu aku meraih kenop pintu dan memutarnya hingga pintu terbuka. Si dobe itu masih memakan ramen instanya dengan tenang. Anak pintar.

"Hn. Simpan saja itu untuk kebutuhan kita selanjutnya! Jangan boros dobe!"

BLAM!

Setiap pagi aku selalu pergi kesebuah pusat perbelanjaan yang cukup terkenal untuk kerja paruh waktu disana. Aku mengangkut banyak sekali barang yang akan diperjual belikan disupermarket itu. Pemilik supermarket itu sangat ramah padaku. Dia orang Jepang juga sama sepertiku. Setiap siang dia membelikanku satu piring pasta lezat yang tokonya berada di dalam supermarket ini. Dia bilang aku sudah bekerja keras untuknya, jadi aku layak mendapatkan ini. Tentu saja ini membuatku nyaman bekerja denganya. Dia terlalu baik buatku.

Supermarket akan tutup pada pukul 2 siang, jadi itu memberikan waktu bagiku untuk melakukan pekerjaan lain. Selanjutnya, aku pergi kesebuah restoran mewah yang terkenal di London. Aku menjadi kepala pelayan disana. Dan tidak seperti pelayan biasanya, semua pelayan disini menggunakan kemeja putih dengan rompi abu-abu dan dasi merah kupu-kupu. Khusus untuk kepala pelayan, aku dianjurkan berbeda dari semua rekanku. Aku menggunakan kemeja hitam dan rompi abu-abu tanpa dasi. Itu membuat kami tampak lebih berderajat dari seorang pelayan bukan? Ah, aku mencintai pekerjaanku ini. Sangat.

Hari itu banyak sekali pelanggan yang berkunjung. Hampir sebagian dari pengunjung memesan menu andalan kami yang menurut para chef memang agak rumit proses membuatnya. Tentunya itu membuat tim pelayan sedikit kewalahan melayani para pelanggan. Tapi syukurlah, semua pelanggan hari ini memberi feedback baik dan membuat kami mendapat jatah istirahat lebih banyak digantikan dengan pelayan shift kedua.

Pukul enam sore tim musik datang seperti biasa untuk bernyayi disini. Aku masih dalam jam istirahat saat ini. Suasana restoran sedikit membosankan kali ini. Aku berpikir untuk untuk menyalurkan hobiku di panggung kecil restoran ini agar mencairkan suasana dan membuat semua terhibur. Pengunjungnya lumayan banyak, hanya 3-4 bangku yang tidak terisi didalam gedung besar ini. Semuanya tepat didepan panggung kecil itu. Dengan melihat kondisi restoran sedang ramai, percaya diriku semakin tumbuh untuk bernyanyi didepan pengunjung.

Aku menyambar gitarku dan berjalan menuju panggung kecil milik restoran lalu sedikit berdiskusi sebentar dengan para pemusik. Rekan pelayanku ada disana semua untuk melihatku. Dan, jujur aku sedikit gugup mengingat sudah lama rasanya aku tidak berdiri di panggung. Terakhir kalinya aku bernyanyi dipanggung sekitar 1 tahun lalu kira-kira. Ya, waktu itu aku masih kuliah di Konoha, dan sebuah projek besar diserahkan padaku untuk melengkapi tugas akhirku. Aku harus merancang sebuah pertunjukan jazz untukku sendiri. Dan untunglah, anggota rookie—semua sahabatku itu bersedia berpartisipasi sebagai panitia dan pemusik disana. Membuat semuanya berjalan lancar.

Uchiha Sasuke lulus dengan nilai baik. Berkat mereka.

Rasanya aku ingin sekali bertemu mereka lagi di Konoha.

Begitu diskusi selesai, aku duduk dengan gitar yang siap kupetik. Sebuah lagu cinta yang kuciptakan sendiri mengalun indah dan mendapat banyak tepuk tangan. Meskipun dengan kondisi menyanyi, telingaku masih bisa menangkap deringan bel yang menandakan seorang pengunjung yang datang ditengah-tengah riuhnya siulan dan tepuk tangan dari rekan-rekanku dan juga pengunjung disini. Kepalaku tanpa aba-aba persetujuanku dengan cepat menoleh kearah pintu kaca yang sedang dalam proses ingin tertutup. Oh Tuhan ternyata yang baru keluar dari toko adalah gadis muda yang sama saat kutemui di Gereja besar itu. Awalnya aku sempat ragu itu halusinasi atau bukan. Tapi rasanya ini terlalu nyata bila menjadi halusinasi.

Dia tidak memakai dress seperti waktu aku melihatnya untuk kepertama kalinya saat itu, dia hanya memakai gaun pendek selutut yang tertutupi seluruhnya dengan mantel hitam panjang musim dingin dan memakai boots coklat dengan hak pendek. Rambut merah mudanya juga dibiarkan tergerai dan terlihat ikal dibagian bawahnya. Ia sekali-kali tersenyum ramah pada pelayan kami. Senyumannya sangat manis membuatku tertegun ditempat dan sekali lagi terhanyut dalam pesonanya.

Tapi sayang sekali, ia tidak bermaksud untuk makan disini. Dia hanya membeli beberapa makanan siap saji yang sudah tersedia dan tinggal membawanya pulang. Ia berlalu sebelum aku berhasil turun dari panggung untuk mengejarnya.

Aku berhenti ditengah jalan dan hanya menatap punggungnya yang tenggelam dibalik pintu mobil. Rasanya ingin berteriak memanggil namanya, namun aku belum tahu namanya.

Kini hanya satu pertanyaanku.

Apakah Tuhan mengijinkan aku untuk bertemu denganya...sekali lagi?


Yosh~ Hallo minna.. ijinkan saya nulis buat fandom SasuSaku yakk.. hehe

Awalnya saya udah nulis disini sekali dengan cerita diatas tapi buat fandom yang berbeda.

Minta kritik saran yaa.. karena jujur kritik saran kalianlah yang membangun saya untuk menjadi lebih baik lagi.

Kritik dan saran dengan sopan ya :)

See you on next chapter!