ROSE

Cast : ChanBaek and Other Cast

Rate : M

Genre: Romance, Historical-Collosal, BoysLove

Disclaimer : Semua cast milik Tuhan YME, Keluarga dan para Fans. Cerita ini murni milik saya, apabila ada kesamaan dalam cerita maupun judul. Itu hanya lah sebuah ketidak sengajaan. Biasa cerita pasaran.

Warning : BoysLove, Cerita pasaran, Typo(s) dimana mana, Alur cerita tidak memungkinkan, Tidak sesuai EYD, dan masih banyak lagi.

DONT LIKE. DONT READ

DONT BASH.


Chapter 1

"Agissi."

Petikan merdu sebuah gayageum yang berasal dari jemari lentik nan halus itu terhenti tatkala suara salah seorang dayang miliknya mengalun sopan menembus iringan musiknya.

Kelopak mata yang terhias bulu lentik bergerak pelan menampakkan sepasang iris puppy kelam bening yang tersorot tegas dibalik bayang hangat yang beberapa menit lalu tersembunyi.

Keindahan yang terpancar murni sontak membuat para dayang maupun pengawal yang berada di tempat tersebut tersenyum takjub, menggeleng pelan mengherankan setiap sudut diri yang terpahat sempurna.

Seulas senyum hangat terulas di bibir sebelum mendentangkan suara tenor halusnya.

"Ada apa?"

Mendengar suara junjungannya sang dayang membungkukkan tubuh memberi salam hormat kemudian memulai penyampaian pesan yang telah diamanahkan kepadanya.

"Kangin jeonha mengundang anda untuk bertandang ke Balai Istana sekarang, Agissi."

Anggukan kepala menyertai tubuh yang membungkuk meminta izin undur diri.

Dayang itu melangkah mundur mencapai pintu utama. Menggeser pelan lantas berlalu dari sana. Seusai kepergian dayangnya, dia mengerling menatap gayageum yang masih berada di pangkuan dengan kening berkerut penuh tanya.

"Apakah telah terjadi sesuatu? Hingga Ayahanda memintaku untuk menemuinya di Balai Istana?" bisiknya sambil membenahi ujung dalryongpo seusai meletakkan gayageum di samping jendela paviliun miliknya.

Tangan kanan yang berniat menggeser pintu tertahan sejenak, rona wajahnya masih tampak berpikir. Selang beberapa saat, menghela napas lalu menggelengkan kepala. Suara pintu geser mengambil alih posisi tubuhnya.

Beberapa dayang dan pengawal dengan sigap merunduk hormat menerima kehadirannya. Mereka bergegas berbaris rapi di belakang tubuh si Pangeran, melangkah beriringan di sepanjang wilayah Kerajaan.

*Rose*

"Tidakkah keputusan ini terdengar mendadak, Jeonha?"

Suara lemah yang sarat akan keresahan hati itu mengulas satu tarikan maklum di bibir Baginda Raja. Tangannya beralih meremas tangan sang Ratu yang tergeletak pasrah di lengan kursi. Berusaha mengusap keresahan hati sang dambatan hati.

"Tenanglah. Kau tahu dengan jelas tabiat Pangeran bungsu kita, heum."

Tanpa sadar dia berdecak tidak terima, sejenak melupakan tata krama. Sang Ratu mengentak genggaman tangan Rajanya.

"Kau berucap seolah Baekhyun agissi telah kehilangan haknya dalam mengutarakan pendapatnya. Tidak semua keputusan orang tua baik bagi putranya, Byun Kangin."

Deru napas bersahutan, tersenggal menahan buncahan emosi.

Wanita paruh baya pemilik lesung pipit yang masih terlihat cantik diusia separuh abad itu, rupanya tidak terima dengan keputusan sang Raja yang terlihat mementingkan diri sendiri tanpa menatap lebih dulu pendapat sang putra.

Meski dia tahu bagaimana tabiat Putra bungsu mereka. Tetap saja, dirinya tidak bisa terus berdiam diri mendapati sang putra bagaikan boneka Kerajaan. Selalu mengikuti petuah Ayahandanya tanpa memikirkan keinginan hatinya.

Kangin menghela napas panjang, jemari tegas miliknya tertaut di antara jemari Ratunya. "Hanya sebuah keputusan yang belum mutlak, Leeteuk-ah. Bukankah aku memanggil Baekhyun kemari."

Leeteuk mengalihkan pandang, menatap pintu mahoni berukirkan naga serta bunga sakura di setiap sisi dan lingkaran badannya. Pintu utama Balai Istana.

"Aku mohon untuk tidak menekannya. Kau tahu, perjodohan adalah hal yang cukup mengganggu pikirannya," pinta Leeteuk lemah.

Sorot mata yang selalu mengagungkan ketegasan, kini merapuh dengan kesenduan naluri seorang ibu yang selalu menginginkan kebahagiaan putranya dan tak menginginkan secuilpun pijakan kesedihan di balik punggung putranya.

Kangin tersenyum lantas mengusap sisi wajah Leeteuk. "Kau berpikir aku tidak memiliki hati nulari, heum. Aku Ayahandanya dan kasih sayang seorang Ayahanda kepada putranya tidak perlu diragukan lagi meski tidak sebesar kasih sayang seorang Ibunda."

"Terima kasih, Jeonha," desau Leeteuk lega.

Senyuman tulus membingkai wajah, Kangin turut tersenyum. Kepalanya mengangguk satu kali. Cubitan resah yang sempat menaungi hatinya perlahan mengabur. Dia tahu bagaimana tabiat Rajanya, walau tampak tajam dan keras. Namun, hatinya sangatlah lembut dan rapuh, terlebih bila mengenai putra-putra mereka.

Suara ranting pohon yang saling bergesekan sebab kibasan angin meramaikan keheningan di balik pintu mahoni. Teriakan pengawal serta bunyi gong yang menjadi pertanda akan kehadiran Pangeran Baekhyun yang seulas mereka bicarakan menyentak fokus sepasang penguasa Kerajaan Silla. Mereka bergegas membenahi posisi duduk begitu pintu mahoni berukirkan naga terbuka pelan.

Seorang pria berbalutkan dalryongpo berwarna cokelat muda mengais langkah tegas menghampiri singgahsana kedua orang tuanya. Surai kelam sepanjang bahu yang dibiarkan jatuh terurai bergoyang pelan mengiringi entakan kakinya. Kangin dan Leeteuk mengulas satu senyum takjub akan keindahan yang di tawarkan di depan mata.

Mereka hanya mampu mengucap syukur kepada dewa sebab telah bermurah hati menganugerahkan sebongkah berlian pada Kerajaan Silla. Sebuah Kerajaan tangguh yang begitu tersohor ke-Agungannya di Semenanjung Korea dengan kekuatannya yang tidak dapat dikalahkan oleh Kerajaan manapun kecuali Kerajaan Goguryeo musuh bebuyutan Kerajaan Silla.

Baekhyun membungkukkan badan, memberi hormat dengan gerakan sopan begitu sampai di hadapan orang tuanya. Kangin menganggukkan kepala, tangannya terulur mempersilakan Baekhyun untuk menyamankan tubuh di salah satu kursi kayu yang terpahat sempurna.

"Duduklah, Ayahanda akan segera menjelaskan maksud dari kedatanganmu kemari."

Baekhyun mengangguk patuh, setelahnya bergegas menyamankan tubuh di salah satu kursi kayu yang berjajar memanjang hingga pintu utama Balai.

"Kau terlihat sehat, nak. Bagamana pelatihan memanahmu? Berjalan lancar?" tanya Leeteuk berbasa-basi.

Berusaha membangun suasana akrab layaknya keluarga, menanggalkan kesan formal yang senantiasa menyelimuti mereka.

Mendengar intonasi tenang yang terlontar dari pasang bibir ibundanya cukup mampu menghilangkan perasaan resah serta gurat cemas yang sekilas mengetuk relung hati Baekhyun.

Seulas senyum terpahat di sepanjang bibir, kepala Baekhyun mengangguk usai memahami kondisi sekitar. Rupanya kedua orang tuanya hanya tengah merindu, untuk itu dirinya dipanggil kemari.

Wajar memang jika seperti itu, sebab meskipun mereka tinggal dalam lingkup kerajaan yang sama akan tetapi letak pavillion mereka berjauhan serta mereka tidak diperkenankan bertemu sekehendak hati tanpa unsur yang jelas.

"Baik Ibunda. Bagaimana dengan keadaan Ibunda dan Ayahanda? Mengenai pelatihan memanahku, semua berjalan lancar," jawab Baekhyun sopan sambil mengulas senyum.

"Cukup baik dan bertambah baik ketika kita dapat bertemu, putraku."

Kangin bangkit dari kursi singgasana, berjalan mendekat lalu mengusap puncak kepala Baekhyun.

Baekhyun beralih menatap Kangin. Ukiran indah di bibir tak berniat lenyap. Terpatri hingga usapan hangat di kepala sirna. Sorot mata baya itu mengentak kenyamanan Baekhyun, menggerakkan tangan meraih tangan Kangin dan mengusapnya lembut.

"Ayahanda merindukan hyungdeul."

Kangin sedikit tersentak menerima kebenaran atas pernyataan yang terkecap itu. Kekehan ringan kemudian terdengar mencoba mengaburkan kerisauan hatinya.

"Kau cukup pandai membaca pikiran orang, heum."

Kangin mengacak surai Baekhyun. Baekhyun sekilas menatap Leeteuk. "Dua hari lagi Ayahanda, Ibunda. Hanya tinggal dua hari lagi," rafal Baekhyun berupaya menenangkan gejolak rindu kedua orang tuanya akan kehadiran dua kakaknya.

Leeteuk mengangguk sebelum terkekeh ringan. "Sayang, Ibunda dan Ayahanda tidak serapuh itu. Kami mampu menahannya. Hanya tinggal dua hari lagi, bukan."

Leeteuk menatap Kangin dan Rajanya itu mengulaskan senyum.

Kangin berdeham, menatap tegas putra bungsunya berinisiatif menyampaikan tujuan awal dirinya memanggil sang putra kemari saat ini juga.

"Putraku.."

Kangin beringsut mendekat, menyamankan tubuh di samping Baekhyun. Baekhyun menatap lekat Ayahandanya. "Ya, Ayahanda." Kangin menghela napas, mengerling ke arah Leeteuk dan menerima anggukan kepala dari sang permaisuri.

"Sebentar lagi Tahun Matahari."

Baekhyun terkesiap, tautan jemari di bawah meja bergerak rusuh- iris matanya senantiasa menatap Kangin, namun perasaan resah menggelayuti hantinya.

"Kau sudah menemukannya?"

Lontaran selanjutnya seketika mengaburkan asa pikiran dan perasaannya.

Baekhyun mengalihkan pandang, tidak mampu mengucap sepatah kata untuk beralibi. Memang pada kenyataan, dia tak memiliki bahan pengalih untuk di lempar keluar. Lidah terasa kelu, merasa resah dengan kalimat selanjutnya.

Mendapati keterbungkaman Baekhyun. Kangin dapat menyimpulkan bila jawaban atas pertanyaannya masih terlampau jauh. Hela napas berat dari Kangin menggerakkan kelopak mata Baekhyun, menutup iris puppy yang berbinar pasrah.

"Ayahanda paham."

Tangan Kangin terulur, mengusap puncak kepala Baekhyun. "Apa kau akan menerima keputusan Ayahanda?"

"Kangin!" cicit Leeteuk terkejut menerima untaian suku kata itu. Belum sempat dia mencecap sebaris kalimat protes, suara Baekhyun menyelinap ke telinga dengan cepat.

"Aku akan selalu menerima apa yang menjadi keputusan Ayahanda, karena aku yakin, keputusan tersebut baik untukku juga Kerajaan."

Kangin menggelengkan kepala bangga saat putranya kembali menunjukkan sikap patuhnya.

"Walaupun keputusan itu akan mengecewakanmu, Apakah kau akan tetap mengikutinya?"

Baekhyun menatap Leeteuk dengan lembut, sebaris lekuk tulus membayangi sinar keraguan dalam hati ibunya.

"Sebagai seorang anak hendaklah selalu yakin dengan apa yang telah diputuskan kedua orang tuannya. Karena sesungguhnya orang tua lebih mengetahui apa yang terbaik untuk anaknya. Setiap orang tua pasti menginginkan kebahagiaan anaknya."

Tanpa sadar air mata melinang dari mata Leeteuk. Jemarinya bergerak mengusap linangan tersebut kemudian bergegas bangkit dari singgasana menghampiri Baekhyun.

"Nak, namun tidak semua keputusan orang tua baik bagi kehidupan anaknya. Sebab, orang tua hanya mampu menatap langkah anaknya. Tidak turut melangkah bersama dengan sang anak. Sebagai orang tua yang bijak, hendaklah mereka yakin dengan apa yang sudah anak mereka putuskan. Karena sesungguhnya hanya mereka sendirilah yang mengetahui baik-buruk hidupnya. Orang tua hanya berwajib mengingatkan dan mengarahkan putranya bila mereka mengambil langkah yang salah."

Baekhyun menatap sendu ibunya saat setiap untaian kata bijak Leeteuk mengalir ke dalam sanubarinya, pandangannya teralih menatap sang ayahanda. Terdiam, menunggu keputusan Kangin selama menyimak percakapan ini.

"Ayahanda akan memberikan satu kesempatan lagi untukmu. Tetapi, bila sampai Tahun Matahari tiba kau belum juga mendapatkan pendampingmu. Terpaksa Ayahanda akan menjodohkanmu," tegas Kangin menuai rundukan kepala tanda setuju dari Baekhyun.

Baekhyun sudah menduganya bila jalan ini yang pada akhirnyaakan dipilih oleh orang tuanya, memang berat jika dia hidup dengan orang asing yang sama sekali tidak ia cintai, namun cinta itu seperti air, mengalir dengan sendirinya dan tanpa batas. Baiklah sekali lagi, dia akan tunduk pada petuah ayahandanya.

*Rose*

Hempasan anak panah yang melesat cepat ke arah bidikan menuai decak kagum setiap mata yang memandang. Bahkan salah seorang dari mereka tanpa sadar mengucap sebaris kalimat pujian.

"Anda memang hebat Jeoha dalam jarak sejauh itu, anak panah anda masih dapat mencapai target utama."

Kepalanya menggeleng terpesona, decakan kagum dengan tatapan memuja tak henti mengitari tempat pelatihan memanah.

Mereka mengerling, mendesau dalam hati mengagungkan nama Putra mahkota mereka yang sebentar lagi akan beralih menjadi Raja mereka. Meski tampak bengis dan dingin, namun hendikan bahu tidak peduli menyemai hati mereka. Tetap saja mereka akan memuja sang Putra mahkota.

Sosok penguasa Kerajaan Goguryeo selanjutnya yang digadang-gadang sebagai pembawa kesejahteraan dan kedamaian di sepanjang Semenanjung Korea ini, mampu membutakan tabiat keras si Putra mahkota.

Pandangan mereka beralih. Dalam jarak sejauh itu, sang Putra mahkota masih dapat melancarkan anak pananhnya tanpa meleset sedikitpun, sungguh mustahil.

Tapi inilah keturunan Kerajaan Goguryeo. Kerajaan terhebat dan terkuat di antara Kerajaan-kerajaan lain kecuali Kerajaan Silla musuh bebuyutan Kerajaan Goguryeo. Terhitung lebih dari puluhan ribu Goguryeo dan Silla beradu pedang. Namun, tidak ada niatan untuk mundur, baik dari Kerajaan Goguryeo maupun Kerajaan Silla. Mereka tetap bersikukuh menapakkan ego masing-masing di simbol Kerajaan.

Sosok rupawan itu tersenyum bangga ketika sekali lagi dia mampu membuktikan kepada dunia akan kehebatannya. Tangannya hendak kembali menarik anak panah sebelum salah satu dayang menginterupsi kegiatannya.

"Mohon ampun sebab telah lancang mengganggu waktu anda, Jeoha. Saya hanya sedang menyampaikan pesan. Saat ini Yunho Jeonha dan Jaejoong Mama tengah menanti kedatangan anda di Balai Istana, Chanyeol Jeoha."

Tepat setelah dayang menyelesaikan kalimatnya, lesatan anak panah menembus panah yang telah menancap, membelahnya menjadi dua bagian. Menatap sejenak panah tersebut kemudian berbalik tanpa seutas kata menjauhi tempat pelatihan.

*Rose*

"Jangan terburu mengambil keputusan, Rajaku. Kau tahu bagaimana sifat Putra mahkota?"

Sang Raja menatap Ratunya begitu alunan kata tersamar kerisauhan hati memenuhi indera pendengarnya.

"Jaejoong, kau tahu bagaimana kondisiku. Chanyeol harus segera naik tahta menggantikanku."

Wanita paruh baya yang tetap tampak cantik meski usia menggilas sinar mudanya terdengar mendengus kesal ketika Rajanya nampak memburamkan keadaan.

"Jangan membual. Aku tahu, kau masih cukup kuat duduk di kursi ini hingga 1-2 tahun lamanya," sergah Jaejoong tidak terima.

Yunho menghela napas panjang lalu mengusap kening pasrah. Percuma berdebat dengan istrinya, tidak kunjung menemui titik terang justru akan semakin kacau. Pada akhirnya Yunho memutuskan untuk mengalah, menuruti kemauan sang permaisuri.

"Baiklah, tetapi hanya sampai Tahun Matahari. Bila sampai Tahun Matahari Chanyeol tidak lekas mendapatkan pendamping. Aku akan menjodohkannya."

Jaejoong mengangguk setuju, pandangannya beralih menatap pintu utama Balai istana dengan tatapan menerawang, menghiraukan kening berkerut Yunho yang merasa janggal atas perubahan sifatnya.

Sebagai seorang ibu, tentu dia memahami sifat putranya. Chanyeol adalah seorang Putra mahkota yang luar biasa tampan dengan segudang kehebatan serta otak cerdas. Dia sosok pria yang dingin, angkuh, namun berbakti kepada kedua orang tuanya juga Kerajaan.

Chanyeol tidak akan pernah mengampuni orang yang telah menyakitinya, tetapi dia begitu lembut kepadanya. Membentakpun tidak pernah Chanyeol lakukan mengingat bagaimana sifatnya.

Maka dari itu Jaejoong seketika merasa menjadi sosok ibu yang gagal jika membuat hati sang putra tersakiti sebab keputusan Yunho, sebisa mungkin Chanyeol harus mendapat pendampingnya atas kehendaknya sendiri.

Dengan begitu Chanyeol akan hidup bahagia karena besanding dengan orang yang dicintainya, orang pilihannya.

"Sayang."

Jaejoong tersentak dari lamunannya saat suara bass mengalun merdu ditelinga. Jaejoong menolehkan kepala dan tersenyum lembut ketika mata mendapati roman cemas dari pria tampan belahan jiwanya.

"Aku baik-baik saja, hanya sekilas memikirkan putra tampan kita."

Kerutan samar terlihat di kening Yunho.

"Sesuatu telah terjadi?"

"Tidak. Aku hanya merindukannya."

Ucapan jujur Jaejoong menuai lekuk tulus di sebaris bibir Yunho. Tangan terulur mengusap tangan Jaejoong lantas menggenggamnya bermaksud menenangkan.

Yunho dan Jaejoong tersenyum sesaat mendengar seruan pengawal dari balik pintu Balai Istana yang menyerukan kedatangan Putra mahkota mereka. Tak lama pintu mahoni berwarna merah bata dengan ukiran Naga berpadu kelopak mawar terbuka perlahan, menyongsong seraut wajah tampan dalam balutan gonryongpo berwarna merah pekat, ikat kepala yang berwarna senada dengan gonryongo yang terbalut, terikat di kening, tanpa mengganggu tatanan surai kelamnya.

Yunho dan Jaejoong mengucap penuh syukur kepada Dewa atas kemurahan hatinya sebab telah menitipkan seorang berlian nyaris sempurna di Kerajaan Goguryeo. Chanyeol mengais langkah teratur menghampiri singgasana orang tuanya.

Begitu berdiri tepat di hadapan kedua orang tuanya Chanyeol membungkukkan tubuh memberi hormat.

"Ada apa gerangan? Sehingga membuat Ayahanda memanggilku kemari?" tanya Chanyeol usai memberi salam.

"Duduklah terlebih dahulu Putra mahkota."

Chanyeol segera menyamankan tubuhnya di salah satu kursi kayu dengan ukiran serupa, obsidian tajamnya menatap Yunho penuh rasa penasaran.

"Kau sangat tidak sabaran nak."

Chanyeol mendengus malas saat mendengar ucapan geli Ayahnya. "Aku sedang ada urusan Ayahanda."

Jaejoong menggelengkan kepala. Nada jengkel terdengar jelas di setiap bait kata yang terkecap bibir.

Tidak berniat membuat putranya semakin resah. Yunho bergegas melancong ke inti pembicaraan.

"Sebentar lagi, kau akan menjadi penguasan Goguryeo menggantikan Ayahanda."

Chanyeol menatap Yunho lekat-lekat yang dibalas dengan tatapan tegas dari sepasang iris Yunho. Raja paruh baya itu menarik napas dalam sebelum melanjutkan wejangannya.

"Dan kau tentu telah mengetahui apa syarat utama sebelum menjadi seorang Raja?"

Chanyeol menghela napas pelan begitu serentak hati mulai mengetahui arah perbincangan tersebut.

"Apa kau sudah menemukan pendampingmu?"

Pertanyaan Yunho bagaikan petir yang menyambar kepala, melumpuhkan saraf otak Chanyeol. Tegukan ludah kelu mengiringi gelengan kepala penuh sesal.

"Lantas, Ayahanda yakin kau tidak akan menerima keputusan Ayahanda kali ini."

Chanyeol mendongak menatap Yunho dengan tatapan teduh ketika untaian bernada kecewa menyentak kebaktiannya.

"Sebagai seorang anak hendaklah harus yakin dengan apa yang diputuskan oleh orang tuanya, sebab orang tua yang lebih tahu tentang kebahagiaan anaknya. Karena, tidak ada satupun orang tua yang menginginkan putranya terluka."

Chanyeol mengulaskan satu senyum tulus, sebuah senyuman langka nyaris tidak pernah terlihat bila tidak sedang bersama kedua orang tuanya.

"Akan tetapi ini masalah hati Ayahanda, masalah kebahagiaan dan cinta. Kebahagiaan tidak akan terkecap bila kau bersanding dengan orang asing. Dengan orang yang sama sekali tidak kau cintai. Benar, cinta seperti air, mengalir dengan sendirinya tanpa batas. Namun, sodoran pepatah itu tidak dapat menjamin kebahagiaanku, Ayahanda. Hidup bahagia akan terlaksana jika kita hidup dengan orang yang mampu membuat kita jatuh cinta."

Chanyeol bangkit dari duduknya, menyongsong langkah ke hadapan orang tuanya. "Maaf Ayahanda. Untuk kali ini saja biarkan aku memutuskan keinginanku sendiri. Maaf, atas ketidaksetujuanku. Aku permisi." Dia membungkukkan tubuh, kemudian berbalik keluar dari Balai Istana.

Yunho menghela napas pasrah, dia sudah menduganya. Chanyeol pasti akan menolaknya. Jaejoong mengusap lengan Yunho, menenangkan biduk kegelisahan di hati.

"Chanyeol adalah seorang Putra mahkota yang akan menggantikan posisimu di singgasana, Jeonha. Inilah saatnya untuk mempercayai setiap keputusannya," ucapnya lembut sembari tersenyum. Yunho menganggukkan kepala, berusaha mempercayai ucapan sang istri.

Lagipula apa yang dikatakan putranya adalah fakta. Hidup bersama orang yang kita cintai dan mencintai kita itulah kebahagiaan, seperti apa yang telah dia rasakan saat ini. Biarlah Chanyeol mencari cintanya, mencari mawarnya seorang diri, dia yakin putranya lebih mengetahui apa yang terbaik untuk Kerajaan ini.

*Rose*

Sepasang iris puppy itu menatap penuh minat kelopak bunga sakura yang berguguran lalu terhempas angin menyapa puncak kepala. Bibir semerah bunga mawar tertarik, membentuk lengkungan tulus membuat pesonanya meningkat berkali-kali lipat, jemari meruncing lentik terulur ke atas kepala, meraih beberapa helai kelopak sakura yang menyapa surai.

Menatapnya sekilas sebelum meniupnya menjauh. Kembali menerbangkan kelopak sakura yang tersangkut bersama sekawanannya yang senantiasa melayang di udara.

Kini hatinya tengah dirundung perasaan bahagia yang tak terkira, sudah lama sekali dia tak menghirup udara di alam bebas seperti ini. Kesibukan sebagai seorang Pangeran serta keterbatasan mengenal dunia seolah membelenggunya dari dunia luar.

Ucapan terima kasih senantiasa terlontar dari celah bibir, ketika orang tuanya mengizinkan dirinya untuk sekali lagi mengecap indahnya dunia luar. Para dayang dan pengawal turut melukis senyum merasakan kebahagiaan sang junjungan. Baekhyun menoleh menatap dayang serta pengawalnya, sorot permohonan berbayang semu di sana.

"Dapatkah kalian membiarkanku melangkah seorang diri di ujung sana?" tanya Baekhyun meragu, tidak meyakini permintaannya akan terkabul.

Sebab dia tahu bagaimana patuhnya para dayang serta pengawalnya itu. Mereka tidak akan semudah itu membiarkan dirinya lepas dari pengawasan.

"Mohon maaf, Agissi. Kami tidak bisa melalaikan tugas kami. Keselamatan Agissi adalah prioritas kami."

Baekhyun menghela napas, tepakan langkah menggilas tanah, menghampiri barisan dayang dan pengawalnya.

"Kalian meragukanku."

"Mohon ampun Agissi, kami tidak bermaksud seperti itu," gagap salah satu dayangnya, tubuhnya bergetar resah menahan takut.

Baekhyun menyentuh bahu dayang tersebut lalu mengusapnya lembut.

"Keselamatanku atau Kebahagiaanku? Apa yang lebih prioritas bagi kalian?"

Seketika barisan dayang dan pengawal di sekitar pijakannya menunduk dalam merasa bersalah. Mereka di rundung perasaan dilema.

Bagi mereka keduanya adalah suatu hal yang patut diprioritaskan. Mereka tidak bisa memilih salah satu, meski diharuskan untuk memilih. Bila memang dipaksakan untuk memilih salah satu di antara dua pertanyaan itu mereka terpaksa memilih keselamatan Baekhyun dan dengan berat hati pilihan mereka tentu akan melenyapkan senyum bahagia itu.

Tentu saja mereka tidak akan sampai hati membiarkan lengkungan indah itu lenyap sebab keegoisan mereka yang bersikukuh mengemban tugas.

Baekhyun kembali tersenyum saat merasakan keresahan dayang serta pengawalnya.

"Aku terima niat tulus kalian, terima kasih. Tetapi, aku mohon. Untuk kali ini saja. Biarkan aku mengecap indahnya alam bebas ini tanpa bayang-bayang identitasku."

Mereka terdiam, merutuki kebodohan yang telah mereka perbuat hingga membuat Pangeran mereka memohon pada mereka yang hanya seorang pengikut.

"Aku bisa menjaga diri. Keselamatan seseorang bukan dari ketatnya penjagaan, melainkan dari baik buruknya tingkah laku seseorang itu sendiri," petuah bijak Baekhyun terlempar tegas.

Tanpa menunggu persetujuan dari dayang serta pengawalnya. Baekhyun berbalik melangkah pergi. Suara serasah daun kering tergilas tepakan langkah yang menjauh, terdengar kian samar ketika punggung sang Pangeran terbenam di balik pohon oak.

Para dayang dan pengawal bergerak resah di tempat. Mengepalkan tangan menahan diri untuk tidak mengacaukan keinginan sang Pangeran. Merafalkan kepada diri sendiri bahwa Baekhyun akan baik-baik saja meski tanpa penjagaan dari mereka.

Sedikit melanggar peraturan Kerajaan demi kebahagiaan sang junjungan, tidak masalah bukan.

*Rose*

Chanyeol menyandarkan tubuh di salah satu pohon oak yang berdiri angkuh menantang langit walau beberapa daun berjatuhan menjadi serasah tak berarti di tanah. Sebagaian melayang mengikuti gerak angin yang terhempas pelan.

Kelopak matanya terpejam, menikmati embusan angin yang membelai wajah. Mengacak surai kelamnya. Lambaian mesra kelopak bunga sakura berulang kali menyapa wajah serta puncak kepala. Bibirnya tertarik tipis, hatinya menenang merasakan keindahan murni di sekitar pijakan kakinya.

Seekor rusa menyapa bayangnya begitu kelopak mata bergerak, menampakkan sepasang iris tajamnya. Tepat beberapa meter di depan. Tiba-tiba jiwa berburunya melesat menegakkan nyali Chanyeol. Genggaman pada alat pemanah di tangan kiri menguat.

Bergerak menarik busur panah tepat di saat embusan angin makin hebat menyemarakan nafsu berburunya. Roman wajahnya berubah serius, mengarahkan anak panah ke objek bidikan. Salah satu kelopak mata tertutup, berfokus pada gairahnya tanpa menimbang lebih jauh arah anak panah tersebut.

Seulas senyum miring mengiringi lesatan anak panah, hanya sepersekian detik sebelum tergantikan dengan sorot terkejut. Kening berkerut heran dan tersentak di tempat ketika suara pekikan seseorang menerbangkan kesadaran Chanyeol.

Jantung Chanyeol berdetak kencang, berbagai pikiran buruk silih berganti menerpa otaknya. Seorang Putra mahkota seperti dirinya pantang menyakiti seseorang yang tidak bersalah maupun menganggu dirinya.

Serentak logika mengomando untuk bergegas mendekat. Chanyeol melempar busur panahnya ke tanah, kemudian melangkah tergesa nyaris berlari ke asal pekikan suara. Menghiraukan guratan penuh tanya di berbagai pasang wajah para pengawalnya.

"Oh Dewa."

Chanyeol mengumpat dalam hati, merutuki kecerobohannya saat mata meyakini bila memang anak panahnya meleset. Seorang pria berbalutkan dalryongpo berwarna cokelat memaku kesadaran Chanyeol.

Dia tahu orang yang tanpa sengaja ia sakiti ialah seorang Pangern. Chanyeol bergegas menghampiri sang pangeran yang tengah bersimpuh sambil mengerat lengannya. Aliran darah mengaliri lengan tangannya hingga ke baris telapak tangan.

"Maaf. Sungguh, saya tidak sengaja. Anak panah saya meleset dari perkiraan saya, Agissi."

Chanyeol berusaha berucap sesopan mungkin. Meredam emosi si korban demi menekan terjadinya kesalahpahaman yang dapat menimbulkan percikan perang antar Kerajaan.

"Maafkan saya, Agissi," pinta Chanyeol sekali lagi saat tak mendengar satupun dengung ucapan dari si korban, hanya desisan samar yang sesekali terdengar.

Tubuhnya masih bersimpuh membelakangi Chanyeol.

"Tak apa, aku baik-baik saja."

Chanyeol menelan kembali untaian katanya begitu mendengar suara tenor yang menyelinap masuk ke telinga bersama riuhan angin. Chanyeol terkesima, suara yang menyelinap bagaikan petikan gayageum. Indah dan lembut.

Serasah daun kering yang terpijak mengambil kesadaran Chanyeol. Pangeran asing itu bangkit hendak beringsut pergi, tetapi dengan sigap Chanyeol menahan pergelangan tangannya.

"Aku akan mengobatimu, tetaplah di sini."

"Aku sudah mengatakannya..."

Baekhyun mengalihkan pandang menatap si pemanah. Desiran halus tiba-tiba menekan pergerakan mereka. Sepasang iris saling menyelami keindahan masing-masing, tanpa sadar telah terjatuh ke dalam belenggu tak kasat mata.

Riuhan angin berderak kian kencang. Helaian kelam mereka terhempas, teracak membayangi pandangan. Baekhyun nyaris tenggelam bila pandangannya tak sengaja menelusuri balutan yang dikenakan pemanah asing itu. Sebuah lambang Kerajaan Goguryeo terukir apik di dada kiri serta ukiran naga berjari empat di sepasang bahu, bagian depan dan belakang sekaligus memberitahu Baekhyun akan posisi sosok asing tersebut.

Rona wajah Baekhyun mendadak cemas meski samar, lengannya bergegas mengentak lingkupan tangan Chanyeol dari pergelangan tangan. Merundukkan kepala kemudian menapak langkah menghindari sepasang mata yang senantiasa menatapnya lekat.

"Izinkan aku mengobati lukamu," ujar Chanyeol tegas seraya mengadang langkah Baekhyun.

Baekhyun berdiri resah, genggaman tangan di lengan yang terluka mengerat.

Pangeran cantik itu mencoba tersenyum di balik kerisauannya. "Tidak perlu merepotkan diri, Jeoha. Hanya sebuah luka kecil," tolak Baekhyun halus.

Obsidian tajam Chanyeol beralih sekilas ke barisan pengawalnya ketika acap kali dia menangkap iris indah itu mencuri pandang ke balik tubuhnya.

"Aku bukan seorang pecundang, Byun Agissi. Aku tidak mungkin membunuh lawan yang tengah lemah. Jadi, jangan cemas," kata Chanyeol menenangkan ketika telah mengetahui kerisauan hati lelaki menawan itu.

Baekhyun mendongak menatap Chanyeol. Pancaran matanya masih tampak ragu. Chanyeol tersenyum maklum. Tangan terulur, meraih telapak tangan Baekhyun. Meniti langkah, menghampiri pohon sakura lantas menyamankan tubuh di bawah gugusan pohon sakura yang tak kunjung usai melepaskan kelopak bunganya.

Tangan kanan terangkat, menginstruksi salah seorang pengawalnya untuk memenuhi permintaannya. Tak berapa lama menunggu sang pengawal kembali tergesa dengan air dan ramuan di sepasang tangan.

Chanyeol mengambil ramuan serta air tersebut dari tangan si pengawal lalu beralih pada lengan gonryongpo miliknya. Suara tarikan kain menginterupsi keheningan. Chanyeol membalut luka Baekhyun dengan ujung lengan gonryongpo miliknya usai membubuhkan ramuan tersebut pada luka Pangeran Silla itu.

Baekhyun menatap dalam diam kegiatan Chanyeol. Dia terkagum sekaligus tersanjung. Tak pernah mengira sebelumnya jika dapat bertemu dengan calon pewaris tahta Kerajaan Goguryeo serta mendapat perlakuan baik semacam ini secara langsung dari sosok rupawan itu.

Chanyeol menyudahi kegiatannya kemudian mendongak menatap Baekhyun yang masih termangu menatap dirinya tanpa berkedip. Chanyeol terkekeh, ia menjentikkan jari di depan wajah Baekhyun. Berupaya menarik kesadaran pria cantik itu.

Kelopak mata Baekhyun mengerjap cepat, semu merah di pipi terlukis samar begitu tersadar dari kebodohannya, setelahnya kepala menunduk malu. Untaian jemari bergerak rusuh di balik dalryongponya.

"Ternyata rumor itu bukan sekadar isapan jari belaka. Kau memang indah," puji Chanyeol jujur, mengentak hati Baekhyun.

Terang saja, makin membuatnya tenggelam ke dalam rasa malu yang kian mengubur hatinya.

Baekhyun menatap kelopak sakura yang berjatuhan di tanah. "Kau terlalu berlebihan, Jeoha. Aku hanya seorang manusia dan seorang manusia tidaklah sempurna."

Baekhyun bangkit dari duduknya, meski kilauan keindahan tersemat di antara kedua belah pihak.

Namun tetap saja mereka sepasang musuh dan sepasang musuh tak patut bersama terlalu lama. Pergerakan tubuh Baekhyun menuai gerakan tergesa Chanyeol, entah mengapa hatinya seakan menolak kepergian Baekhyun. Sekali lagi, refleks tubuhnya bergerak mencekal pergelangan tangan halus itu.

"Baekhyun Agissi..."

Tenggorokan Chanyeol tercekat, lontaran kalimat yang sempat terlintas tak mampu ia utarakan. Baekhyun memandang hangat calon penerus Kerajaan Goguryeo itu kemudian melepas tautan tangan Chanyeol dengan gerakan sopan.

"Saya harus pergi, Park Jeoha."

Formal. Tentu saja, seharusnya sejak tadi dia berbicara menggunakan nada tersebut demi menjaga kesenjangan di antara keduanya.

Baekhyun menggeleng, dia hanya sedikit terlena. Beruntung tidak terlampau jauh.

Sorot mata Chanyeol tidak mengizinkan. "Bisakah kita bertemu lagi?" tanya Chanyeol penuh harap.

Baekhyun tersenyum sembari merundukkan kepala memberi hormat. "Tidak baik sepasang musuh sering bertemu, Jeoha. Saya hanya tidak ingin menuai kecurigaan di dua belah pihak Kerajaan."

"Mereka tidak akan mengetahuinya," kejar Chanyeol menarik opsi Baekhyun barangkali terjerat dan bersedia mengikuti keinginannya. Tetapi, rupanya keyakinan Baekhyun begitu teguh.

"Sesuatu yang disembunyikan pasti akan terbongkar, Jeoha. Dan hal tersebut fatal akibatnya. Saat ini Kerajaan Silla dan Kerajaan Goguryeo sedang dalam kondisi panas. Saya tidak ingin pertemuan tidak sengaja ini menjadi percikan api untuk memulai perang kembali."

Bibir Chanyeol tertarik berat membentuk seulas senyum kecut, pandangannya teralih menyelami binar lembut itu. "Tidak bisakah sepasang musuh berteman?"

Baekhyun bungkam. Pertanyaan Chanyeol sontak meluruhkan prinsipnya. Sorot puppy itu berbinar sendu.

Riuhan angin membisingkan telinga. Mengoyak sisi lemahnya. Baekhyun memang begitu baik, dia hanya terlalu baik. Bahkan saat di medan perang, pedang yang terangkat tidak benar-benar menghunus musuhnya. Dia tidak bisa, hanya taktik yang ia pergunakan untuk memukul mundur perlawanan musuh.

Dia tidak akan pernah mampu membunuh musuhnya. Dan sekarang, pertanyaan itu bagaikan hujaman untuk dirinya. Tudingan atas keegoisannya. Tegukan ludah lamat dari Baekhyun menjadi awal pergerakan Chanyeol.

Chanyeol mendekat, berdiri di sisi kanan Baekhyun.

"Bisakah sepasang musuh berteman?" bisik Baekhyun ragu, pengendalian dirinya mulai goyah.

Chanyeol tersenyum. "Kita belum mencoba," balas Chanyeol dengan berbisik pula. Baekhyun beralih menatap Chanyeol, tubuh Chanyeol merendah mengikis sekat.

Ujung hidung hampir bersentuhan. Mata saling bersiborok, menyelami perasaan runyam yang bergejolak di sanubari.

"Sepasang musuh ditakdirkan untuk saling menghancurkan, Jeoha."

Mata Chanyeol menajam. "Bahkan takdir yang terlukis bisa dirubah selama kita berusaha," tolak Chanyeol tegas.

Kepala Baekhyun menggeleng, pandangannya bergerak ke depan.

"Maafkan saya. Namun hal tersebut terlalu sulit untuk kita rangkai, Jeoha. Pikiran bisa meng-angan tetapi tidak dengan kenyataan. Dan kita memang ditakdirkan untuk saling mengadu pedang," putus Baekhyun dengan bibir bergetar.

Berusaha menolak gejolak hati yang turut membenarkan perkataan Chanyeol. Mencoba menarik kesadaran logikanya. Baekhyun menahan napas, ia tidak diperkenankan untuk percaya, mudah terlena. Untuk saat ini, Baekhyun berupaya mengesampingkan sisi lemahnya.

Punggung tangan Chanyeol menyentuh punggung tangan Baekhyun, mengirim sejuta implus sengatan magis tak kasat mata. Entah mengapa, mendadak tubuh Baekhyun terpaku, memuja sentuhan tersebut.

"Jika memang kita diharuskan saling mengadu pedang di medan perang nanti. Aku bersumpah untuk tidak mengangkat pedangku di hadapanmu, Baekhyun Agissi."

Desauan suara berat itu sekejap membuat pikirannya kosong. Mengacau balaukan perasaannya ke dalam lembah kebimbangan. Bahkan kepergian Chanyeol tak mampu dia cecap, untaian kalimat itu bagaikan mantra. Terus berulang memenuhi telinga dan otaknya.

Tubuhnya berbalik menatap punggung Chanyeol yang bergerak menjauh, tertutupi barisan pengawal. Tak terasa satu linang air mata bergerak turun menyemai tanah. Baekhyun tersanjung, tak pernah dalam hidupnya merasakan kehangatan semacam ini.

Masih dalam pertemuan pertama, dia sudah sekacau ini.

"Dapatkah aku mempercayai ucapanmu, Chanyeol Jeoha. Dapatkah aku sedikit berharap?"

Kelopak mata Baekhyun terpejam, merasakan desiran hangat di sekujur tubuh. Merebak bersama riuhan angin dalam mengacaukan surai kelamnya. Seberapapun keras usahanya dalam menyentak keluar perasaan itu, Baekhyun pada akhirnya tetap terjatuh.

Baekhyun terjerat pada pandangan pertama.

*Rose*

Sinar rembulan yang terpancar menyilaukan tak mampu mengusir Baekhyun dari kegiatannya menatap ribuan bintang yang tersebar di permadani kelam. Sorot matanya menerawang jauh, mengukir rupa seseorang dibarisan bintang. Jantungnya bertalu sedikit lebih cepat menandakan bila dirinya belum menenang.

Dia menghela napas panjang, jemari telunjuk menyusuri pahatan jendela. "Mengapa berat melupakan untaian kalimatmu, Jeoha?" Sepasang gigi mengerat bibir bawah.

Merutuki kelemahannya, sifat yang mudah terdominasi. Terkadang Baekhyun membenci sifat tersebut, dia hanya tidak ingin mudah terlena sebab sepercik kebaikan seseorang.

Suara pintu bergeser mengalihkan pandang Baekhyun, menatap bayang dibalik pintu tanpa kata. Seorang dayang merunduk hormat usai menutup pintu. "Mama datang berkunjung, Agissi."

Kening Baekhyun berkerut, sepasang mata menyipit menatap dayang di depan.

"Semalam ini."

Baekhyun terkesiap, bergegas dia menatap balutan perban di lengan kanannya.

"Mama sudah mengetahuinya?"

Dayang itu memberanikan diri menatap Baekhyun, lebih tepatnya menatap luka di lengan Pangerannya saat mencoba memahami maksud dari pertanyaan sang junjungan.

"Mohon maaf Agissi. Seperti yang anda titahkan kepada kami sebelumnya, bahwasanya tidak diperkenankan seorangpun di antara kami yang membuka mulut tentang luka tersebut."

Baekhyun menganggukkan kepala sambil membenahi lengan baji jeogori putihnya. Berusaha sedemikian rupa untuk menutupi luka tersebut. "Baiklah, persilakan beliau masuk."

Baekhyun berjalan menuju tempat duduknya. Menyamankan tubuh lalu menganggukkan kepala menjawab kalimat izin undur diri dari sang dayang.

Tak menunggu lama pintu kembali bergeser menampakkan seorang wanita paruh baya dengan seulas senyum hangat di wajah. Baekhyun bangkit, merunduk memberi hormat sambil mempersilakan ibunya untuk duduk.

Leeteuk menyamankan duduk sementara mata menatap kegiatan Baekhyun yang sedang menuang teh ke dalam masing-masing cangkir. "Apakah pertemuan ini sangat penting untuk Ibunda sehingga Ibunda bertandang kemari menghiraukan jam lelap?"

Baekhyun memaku wajah ibunya, menatap sekilas rona wajah yang sempat tersinggung. "Tidak bolekah seorang ibu menemui putranya sendiri, heum," rajuk Leeteuk berpura marah.

Baekhyun tersenyum, tangan terulur meraih punggung tangan di sisi cangkir kemudian mengusapnya.

"Maaf Ibunda, bukan bermaksud seperti itu. Aku hanya mencemaskan kondisi Ibunda."

"Ibunda baik-baik saja, sayang. Lagipula ini belum terlalu larut..." Leeteuk meraih cangkir teh dan menyesapnya perlahan. "... entah mengapa malam ini Ibunda begitu merindukanmu," sambungnya.

Baekhyun tiba-tiba terkekeh konyol. "Lantas, apakah Ibunda berniat menginap di pavilunku malam ini," canda Baekhyun yang menuai jitakan manis dari Leeteuk.

"Dasar. Jika kau masih berumur 10 tahun, mungkin Ibunda akan mengikuti perkataan konyolmu itu." Leeteuk turut terkekeh. Setelahnya hanya kekehan ringan yang memenuhi ruangan tersebut.

"Rupanya kunjunganmu ke alam bebas tidak berbuah sia-sia."

Baekhyun termangu, secepat kilat menatap Leeteuk. Leeteuk menopang dagu, tersenyum lembut menilik wajah indah putra bungsunya.

"Ingin bercerita."

Kerjapan mata mengikuti gerakan semu iris puppynya. Baekhyun mengalihkan pandang, berupaya mengalihkan desiran resah yang terlihat kontras dengan raut tenangnya.

"Sebuah kebebasan. Aku merasakan itu. Ya, memang tidak berbuah sia-sia. Pemandangan di luar sana, indah sekali Ibunda. Seharusnya Ibunda turut pergi bersamaku tadi," Baekhyun bergurau, masih berusaha menyemukan guratan resah di balik binar resahnya.

Tak ingin membuat ibunya mengernyit curiga. Raut wajah Leeteuk sedikit mengeluh. "Hah, sayang sekali. Padahal Ibunda juga sangat merindukan suasana tersebut." Leeteuk menatap cairan hijau bening di dalam cangkir.

"Ibunda, lain kali aku akan membawa Ibunda kesana. Aku berjanji, sudahlah jangan bermuram durja seperti itu."

Leeteuk tertawa ringan, ia sedikit mencondongkan tubuh ke arah Baekhyun demi mengusap puncak kepala putranya. "Baiklah. Baiklah, jangan merengek seperti itu. Ibunda baik-baik saja."

Lekuk bibir tertarik lebar mengulaskan deretan gigi. Baekhyun tersenyum lega, deretan perbincangan antara anak dan ibu masih terus berlanjut hingga rasa kantuk membatasi ocehan mereka, memaksa untuk kembali.

Baekhyun menatap punggung ibunya dalam diam, tepat pintu bergeser menelan tubuh Leeteuk, telapak tangan bergerak mengusap dada. Dia menyandarkan punggung di dipan berukir pohon sakura dan burung merak di balik tubuh. Penyekat antara kamar dengan ruang duduknya.

"Syukurlah, Ibunda tidak bertanya lebih jauh."

Baekhyun menatap lukannya, mengusap lalu menggenggamnya sejenak.

"Jika memang kita diharuskan saling mengadu pedang di medan perang nanti. Aku bersumpah untuk tidak mengangkat pedangku di hadapanmu, Baekhyun Agissi."

Kelopak mata Baekhyun terpejam, perkataan Chanyeol terulang kembali. Terngiang jelas, seolah berbicara langsung di telinga. Getaran itu semakin menjadi, Baekhyun dilanda perasaan semu yang tidak dia ketahui kebenarannya namun mampu merombak kenyamanannya di atas permadani sutera.

Malam ini, Baekhyun tak mampu memejamkan matanya. Dia gelisah, hingga lilin yang menyala di sudut ruangan, padam terhisap jilatan api di sepanjang tubuh lilin.

To be continue...

#

Ahoy.. hehe ^-^

Setelah datang tak diundang dan pergi diusir #Plak

Akhirnya Leonebee kembali dengan FF CB Chaptered yeaayyy! Tepuk tangan semuanyaaaa! #ProkProkProk

Okee okeee sudah cukup ^-^

Terima kasih atas partisipasinya, hiks.. Leo terharu #buagh

Skip...

Oke.. Leo memang sengaja tiba" muncul membawa beberapa Oneshoot tanpa ocehan hehe.. sengaja ingin tau gimana reaksi kalian dengan cerita Leo. Dan untuk yg Chaptered ini, Leo nda yakin kalian bakal suka sih.. Tapi, yasudahlah.. udah kepalang edit, jadi Leo publish ajaa yaaa~

Okelah sekian ocehan tak berguna ini.. semoga kalian suka sama ceritanya yaa.. Jadi, Leo bisa lanjut edit Chap selanjutnya~

Leo tunggu partisipasinyaaa... Readerdeul tercintaahh... Muachh :*