DICLAIMER : Inuyasha by Takahashi Rumiko
Please Tell Me That You Love Me by acchan lawliet
Hehehe.. aku mampir nih di fandom Inuyasha. Ini fic kedua aku. Maap ya, malah bikin fic baru lagi, padahal fic pertama aja belum selesai..
Hehehehehehehe..
*di lempar panci ama author laen*
Mumpung idenya lagi lewat di otak, jadi sekalian aja di tumpahin disini. Daripada ilang kan gawat *diilangin aja hoi sekalian!*
Yosh! Kita mulai saja!
Warning! : OC, OOC (may be), gaje, abal, mungkin ada typo..
Don't like, don't read!
R&R, onegaishimasu..
Please, enjoy this fic..
Kagome's POV
Dari pertama aku sudah tahu, bahwa kehadiranku adalah sebuah kesalahan. Sosok yang seharusnya tidak ada dan tidak mengacaukan waktu. Saat aku memegang busur dan anak panah untuk kali pertama, hari itu adalah titik awal dari semua petualanganku. Saat Shikon no Tama terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil dan tersebar saat itulah aku memulai hidup abnormalku.
Pertemuanku dengan makhluk setengah siluman, pemburu siluman, pendeta genit, siluman rubah dan lainnya, membuatku tidak bisa kembali ke titik awal dimana aku hanya seorang gadis SMA biasa. Kadang aku ingin menghentikan ini dan meninggalkannya, namun aku tidak bisa karena takdirku kini terikat dengan mereka. Dan tugasku adalah mengumpulkan semua pecahan Shikon no Tama dan mengembalikannya ke tempat dimana seharusnya. Namun hal itu tidaklah mudah. Pencarian Shikon no Tama sebanding dengan nyawa yang ku pertaruhkan. Bertemu dengan siluman-siluman yang sudah terkontaminasi Shikon no Tama dan bertarung dengannya bukanlah segampang seperti membalikan telapak tangan. Dan hal itu terbukti dari Shikon no Tama yang telah aku—dan lainnya—kumpulkan. Hanya sepertiga dari diameter Shikon no Tama.
"Kagome, apa yang sedang kau lakukan?"
Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Shippo. Shippo adalah siluman rubah. Walau tubuhnya kecil, dia adalah siluman sempurna. Beda dengan seseorang yang selama ini tanpa disadari telah menjadi leader dalam pencarian pecahan Shikon no Tama.
"Hanya menatap langit yang semakin memerah," jawabku.
"Ayo, kita kembali ke rumah Nenek Kaede! Sango dan Nenek Kaede sudah membuatkan makanan untuk makan malam nanti—lagipula udara di sini dingin sekali—apakah kamu tidak merasakan dingin, Kagome?"
"Tidak. Entah mengapa aku ingin sekali melihat langit senja hari ini"
"Sudahlah, kita kembali saja!"
Aku pun mengikuti apa yang diucapkan Shippo. Benar juga, udara sore ini terasa agak dingin. Mungkin karena tadi aku sibuk dengan pikiranku sendiri, jadi aku tidak menyadarinya.
Saat memasuki rumah Nenek Kaede, harum masakan yang mereka—Nenek Kaede dan Sango—masak sangat menggugah selera. Segera aku menghampiri yang lainnya dan duduk dengan manis di hadapan masakan yang telah tersedia. Ternyata Miroku, Sango, Inuyasha dan Nenek Kaede sudah ada sedari tadi. Aku pun tersenyum dengan tampang innocent dan meraih sumpit yang ada di depanku.
"Ittadakimasu!" seruku.
"Tunggu, Kagome!"
Aku mendengus sebal dan melirik orang yang memanggilku tadi, Inuyasha!
"Ada apa?" sahutku.
"Dari mana saja kau?"
Aku menghela nafas bosan—selalu itu pertanyaannya saat aku sedang menikmati waktuku sendiri!
"Hanya jalan-jalan sebentar, menikmati pemandangan—seperti biasa!"
Saat Inuyasha ingin menyahut ucapanku, Miroku mengambil alih dan menyuruh kita segera makan. Inuyasha mendengus sebentar lalu makan dengan tampang bete-nya. Sango, Nenek Kaede, Miroku dan Shippo juga sudah mulai makan. Kecuali aku. Aku hanya memandang nasi yang ada dihadapanku dan aku kembali memikirkan peranku di zaman ini.
Inuyasha adalah manusia setengah siluman. Tepatnya setengah siluman anjing. Dia memiliki telinga anjing dengan rambut panjang berwarna silver. Wajahnya adalah wajah manusia dengan mata berwarna kuning—kecil seperti anjing. Dan dia memiliki taring dimulutnya. Hidungnya pun sangat sensitive dengan segala macam bau.
Dan dia adalah peran utama dalam pencarian pecahan Shikon no Tama ini.
Inuyasha yang setengah siluman ingin sekali menjadi siluman utuh dan dia berusaha merebut Shikon no Tama dari desa Nenek Kaede yang katanya dapat merubah Inuyasha menjadi siluman seutuhnya. Dan dia pun berusaha merebutnya. Namun Shikon no Tama dijaga oleh seorang Miko bernama Kikyo—yang merupakan kakak dari Nenek Kaede—dan hal itu tidak mudah, karena Kikyo merupakan gadis yang dicintai Inuyasha. Namun—aku tidak tahu bagaimana terjadinya—Inuyasha tidak dapat merebut Shikon no Tama. Dan Kikyo mati ditangan Inuyasha—yang sebenarnya adalah Naraku—siluman yang sangat jahat dan juga menginginkan Shikon no Tama—yang sedang menyamar—dengan sebelumnya Kikyo memanah Inuyasha dan tertancap di sebuah pohon. Dari situlah—Inuyasha yang tertancap di pohon—aku bertemu dengannya dan hal itu—Shikon no Tama terpecah—terjadi.
Berbeda dengan Miroku. Dia adalah seorang pendeta yang mempunyai kutukan di tangan kanannya—berupa lubang angin, hadiah dari Naraku. Mungkin sekilas lubang angin bukanlah kutukan—bagi orang awam yang mengetahuinya—karena hal itu dapat membantu dalam sebuah pertarungan, tetapi setiap Miroku menggunakannya, diameter lubang angin akan semakin melebar dan hal itu dapat memakan Miroku sendiri. Dan hal itu menjadi alasan Miroku untuk mencari—dan membunuh—Naraku agar lubang angin yang ada pada dirinya hilang.
Sango pun memiliki tujuan yang sama dengan Miroku, membunuh Naraku. Karena dia ingin membalaskan dendam warga desanya yang telah dibunuh—dengan sebelumnya telah diperdaya—oleh Naraku. Bukan hanya itu, Sango ingin mengambil Kohaku—adik laki-laki Sango—yang sekarang berada di tangan Naraku dan menjadi boneka Naraku.
"Kagome…"
Aku tersadar dari lamunanku saat suara Nenek Kaede memanggil namaku. Aku menatap setiap orang—yang kini berhenti makan!—dan tersenyum canggung—hanya ini yang bisa aku lakukan!
"Kagome, ada apa?" tanya Nenek Kaede lagi. Dengan cepat aku menggelengkan kepala dan melemparkan senyum kearahnya.
"Kagome.." ucap Shippo yang hanya memanggil namaku.
"Nona Kagome.." ucap Miroku yang juga hanya memanggil namaku.
"Apakah makanannya tidak enak, Kagome?" tanya Sango khawatir karena aku belum menyentuh makanan sedikit pun. Aku pun segera memasukkan nasi dan ikan bakar tersebut.
"Enak kok, Sango," sahutku sambil mengunyah.
"Syukurlah! Aku kira masakannya tidak enak sehingga kamu sama sekali belum menyentuhnya!"
Aku melemparkan senyumku dan terus menyendokkan suapanku yang kedua. Inuyasha hanya menatapku dan dia sudah tidak meneruskan makan malamnya. Aku tidak mau dia menatapku seperti itu. Karena tatapannya membuat sesuatu di dalam dadaku terasa tersiksa. Dan hal itu seharusnya tidak terjadi kepadaku, karena aku hanyalah orang asing.
Dan keheningan pun tercipta. Tidak ada suara selain alat makan yang beradu setelah percakapan singkat tadi. Dan Inuyasha tetap menatapku tanpa menyentuh kembali makan malamnya yang telah habis setengahnya.
xxXxx
Aku duduk di bawah pohon tidak jauh dari rumah Nenek Kaede. Setelah makan malam berakhir, aku ingin sekali melihat langit malam ini dan ternyata hal itu tidak sia-sia karena malam ini langit penuh dengan bintang.
"Seperti lautan bintang, ya.." gumamku.
Tadi sebelum aku keluar dari rumah Nenek Kaede, aku melihat Miroku sedang berbicara dengan Sango yang sedang sibuk mengelap Hiraikotsu-nya. Kurasa Miroku sedang merayu Sango karena Sango sama sekali tidak menggubrisnya. Sedangkan Shippo, dia sedang bermain dengan Kirara—binatang peliharaannya Sango. Lucu sekali melihat mereka sedang bermain. Dan Nenek Kaede sedang sibuk dengan beberapa obat herbal yang sedang dia racik.
Namun aku tidak melihat Inuyasha. Karena dia keluar rumah saat makan malam belum selesai.
"Peduli amat dengan dirinya!" ujarku.
Aku pun kembali menatap langit. Aku pun membiarkan pikiranku melayang. Memikirkan hal-hal yang sempat tidak terpikirkan olehku. Apa yang dilakukan Okaasan saat aku berada di zaman ini, apakah Shota—adik laki-laki ku—baik-baik saja dan aku sedikit mengkhawatirkan kesehatan kakek. Selama ini aku tidak pernah memikirkan mereka saat aku berpetualang mencari pecahan Shikon no Tama.
Aku memejamkan mataku. Membiarkan angin menyentuhku lembut. Menenangkan pendengaranku dengan desahan angin dan gesekan daun. Semua ini membuatku nyaman. Ingin rasanya seperti ini selamanya. Rasanya tentram.
"Kagome.."
Aku membuka mataku dan mendapati sosok Inuyasha sudah berada di depanku.
"I-Inuyasha.."
"Kamu tidak apa-apa, kan?" ujarnya seraya menyentuh lembut keningku. Hal itu membuatku blushing seketika.
"Ka-kamu demam?" ujarnya. Dari nada bicaranya aku tahu dia sedikit panik. Aku segera melepaskan tangannya dari keningku dan tersenyum, "Aku tidak apa-apa"
Aku bangkit dari duduk ku dan menepuk-nepuk rok seragam sailor-ku dari debu, "Aku ingin ke dalam. Kau mau ikut?"
Inuyasha hanya terdiam dan kembali menatapku, tatapan sama saat makan malam tadi.
"Ya sudah, aku ke dalam dulu," ujarku sambil mengalihkan pandanganku karena aku tidak sanggup menatapnya. Saat aku hendak melangkah, Inuyasha mencengkram pergelangan tangan kiriku.
"Apakah hanya perasaanku saja, akhir-akhir ini kamu menghindariku?" ucapnya.
Aku hanya terdiam dan tidak membalikkan tubuhku untuk menghadapnya. Aku pun tidak tahu harus menjawab apa karena apa yang dikatakan Inuyasha benar—bahwa aku sedikit menghindarinya.
"Kenapa?" ucapnya lagi seakan dia tahu apa yang sedang kupikirkan. Dan sekali lagi, aku tidak tahu harus mengatakan apa.
"Terserah! Kamu memang keras kepala!" tukasnya seraya melepaskan genggamannya. Inuyasha pun meninggalkan aku dan kembali ke rumah Nenek Kaede dengan sedikit kesal.
Aku hanya memandang punggung Inuyasha yang semakin jauh dariku dan hilang saat memasuki rumah Nenek Kaede, "Maafkan aku."
xxXxx
"Asyik! Pecahan Shikon no Tama yang lain!" teriak Shippo.
Baru saja kami mengalahkan siluman yang memiliki pecahan Shikon no Tama. Walau tidak mudah, kami bisa mengalahkannya. Dan pecahan Shikon no Tama pun bertambah. Aku memasukkannya ke dalam tabung mini yang kujadikan kalung.
"Kau baik-baik saja, nona Kagome..?" tanya Miroku.
"Ya, aku baik-baik saja," sahutku sambil tersenyum.
Tapi itu bohong. Saat pertarungan tadi, aku sempat terkena sulur dari siluman tadi dan sukses mengenai kakiku. Rasa sakitnya tidak terasa tadi, tapi sekarang aku bisa merasakan kakiku kebas.
"Kau bisa jalan?" tanya Miroku lagi. Kurasa dia tidak bisa kubohongi.
Aku ragu sebentar karena bingung harus menjawab apa. Ingin sekali aku menjawab 'tidak', tapi aku tidak mau menjadi penghambat mereka. Tapi jika aku mengatakan 'ya', aku ragu apakah aku bisa berjalan.
"Sedikit," akhirnya aku mengatakan ini.
"Kalau begitu, kita istirahat dulu. Kita sembuhkan luka-luka kita—karena bukan hanya kamu saja yang terluka! Kau setuju, Inuyasha?"
"Terserah kalian saja! Merepotkan!" sahut Inuyasha.
"Kau kenapa sih, Inuyasha? Dari tadi kau marah-marah saja!" tukas Shippo.
"Diam kau, anak kecil!"
"Sudah ku bilang, aku bukan anak kecil!"
"Osuwari!"
Inuyasha pun langsung jatuh ke tanah saat aku mengucapkan kata itu. Menyenangkan juga bisa membuat Inuyasha menderita seperti itu. Hehehe...
"Kagome, kau…"
"Sudahlah, aku tak apa-apa kok!" ucapku.
"Tapi kaki mu..." ucap Sango menggantung.
"KAGOME!"
Tiba-tiba aku jatuh terduduk dan refleks memegangi kaki kananku yang terluka. Aku meringis karena sakitnya luar biasa. Rasanya seperti terbakar dari dalam. Pergelangan kakiku berubah warna menjadi ungu. Darah mengalir dari lukaku di sekitar paha.
Aku merasakan Inuyasha menyanggah tubuhku. Punggungku menyentuh dada Inuyasha yang hangat. Dengan sigap, Miroku mengamati kaki kananku—Sango juga—dan Shippo, dia tidak melakukan apa-apa—hanya mondar-mandir nggak jelas—karena aku tahu, dia pasti panic dan tidak tahu harus melakukan apa.
"Tidak kusangka, siluman tadi memiliki racun," ucap Miroku.
"Kagome, badanmu panas sekali!" tukas Sango.
Nafasku naik turun dengan cepat. Apa yang dikatakan Sango benar. Aku mulai merasakan racunnya mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Pandanganku mulai kabur dan indra pendengarku juga mulai tidak berfungsi. Terkadang aku bisa mendengar pembicaraan mereka lalu tiba-tiba semuanya mulai senyap. Kemudian aku dapat mendengarnya lagi dan senyap lagi. Hal itu terus berulang-ulang. Membuatku semakin pening.
"Hei, Kagome! Bertahanlah!"
Dan senyap lagi. Suara Inuyasha yang terakhir yang kudengar dan seterusnya aku tidak mendengar apa-apa. Mataku pun mulai berat—tetapi nafasku masih naik turun dengan cepat. Dan akhirnya aku tidak dapat melihat apa-apa.
End of Kagome's POV
Normal POV
"KAGOME!"
Dengan sigap Inuyasha menyanggah tubuh Kagome yang jatuh. Luka akibat pertarungan tadi cukup parah karena menyebabkan pergelangan kaki Kagome menjadi ungu dan darah segar keluar dari lukanya di sekitar paha. Miroku dan Sango langsung mengamati luka yang diderita Kagome, sedangkan Shippo hanya modar-mandir panic dan sesekali menyebut nama Kagome dengan suara tercekat.
Inuyasha dapat merasakan detak jantung Kagome yang semakin cepat dan nafasnya yang naik-turun. Dia juga merasakan suhu tubuh kagome semakin meninggi. Dan hal itu juga akhirnya disadari oleh yang lain. Miroku mengatakan Kagome terkena racun dari siluman tadi dan kesadaran kagome mulai menipis.
"Hei, Kagome! Bertahanlah!" teriak Inuyasha cemas.
"Nona Kagome!"
"Kagome-chan!"
"Kagome!"
Hening sejenak. Mereka tahu orang yang sedang mereka panggil tidak akan menjawab, tetapi dalam situasi genting seperti ini apa yang akan dilakukan secara refleks kecuali memanggil namanya?
Dan Inuyasha mengambil inisiatif dengan menaruh jarinya di depan hidung Kagome. Begitu juga Sango yang sedang meraba-raba detak nadi Kagome di pergelangan tangannya. Masih hidup. Inuyasha dapat merasakan hembusan nafas Kagome—yang mulai teratur—dan Sango dapat merasakan detak nadi Kagome yang lemah. Kagome pingsan.
"Kita kembali saja ke desa Nenek Kaede," usul Sango.
"Tapi, desa Nenek Kaede terlalu jauh," sahut Shippo.
"Dan akan memakan waktu lama untuk kembali kesana," ujar Miroku.
"Bah! Kalian ribet sekali! Lebih baik kita cari desa terdekat dan segera mengobati luka Kagome!" seru Inuyasha.
Semuanya langsung mengangguk setuju. Inuyasha menggendong kagome a la bridal dan segera berlari dengan kecepatan maksimal yang ia bisa. Sango, Miroku dan Shippo menyusul Inuyasha dengan menunggangi Kirara yang berubah menjadi besar.
'Kumohon bertahanlah, Kagome! Aku tidak bisa—dan tidak mau—membayangkan jika aku harus kehilangan kamu! Masih banyak hal yang ingin ku tanyakan kepadamu!' batin Inuyasha.
15 menit kemudian..
Dengan kecepatan maksimal yang baru saja mereka lakukan, mereka telah sampai di desa terdekat. Sango dan Miroku langsung bertanya kepada penduduk yang mereka jumpai dimana rumah tabib di desa ini. Dan tanpa kendala, mereka langsung menemukan dimana rumah tabib tersebut.
Inuyasha segera membaringkan Kagome dan tabib tersebut dengan sigap memeriksa luka dan keadaan Kagome. Tanpa banyak bicara, tabib tersebut mulai bekerja. Tabib yang sedang menangani Kagome adalah wanita tua dan usianya hampir setara dengan Nenek Kaede. Rambutnya putih kelabu panjang dengan diikat seperti buntut kuda, wajahnya sudah dipenuhi dengan kerutan tetapi masih menyisakan tanda-tanda bahwa dulu sewaktu muda dia adalah wanita yang cantik.
Tabib tersebut mengakhiri pekerjaannya dengan menutup luka Kagome dengan lumatan daun-daun herbal dan menorehkannya juga di sekitar pergelangan kaki Kagome yang berwarna ungu.
"Lebih baik kalian menutupi luka gadis itu dengan sesuatu," ujar tabib tersebut seraya membereskan barang-barangnya.
Shippo langsung mengaduk-ngaduk isi tas Kagome dan menemukan gulungan perban disana. Lalu dia memberikan perban tersebut kepada tabib dan dengan cekatan tabib tersebut membalut luka Kagome.
"Sejauh ini dia baik-baik saja," ucap sang tabib. "Tetapi jika kalian terlambat satu menit saja, nyawa gadis ini tidak bisa diselamatkan".
Semuanya tercekat mendengar perkataan tabib tadi. "Jika terlambat satu menit saja.." mereka bisa membayangkan apa yang terjadi apabila mereka memutuskan membawa Kagome ke desa Nenek Kaede. Tetapi mereka akhirnya bernafas lega karena Kagome sudah lebih baik dibandingkan tadi.
Sango memegang lembut tangan Kagome, "Syukurlah". Miroku dan Shippo tersenyum lega melihat semuanya baik-baik saja dan Inuyasha mengusap-usap rambut Kagome dengan lembut. Wajahnya sudah tidak menegang seperti tadi.
"Kalian lebih baik beristirahat juga—dan obati luka kalian," ujar sang tabib sambil membawa nampan yang terisi penuh oleh gelas-gelas yang mengepulkan asap. Sang tabib menyuguhkan teh hijau hangat kepada mereka. "Minum ini selagi hangat karena teh ini sudah kuberi sedikit obat herbal untuk memulihkan stamina kalian".
"Terima kasih, err.." ucap Miroku menggantung.
"Panggil saja Nenek Aiko," ujar Nenek Aiko seraya meninggalkan mereka. "Anggap saja ini rumah kalian, aku mau mengambil beberapa daun herbal di luar".
"Baik sekali dia," ujar Sango.
"Iya.." sahut Shippo.
Mereka pun langsung meminum teh yang telah disuguhkan Nenek Aiko. Sango mengobati beberapa luka gores dengan menempelkan plester—yang didapat dari tas Kagome. Dan dia juga menempelkan beberapa di Shippo. Miroku langsung merebahkan diri. Sedangkan Inuyasha hanya menyenderkan punggungnya ke tembok tanpa mengalihkan pandangannya pada Kagome yang tengah tidak sadarkan diri.
Nenek Aiko kembali ke rumahnya saat senja sudah merangkak dan mendapati tamu-tamunya sudah tertidur lelap—kecuali Inuyasha yang masih mengawasi Kagome. Dinyalakannya beberapa lilin dan dia menuju dapur untuk memasak makan malam. Saat mereka—kecuali Inuyasha dan Kagome belum sadarkan diri—terjaga, hidangan makan malam sudah tersedia di depan mereka.
"Maaf, Nenek Aiko, kami semua merepotkanmu," ujar Sango merasa tidak enak.
"Hahaha! Sudahlah kau makan saja! Sudah lama tidak ada pengembara yang mengunjungiku, dan anggap saja ini sebagai ucapan selamat datang dariku," sahut Nenek Aiko.
"Arigatou," ucap mereka serempak. Mereka langsung menyambar makanan yang ada di muka, kecuali Inuyasha yang masih mengawasi Kagome.
"Makanlah, anak muda! Dia sudah tidak apa-apa, kamu butuh tenaga juga kan," ujar Nenek Kaede yang miris melihat Inuyasha yang sama sekali bergeming. Lambat laun Inuyasha menyentuh makan malamnya dan mulai memakannya.
xxXxx
Malam semakin larut ketika cahaya lilin sudah hampir padam. Namun malam itu bulan sedang memancarkan sinarnya sehingga tidak ada cahaya lilin pun tidak masalah. Dan disaat seperti itu, Kagome siuman.
Saat membuka mata yang pertama dilihat adalah kegelapan. Namun mata Kagome segera beradaptasi dan dapat melihat benda-benda di sekelilingnya karena terpancar sinar rembulan. Kagome berusaha untuk duduk, namun itu sulit karena tubuhnya belum terlalu pulih dan dia memutuskan untuk berbaring kembali. Dia mengedarkan pandangannya dan melihat Sango dan Miroku tertidur tak jauh darinya, Shippo tertidur bersama Kirara di samping mereka dan Inuyasha tertidur sambil menyenderkan punggungnya di tembok tidak jauh dari dirinya.
"I-Inuyasha…"
Kagome secara refleks memanggil nama Inuyasha. Suaranya lirih namun itu cukup membangunkan Inuyasha—yang sebenarnya setengah tertidur. Sesaat Inuyasha tidak yakin mendengar Kagome memanggilnya, tapi dia langsung menyadari bahwa Kagome sudah siuman.
Inuyasha langsung menyambar tangan Kagome dan memegangnya erat dan dia pun mendaratkan ciumannya di kening Kagome yang seketika membuat Kagome langsung ber-blushing ria.
"Syukurlah, akhirnya kau siuman," ujar Inuyasha lega.
"I-Inuyasha..."
"Aku tidak bisa memaafkan diriku karena telah membuatmu menderita seperti ini.."
"I-Inuyasha, aku baik-baik sa-saja kok," ucap Kagome yang setengah gugup menerima perlakuan Inuyasha yang lain dari biasanya.
"Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Kagome…"
Inuyasha menarik tubuh Kagome kedalam pelukkannya. Inuyasha tidak peduli apakah Kagome merasa sakit saat dia menarik tubuhnya karena alam bawah sadar Inuyasha menyuruhnya untuk melakukannya. Inuyasha memeluk erat tubuh Kagome dan sesekali menghirup rambut Kagome yang harum.
"Maafkan aku, kagome…"
"Inuyasha…"
"Aku tidak sanggup kehilanganmu…"
Hening. Kagome tidak tahu harus menjawab apa karena dia sendiri juga menginginkan hal yang sama. Tetapi dia teringat ucapan Naraku tempo hari dan juga wajah Inuyasha ketika bertemu dengan cinta lamanya—Kikyo.
"Inuyasha," ucap Kagome memecahkan keheningan.
"Ya…"
"Katakan itu sekali lagi, di depan Kikyo.."
TBC
Yak! Akhirnya kubuat multichap!
Tadinya sempet mau bikin oneshot, tapi idenya mentok disini. Jadinya aku bikin multichap deh.
Maap ya, udah panjang-panjang tapi bersambung juga *bungkuk dalam-dalam*
Semoga yang baca fic ini tidak tertidur karena kepanjangan.
Jadi para readers yang udah baca aku mohon tinggalkan review kalian untuk jadi penyemangatku di chap berikutnya.
Oh ya, tabib di cerita ini adalah OC. Tadinya aku mau masukin karakter yang ada di game Inuyasha yang buat konsol PS2 (author lupa apa judul game-nya). Tapi nggak jadi karena saya lupa namanya. *di slapped author laen+para readers*
Hehehehe..
Yosh!
Mind to R&R…?
