disclaimer: chara bukan kepunyaan saya.
warning: AU/OOC/Typos/Yaoi/Catboy!Yixing/etc
pair: Joonmyeon-Yixing
rated: T (untuk sekarang)

.

.


-Fetish-


.

.

Chapter I

.

.

Jarum kurus yang tertempel di dinding putih bersih telah menunjuk angka 4. Berkas sinar lembayung senja menyusup melalui celah-celah jendela. Ruangan yang terletak di lantai tiga gedung pencakar langit itu tampak sepi. Hanya ada beberapa buah kepala yang tersisa di antara bilik-bilik bersekat rigid tempat para karyawan itu biasa bekerja.

Ada si bapak-bapak berperut buncit dibilik kedua yang malah tertidur di mejanya, si karyawan baru yang masih semangat mengerjakan tugas lembur—hari-hari awal bekerja, biasalah—satu office boy yang sibuk mengepel lantai dengan headset menyumpal telinga dan memainkan alat pelnya layaknya gitar, dan sosok di belakang bilik paling utara yang masih sibuk bergerumul dengan tumpukan dokumen di meja dan kedua tangannya yang beradu di atas papan keyboard.

Dibilik yang satu ini kau dapat melihat beberapa lembar kertas yang hampir memenuhi sisi meja, secangkir kopi yang sudah diseduh setengahnya, sobekan-sobekan memo yang sengaja di tempel dengan paper clip di sepanjang dinding bilik, dan kau juga bisa melihat sebuah bingkai foto seorang lelaki dan perempuan yang tengah tersenyum dan berpelukan menatap kamera, diletakkan dengan manis di ujung meja.

Kim Joonmyeon menyandarkan punggung di kursi putarnya. Ia melepas kaca matanya, lalu meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah ia hanya menghabiskan waktu duduk berjam-jam di depan layar komputernya yang masih menyala. Dengan helaan nafas dramatis ia mengusap wajahnya yang kusut dan lelah karena seharian bekerja.

Hari Senin memang sungguh melelahkan. Fucking Monday.

Monster day, indeed.

Ia mengarahkan mouse-nya ke icon bergambar printer dan menekannya.

Sementara ia menunggu dokumen sebanyak 21 lembar itu untuk dicetak, Joonmyeon meraih sebuah majalah yang biasanya ia letakkan di laci meja. Sebuah majalah yang menjadi tempat pelariannya karena suntuk bekerja.

Joonmyeon membuka lembar demi lembar majalah dengan cover bertuliskan Automobile Plus yang dicetak besar-besar. Dia berlangganan setiap weekend, lagipula. Dan dia selalu membawa tumpukan majalah itu ke kantornya untuk kemudian disimpannya dengan rapi di laci meja.

Tidak. Joonmyeon tidak pernah terobsesi dengan otomotif dan segala tetek bengeknya. Automobiles Plus bukanlah majalah yang membahas otomotif, kalau kau mau tahu.

.

Well, tidak juga. Majalah itu memang menampilkan mobil-mobil keluaran terbaru yang cantik dengan harga-harga selangit, tapi yang menarik perhatian Joonmyeon bukan body mobil-mobil itu...

...tapi body yang menyandar nyaman disana.

.

Ya.

Para lelaki yang berpose nakal, menatap kamera dengan pandangan menggoda.

Lihatlah sepasang telinga kucing yang muncul diantara rambut mereka, sebuah colar mahal yang melingkari leher mulus mereka, dan tentu dengan saja dengan sebuah ekor berbulu yang menjuntai ke lantai.

Kau benar.

.

.

Itu adalah seorang—atau harus kukatakan seekor?—oke baiklah, catboy.

.

Dan kau benar lagi.

.

Joonmyeon memang terobsesi dengan catboy.

Akut, sebenarnya.

.

Mereka, catboys, adalah fetish kotor seorang Kim Joonmyeon.

.

Catboys.

Satu kata. Seribu arti. Seribu kerlingan mencela yang akan terlempar ke arahnya.

.

Itulah salah satu alasan kenapa Joonmyeon harus berhati-hati menyembunyikan tumpukan majalah liarnya. Orang-orang akan memandangnya jijik kalau mereka tahu soal fetish terpendamnya ini. Ini bukan sesuatu yang dipandang normal. Ini bahkan lebih buruk daripada hubungan sejenis yang masih dianggap tabu di masyarakat.

Joonmyeon pernah mencoba, setiap ia membawa topik catboys ke permukaan dengan teman-temannya, mereka selalu mendengus remeh dan menyorotnya dengan pandangan mencela. Joonmyeon berusaha menahan, tapi terkadang berat.

Mungkin ini ada hubungannya dengan kabar angin yang mengatakan bahwa para catboy di zaman sekarang sering diperjualbelikan sebagai budak seks. Dan image negatif itu terlanjur melekat disana.

Tapi Joonmyeon murni mengagumi para catboy itu.

Ia kagum pada kecantikan mereka. Keunikan mereka. Tanpa ada maksud menjadikan mereka pemuas hawa nafsu. Well, walau terkadang ia sering merasakan euphoria berlebih diantara kedua kakinya ketika ia kelepasan memikirkan para mutan itu.

Tapi ia cukup menahan diri kok.

.

Dia bukan om-om pedofil, lagipula.

.

Bicara soal catboys.

Catboys masihlah manusia. Kecuali mereka tidak memiliki riwayat sejarah seperti manusia yang diciptakan dari pertemuan antara sperma dan sel telur. Dulu dengar-dengar, asal mula catboys berasal dari hasil ciptaan dari seorang ilmuwan jenius dari Jepang. Istilah pertamanya dulu adalah nekomimi.

Ilmuwan jenius itu mencoba mencampurkan DNA kucing dan DNA manusia melalui proses sedemikian rupa, dan setelah mengalami tahap demi tahap, kegagalan demi kegagalan, akhirnya 12 tahun kemudian, salah satu inovasi terbesar dari dunia pengetahuan itu pun tercipta.

Para catboys itu mempunyai tubuh layaknya manusia dan organ-organnya, hanya saja mereka memiliki sepasang telinga dan sebuah ekor yang menjuntai diantara kedua kaki mereka. Joonmyeon tidak tahu mereka bisa bicara atau tidak, tapi yang jelas mereka memang punya naluri setengah manusia dan kucing. Sampai sekarang, para ilmuwan itu masih berusaha mengembangbiakan hybrid langka ini agar tidak punah dengan inseminasi buatan yang kompleks.

Dan hasilnya, para catboys ini pun telah menyebar hampir di seluruh belahan dunia dengan jenis yang berbeda-beda, dan kini dijual bebas.

Tapi dijual bebas bukan berarti kau bisa mendapatkannya secara cuma-cuma.

Selain persyaratan formal seperti harus mempunyai tanda pengenal atau berusia di atas 18 tahun, syarat yang lain adalah kau harus mau merogoh kocek dalam-dalam, sekitar 10 juta won.

Fuck. Joonmyeon tidak punya uang sebanyak itu. Dia hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan asuransi mikro. Bahkan upahnya selama satu tahun jika dikumpulkan tak bakal mencapai jumlah sebesar itu.

Tapi seandainya ia mampu pun, Joonmyeon juga tak mungkin membelinya. Angan hanyalah angan.

Karena satu, hampir mustahil untuk mendapatkan seekor catboys di daerah Busan, dan dua, karena dia ini sudah punya kekasih.

Seorang gadis, terima kasih.

Tentu saja kekasihnya akan menyambar kepalanya dengan sepatu hak tinggi jika Joonmyeon ketauan memiliki fetish terhadap catboys hingga taraf yang mengkhawatirkan begini. Saking terobsesinya, Joonmyeon bahkan meminta pacarnya untuk mengenakan kostum kucing ketika mereka akan melakukan adegan ranjang, namun apa—pacarnya malah menjejali mulutnya dengan lipstick dan meneriakinya sebagai om-om mesum.

Yeah, Joonmyeon tidak menyalahkannya juga sih.

.

Tapi Joonmyeon belum mau bertaubat.

Ia terlanjur kecanduan.

Tentang bagaimana lucunya sepasang bola mata yang memancar polos itu, mengedip dan mengeong manja, sepasang telinga dengan bulu-bulu halus yang seakan minta dielus, ekornya yang menggemaskan, tubuh menggiurkan itu, suaranya, erangannya—

"Joonmyeon-ssi?"

Joonmyeon tersentak kaget.

Ia menunduk, menyadari lembar pertama majalahnya kini telah kusut karena diremas-remas oleh tangannya sendiri. Dia kelepasan.

Dia menoleh, dan cepat-cepat menyembunyikan majalahnya tadi ke dalam laci begitu menyadari ada rekan kerjanya yang kini berdiri di belakang kursinya.

Ah. Si karyawan baru.

Joonmyeon menyunggikan senyum seadanya. Berdoa dalam hati semoga rekan kerjanya ini tak memergokinya melamun jorok. Uh yeah. Bisa-bisa besok dia sudah jadi pengangguran karena dipecat.

"Ada apa Han-ssi?" ujarnya seramah mungkin. Ia menutup lacinya dengan tangan gemetar karena ditatap lekat-lekat oleh pria itu.

Si pegawai baru itu tertawa canggung, "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin pamit saja." katanya dengan nada sungkan, "Apa pekerjaan Joonmyeon-ssi sudah selesai? Bagaimana kalau kita pulang bersama?"

Joonmyeon menimbang-menimbang. Ia melirik tumpukan kertas di bawah mesin printer yng ternyata sudah selesai di cetak, pekerjaannya memang sudah selesai, namun ia tak yakin ia bisa berjalan dengan santai bersama rekan kerjanya sementara ia baru saja melamunkan sesuatu yang tidak wajar bebarapa menit yang lalu.

"Uh... kau duluan saja, Han-ssi. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tapi terima kasih tawarannya," ia mengangguk ringan dan memberinya senyum penyesalan yang dibuat-buat.

Han menggeleng-gelengkan kepala, "Oh, tidak masalah, Joonmyeon-ssi," pria itu membalas senyumannya dan membungkuk sejenak, "Kalau begitu saya duluan."

Setelah berbagi 'ucapan selamat sore' dan 'semoga harimu menyenangkan', si pegawai baru akhirnya pergi.

.

Joonmyeon menghela nafas panjang.

Fiuh, hampir saja.

Sepertinya ia harus lebih berhati-hati lagi.

.

Ia menata kertas-kertas yang telah tercetak itu ke dalam satu tumpukan yang rapi, meninggalkannya di meja atasannya, lalu bersiap untuk pulang.


.

Joonmyeon malas pulang, sebenarnya.

Tak heran jika kini dia justru menemukan dirinya berjalan perlahan, tak tentu arah, menyusuri jalanan yang sedikit berbeda dari rute yang biasa di ambil. Joonmyeon sengaja mengambil jalan memutar, memang.

Joonmyeon menyadari ia kini berada di daerah rural, dengan pemukiman padat, dan jalanan yang terkesan kumuh. Ia sempat melihat beberapa anak berseliweran dari gang ke gang, saling mengejar satu dengan lainnya sementara ibu mereka meneriaki bocah-bocah itu untuk kembali karena ini sudah waktunya mandi.

Joonmyeon berjalan dengan kepala terdongak dan saku di celana, memandangi hamparan langit yang berwarna semu oranye, sedikit mendung namun tak ada tanda-tanda datangnya hujan.

Tak terasa langkah kakinya telah menuntunnya ke arah gang menuju apartemen kecilnya.

Dan tepat ketika dia akan memasukan kuncinya ke dalam lubang, saat itulah Joonmyeon mendengar suara yang menarik perhatiannya.

.

Ia berhenti di tempat dan menajamkan pendengaran.

.

Suara itu terdengar seperti dengkuran dan rintihan.

Samar, memang.

.

Terdengar seperti entahlah...eum... kucing?

.

Pria itu mengangkat bahu setelah beberapa detik berlalu, mengasumsikan bahwa suara tadi mungkin hanya bagian dari imajinasi liarnya.

Joonmyeon hendak mendorong daun pintu ketika damn— ia bersumpah, ia mendengar suara itu lagi.

.

Suara itu memang lirih seakan ikut terbawa angin, namun ia yakin suara itu benar-benar ada.

.

Nah.

Suara itu...

.

Sekali lagi.

.

Kali ini ditemani dengan suara dentingan bel yang menggema ringan. Asalnya dari sisi belakang tempat pembuangan sampah di ujung gang.

.

.

Jangan-jangan hantu?

.

...Atau penjahat?

.

Bulu kuduk Joonmyeon langsung meremang.

.

Ya Tuhan.

Kalau begini, rasanya dia ingin mengompol di celana saja.

.

Dia memang penakut. Dan dia benar-benar payah dengan hal macam ini.

.

Joonmyeon tampan, tenanglah.

Tarik nafas, hembuskan.

Tarik, hembuskan.

Tarik, hembuskan... oke, dia kalem.

.

.

Berpikir positif saja. Mungkin saja itu hanya kucing tetangga yang sedang kawin— oke, bukan— mungkin kucing yang sedang mencari makan di tempat sampah.

Dan entah mendapat keberanian darimana, Joonmyeon menemukan dirinya justru melangkah mendekati sumber suara.

.

Ia menyambar kemoceng bekas yang telah dibuang di tempat sampah dan meletakannya di depan dada sebagai pertahanan kalau ada yang menyerangnya.

.

Ia melangkah waspada, pelan demi perlahan—

.

.

—untuk kemudian menemukan bola mata sekelam malam yang berkilauan di bawah lampu jalan, menatapnya lekat-lekat.

.

Kelereng sewarna obsidian itu mengawasi pergerakannya, berkedip-kedip lucu.

Sepasang telinga cokelat toska menyembul diantara helaian lembut rambutnya yang berwarna hitam. Ekornya yang berwarna serupa, mengembang menggemaskan dan penuh bulu, melingkar di sisi tubuh yang meringkuk dengan posisi kedua lutut yang terdekap di depan dada.

.

Joonmyeon dibuat terpaku di tempat.

Kemocengnya jatuh ke tanah tanpa suara.

.

astagastagastgaastagastaga.

.

Ini tidak mungkin kan...?

.

Joonmyeon mencoba berkedip, berkedip dan berkedip hingga matanya perih. Ia tampar pipinya, cubit perutnya, hingga menggaruk bokongnya-berapa kalipun ia mencoba, makhluk... makhluk dihadapannya ini masih disana. Mengeluarkam suara rintihan pelan dan mendekap tubuh ringikih itu makin erat.

Joonmyeon menyadari makhluk itu ketakutan.

Atau justru kedinginan?

Makhluk itu memiliki warna kulit putih pucat seperti orang Asia pada umumnya—hell, wajahnya saja oriental—tubuhnya berukuran sedang, mungkin hampir setinggi Joonmyeon. Tubuhnya mulus, putih persolen dan tidak berbulu—hanya bagian telinga dan ekor saja— oh dan kuku-kukunya tampak runcing walau tak seberapa tajam, cenderung tampak dipoles sempurna.

Ia mengenakan sweater rajut polos yang tampak ke besaran di tubuhnya, dan kakinya yang jenjang dibalut oleh tight jeans warna hitam yang tampak kotor di beberapa sisi, sementara ia mengenakan sepatu sport merek kenamaan dikakinya. Dan ya ampun—apa itu sesuatu berkilauan yang melingkar di lehernya? Berwarna ungu dengan sebuah bel mungil yang menggantung disana. Benarkah itu sebuah colar?

Joonmyeon mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Tangannya mulai gemetaran. Tenggorokannya seperti dicekik dan bibirnya terasa kering.

.

Maksudnya, tidak mungkin kan?

.

Ini... tidak mungkin seperti yang sedang ia bayangkan kan?

.

.

Bisa saja dia ini hanya orang iseng yang sedang memakai kostum.

Atau mungkin salah satu peserta cosplay yang nyasar dan salah alamat?

Ia mencoba mendekat. Ragu-ragu.

Makhluk itu mundur ke belakang, ia tampak panik saat ia menyadari ia tak punya tempat melarikan diri. Dia mendongak menatap Joonmyeon, bola matanya yang mulai menganak sungai itu memancar takut, seakan memohon.

Joommyeon tersenyum menenangkan, walau sebenarnya ia gugup setengah mati,

.

"Aku tidak akan menyakitimu. Aku janji," ujarnya dengan nada selembut kapas dan setenang air.

Suaranya yang seperti lullaby itu nyatanya mampu memberi efek tenang bagi makhluk itu. Telinga dan ekornya yang tadi menegak siaga kini perlahan turun. Menggemaskan. Namun ia masih mendekap tubuhnya erat-erat.

Kalau begini, dia merasa seperti preman yang sedang malakin permen anak SD.

Joonmyeon mantap menjulurkan tangannya, tak lupa sesekali memberinya lengkungan senyum menawan.

Perlahan demi perlahan ia dekatkan ujung jarinya ke depan, hingga akhirnya menyentuh permukaan bulu halus yang menyembul di kepalanya dan ia merasakan—astaga, apa ini kulit sungguhan?

Rasanya seperti telinga manusia biasa, namun penuh rambut dan berbentuk segitiga, dan demi apa—bulunya halus sekali. Lembut seperti kapas.

Joonmyeon menikmatinya. Ia menyentuhnya, mengelusnya, menarik-nariknya dan benda itu tidak lepas—itu bukan telinga tempelan atau bando biasa—Ya Tuhan, telinga ini nyata.

Joonmyeon gemas.

Ia menarik-nariknya, cukup kencang hingga sosok itu akhirnya mengeluarkan suara pekikan sejenis—meongan?

.

Joonmyeon membulatkan matanya dan mundur perlahan.

.

"OMAIGADOMAIGADOMAIGADDDD."

.

TuhanIa berjanji ia akan berbuat baik mulai dari sekarang dan tidak akan menertawakan hasil lukisan Yifan lagi tapi tolong, bolehkan dia berharap,

DEMI. KUMIS. KUCING.

.

Ada seekor catboy di dekat apartemennya.

.

Sungguhan.

.

Sendirian.

.

Dan secara cuma-cuma.

.

"God must be kidding me." Joonmyeon bergumam, sebelum kemudian semua berubah menjadi gelap.

Ya.

.

Joonmyeon pingsan.

.

.

bersambung.

.

.

.

.

Authors Note: LOLOLOL. Kepingin buat catboy!Yixing dan jadilah begini. SO, what do you think, guys? Boleh minta pendapatnya lewat kolom Review? hehe ^^ terimakasihhhhhh.